Namun, dari bentuk persamaan primitif di atas dapat diperoleh bentuk transformasi VAR ke dalam bentuk standar reduced-form. Adapun persamaan
umum VAR adalah sebagai berikut Enders, 2004:
t p
t p
t t
o t
e y
A y
A y
A A
y +
+ +
+ +
=
− −
−
...
2 2
1 1
2.7 dimana :
t
y = vektor
berukuran 1
⋅ n
yang berisikan n variabel yang terdapat dalam sebuah model VAR
o
A = vektor intersep berukuran
1 ⋅
n
i
A = matriks koefisien parameter berukuran
n n
⋅ untuk setiap i =1,2,...,p
t
e =
vektor error
berukuran 1
⋅ n
Model VAR dalam bentuk standar di atas jika dituliskan dalam bentuk persaman bivariate adalah sebagai berikut :
t t
t t
e z
a y
a a
y
1 1
12 1
11 10
+ +
+ =
− −
2.8
t t
t t
e z
a y
a a
z
2 1
22 1
21 20
+ +
+ =
− −
2.9 atau dalam bentuk notasi matriks VAR adalah sebagai berikut :
⎥ ⎦
⎤ ⎢
⎣ ⎡
+ ⎥
⎦ ⎤
⎢ ⎣
⎡ ⎥
⎦ ⎤
⎢ ⎣
⎡ +
⎥ ⎦
⎤ ⎢
⎣ ⎡
= ⎥
⎦ ⎤
⎢ ⎣
⎡
− −
t t
t t
t t
e e
z y
a a
a a
a a
z y
2 1
1 1
22 21
12 11
20 10
2.10
2.2.6. Vector Error Correction Model VECM
VECM merupakan bentuk VAR yang terestriksi Arsana, 2005. Restriksi tambahan ini harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner
pada level, tetapi terkointegrasi. VECM kemudian memanfaatkan informasi
restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. Karena itu, VECM sering disebut sebagai desain VAR bagi series non stasioner yang memiliki hubungan
kointegrasi. Dengan demikian, dalam VECM terdapat speed of adjustment dari jangka pendek ke jangka panjang.
Adapun spesifikasi model VECM secara umum adalah sebagai berikut Nuryati, Siregar, dan Ratnawati, 2006 :
∑
− =
− −
+ Δ
Γ +
Π +
+ =
Δ
1 1
1 1
k i
t i
t ix
t x
x x
t
y y
t y
ε μ
μ
2.11 dimana :
t
y = vektor yang berisi variabel yang dianalisis dalam penelitian
x
μ = vektor
intercept
x 1
μ = vektor koefisien regresi t
= time trend
x
Π =
x
α β’ dimana β’ mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang
1 −
t
y =
variabel in-level
ix
Γ = matriks koefisien regresi
1 −
k = ordo VECM dari VAR
t
ε = error term
2.2.7. Penelitian Terdahulu
Penelitian ini tidak merujuk penelitian terdahulu yang membahas secara spesifik mengenai kredit investasi, mengingat sejauh penelusuran penulis belum
adanya penelitian yang spesifik membahas mengenai kredit investasi. Karena itu, dalam penelitian ini penulis merujuk penelitian lain yang membahas kredit secara
agregat. Penelitian mengenai kredit dilakukan oleh Agung, et al. 2001, yang menganalisa fenomena credit crunch di Indonesia pasca krisis. Penelitian ini
bertujuan untuk melihat fenomena penurunan kredit yang terjadi di Indonesia pasca krisis apakah lebih disebabkan dari sisi penawaran keengganan bank dalam
menyalurkan kredit ataukah dari sisi permintaan rendahnya permintaan dari debitur akibat perekonomian yang kurang prospektif dan konsolidasi internal
perusahaan. Penelitian ini menggunakan kajian empiris secara makro dan mikro. Dalam kajian empiris secara makro dengan estimasi Maximum Likelihood,
penawaran kredit ditentukan oleh kapasitas kredit, suku bunga kredit, rasio modal bank terhadap aset yang merupakan proxy dari CAR, dan NPL. Di sisi lain,
permintaan kredit ditentukan oleh GDP riil dan suku bunga kredit. Sementara itu, kajian empiris secara mikro menggunakan data individual perbankan panel data.
Secara umum, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa melambatnya kredit yang disalurkan perbankan lebih disebabkan oleh faktor-faktor penawaran
hipotesa credit crunch. Hal ini terutama diakibatkan persoalan permodalan yang dihadapi bank setelah terjdinya krisis, tingginya NPL, tingginya risiko kredit
dunia usaha, dan kurangnya informasi mengenai debitur yang potensial. Harmanta dan Ekananda 2005 juga meneliti mengenai kredit dengan
tujuan serta metode estimasi yang hampir sama dengan Agung, et al. 2001. Penelitian ini mengasumsikan bahwa permintaan kredit tidak selalu sama dengan
penawaran kredit adanya disekuilibrium. Hasil empiris menunjukkan bahwa
penurunan penyaluran kredit menunjukkan perilaku yang berbeda dalam dua periode. Pertama, periode 19971998 pada saat krisis dan beberapa bulan pasca
krisis ditandai dengan excess demand, sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan kredit yang terjadi pada periode tersebut lebih disebabkan oleh
melemahnya penawaran kredit credit crunch. Krisis yang terjadi mengakibatkan lambatnya pertumbuhan DPK yang pada gilirannya menurunkan lending capacity
bank sehingga mengurangi kemampuan bank dalam menyalurkan kredit. Kedua,
periode pasca krisis tahun 1999 hingga 2003 akhir periode penelitian ditandai dengan excess supply, sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan kredit yang
terjadi pada periode tersebut ternyata lebih disebabkan oleh masih lemahnya permintaan kredit. Hal ini merupakan konsekuensi dari lemahnya sisi permintaan
akibat rendahnya prospek investasi akibat belum pulihnya kondisi perekonomian. Penelitian lain tentang kredit juga mengungkapkan bahwa sumber
pembiayaan terbesar dari perusahaan-perusahaan pada negara berkembang di Amerika Latin dan Asia termasuk Indonesia adalah melalui kredit perbankan
Mohanty, Schnabel, dan Garcia-Luna, 2006. Karena itu, bank masih memegang peranan yang sangat penting sebagai supplier dana tersebut, mengingat masih
rendahnya diversifikasi sumber pembiayaan pada negara-negara berkembang. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa di Indonesia, terjadi penurunan jumlah
business credit yang disalurkan. Pada tahun 1999, jumlah business credit yang
disalurkan mencapai enam puluh persen persentase dari total kredit domestik Bank Komersial, sementara pada tahun 2004 jumlahnya mengalami penurunan
menjadi hanya 37 persen dari total kredit domestik Bank Komersial.
Sementara itu, dalam kaitannya mengenai kinerja bank, Febryani dan Zulfadin 2003 dalam penelitiannya mengenai perbedaan kinerja antara Bank
Devisa dan Bank Non Devisa di Indonesia periode 2000 hingga 2001 mengemukakan bahwa pada tahun 2000 tidak terdapat perbedaan kinerja antara
Bank Devisa dan Bank Non Devisa jika dilihat dari ROA, ROE dan LDR analisis kinerja dari segi rentabilitas dan likuiditas. Hal ini kemungkinan terjadi karena
Bank Devisa tidak secara maksimal memanfaatkan peluang memperoleh laba dari transaksi yang menggunakan mata uang asing. Faktor lain adalah besarnya kredit
macet yang dimiliki oleh Bank Devisa akibat tingkat suku bunga bank yang meningkat tajam. Pada tahun 2001 masih terlihat tidak adanya perbedaan kinerja
antara Bank Devisa dan Bank Non Devisa jika dilihat dari ROA dan ROE, tetapi jika dilihat dari LDR menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kinerja yang cukup
signifikan antara Bank Devisa dan Bank Non Devisa. Namun, tidak dijelaskan kategori bank mana yang memiliki kinerja dari segi likuiditas yang lebih baik.
Dalam kaitannya dengan pertumbuhan produksi rujukan penelitian terdahulu lebih secara agregat pada pertumbuhan ekonomi, penelitian ini juga
merujuk studi yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya tentang mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit. Penelitian dalam
negeri diantaranya dilakukan oleh Lina 2005 dan Inggrid 2006. Lina 2005 menganalisis tentang efektivitas jalur kredit sebagai mekanisme transmisi
kebijakan moneter periode 1999-2004. Penelitian menggunakan model VAR. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa respon output, kredit, dan suku
bunga kredit terhadap inovasi suku bunga JIBOR dan base money secara statistik
tidak berbeda dari nol, sehingga ditarik kesimpulan bahwa kebijakan moneter melalui jalur kredit tidak bekerja dalam perekonomian pada periode tersebut.
Sebaliknya, Inggrid 2006 mengemukakan bahwa pada periode penelitian 1992:2 hingga 2004:4 terdapat keterkaitan yang positif antara output dengan
sektor keuangan dalam hal ini perbankan, yang diwakili dengan variabel kredit kepada sektor swasta dan spread suku bunga pinjaman dan simpanan. Analisis
ekonometri dengan VECM mendukung hipotesis signifikansi peranan sektor keuangan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, melalui kenaikan
ketersediaan kredit, baik dari segi volume maupun harga.
2.3. Kerangka Pemikiran