Perkembangan Suku Bunga Kredit Investasi

Devisa justru mengalami penurunan hampir setengah triliun rupiah atau menurun sebesar 6,16 persen menjadi Rp. 7,29 triliun. Sedangkan, BUSN Non Devisa memiliki trend yang sama dengan Bank Persero, dimana NPL kelompok bank ini mengalami peningkatan, tetapi hanya sebesar Rp. 137 miliar menjadi Rp. 595 miliar. Lonjakan NPL Bank Persero terbesar terjadi pada Mei 2005 yang meningkat sebesar 5,22 persen dari bulan sebelumnya ke posisi 11,4 persen. NPL ini juga ditengarai dapat mengalami peningkatan dalam kondisi suku bunga SBI yang tinggi. Hal ini dikarenakan situasi tersebut akan mengakibatkan suku bunga pinjaman kredit bank meningkat pula. Sementara, suku bunga kredit yang tinggi diperkirakan hanya akan mampu diserap oleh debitur yang berkualitas buruk risiko usaha tinggi, sehingga meningkatkan NPL dari bank yang bersangkutan. Dengan kondisi demikian, maka pada tahun 2006, hanya kelompok BUSN Devisa dan BUSN Non Devisa saja yang mampu menjaga NPL gross tidak lebih dari lima persen sesuai ketentuan Bank Indonesia. Sementara, NPL Bank Persero rata- rata masih berada pada kisaran angka dua digit.

4.6.3. Perkembangan Suku Bunga Kredit Investasi

Bank Indonesia tidak mempunyai wewenang dan otoritas untuk menetapkan berapa besar suku bunga kredit termasuk suku bunga kredit investasi bagi setiap bank, meskipun Bank Indonesia ingin meningkatkan penyaluran kredit investasi bagi masyarakat. Karena, pada dasarnya suku bunga kredit terbentuk melalui mekanisme pasar kekuatan demand-supply kredit, dan tergantung dari kebijakan tiap-tiap bank. Gambar 4.9. memperlihatkan pergerakan yang beriringan dari suku bunga kredit investasi Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa periode Januari 2001 hingga Desember 2006. Pergerakan yang beriringan ini menunjukkan persaingan dari ketiga kelompok bank tersebut dalam meraih pangsa pasar. Sejak Januari 2001 hingga April 2005, suku bunga kredit investasi tertinggi adalah milik BUSN Non Devisa yang berada pada kisaran rata-rata 17,65 persen dengan tingkat suku bunga yang ditawarkan antara 14-19 persen. Dalam periode yang sama, BUSN Devisa menempati posisi kedua tertinggi dengan kisaran suku bunga yang berfluktuatif pada 13-18 persen dan rata-rata suku bunga sebesar 16,48 persen. Sementara, Bank Persero menawarkan suku bunga kredit investasi yang terendah kepada debitur dalam periode yang sama, dengan posisi suku bunga pada kisaran 12-16 persen dan rata-rata sebesar 15,01 persen. 5 10 15 20 25 Ja n- 01 Ma y-0 1 Se p- 01 Ja n- 02 Ma y- 02 Se p-0 2 Ja n- 03 Ma y- 03 Se p-0 3 Ja n- 04 Ma y- 04 Se p- 04 Ja n- 05 Ma y- 05 Se p- 05 Ja n- 06 Ma y- 06 Se p-0 6 Periode P e rsen Suku Bunga Kredit Investasi Bank Persero Suku Bunga Kredit Investasi BUSN Devisa Suku Bunga Kredit Investasi BUSN Non Devisa Sumber : Bank Indonesia 2001-2006, diolah Gambar 4.9. Perkembangan Suku Bunga Kredit Investasi Trend penurunan suku bunga kredit investasi sempat dialami oleh Bank Persero, dimana sejak mencapai angka 14,99 persen pada Agustus 2003, suku bunga ini terus mengalami penurunan secara gradual dan mencapai titik terendah pada Mei 2005, yakni sebesar 12,69 persen. Namun, sejak September 2005, terjadi kenaikan cukup tajam pada suku bunga ini sebesar 1,02 persen dibandingkan Agustus 2005 menjadi 13,77 persen dan sejak saat itu terjadi trend peningkatan suku bunga kredit investasi Bank Persero dan berfluktuasi pada kisaran empat belas persen. Trend peningkatan suku bunga kredit investasi ini tidak hanya dialami oleh Bank Persero, tetapi juga oleh kedua kelompok bank lainnya, dimana dalam kurun waktu lima bulan Agustus 2005 hingga Desember 2005 suku bunga kredit investasi BUSN Devisa melonjak tajam sebesar 2,88 persen. Sementara, BUSN Non Devisa menunjukkan trend peningkatan suku bunga yang stabil tanpa lonjakan. Trend peningkatan suku bunga kredit investasi ini disinyalir karena meningkatnya suku bunga SBI akibat kenaikan harga BBM yang otomatis meningkatkan tingkat inflasi yang dijadikan sebagai salah satu acuan perbankan dalam menetapkan suku bunga kreditnya. Kondisi ini terus berlangsung hingga semester pertama tahun 2006. Seiring dengan semakin membaiknya kondisi makroekonomi pada semester kedua tahun 2006 yang ditandai dengan penurunan suku bunga SBI membawa dampak positif bagi pergerakan suku bunga kredit investasi ketiga kelompok bank ini yang mulai bergerak lebih stabil pada periode tersebut, tetapi tingkat bunga tersebut masih dirasakan tinggi oleh debitur. Pada Desember 2006, suku bunga kredit investasi bagi Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa masing-masing sebesar 14,07 persen, 15,03 persen, dan 15,19 persen. Tingkat risiko yang dinilai perbankan masih tinggi akibat belum begitu membaiknya iklim investasi dan terbatasnya infrastruktur mengakibatkan penurunan suku bunga SBI tidak langsung direspon secara proporsional oleh penurunan suku bunga kredit. Tingginya tingkat risiko salah satunya tercermin pada suku bunga kredit investasi yang masih tinggi. Perlu diketahui bahwa dalam kenyataannya Bank Persero memainkan peranan sebagai acuan bank-bank lain dalam pergerakan suku bunga kreditnya. Misalnya, jika Bank Persero itu menurunkan suku bunga kreditnya, maka akan diikuti oleh bank-bank lain termasuk bank-bank swasta yang sesungguhnya merupakan follower di pasar.

V. RESPONSIFITAS KREDIT INVESTASI 5.1.

Analisis Rasio Rentabilitas Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa analisis rasio rentabilitas merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas dari suatu bank, serta merupakan indikator untuk melihat tingkat kesehatan bank. Dalam penelitian ini, akan dianalisis bagaimana perbandingan kinerja Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa dalam kaitannya dengan tingkat kesehatan bank pada periode penelitian dari Januari 2001 hingga Desember 2006. Adapun rasio yang digunakan dalam analisis rasio rentabilitas ini dibatasi hanya pada rasio Return on Assets ROA dan Return on Equity ROE. Kedua rasio ini erat kaitannya dengan kemampuan bank dalam menghasilkan laba yang cukup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya dengan cara menjaga kualitas asetnya dengan baik, serta memelihara kecukupan modalnya. Berdasarkan SE No.623DPNP tanggal 31 Mei 2004 yang terdapat dalam Statistik Perbankan Indonesia 2006, adapun perhitungan rasio ROA adalah laba sebelum pajak disetahunkan dibagi rata-rata total aset. Sementara, perhitungan rasio ROE adalah laba bersih dibagi modal. Dalam prakteknya, berkaitan dengan tingkat kesehatan suatu bank, Bank Indonesia lebih mementingkan penilaian ROA dan tidak mempublikasikan penilaian ROE. Hal ini dikarenakan Bank Indonesia lebih mengutamakan nilai profitabilitas suatu bank yang diukur dengan aset dibandingkan modal, sebab sumber dana aset sebagian besar berasal dari dana simpanan masyarakat.