dibandingkan dua kelompok bank sebelumnya hal ini karena BUSN Non Devisa merupakan kelompok bank skala kecil dengan permodalan yang rendah.
Perolehan profit berdasarkan rasio ROA pun cenderung tidak sustain dari periode ke periode, tetapi pada tahun 2006 tampak ROA mengalami peningkatan yang
cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya hingga ke posisi 2,08 persen. Namun, jika dibandingkan dengan dua kelompok bank sebelumnya, ternyata LDR
BUSN Non Devisa paling tinggi. Hal ini mencerminkan bahwa fungsi intermediasi paling baik ditunjukkan oleh kelompok bank ini karena sebagian
besar dana dari masyarakat yang diperoleh disalurkan bagi kegiatan kredit. Tabel 1.3. Kinerja BUSN Non Devisa 2001-2006 Miliar Rp.
Indikator Des
2001 Des
2002 Des
2003 Des
2004 Des
2005 Des
2006
CAR - Modal Capital
- ATMR Risk Weighted
Assets
20,57 2.408
11.706 16,94
2.348 13.864
14,99 2.753
18.369 16,30
2.728 16.732
15,32 2.114
13.802 19,27
3.459 17.951
Rentabilitas Profitability
- ROA - BOPO
1,97 91,65
2,17 90,27
0,95 95,33
2,79 83,94
0,96 97,48
2,08 92,25
Likuiditas Liquidity
Aktiva terhadap Pasiva- Likuid
LDR - Kredit
- DPK 59,45
9.748 16.395
59,39 11.574
19.487 62,74
14.526 23.151
1,78 68,74
15.101 21.970
1,54 82,48
16.842 20.419
2,49 78,26
19.114 24.423
Sumber : Bank Indonesia, 2006
1.2. Perumusan Masalah
Keinginan Bank Indonesia agar penyaluran kredit investasi semakin meningkat belum juga terwujud. Pada tahun 2006, pertumbuhan kredit investasi
Bank Umum hanya sebesar 12,51 persen, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2005 sebesar 13,2 persen Bank Indonesia, 2006. Sementara itu,
turunnya gairah investasi tidak hanya disebabkan oleh tingginya biaya investasi karena tingginya suku bunga kredit, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor bencana
alam yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia dalam semester pertama 2006 Zetha dan Tambunan, 2006. Rusak dan tidak kondusifnya infrastruktur jalan
raya di banyak tempat menunda para investor untuk segera menanamkan modalnya untuk suatu kegiatan produksi. Realisasi penanaman modal domestik
periode Januari-November 2006 bahkan mengalami penurunan sebesar 37,1 persen terhadap periode yang sama tahun 2005 Zetha dan Tambunan, 2006.
Tabel 1.4. Kredit Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN Non Devisa Berdasarkan Jenis Penggunaan Miliar Rp.
Jenis Penggunaan Type of Use
Des 2001
Des 2002
Des 2003
Des 2004
Des 2005
Des 2006
Bank Persero - Modal Kerja
- Investasi - Konsumsi
59.584 39.367
22.545 76.404
44.776 29.453
83.734 49.648
43.755 106.820
59.314 56.721
122.724 61.413
72.276
148.675 62.928
76.307
BUSN Devisa - Modal Kerja
- Investasi - Konsumsi
54.673 24.750
16.156 71.184
29.436 25.099
89.225 35.974
34.760 109.726
47.488 51.962
140.508 57.821
79.262
165.997 67.699
81.561
BUSN Non Devisa - Modal Kerja
- Investasi - Konsumsi
3.963 1.358
4.426 5.062
1.127 5.384
6.444 1.752
6.330 6.181
1.814 7.106
6.693 2.142
8.007 7.861
1.836 9.417
Sumber : Bank Indonesia, 2006
Berdasarkan Tabel 1.4., perkembangan kredit yang disalurkan oleh Bank Persero sejak tahun 2001 didominasi oleh kredit modal kerja. Kredit investasi
menempati posisi kedua hingga tahun 2004, tetapi mulai tahun 2005 terjadi pergeseran posisi antara kredit investasi dan kredit konsumsi. Penyaluran kredit
investasi mulai menempati posisi ketiga. Hal ini terus berlangsung hingga tahun 2006 dimana kredit investasi yang disalurkan hanya Rp. 62.928 miliar. Sementara,
kredit konsumsi menunjukkan trend yang semakin meningkat. Peningkatan terbesar kredit konsumsi terjadi pada tahun 2005 dibandingkan dengan tahun
2004, yakni sebesar Rp. 15.555 miliar. Adapun pangsa masing-masing jenis kredit pada Bank Persero tahun 2006, yakni KMK sebesar 51,64 persen, kredit investasi
sebesar 21,86 persen, dan kredit konsumsi sebesar 26,5 persen dari keseluruhan kredit yang disalurkan. Pada tahun 2006, pertumbuhan kredit investasi terbilang
rendah, yakni sebesar 2,47 persen. Hal serupa juga terjadi pada BUSN Devisa. Kredit yang menempati posisi
utama adalah kredit modal kerja, dan terjadi pula pergeseran antara kredit investasi dengan kredit konsumsi. Hanya saja, pergeseran yang terjadi lebih cepat
dibandingkan Bank Persero, yakni pada tahun 2004. Meskipun demikian, pada tahun 2006 kredit investasi BUSN Devisa tumbuh cukup signifikan sebesar 17,08
persen dengan pangsa sebesar 21,47 persen sementara pangsa KMK dan kredit konsumsi pada tahun yang sama masing-masing sebesar 52,65 dan 25,87.
Pada BUSN Non Devisa, kredit yang disalurkan didominasi oleh kredit konsumsi kecuali pada Desember 2003 dimana kredit modal kerja lebih besar daripada
kredit konsumsi. Kredit investasi yang disalurkan oleh kelompok bank ini sangat kecil dibandingkan dengan dua kelompok bank sebelumnya. Pada tahun 2006,
kredit investasi hanya sebesar Rp. 1.836 miliar atau dengan pangsa hanya sebesar 9,6 persen sedangkan pada tahun yang sama pangsa KMK dan kredit konsumsi
masing-masing sebesar 41,13 dan 49,27. Proporsi penyaluran kredit investasi kurang dari seperlima kredit konsumsi proporsi yang sangat tidak berimbang.
Pertumbuhan kredit investasi pun -14,29 persen pada tahun 2006.
Perlu diketahui pula, bahwa kredit investasi yang disalurkan juga erat kaitannya dengan kemampuan bank tersebut dalam mengelola kredit yang
bermasalah. Hal ini ditunjukkan oleh rasio NPL bank tersebut. Semakin rendah rasio NPL, maka semakin baik kinerja bank tersebut dalam mengaplikasikan
kredit berkualitas lancar kepada masyarakat. Tabel 1.5. Rasio Non Performing Loan Bank Persero, BUSN Devisa, dan BUSN
Non Devisa Persen
Jenis Bank Umum Des
2001 Des
2002 Des
2003 Des
2004 Des
2005 Des
2006 Bank Persero
7,27 6,03
7,31 5,88
14,75 10,70
BUSN Devisa 10,33
5,83 5,52
2,96 3,22
3,69 BUSN Non Devisa
4,26 3,96
3,62 4,05
4,34 3,11
Sumber : Bank Indonesia, 2006
Berdasarkan Tabel 1.5. diketahui bahwa sepanjang periode penelitian, NPL Bank Persero berada pada kisaran 5-15 persen cenderung mengalami
peningkatan NPL pada akhir periode penelitian, bahkan mencapai angka tertinggi 14,75 persen pada tahun 2005. Sementara itu, rasio NPL BUSN Devisa dan Non
Devisa tampak lebih baik dan stabil dibandingkan Bank Persero. Meskipun sempat menembus angka sepuluh persen pada tahun 2001, tetapi BUSN Devisa
tampak lebih konsisten dalam meminimalisir kredit bermasalahnya. Pada tahun 2006, rasio NPL tercatat sebesar 3,69 persen. Secara keseluruhan, upaya
meminimalisir kredit bermasalah paling baik ditunjukkan oleh BUSN Non Devisa. Sejak tahun 2001 hingga tahun 2006, BUSN Non Devisa berhasil
menjaga posisi rasio NPL untuk berada di bawah lima persen. Bahkan, rasio NPL pada tahun 2006 lebih baik dibandingkan tahun 2005, yakni 3,11 persen.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, fenomena rendahnya kredit investasi sebagai salah satu sumber pembiayaan investasi dapat menurunkan
gairah investasi yang pada akhirnya memiliki implikasi terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia. Menurut Bank Indonesia 2006, pada triwulan pertama
2006 pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 4,8 persen. Pertumbuhan ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi triwulan pertama
tahun 2005, yakni 6,25 persen. Namun, perlu diketahui bahwa pertumbuhan yang cukup tinggi pada masa tersebut tidak didukung dengan perbaikan fundamental
ekonomi, atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas karena tidak diikuti dengan perbaikan di sektor riil. Salah satu penyebab hal ini adalah
rendahnya minat masyarakat berinvestasi terkait dengan pesimistis pasar terhadap prospek bisnis di Indonesia Sugema, et. al., 2005. Kemudian, pada triwulan ke-
dua 2006, pertumbuhan ekonomi turun drastis, yakni sebesar 5,08 persen. Pada triwulan ke-tiga 2006, pertumbuhan ekonomi sedikit mengalami peningkatan,
yakni sebesar 5,52 persen. Tetapi, perlu diketahui bahwa dalam penelitian ini, pertumbuhan ekonomi hanya akan dispesifikasikan pada pertumbuhan produksi.
Produksi sektor industri merupakan bagian dari sektor ekonomi yang salah satu sumber pembiayaannya terlibat secara langsung dengan kredit perbankan.
Semakin baiknya kinerja sektor produksi akan memudahkan perbankan untuk mengevaluasi rencana proyek investasi yang diajukan sehingga kredit investasi
yang disalurkan pun akan meningkat dan diharapkan dengan semakin tingginya pertumbuhan produksi dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara agregat.
Beberapa bukti kongkrit yang dipaparkan di atas memberikan sedikit wacana mengenai kondisi penyaluran kredit investasi yang rendah dari Bank
Persero, BUSN Devisa, serta BUSN Non Devisa, serta implikasinya secara luas terhadap perekonomian secara agregat. Kondisi seperti ini jelas dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih baik. Jika perbankan nasional tidak segera merangsang pertumbuhan dan menstimulus kredit investasi,
maka intermediasi perbankan dan kebangkitan sektor produksi tidak tumbuh secara optimal.
Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana kinerja Bank Persero dan Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa dalam kaitannya dengan kesehatan bank indikator ROA dan
ROE ? 2. Bagaimana kaitan antara penyaluran kredit investasi Bank Persero dan Bank
Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa dengan realisasi investasi? 3. Bagaimana pengaruh hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara
kredit investasi dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada Bank Persero dan Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa? Faktor-
faktor tersebut, yakni suku bunga SBI, suku bunga kredit investasi, pertumbuhan produksi dengan menggunakan indeks Industrial Production,
Dana Pihak Ketiga DPK, dan Non Performing Loan NPL. 4. Bagaimana peranan kredit investasi Bank Persero dan Bank Umum Swasta
Nasional Devisa dan Non Devisa terhadap pertumbuhan produksi Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian