Keterbaruan Penelitian Intersepsi dan Perkembangannya

6 energi, dan massa pada sistem hutan tropika basah dan metodologi kuantifikasi peranan hutan terhadap stabilitas lingkungan. Dari sisi implementasi, penelitian ini diharapkan menjadi masukan dalam rangka pengelolaan sumber daya hutan di kawasan tropis dan lebih spesifik pada penguatan pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu sebagai bagian dari cagar biosfer.

1.3 Keterbaruan

Kajian ini merupakan pengembangan kerangka analisis intersepsi hujan sebagai satu kesatuan komponen daur hidrologi yang mengintegrasikan antara faktor fisik hujan dan faktor biologi vegetasi. Karena itu kajian ini menjelaskan secara spesifik antara intersepsi hujan dengan dinamika energi dan massa. II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Intersepsi dan Perkembangannya

Intersepsi hujan merupakan bagian hujan yang tertahan di permukaan vegetasi dan dievaporasikan ke atmosfier sebelum mencapai permukaan tanah. Pada beberapa literatur proses hidrologi ini sering juga disebut interception loss. Penelitian tentang intersepsi hujan telah lama mendapat perhatian bagi ahli hidrologi seperti yang dilakukan oleh Horton 1919 pada tanaman Fagus grandifolia diacu dalam Price dan Moses 2003, Delf 1955 dan Molchanov 1966 pada hutan di kawasan Eropa diacu dalam Monteith 1975, Zinke 1967 pada hutan alam, semak dan rumput diacu dalam Ramirez dan Senarath 1999 dan Xiao et al. 2000, Solo 1980, diacu dalam Kaimuddin 1994 pada tegakan tusam dan puspa di Gunung Walat Sukabumi, Di kawasan yang sama, Kaimuddin 1994 melakukan kajian intersepsi pada tegakan pinus, agathis dan schima. Ruslan 1983 pada tegakan tusam, sungki dan hutan alam DAS Riam kanan Kalimantan Selatan, Secara umum penelitian ini berorientasi pada penentuan besaran kuantitatif curah hujan yang tiba di permukaan tanah dan atau curah hujan yang diintersepsi vegetasi. Monteith 1975 dan Xiao et al. 2000 mencatat hasil penelitian intersepsi hujan pada hutan alam yang dilaksanakan oleh Zinke 1967 yaitu 15 - 40 dari curah hujan tahunan. Bruijnzeel dan Critchley 1994 mendapatkan intersepsi hujan pada hutan tropis adalah 10-25 . Intersepsi hujan pada hutan alam di Kalimantan adalah 11 dari total hujan, nilai ini mengalami pengurangan menjadi 6 pada hutan yang telah diolah Asdak et al.1998. Chappell et al. 2001 melaporkan bahwa intersepsi hujan pada hutan alam di Sabah mencapai 19 dari total hujan. Price dan Moses 2003 pada penelitiannya di Canada mendapatkan nilai intersepsi hujan dari 28 kejadian hujan adalah 18,6 atau 48,3 mm dari total hujan 259,3 mm. Di Taman Nasional Lore Lindu tepatnya di Desa Nopu, doperoleh nilai intersepsi pada skunder adalah 23,5 dari total hujan dan berkurang mejadi 8,8 pada perkebunan kakao umur 8 - 12 tahun Anwar, 2004. Salah satu informasi penting dari hasil-hasil penelitian di atas adalah nilai intersepsi hujan bervariasi beradasarkan objek vegetasi, tempat dan waktu pengukuran. Variasi dari hasil-hasil tersebut meng- idikasikan adanya faktor yang mengendalikan intersepsi hujan. Hall 2003 mencatat ketergantungan intersepsi hujan karakter tajuk dan tipe hujan. Wells and Blake 1972 melaporkan bahwa, intersepsi hujan mengalami peningkatan pada awal hujan dan kemudian berkurang dengan bertambahnya 8 intensitas hujan, Jauh sebelumnya secara tegas oleh Horton 1919, diacu dalam Ramirez dan Senarath 1999; Price dan Moses 2003 mengemukakan bahwa intersepsi hujan berkaitan erat dengan kapasitas intersepsi tanaman yang ditentukan oleh luas daun dan indeks luas daun, intensitas hujan dan tegangan permukaan air. Ketiga pandangan di atas mengindikasikan bahwa, untuk mengenali mekanisme intersepsi hujan sekaligus menentukan besaran kuantitatif curah hujan yang tiba di tanah dan atau yang diintersepsi, pendekatannya harus terintegrasi antara sifat hujan dengan karakter vegetasi. Pandangan di atas secara tidak langsung meng- gambarkan faktor penyebab dari variasi nilai intersepsi hujan adalah sifat hujan dan karakter vegetasi. Gash 1979 menganalisis intersepsi hujan dengan mengintegrasikan antara komponen fisik hujan dan komponen biologi vegetasi. Apa yang dilakukan oleh Gash memiliki nilai strategis untuk menemu kenali faktor-faktor yang mengendalikan agihan hujan yang diterima oleh vegetasi. Terdapat dua hal penting pada kajian Gash yakni: i porsi curah hujan yang tiba di tanah ditentukan oleh kapasitas tajuk yang merupakan fungsi dari penutupan permukaan dan intensitas hujan dan ii porsi curah hujan yang diintersepsi berbeda menurut jeluk hujan. Terkait dengan hubungan antara intersepsi hujan dengan sifat hujan dan karakter vegetasi maka Gash 1979 membagi jeluk hujan menjadi dua yaitu : i curah hujan yang lebih kecil dari kapasistas tajuk, PPg dan ii curah hujan yang lebih besar dari kapasitas tajuk, PPg. Sesungguhnya penetapan kapasitas tajuk yang dilakukan oleh Gas 1979 bukanlah hal yang pertama karena parameter intersepsi ini sudah diper- hitungkan oleh beberapa peneliti lain jauh sebelumnya seperti yang dicatat oleh Monteith 1975, antara lain Stoltenberg and Wilson 1950, pada tanaman jagung; Burgy and Pomeroy 1958 pada rumput bercampur legum, Leyton 1967 pada hutan deceduous dan Merriam 1961 pada Lolium perenne. Dibandingkan dengan kajian intersepsi sebelumnya, kajian intersepsi yang di laksanakan oleh Gash 1979 adalah lebih maju karena mengintegrasikan antara komponen fisik sifat hujan dan komponen biologi karakter vegetasi sebagai satu kesatuan pada proses intersepsi hujan. Model Gash 1979 sesungguhnya merupa- kan penyederhanaan dari model analitik pendugaan intersepsi hujan yang di- kembangkan oleh Rutter dengan memanfaatkan laju evaporasi rata-rata dan intensitas hujan rata-rata harian dengan asumsi kejadian hujan hanya sekali sehari. Karena itu asumsi dasar yang dipergunakan pada model Gash adalah kejadian hujan pada hari hujan hanya dianggap satu kali. 9 Aplikasi model Gash pada pendugaan intersepsi hujan memerlukan beberapa variable tentang tajuk dan struktur tegakan yang direpresentasikan menjadi menjadi empat parameter yaitu kapasitas tajuk S dan kapasistas batang St, porositas tajuk p dan koefisien input batang pt. Keempat parameter ini menjadi data utama yang dibutuhkan untuk menentukan besaran curah hujan yang dibutuhkan untuk men- jenuhkan tajuk. Penggunaan data porositas tajuk sebagai elemen utama pada penentuan fraksi penutupan tajuk dinilai memiliki kelemahan karena secara tidak langsung, tajuk dinilai hanya satu lapis sehingga intersepsi hujan hanya dipengaruhi oleh bagian tajuk yang menerima langsung curah hujan. Kelemahan ini semakin nyata jika memperhatikan mekanisme terjadinya curahan tajuk yakni bagian hujan yang diterima pada puncak tajuk yang kemudian menjadi curahan tajuk, selanjutnya menjadi input pada lapisan tajuk di bawahnya. Proses ini akan berlangsung terus- menurus sampai air hujan mencapai tanah sebagai curahan tajuk. Kelemahan dari model Gash 1979 berdampak pada hasil prediksi intersepsi hujan yang kurang akurat terutama pada ekeosistem seperti hutan karena secara akutual terjadi pengurangan akibat pengaruh individu tajuk pohon. Calder 1996 mengembangkan model stokhastik dua lapis Gambar 1 sebagai pengembangan dari model stokhastik satu lapis. Model stokhastik dua lapis ini selain memperhatikan lapisan tajuk teratas juga mempertimbangkan lapisan di bawahnya yang menerima tumbukan dari butir hujan yang dihasilkan oleh curahan tajuk di atasnya. Pengembangan dan kalibrasi model intersepsi hujan stokastik dua lapis dan hubungannya dengan butir hujan yang dilakukan Calder 1996 walau di- komentari oleh Uijlenhoet dan Stricker 1999 yang menyatakan bahwa asumsi yang dipergunakan dengan mengabaikan variasi ukuran butir hujan berakibat pada tidak Gambar 1. Model fungsi intersepsi hujan stokhastik dua lapis a tajuk jarang dan b tajuk rapat 10 konsistennya model yang dikembangkan dan pada akhirnya berdampak serius ter- hadap out put model.

2.2 Intersepsi Hujan dan Aliran Massa