Intersepsi Hujan dan Pengaruhnya terhadap Pemindahan Energi dan Massa pada Hutan Tropika Basah Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu

(1)

I NTERSEPSI HUJAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP

PEMI NDAHAN ENERGI DAN MASSA PADA

HUTAN TROPI KA BASAH

STUDI KASUS TAMAN NASI ONAL LORE LI NDU

ABDUL RAUF

SEKOLAH PASCASARJANA

I NSTI TUT PERTANI AN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam Disertasi ini berjudul :

Intersepsi Hujan Dan Pengaruhnya Terhadap Pemindahan Energi Dan Massa pada Hutan Tropika Basah ” Studi Kasus di Taman Nasional Lore Lindu “

adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicamtumkan dalam Daftar Pustaka

Bogor, Nopember 2008

Abdul Rauf

G261030011


(3)

ABSTRACT

ABDUL RAUF Rainfall Interception and Effects to Energy and Mass Transfer in Tropical Rainforest “Case Study in Lore Lindu National Park” under Supervision Committee of HIDAYAT PAWITAN, CECEP KUSMANA, TANIA JUNE and GODE GRAVENHORST

Field observation of this research was conducted from June 2005 – May 2007 in tropical rainforest at Lore Lindu National Park Central Sulawesi. The main objectives of this research were to study (i) the relationships between interception loss and rainfall properties and vegetation characters and to determine the dominant factors affected (ii) the effect of rainfall interception on energy flux and mass transfer and (iii) the dynamics of vertical energy flux under the forest and grass land. Rainfall interception was 36.34 % of the gross rainfall with 200 rain days, Depth rainfall and LAI factors had strong effects on rainfall interception. The relationships could be expressed as Ic=0,99+0,24P+0,04LAI (R2 = 0.78). The output of this equation was compared with Gash model and the observation value showed that deviation of the equation was 1 % and less than Gash model, so that equation gave as good result as Gash model gave. By considering the data requirements and calculation procedures it was concluded that this equation is applicable for interception prediction. Land use type had effects on radiative and energy balance. Net radiation (Rn) in the forest was 10.66 MJ/m2/day and higher than in the grass land where incident global radiation was similar. Vertical latent heat flux in the forest was 9.53 MJ/m2/day or 89.40% Rn in rainy day and 8.41 MJ/m2/day or 74.56 % Rn in dry day, on the other hand, in the grass land, sensible heat flux was higher than latent heat flux of all weather condition. Direct effect of rainfall interception on energy flux and mass transfer it is needed latent heat 9.0 MJ/m2/rainy day to evaporate the rain intercepted 3.69 mm/rainy day. Effect of rainfall interception had positive correlation with latent heat flux and the negative correlation with sensible heat flux.

key word :rainfall interception, energy and mass transfer and tropical rainforest


(4)

RINGKASAN

ABDUL RAUF. Intersepsi Hujan dan Pengaruhnya Terhadap Pemindahan Energi Dan Massa pada Hutan Tropika Basah ” Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu” dibimbing oleh HIDAYAT PAWITAN, Tania June, CECEP KUSMANA, and GODE GRAVENHORST

Intersepsi hujan merupakan salah satu komponen hidrologi yang mengalami gangguan akibat alih fungsi lahan. Proses hidrologi ini tidak hanya penting dari sisi hidrologi terutama produksi air tetapi juga dari sisi meteorologi karena berkaitan dengan limpahan energi sehingga akan berdampak pada neraca energi. Untuk mengungkap fakta empiris peranan hutan terhadap lingkungan biofisik dan dampak yang akan timbul akibat deforestasi maka dilakukan kajian intersepsi hujan sebagai satu kesatuan daur hidrologi yang mengintegrasikan antara karakter vegetasi dan sifat hujan.

Penelitian ini merupakan pengembangan dari meteri penelitian kerjasama internasional tentang stsbility of rainforest margin (STORMA) di Taman Nasional Lore Lindu antara IPB dan Univ. Tadolako dari Indonesia dan Kassel Univ dan Gottingen Univ. dari German Tujuan penelitian ini adalah (i) mengkaji hubungan intersepsi hujan dengan karakter vegetasi dan sifat hujan, (ii) mengkaji dinamika energi pada penggunaan lahan yang berbeda, dan (iii) mengkaji pengaruh intersepsi hujan terhadap dinamika energi energi . Hasil yang diperoleh pada penelitian ini berupa (i) nilai intersepsi hujan dan parameter penduga intersepsi (ii) model pendugaan intersepsi hujan, (iii) besaran kuantitatif dan pola aliran vertikal energi pada hutan dan padang rumput melalui neraca radiasi. Diharapkan hasil yang diperoleh dapat memperkaya ilmu pengetahuan dan menjadi masukan pada pengelolaan hutan tropika basah secara umum, khususnya Tanaman Nasional Lore Lindu.

Penelitian lapangan dilakukan di hutan Babahaleka dalam Kawasan Taman Nasional Lore Lindu selama Mei 2005 – Juni 2007. Data yang dikumpulkan meliputi karakter vegetasi, curahan tajuk dan aliran batang pada plot sampling. Plot sampling dibuat dengan metode garis berpetak yang secara keseluruhan berjumlah 12 plot dengan ukuran masing masing 20*20 m. Jarak antar garis dan antar plot adalah 100 m. Adapun data meteorologi berupa curah hujan, radiasi neto, radiasi global diukur pada puncak kanopi hutan (48 m dari permukaan tanah) sedangkan data suhu dan kelembaban udara diukur pada tiga level ketinggian yaitu 24,36 dan 69 m dari permukaan tanah). Secara keseluruhan pengukuran tersebut dilakukan pada Tower klimatologi milik STORMA. Untuk melengkapi kajian tentang dinamika energi maka dilakukan pengukuran unsur meteorologi pada padang rumput berupa suhu udara, kelembaban udara pada ketinggian 0,3 dan 2 m dari permukaan tanah, radiasi neto dan radiasi global pada ketinggian 2 m dari permukaan tanah. Analisis dan sintesis data sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, dilakukan dengan mengadopsi dua metode yaitu intersepsi hujan dengan model Gash sedangkan dinamika energi dihitung dengan metode neraca energi bowen ratio (NEBR)

Secara umum kerapatan pohon di lokasi penelitian mencapai 246 batang/ha sedangkan kelompok permudaan hutan potensinya sangat besar yakni sebanyak 26275 pohon/ha. Adapun luas tajuk adalah 12,05-99,82 m2 dengan indeks luas daun (ILD) dan penutupan permukaan masing-masing 4,80 – 6,43 dan 68,5 ~ 92,5 %. Hasil pengukuran pada tahap I (Juni 2005 – Mei 2006) diperoleh curah hujan total sebanyak 1.888,9 mm dengan 200 hari hujan atau 9,4 mm per hari hujan. Di kawasan ini curah hujan didominasi oleh jeluk 1-5 mm/hh ( 34,5 % total hari hujan) dengan intensitas 1-10 mm/jam (72 % dari total


(5)

hari hujan) dan sifatnya cenderung konsisten pada tahap II (Juni 2006 – Mei 2007).

Pengukuran tahap I diperoleh intersepsi hujan sebanyak 36,34 % dari curah hujan tahunan, kapasitas tajuk sebanyak 1,17 mm, curah hujan yang dibutuhkan untuk menjenuhkan tajuk berdasarkan model Gash adalah 1,37 mm. Adapun pengukuran tahap II diperoleh intersepsi hujan sebanyak 601,3 mm dari total hujan sebanyak 1659 mm (36,25 %) dengan 181 hari hujan. Pada curah hujan <5 mm intersepsi hujan mencapai 61,2 % dan nilai ini mngalami penurunan secara nyata menjadi 27,1% pada curah hujan >20 mm. Melalui persamaan regresi antara sifat hujan dan karakter vegetasi dengan intersepsi hujan maka teridentifikasi faktor yang dominan mempengaruhi intersepsi hujan adalah jeluk hujan dan ILD. Hubungan matematika kedua faktor tersebut terhadap intersepsi hujan adalah Ic=0,99+0,24P+0,04LAI (R2 = 0,78). Nilai prediksi intersepsi hujan dari persamaan ini beserta nilai prediksi model Gash baik pada tahap I maupun pada tahap II menunjukkan beda dari persamaan tersebut terhadap hasil pengukuran langsung lebih kecil dibandingkan dengan model Gash. Ini berarti persamaan intersepsi hujan yang diperoleh layak dipergunakan untuk berbagai kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya air di kawasan Taman Nasional Lore Lindu.

Respon fisik suatu permukaan terhadap radiasi global (Rs) yang diterima dicirikan oleh nilai albedo (α). Nilai α hutan yang diperoleh pada penelitian ini adalah 8,1 - 14,2 % atau rata-rata 10,75 %. Ini berarti 89,25 % Rs yang diterima oleh hutan berpotensi disimpan menjadi energi yang tersedia (Rn). Pengukuran Rn pada hutan diperoleh rata-rata sebesar 10,66 MJ/m2/hari dengan kisaran

2,42 - 17,97 MJ/m2/hari pada cuaca hujan dan meningkat menjadi 11,28

MJ/m2/hari dengan kisaran 3,95 -19,42 MJ/m2/hari pada hari tidak hujan. Kedua nilai ini lebih tinggi dibandingan Rn pada padang rumput. Radiasi neto di rumput hari hujan rata-rata hanya 9,28 MJ/m2/hari dengan kisaran 1,59 -17,07 MJ/m2/hari sedangkan hari tidak hujan radiasi neto yang terukur adalah 9,95 MJ/m2/hari dengan kisaran 3,10 - 18,19 MJ/m2/hari. Pola diurnal radiasi neto baik pada hutan maupun padang rumput mengikuti pola radiasi global.

Perbedaan bentuk penggunaan lahan menunjukkan nilai bowen ratio (β) yang juga berbeda. Nilai β menggambarkan ratio energi yang dipergunakan untuk pemanasan udara (sensible heat, H) dengan energi yang dipergunakan untuk penguapan (latent heat, LE). Nilai β hutan adalah 0,11 pada hari hujan dan meningkat menjadi 0,30 pada hari tidak hujan. Ini mengindikasikan bahwa energi yang tersedia pada hutan dominan dipergunakan untuk penguapan. Kondisi sebaliknya yang terjadi pada padang rumput di mana nilai β adalah 1,4 baik hari hujan maupun tidak hujan. Fakta empiris dari nilai bowen ratio kedua bentuk penggunaan lahan mengindikasikan bahwa pemindahan massa uap air dari hutan ke atmosfir lebih besar dibandingkan dengan di padang rumput. Rangkaian dari proses fisik ini memungkinkan udara pada lapisan perbatas di hutan lebih sejuk dibandingkan dengan padang rumput. Terkait dengan intersepsi hujan yakni rata-rata sebanyak 3,67 mm/hari hujan maka diperlukan energi latent heat sebanyak 9,0 MJ/m2/hari. Dibandingkan dengan aliran latent heat selama periode hujan yakni 9,53 MJ/m2/hari maka dapat diartikan bahwa limpahan latent heat selama hari hujan 94,44 % dimanfaatkan untuk meng-evaporasikan air hujan yang diintersepsi hutan. Melalui regresi antara aliran

latent heat (LE) dan aliran sensible heat (H) dengan energi tersedia (Rn), maka diperoleh petunjuk bahwa peningkatan Rn menyebabkan aliran latent heat di hutan mengalami peningkatan yang lebih besar dibandingkan di padang rumput. Sebaliknya peningkatan energi yang tersedia menyebabkan aliran sensible heat di padang rumput mengalami peningkatan yang lebih besar dari hutan


(6)

Aspek strategis dari hasil penelitian ini terhadap pengelolaan hutan tropika basah dan secara khusus Taman Nasional Lore Lindu adalah mengendalikan deforestasi karena dampaknya akan meningkatkan air hujan yang tiba di permukaan tanah yang berpotensi menimbulkan banjir, selain itu juga berpotensi menimbulkan pemanasan udara. Kedua hal tersebut merupakan masalah serius dalam perubahan lingkungan. Karena itu disarankan agar kondisi hutan di Taman Nasional Lore Lindu dipertahankan atau ditingkatkan pengelolalaanya dengan menghindari alih fungsi hutan sekaligus mengaktifkan usaha konservasi yang menghasilkan penutupan permukaan oleh vegetasi permanen. Lokasi yang memerlukan penanganan diantaranya di kawasan Wanga, Torire dan Lembah Besoa.


(7)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyertakan sumber

a. Pengutipan karya untuk kepentinan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tiak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

INTERSEPSI HUJAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP

PEMINDAHAN ENERGI DAN MASSA PADA

HUTAN TROPIKA BASAH

STUDI KASUS TAMAN NASIONAL LORE LINDU

ABDUL RAUF

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Agroklimatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(9)

Ujian Terututup : 21 Okber 2008

Penguji luar komisi : Dr. Ir. Hendrayanto.M.Agr.

(Dekan Facultas Kehutanan IPB, Bogor) Ujian Terbuka : 18 Nopember 2008

Penguji luar komisi : Dr.Ir.Chay Asdak, M.Sc

(Staf Pengajar pada Fak.Pertanian Univ. Padjadjaran Bandung)

: Dr.Ir. Hadi S.Pasaribu, M.Sc.

(Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia)


(10)

Judul Disertasi : Intersepsi Hujan dan Pengaruhnya terhadap

Pemindahan Energi dan Massa pada

Hutan Tropika Basah

Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu

Nama

: Abdul Rauf

NIM

: G261030011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr Ir Hidayat Pawitan,M.Sc,E

Dr Ir Tania June, M.Sc.

K e t u a A n g g o t a

Prof. Dr Ir Cecep Kusmana, MS.

Prof. Gode Gravenhorst, Ph.D

A n g g o t a A n g g o t a

Diketahui

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Agroklimatologi

Dr Ir Sobri Efendi, M.Si . Prof Dr Ir Khairil A. Notodiputro,MS

Tanggal Ujian : 18 Nop 2008 Tgl Lulus :


(11)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan KaruniaNya sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini menguraikan hasil penelitian lapangan selama Juni 2005 – Mei 2007 dengan fokus pada Hidro-meteorologi hutan dengan judul Intersepsi Hujan dan Pengaruhnya terhadap Pemindahan Energi dan Massa pada Hutan Tropika Basah. Studi Kasus Taman Nasional Lore Lindu. Penelitian ini merupakan pengembangan dari kegiatan penelitian tentang Stability of Rainforest Margin (STORMA) kerja sama antara Indonesia dengan German.

Penghargaan yang setinggi-tingginya dan terima kasih sebesar-besarnya kami sampaikan kepada

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan,M.Sc.E Ibu Dr. Ir .Tania June, M.Sc. bapak Prof Dr Ir H. Cecep Kusmana, MS dan bapak Prof. Gode Gravenhorst, Ph.D. yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk mulai dari persiapan penelitian sampai pada penyelesaian disertasi.

2. Ketua Dep. Meteorologi dan Geofisika, ketua program studi Agroklimatologi besera segenap dosen dan karyawan di lingkungan program studi Agroklimatologi atas bantuan dan dukungannya selama kami mengikuti pendidikan.

3. Rektor Univ. Tadulako, Ketua Lembaga Penelitian UNTAD, Dekan Fakultas Pertanian beserta ketua Jurusan Budidaya Pertanian atas dukungannya kepada kami selama mengikuti pendidikan.

4. Koordinator STORMA beserta segenap pengelola kegiatan tersebut yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk memanfaatkan peralatan penelitian yang dimiliki STORMA di lokasi penelitian.

5. Dudin Sulaiman, Rikson, SP., Papa Ipon sekeluarga dan Ahmad sekeluarga atas bantuannya dalam pelaksanaan penelitian di lapangan sejak instalasi peralatan sampai dengan demoboliasasi alat.

6. PEMDA Kabupaten Sidrap atas bantuan biaya pendidikan yang diberikan kepada kami.

7. Kepada Isteriku yang tercinta Ir. Andi Rusiah dan Adinda Dra. A.Rusmini beserta ananda AR. Bhallasari dan A.Muhammad Risaldi AR disampaikan terima kasih atas segala pengorbanan, doa restu dan kasih sayang yang senantiasa diberikan selama mengikuti pendidikan. Hal serupa disampaikan


(12)

kepada seluruh keluarga lebih khusus kepada kedua orang tua kami beserta mertua yang kami cintai atas petunjuk , doa dan kasih sayang yang diberikan selama ini.

8. Teman-teman dalam lingkungan HIMPAS Sulawesi Tengah, seluruh anggota Wacana Prog. Studi Agroklimatologi IPB dan lainnya yang tidak sempat disebutkan namanya, kami menyampaikan terima kasih atas dorongan moril dan kebersamaannya selama ini.

Akhirnya semoga apa yang kami peroleh ini mendapat Ridha dari Yang Maha Kuasa sehingga dapat memberikan manfaat. Amin

Bogor, Nopember 2008


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pare-pare pada tanggal 21 Agustus 1960 sebagai putra tunggal dari pasangan H. Muhammad Mante dengan H. Budung.

Tahun 1979 penulis lulus dari SMA Neg 1 Rappang Kab. Sidrap provinsi Sulawesi Selatan dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan pada Fakultas Ilmu Pertanian di UNHAS dan lulus tahu 1985. Tahun 1991, penulis melanjutkan pendidikan pada Pascasarjana IPB pada program studi Agroklimatologi dengan beasiswa pendidikan pascasarjana dari DIKTI, Tahun 2003 penulis kembali mendapat kesempatan melajutkan pendidikan program doktor pada program studi yang sama dengan beasiswa dari DIKTI.

Setelah menyelesaikan pendidikan S1, penulis bekerja sebagai tenaga pengajar pada Fakultas Ilmu Pertanian Universitas Tadulako di Palu Sulawesi Tengah. Untuk membangun komunikasi keilmuan, maka penulis menjadi anggota Perhimpunan Metorologi Pertanian Indonesa (PERHIMPI) – Masyarakat Hidrologi Indonesia (MHI) dan Himpunan Ahli Teknik Hidrologi (HATHI). Selain itu penulis menjadi anggota tim peneliti pada penelitian kerja sama internasional, seperti UCE-CEPI antara Indonesia dengan Canada pada tahun 1997 – 1999 dibidang pengelolaan kawasan pesisir dan Stabilty of rainforest margin

(STORMA) kerja sama internasional bidang penelitian antara IPB-UNTAD- Kassel Univ. dan Gottingen Univ. Pada tahun 1999 - sekarang

Bogor, Nopember 2008


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

DAFTAR SIMBOL DAN SATUAN ... xxiii

I. PENDAHULUAN ... ... 1

1.1. Latar Belakang ... . 1

1.2. Tujuan dan Manfaat ... 5

1.3. Keterbaruan ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... ... 7

2.1. Perkembangan Penelitian Intersepsi Hujan ... 7

2.2. Intersepsi Hujan dan Aliran Massa ... 10

2.3. Pendungaan Intersepsi Hujan ... 12

2.4. Dinamika Energi ... 15

2.5. Neraca Energi ... 18

2.6. Neraca Energi Bowen Ratio ... ... 22

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 24

3.1. Kerangka Pemikiran ... 24

3.2. Waktu dan Tempat ... .... 25

3.3. Bahan dan Alat ... 26

3.4. Metode Penelitian... 26

3.5. Penyusunan Model Pendugaan Intersepsi Hujan ... 33

3.6. Pendugaan Intersepsi Hujan Model Gash ... 34

3.7. Evaluasi Nilai Hipotetik Model Intersepsi Hujan ... 37

3.8. Dinamika Energi ... 37

3.9. Simpanan Energi ... 39


(15)

IV. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 42

4.1. Aspek Legal Taman Nasional Lorel Lindu ... 42

4.2. Kondisi Biofisik Taman Nasional Lore Lindu ... 42

4.3. Program Kerja Sama Penelitian STORMA ... 46

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

5.1. Karakteristik Vegetasi ... 49

5.1.1. Struktur Tegakan ... 49

5.1.2. Sifat Tajuk ... 50

5.2. Sifat Hujan ... 52

5.2.1. Curah Hujan Bulanan dan Hari Hujan ... 52

5.2.2. Jeluk Hujan ... 53

5.2.3. Durasi Hujan ... 55

5.2.4. Intensitas Hujan ... 56

5.3. Mikrometeorologi Hutan ... 57

5.3.1 Suhu Udara ... 57

5.3.2. Kelembaban Udara ... 59

5.3.3 Tekanan Uap ... 62

5.3.4. Radiasi ... 64

5.4. Mikrometerologi Padang Rumput ... 65

5.4.1 Suhu Udara ... 65

5.4.2. Kelembaban Udara ... 66

5.4.3 Tekanan Uap ... 67

5.5. Curah Hujan Neto ... 70

5.5.1. Curahan Tajuk ... 70

5.5.2. Aliran Batang ... 72

5.6. Hubungan Intersepsi Hujan dengan Sifat hujan dan Vegetasi 75


(16)

5.7. Pendugaan Intersepsi Hujan Model Gash ... 78

5.7.1. Parameter dan Komponen Model ... 78

5.7.2. Intersepsi Model Gash ... 80

5.8. Aplikasi dan Evaluasi Persamaan Intersepsi dan Model Gash .. 80

5.9. Bowen Ratio ... 83

5.10 . Radiasi Global ... 84

5.11. Neraca Energi Bowen Ratio ... 85

5.12. Pemindahan Energi dan Massa ... 92

5.13. Simpanan Energi ... 97

5.14. Analisis Implementasi ... 99

VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

6.1. Kesimpulan ... 102

6.2. Saran ... 103

VII. DAFTAR PUSTAKA ... 105

VIII. LAMPRAN – LAMPIRAN ... 112


(17)

DAFTAR TABEL

No halaman

1. Kapasitas tajuk dan porositas tajuk pada hutan pegunungan

dataran redah ... 13 2 Albedo berbagai tipe permukaan ... 20 3. Rumus pendugaan komponen dan parameter intersepsi

model Gash ... 36 4. Karakteristik vegetasi di lokasi penelitian di Hutan Babahaleka

TNLL ... 51 5. Nilai INP pada hutan Babahaleka TNLL ... 51 6. Curah hujan bulanan dan jumlah hari hujan di hutan Babahaleka

TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 53 7 Curah hujan Bulanan dan jumlah hari hujan di hutan Babahaleka

TNLL (Juni 2005-Mei-2006) ... 54 8. Jeluk hujan pada setiap hari hujan di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005-Mei-2007) ... 55 9. Durasi hujan pada setiap hari hujan di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005-Mei-2007)... 56 10. Intensitas hujan pada setiap hari hujan di hutan Babahaleka TNLL

(Juni 2005-Mei-2007) ... 57 11 Suhu udara berbagai ketinggian dari permukaan tanah di hutan

Babahaleka TNLL ( Juni 2005 – Mei 2006) ... 58 12. Kelembaban relatif udara berbagai ketinggian dari permukaan tanah

di hutan Babahaleka TNLL ( Juni 2005 – Mei 2006) ... 60 13. Tekanan uap udara berbagai ketinggian dari permukaan tanah

di hutan Babahaleka TNLL ( Juni 2005 – Mei 2006) ... 62

14. Suhu udara pada padang rumput di Kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 65

15. Kelembaban udara pada padang rumput di Kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 67 16. Tekanan uap di udara pada padang rumput di Kawasan

Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 68 17. Persamaan empiris hubungan curahan tajuk dengan sifat hujan

dan karácter vegetasi ... 71


(18)

18. Persamaan empiris hubungan aliran batang dengan sifat hujan

dan carácter vegetasi ... 73 19 Nilai parameter intersepsi hujan model Gash ... 79

20. Perbandingan nilai hipotetik dan observasi intersepsi hujan di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 81

21. Perbandingan nilai hipotetik dan observasi intersepsi hujan

di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2006 – Mei 2007) ... 82 22. Nilai bowen ratio pada hutan dan padang rumput di kawasan

Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 83 23. Radiasi neto pada hutan dan padang rumput di kawasan

Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 86 24. Persamaan matematika hubungan radiasi neto dengan

radiasi global untuk di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 88 25. Neraca energi pada hutan dan padang rumput untuk di

kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 89 26 Aliran energi dan massa ... 95


(19)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Model fungsi intersepsi hujan stokastik dua lapis ... 9

2. Agihan hujan pada proses intersepsi hujan ... 11

3. Kerangka pemikiran pemindahan energi dan massa ... 24

4. Peta lokasi penelitian di Taman Nasional Lore Lindu ... 25

5. Sketsa plot sampling pengamatan komposisi vegetasi dan pengukuran proyeksi tajuk pohon di lapangan ... 28

6 Stasiun pengamat cuaca penelitian STORMA di Kawasan Babahaleka TNLL ... 30

7. Pengukuran curahan tajuk dan aliran batang beserta instrumen yang dipergunakan di Kawasan Babahaleka TNLL ... 30

8 Diagram analisis intersepsi hujan ... 38

9. Diagram analisis aliran energi ... 41

10. Peta kawasan Taman Nasional Lore Lindu ... 44

11. Peta penggunaan lahan kawasan Taman Nasional Lore Lindu ... 45

12. Peta distribusi pengukuran cuaca di Taman Nasional Lore Lindu 46 13. Struktur vegetasi di lokasi penelitian ... 50

14. Curah hujan bulanan dan jumlah hari hujan priode 2002-2004... 54

15. Diurnal suhu udara rataan (C) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada hutan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 58

16 Diurnal suhu udara berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada hutan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) . 59 17. Diurnal kelembaban relatif udara rataan (%) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada hutan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 60

18. Diurnal kelembaban relatif udara (%) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada hutan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 61

19. Diurnal defisit tekanan uap rataan (Pa) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada hutan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 62


(20)

20. Diurnal defisit tekanan uap (Pa) berbagai ketinggian dari

permukaan tanah pada hutan di kawasan Babahaleka TNLL

(Juni 2005 – Mei 2006) ... 63

21. Neracara radiasi pada hutan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 64

22. Dirunal radiasi neto (W/m2) pada hutan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 64

23. Diurnal suhu udara rataan (C) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada padang rumput di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 65

24. Diurnal suhu udara (C) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada padang rumput di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 66

25. Diurnal kelembaban relatif udara rataan (%) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada padang rumput di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 67

26 Diurnal kelembaban relatif udara (%) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada padang rumput di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 68

27. Diurnal defisit tekanan uap rataan (Pa) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada padang rumput di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 69

28 Diurnal defisit tekanan uap rataan (Pa) berbagai ketinggian dari permukaan tanah pada padang rumput di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 69

29. Hubungan antara curahan tajuk dengan jeluk hujan dan ILD... 70

30. Hasil uji persamaan pendugaan curahan tajuk ... 72

31. Hubungan aliran batang dengan jeluk hujan dan ILD ... 73

32. Hasil uji persamaan pendugaan aliran batang ... 74

33 Hubungan intersepsi hujan dengan jeluk hujan dan ILD ... 75

34 Hasil uji persamaan pendugaan intersepsi hujan ... 76

35 Hubungan intersepsi hujan dengan jeluk hujan pada berbagai carácter vegetasi ... 77

36. Hubungan curahan tajuk dengan curah hujan ... 78

37 Sebaran nilai albedo hutan dan padang rumput pada hari hujan dan tidak hujan ... 84


(21)

38. Penerimaan radiasi global ... 85 39. Diurnal radiasi global pada hutan dan Madang rumput di

kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 85 40. Diurnal radiasi neto rataan (W/m2) pada hutan dan padang rumput

di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 87 41. Hubungan antara nilai hipotetik dan observasi radiasi neto

pada padang rumput ... 88 42. Hubungan antara nilai hipotetik dan observasi radiasi neto

pada hutan ... 89 43. Neraca energi pada sitem pada hutan dan paang rumput di kawasan

Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 89 44 Hubungan aliran latent heat dengan ketersediaan energi pada

pada hari hujan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 90 45 Hubungan aliran sensible heat dengan ketersediaan energi pada

hari hujan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 90 46 Hubungan aliran latent heat dengan ketersediaan energi pada

pada hari tidak hujan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 91

47 Hubungan aliran sensible heat dengan ketersediaan energi pada

hari tidak hujan di kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 91

48. Diurnal aliran sensible heat pada hari hujan ... 92 49. Diurnal suhu udara dan tekanan uap pada hari hujan di hutan

Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 93 50. Diurnal suhu udara dan tekanan uap pada padang rumput di

Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 93 51. Diurnal aliran latent heat pada sistem vegetasi di kawasan

Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2005) ... 94 52. Diurnal aliran sensible heat ke tanah di kawasan Babahaleka

TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 96 53 Diurnal perubahan simpanan energi latent heat dan sensible heat 98


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

No halaman 1 Karakteristik pohon sampel intersepsi hujan di kawasan hutan

Babahaleka TNLL ... 113 2. Diurnal suhu udara dan kelembaban relatif udara pada berbagai

ketinggian di atas permukaan tanah di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 114

3. Diurnal tekanan uap berbagai ketinggian di atas permukaan tanah di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006) ... 115

4. Diurnal neraca radiasi pada hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 Mei 2006)... 116

5. Diurnal suhu udara dan kelembaban relatif udara pada di atas permukaan tanah pada padang rumput Babahaleka TNLL (Juni 2005 - Mei 2006)... 117 6. Diurnal tkanan uap udara pada dua ketinggian di atas permukaan

padang rumput Kawasan Babahaleka TNLL (Juni 2005 - Mei 2006)... 118 7 Diurnal radiasi neto dan radiasi global pada padang rumput ... 119 8 Curahan tajuk pada berbagai sifat hujan

priode Juni 2005-Mei 2006 ... 120

9 Aliran batang pada berbagai sifat hujan di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005-Mei 2006) ... 121

10. Intersepsi hujan pada berbagai sifat hujan di hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005-Mei 2006) ... 122

11. Curahan tajuk pada berbagai sifat hujan di hutan Babahaleka TNLL ( Juni 2006-Mei 2007) ... 123

12 Aliran batang pada berbagai sifat hujan i hutan Babahaleka TNLL ( Juni 2006-Mei 2007 ... 124

13 Intersepsi hujan pada berbagai sifat hujan di hutan Babahaleka TNLL ( Juni 2006-Mei 2007)... 125

14 Neraca energi pada hutan Babahaleka TNLL ( Juni 2005-Mei 2006)... 126

15. Neraca energi pada padang rumput Babahaleka TNLL ( Juni 2005-Mei 2006)... 127

16. Simpanan energi pada hutan... 128


(23)

DAFTAR SIMBOL DAN SATUAN

α

Albedo

%

β

Bowen ratio

ρ

Kerapatan udara

Kg/m

3

Konstante physicometric

c

Fraksi penutupan tajuk

Cp

Kapasistas panas udara

1012 J/Kg C

DBH

Diamater batang

cm

E Evapotrasnpirasi

mm

ea

Tekanan uap aktual

kPa

es

Tekanan uap jenuh

kPa

G Penasan

tanah

W/m

2

, MJ/m

2

/hari

H

Sensible heat

W/m

2

, MJ/m

2

/hari

I Intensitas

hujan

mm/jam

Ic Intersepsi

hujan

mm

ILD

Indeks luas daun

Km

Kesalahan

model

%

LB

Lilit

batang

cm

LE

Latent heat

W/m

2

, MJ/m

2

/hari

LT

Luas

Tajuk

m

2

P Jeluk

hujan

mm

p Porositas

tajuk

Pg’

Curah hujan untuk penjenuhan tajuk

mm

Pn

Curah hujan neto

mm

pt

Koefisien input batang

R

:konstante gas

(287J/kg/K)

Rc Nilai

hipotetik

Ri

Nlai observasi

RH

Kelembaban

relatif

%

Rs Radiasi

global

W/m

2

, MJ/m

2

/hari

S Kapasitas

tajuk

mm

Sa Simpanan

sensible heat

W/m

2

, MJ/m

2

/hari

Sf Aliran

batang

mm

Sg Simpanan

soil heat

W/m

2

, MJ/m

2

/hari

St Kapasitas

simpan

bantang

mm

Sw

Simpanan

latent heat

W/m

2

, MJ/m

2

/hari

T Suhu

oC,

K

Tf Aliran

batang

mm

v

Volume air hujan pada kolektor Tf

cm

3

q

Vulume air hjan pda kolektor Sf

cm

3

Z

Ketinggian dari permukaan tanah

m


(24)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak dekade terakhir, perubahan lingkungan menjadi salah satu isyu utama dalam pembangunan. Sejalan dengan menguatnya isyu tersebut dan kekhawatiran terhadap dampak negatif yang ditimbulkan, maka sejumlah ahli, peneliti dan pemer-hati lingkungan melakukan kajian terkait dengan perubahan lingkungan global. Hasil kajian yang telah dilakukan oleh Kalthoff et al. (1999), Pielke (2001), Twine et al. (2004), dan Tomo’omi Kumagai et al.(2004), secara umum dapat disimpulkan bahwa perubahan lingkungan global memiliki keterkaitan dengan adanya gangguan pada sistem pemindahan energi dan massa antara bumi dengan atmosfir. Penyebab dari gangguan tersebut dideskripsikan menjadi dua yaitu (i) alih fungsi lahan dan (ii) produksi gas rumah kaca.

Deforestasi merupakan bentuk alih fungsi lahan yang banyak mendapat per-hatian karena diposisikan sebagai salah satu penyebab perubahan lingkungan global. Ini dapat dipahami, karena hutan memiliki peranan strategis terhadap lingkungan biofisik. Choudhury et al. (1998) menegaskan bahwa hutan tropika memiliki pengaruh nyata terhadap iklim global dan siklus air global. Selain itu hutan tropika memiliki peranan penting terhadap siklus karbon di alam, karena mampu menyimpan karbon yang mencapai 81% dari karbon yang ada di alam termasuk 28 % yang disimpan dalam tanah (Salomon et al. 1993). Pandangan lain yang me-nyatakan bahwa perubahan lingkungan global berawal dari terjadinya pemanasan global sebagai akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir. Secara teoritis, berdasarkan sifat dari gas tersebut maka keberadaan gas rumah kaca di atmosfir memungkinkan terjadi perubahan pada pertukaran dan pemindahan energi dan radiasi sehingga menimbulkan efek pada neraca radiasi dan energi. Kedua pandangan di atas menunjukkan bahwa perubahan lingkungan global, merupakan masalah internasional sehingga penanganannya diperlukan keterlibatan banyak pihak. Karena itu perubahan lingkungan global menjadi agenda politik internasional dengan dibentuknya UNFCCC (United Nation Framework on Climate Change Conference) dengan pertemuan akbar tahunannya, seperti COP 13 Desember 2007 di Bali. Berbagai upaya yang dilaksanakan untuk menyamakan presepsi tentang masalah tersebut termasuk langkah dan strategi, baik dalam konteks adaptasi maupun mitigasi terhadap perubahan lingkungan global.


(25)

Laporan FAO (1993) menunjukkan bahwa secara global luas permukaan bumi yang saat ini yang masih tertutupi oleh hutan tinggal 12 %. Khusus di Indonesia sejak tahun 1990 – 2000 rata-rata deforestasi setiap tahun mencapai 1,3 juta ha. atau 1,2 % dari luas hutan yang ada dan selama periode tersebut laju deforestasi mencapai 0,2 % per tahun (FAO 2003). Data Badan Planologi Kehutanan (2000) menunjukkan luas hutan daratan di Indonesia saat ini hanya 104,89 juta ha (tidak termasuk SUMUT, Riau dan Kalimantan Tengah). Sedangkan ketiga provinsi tersebut sesuai dengan TGHK tahun 1999, luas hutannya mencapai 18,49 juta ha.

Secara teoritis perubahan penggunaan lahan menyebabkan perubahan sifat dan karakter permukaan. Rangkaian perubahan yang terjadi pada perubahan penggunaan lahan memungkinkan terjadi gangguan pada sistem pertukaran dan atau pemindahan energi, dan massa antara permukaan yang bersangkutan dengan lingkungannya. Kondisi ini berdampak pada perubahan fungsi hidrologi dan fungsi meteorologi yang pada akhirnya akan menimbulkan dampak pada kondisi lingkungan yang lebih luas, antara lain banjir, kekeringan, longsor, udara panas dan kering serta degradasi biodiversiti.

Secara mekanistik curah hujan yang diterima oleh vegetasi akan mengalami satu atau lebih dari daur hidrologi berikut yaitu:

a.

diteruskan ke tanah melalui tajuk atau celah tajuk (curahan tajuk)

b.

diteruskan ke tanah melalui batang (aliran batang) dan

c.

dievaporasikan ke atmosfir sebelum mencapai permukaan tanah (intersepsi) Ketiga proses tersebut menunjukkan bahwa keberadaan vegetasi pada suatu per-mukaan berpengaruh pada:

a. Aspek hidrologi, berupa

1) Jumlah hujan yang tiba di permukaan tanah

2) laju penerimaan hujan yang tiba di permukaan tanah 3) Kandungan energi kinetik curah hujan

4) Distribusi pembasahan permukaan tanah

5) Menghambat transpirasi tetapi meningkatkan evapotranspirasi

b. Aspek meteorologi terjadi pertukaran energi dan pemindahan massa antara sistem vegetasi dengan lingkungannya.

Pengaruh lain yang potensil terjadi akibat perubahan sifat dan karakter permukaan adalah respon permukaan terhadap dinamika radiasi dan energi akibat dari perubahan albedo dan sifat termal.


(26)

3

Uraian di atas menggambarkan bahwa deforestasi akan menimbulkan masalah yang kompleks tidak hanya pada prilaku air yang tiba di lantai hutan tetapi juga berdampak pada pemindahan energi dan massa. Intersepsi hujan merupakan bagian dari komponen hidrologi yang potensial mengalami perubahan akibat perubahan sifat dan karakter permukaan yang ditimbulkan dari alih fungsi lahan. Proses fisik ini merupakan kehilangan air hujan yang diterima oleh vegetasi karena dievaporasikan sebelum mencapai lantai hutan. Karena itu perubahan nilai intersepsi hujan selain berpengaruh pada prilaku air yang akan mencapai lantai hutan juga berdampak pada pertukaran dan aliran energi antara hutan dengan lingkungan atmosfirnya. Kajian intersepsi hujan dalam konteks hidrologi telah banyak dilakukan, seperti pengukuran intersepsi hujan yang dilakukan oleh Matthieu (1867-1877) sebagaimana yang dicatat oleh Andreassian (2004), Horton (1919 diacu dalam Price dan Moses 2003) dan (Zinke 1967 diacu dalam Ramirez dan Senarath 1999 dan Xio et al. 2000). Kemajuan yang dicapai pada penelitian intersepsi hujan telah memberikan kontribusi pada ilmu pengetahuan terutama pengayaan metode pengukuran dan pendugaan intersepsi yang diformulasikan dalam bentuk hubungan empris antara intersepsi hujan dengan jeluk hujan. Aspek peraktis dari hasil penelitian intersepsi hujan telah memberikan manfaat penting terhadap pengelolaan sumber daya air. Ini dapat dipahami karena hasil yang diperoleh telah mampu memberikan informasi tentang besaran kuantitatif air hujan yang tiba di permukaan tanah. Disadari bahwa hasil yang diperoleh dari kajian tersebut masih sangat terbatas dan orientasi kajian lebih dominan pada penentuan besaran kuantitatif intersepsi hujan. Formulasi pendugaan intersepsi hujan dalam bentuk hubungan empris antara intersepsi hujan dengan curah hujan memiliki kelemahan, diantaranya bahwa intersepsi hujan pada suatu permukaan hanya ditentukan oleh jeluk hujan sebagai input sedangkan karakter dan sifat dari permukaan yang mengintersepsi hujan diabaikan.

Pengukuran curah hujan yang tiba dipermukaan tanah (curah tajuk dan aliran batang) menunjukkan adanya variasi nilai dalam skala ruang dan waktu serta objek vegetasi. Agihan hujan yang diterima oleh vegetasi jika dipandang sebagai proses in put - out put, sebagai input adalah curah hujan (P) dan out put adalah aliran batang (Sf), curahan tajuk (Tf) dan intersepsi (Ic) maka prilaku out put dipengaruhi oleh sifat hujan dan karakter vegetasi. Horton (1919, diacu dalam Ramirez dan Senarath 1999; Price dan Moses 2003) mengemukakan bahwa intersepsi hujan berkaitan erat dengan kapasitas intersepsi yang dipengaruhi oleh sifat tajuk dan tegangan per-mukaan air. Kapasitas intersepsi merupakan salah satu parameter intersepsi yang


(27)

menggambarkan tentang volume maksimum air hujan yang dapat tersimpan baik pada tajuk maupun pada batang. Pandangan ini telah diadopsi oleh Gash yang menetapkan besaran curah hujan yang dapat menjenuhkan tajuk (Pg). Parameter ini merupakan fungsi dari jeluk hujan dan fraksi penutupan tajuk sebagai representasi dari sifat fisik tajuk. Selanjutnya Gash membagi curah hujan (P) menjadi dua yaitu (i) P<Pg dan (ii) P>Pg yang kemudian nilai intersepsi hujan pada masing masing kelompok curah hujan dihitung secara terpisah sebagai komponen intersepsi.

Uraian di atas menjadi suatu petunjuk bahwa variasi nilai intersepsi hujan antara satu dengan lainnya berkaitan dengan sifat hujan dan karakter fisik vegetasi. Hal ini sekaligus menjadi justifikasi bahwa perubahan penggunaan lahan akan ber-dampak pada karakter fisik penutupan permukaan sehingga mempengaruhi agihan hujan yang diterimanya.

Aspek fisika dari intersepsi hujan merupakan pemindahan massa air hujan yang diterima vegetasi ke atmosfir sebelum mencapai lantai hutan atau permukaan tanah. Proses fisik ini memerlukan energi untuk merubah massa air ke bentuk uap sehingga intersepsi hujan memiliki keterkaitan dengan pertukaran dan pemindahan energi. Dalam koteks ini, hilangnya sebagian curah hujan yang tiba di lantai hutan akibat intersepsi pada perinsipnya merupakan proses evaporasi. Karena itu kajian tentang intersepsi hujan dalam konteks hidrometeorologi menjadi penting untuk menemukan fakta empris peranan hutan terhadap lingkungan biofisik melalui aliran massa dan dinamika energi.

Menyikapi peranan strategis hutan terhadap kondisi lingkungan maka tekanan dunia internasional semakin menguat terhadap negara tropis untuk menjaga dan mempertahankan sumber daya hutan, di sisi lain tekanan terhadap sumber daya alam tersebut juga semakin kuat sebagai konsekuensi logis dari pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan pembangunan. Kedua bentuk tekanan tersebut yang bersifat antagonis, memerlukan strategi pengelolaan sumber daya hutan yang dapat mempertahankan fungsi ekologi guna memperoleh manfaat luas secara sustainable. Berkaitan dengan ini, banyak pihak menaruh perhatian terhadap pengelolaan sumber daya hutan di kawasan tropis seperti halnya kerjasama internasional dalam bidang penelitian antara Indonesia dengan German pada penelitian Stability of rainforest margin (STORMA) di Taman Nasional Lore Lindu Propinsi Sulawesi Tengah. Berbagai topik yang menjadi objek penelitian, diantaranya water, carbon and nutrient turnover. Falk et al. (2005) yang memfokuskan penelitiannya pada pase I STORMA tentang pertukaran energi dan massa antara atmosfir dengan ekosistem


(28)

5

tropis dengan metode eddy korelasi. Salah satu hasil yang dilaporkan bahwa aliran latent heat pada perkebunan kakao lebih kecil dari aliran sensible heat. Proses fisik ini menggambarkan bahwa energi yang tersedia pada perkebunan kakao dominan dipergunakan untuk pemanasan udara dibandingkan dengan pemindahan massa air ke atmosfir. Peneliti lain yang memfokuskan pada intersepsi hujan melaporkan bahwa bentuk penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap jumlah air hujan yang tiba dipermukaan tanah akibat intersepsi hujan. Secara spesifik dilaporkan bahwa intersepsi hujan pada hutan jauh lebih besar dibandingkan dengan intersepsi hujan pada perkebunan kakao dan hutan sekunder (Anwar, 2004). Aspek praktis dari hasil kedua penelitian ini adalah alih fungsi hutan menjadi perkebunan kakao berpotensi menimbulkan pemanasan udara di satu sisi, di sisi lain meningkatkan porsi hujan yang mencapai di permukaan tanah sehingga berpotensi menimbulkan banjir. Melalui kerjasama penelitian STORMA dengan dukungan peralatan yang dimiliki oleh STORMA khususnya berupa tower pengamatan cuaca setinggi 70 m di dalam hutan maka dilakukan kajian intersepsi hujan pada hutan sebagai satu kesatuan proses hidrologi yang mengintegrasikan antara aspek hidrologi dan meteorologi. Penelitian ini sekaligus untuk melengkapi informasi yang belum tersedia dari kedua penelitian di atas.

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.2.1 Tujuan

Tujuan utama penelitian ini adalah (i) mengkaji keterkaitan sifat hujan dan karakter vegetasi terhadap intersepsi hujan, (ii) mengkaji dinamika energi pada penggunaan lahan yang berbeda dan (iii) mengkaji pengaruh intersepsi hujan terhadap dinamika energi. Luaran dari penelitian ini adalah menyajikan (i) informasi empiris terkait intersepsi hujan di hutan tropika basah (ii) model pendugaan intersepsi hujan beserta nilai parameter penduga intersepsi dan (iii) besaran kuantitatif dan pola aliran vertikal energi pada hutan dan padang rumput.

1.2.2 Manfaat

Luaran dari penelitian ini memberikan manfaat berupa (i) menyediakan data dan informasi tentang dinamika energi dan massa pada hutan tropika basah dengan lingkungannya sehingga dapat dilakukan justifikasi dampak deforestasi terhadap kondisi ekosistem, (ii) memperkaya pengetahuan iklim hutan dan hidrologi hutan terutama hubungan antara hutan dengan atmosfer dan lebih spesifik berupa aliran


(29)

energi, dan massa pada sistem hutan tropika basah dan metodologi kuantifikasi peranan hutan terhadap stabilitas lingkungan.

Dari sisi implementasi, penelitian ini diharapkan menjadi masukan dalam rangka pengelolaan sumber daya hutan di kawasan tropis dan lebih spesifik pada penguatan pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu sebagai bagian dari cagar biosfer.

1.3 Keterbaruan

Kajian ini merupakan pengembangan kerangka analisis intersepsi hujan sebagai satu kesatuan komponen daur hidrologi yang mengintegrasikan antara faktor fisik (hujan) dan faktor biologi (vegetasi). Karena itu kajian ini menjelaskan secara spesifik antara intersepsi hujan dengan dinamika energi dan massa.


(30)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Intersepsi dan Perkembangannya

Intersepsi hujan merupakan bagian hujan yang tertahan di permukaan vegetasi dan dievaporasikan ke atmosfier sebelum mencapai permukaan tanah. Pada beberapa literatur proses hidrologi ini sering juga disebut interception loss. Penelitian tentang intersepsi hujan telah lama mendapat perhatian bagi ahli hidrologi seperti yang dilakukan oleh Horton (1919) pada tanaman Fagus grandifolia diacu dalam Price dan Moses (2003), Delf (1955) dan Molchanov (1966) pada hutan di kawasan Eropa (diacu dalam Monteith 1975), Zinke (1967) pada hutan alam, semak dan rumput (diacu dalam Ramirez dan Senarath 1999 dan Xiao et al. 2000), Solo (1980, diacu dalam Kaimuddin 1994) pada tegakan tusam dan puspa di Gunung Walat Sukabumi, Di kawasan yang sama, Kaimuddin (1994) melakukan kajian intersepsi pada tegakan pinus, agathis dan schima. Ruslan (1983) pada tegakan tusam, sungki dan hutan alam DAS Riam kanan Kalimantan Selatan, Secara umum penelitian ini berorientasi pada penentuan besaran kuantitatif curah hujan yang tiba di permukaan tanah dan atau curah hujan yang diintersepsi vegetasi.

Monteith (1975) dan Xiao et al. (2000) mencatat hasil penelitian intersepsi hujan pada hutan alam yang dilaksanakan oleh Zinke (1967) yaitu 15 - 40 % dari curah hujan tahunan. Bruijnzeel dan Critchley (1994) mendapatkan intersepsi hujan pada hutan tropis adalah 10-25 %. Intersepsi hujan pada hutan alam di Kalimantan adalah 11% dari total hujan, nilai ini mengalami pengurangan menjadi 6 % pada hutan yang telah diolah (Asdak et al.1998). Chappell et al. (2001) melaporkan bahwa intersepsi hujan pada hutan alam di Sabah mencapai 19 % dari total hujan. Price dan Moses (2003) pada penelitiannya di Canada mendapatkan nilai intersepsi hujan dari 28 kejadian hujan adalah 18,6 % atau 48,3 mm dari total hujan 259,3 mm. Di Taman Nasional Lore Lindu tepatnya di Desa Nopu, doperoleh nilai intersepsi pada skunder adalah 23,5 % dari total hujan dan berkurang mejadi 8,8 % pada perkebunan kakao umur 8 - 12 tahun (Anwar, 2004). Salah satu informasi penting dari hasil-hasil penelitian di atas adalah nilai intersepsi hujan bervariasi beradasarkan objek vegetasi, tempat dan waktu pengukuran. Variasi dari hasil-hasil tersebut meng-idikasikan adanya faktor yang mengendalikan intersepsi hujan.

Hall (2003) mencatat ketergantungan intersepsi hujan karakter tajuk dan tipe hujan. Wells and Blake (1972) melaporkan bahwa, intersepsi hujan mengalami peningkatan pada awal hujan dan kemudian berkurang dengan bertambahnya


(31)

intensitas hujan, Jauh sebelumnya secara tegas oleh Horton (1919, diacu dalam Ramirez dan Senarath 1999; Price dan Moses 2003) mengemukakan bahwa intersepsi hujan berkaitan erat dengan kapasitas intersepsi tanaman yang ditentukan oleh luas daun dan indeks luas daun, intensitas hujan dan tegangan permukaan air. Ketiga pandangan di atas mengindikasikan bahwa, untuk mengenali mekanisme intersepsi hujan sekaligus menentukan besaran kuantitatif curah hujan yang tiba di tanah dan atau yang diintersepsi, pendekatannya harus terintegrasi antara sifat hujan dengan karakter vegetasi. Pandangan di atas secara tidak langsung meng-gambarkan faktor penyebab dari variasi nilai intersepsi hujan adalah sifat hujan dan karakter vegetasi.

Gash (1979) menganalisis intersepsi hujan dengan mengintegrasikan antara komponen fisik (hujan) dan komponen biologi (vegetasi). Apa yang dilakukan oleh Gash memiliki nilai strategis untuk menemu kenali faktor-faktor yang mengendalikan agihan hujan yang diterima oleh vegetasi. Terdapat dua hal penting pada kajian Gash yakni: (i) porsi curah hujan yang tiba di tanah ditentukan oleh kapasitas tajuk yang merupakan fungsi dari penutupan permukaan dan intensitas hujan dan (ii) porsi curah hujan yang diintersepsi berbeda menurut jeluk hujan. Terkait dengan hubungan antara intersepsi hujan dengan sifat hujan dan karakter vegetasi maka Gash (1979) membagi jeluk hujan menjadi dua yaitu : (i) curah hujan yang lebih kecil dari kapasistas tajuk, P<Pg dan (ii) curah hujan yang lebih besar dari kapasitas tajuk, P>Pg. Sesungguhnya penetapan kapasitas tajuk yang dilakukan oleh Gas (1979) bukanlah hal yang pertama karena parameter intersepsi ini sudah diper-hitungkan oleh beberapa peneliti lain jauh sebelumnya seperti yang dicatat oleh Monteith (1975), antara lain Stoltenberg and Wilson (1950), pada tanaman jagung; Burgy and Pomeroy (1958) pada rumput bercampur legum, Leyton (1967) pada hutan deceduous dan Merriam (1961) pada Lolium perenne.

Dibandingkan dengan kajian intersepsi sebelumnya, kajian intersepsi yang di laksanakan oleh Gash (1979) adalah lebih maju karena mengintegrasikan antara komponen fisik (sifat hujan) dan komponen biologi (karakter vegetasi) sebagai satu kesatuan pada proses intersepsi hujan. Model Gash 1979 sesungguhnya merupa-kan penyederhanaan dari model analitik pendugaan intersepsi hujan yang di-kembangkan oleh Rutter dengan memanfaatkan laju evaporasi rata-rata dan intensitas hujan rata-rata harian dengan asumsi kejadian hujan hanya sekali sehari. Karena itu asumsi dasar yang dipergunakan pada model Gash adalah kejadian hujan pada hari hujan hanya dianggap satu kali.


(32)

9

Aplikasi model Gash pada pendugaan intersepsi hujan memerlukan beberapa variable tentang tajuk dan struktur tegakan yang direpresentasikan menjadi menjadi empat parameter yaitu kapasitas tajuk (S) dan kapasistas batang (St), porositas tajuk (p) dan koefisien input batang (pt). Keempat parameter ini menjadi data utama yang dibutuhkan untuk menentukan besaran curah hujan yang dibutuhkan untuk men-jenuhkan tajuk. Penggunaan data porositas tajuk sebagai elemen utama pada penentuan fraksi penutupan tajuk dinilai memiliki kelemahan karena secara tidak langsung, tajuk dinilai hanya satu lapis sehingga intersepsi hujan hanya dipengaruhi oleh bagian tajuk yang menerima langsung curah hujan. Kelemahan ini semakin nyata jika memperhatikan mekanisme terjadinya curahan tajuk yakni bagian hujan yang diterima pada puncak tajuk yang kemudian menjadi curahan tajuk, selanjutnya menjadi input pada lapisan tajuk di bawahnya. Proses ini akan berlangsung terus-menurus sampai air hujan mencapai tanah sebagai curahan tajuk. Kelemahan dari model Gash 1979 berdampak pada hasil prediksi intersepsi hujan yang kurang akurat terutama pada ekeosistem seperti hutan karena secara akutual terjadi pengurangan akibat pengaruh individu tajuk pohon.

Calder (1996) mengembangkan model stokhastik dua lapis (Gambar 1) sebagai pengembangan dari model stokhastik satu lapis. Model stokhastik dua lapis ini selain memperhatikan lapisan tajuk teratas juga mempertimbangkan lapisan di

bawahnya yang menerima tumbukan dari butir hujan yang dihasilkan oleh curahan tajuk di atasnya. Pengembangan dan kalibrasi model intersepsi hujan stokastik dua lapis dan hubungannya dengan butir hujan yang dilakukan Calder (1996) walau di-komentari oleh Uijlenhoet dan Stricker (1999) yang menyatakan bahwa asumsi yang dipergunakan dengan mengabaikan variasi ukuran butir hujan berakibat pada tidak

Gambar 1. Model fungsi intersepsi hujan stokhastik dua lapis (a) tajuk jarang dan (b) tajuk rapat


(33)

konsistennya model yang dikembangkan dan pada akhirnya berdampak serius ter-hadap out put model.

2.2 Intersepsi Hujan dan Aliran Massa

Intersepsi hujan merupakan bagian dari siklus hidrologi yang mempengaruhi agihan hujan sebelum mencapai permukaan tanah. Proses ini memiliki nilai stretegis tidak hanya dalam aspek hidrologi, tetapi juga aspek meteorologi karena berkaitan dengan penerimaan air pada sistem permukaan tanah dan porsi massa air yang di-kembalikan ke atmosfir melalui evaporasi. Pengaruh intersepsi hujan dalam konteks hidrologi adalah berkaitan dengan neraca air suatu DAS (Van Dijk dan Bruijnzeel 2001). Asdak et al. (1998), berpendapat bahwa pengaruh intersepsi hujan terhadap neraca air suatu DAS adalah berkaitan dengan mekanisme berlangsungnya proses evaporasi dan transpirasi yang terjadi pada sistem vegetasi. Menurut Lee (1980) bahwa bagian hujan yang mencapai permukaan tanah merupakan akumulasi dari dua proses hidrologi yaitu curahan tajuk dan aliran batang. Nilai kumulatif kedua komponen tersebut disebut curah hujan neto.

Secara mekanistik, curahan tajuk merupakan air hujan yang tiba pada suatu permukaan melalui celah tajuk dan atau air hujan yang menetes melalui daun, ranting dan cabang (Ward dan Robinson 1990). Secara alami pada hutan yang tajuknya rapat, curahan tajuk umumnya bertambah dengan meningkatnya jarak dari batang pohon, dan umumnya kosentrasi terbesar di dekat tepi tajuk (Lee 1980). Dihubungkan dengan pendapat Horton (1919) di atas, maka dapat disimpulkan bahwa porsi hujan yang tiba di permukaan tanah melalui curahan tajuk dipengaruhi oleh karakter tajuk yakni penutupan permukaan yang direpresentasikan oleh luas tajuk dan indeks luas daun (ILD).

Menurut Hewlett dan Nutter (1969) bahwa aliran batang adalah bagian dari curah hujan yang tertahan sementara oleh batang, terkumpul dan mengalir ke bawah sampai ke permukaan tanah melalui batang. Pandangan ini menunjukkan bahwa karakteristik batang memiliki peranan penting terhadap volume air hujan yang tiba di permukaan melalui aliran batang. Karakteristik batang yang dimaksud adalah lingkar batang, bentuk batang dan tekstur kulit batang (Manokaran 1979 dan Voigt 1960). Secara mekanistik, bagian hujan yang diterima oleh batang bersumber dari curah hujan yang diterima oleh tajuk yang kemudian mengalir menuju batang sehingga dapat dinilai bahwa aliran batang tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik batang melainkan juga dipengaruhi oleh porsi hujan yang diterima dari tajuk. Dampak


(34)

11

hidrologi dari aliran batang memungkinkan terjadi diistribusi lengas tanah meng-alami pengurangan dengan bertambahnya jarak dari batang.

Uraian di atas memberikan pemahaman secara konseptual bahwa aliran massa air hujan ke sistem tanah melalui vegetasi tidak hanya ditentukan oleh sifat hujan sebagai imput juga dipengaruhi oleh karakter vegetasi sebagai fungsi transfer.

Curah Hujan Total (Pg)

Aliran Batang Sf = pt(Pg)

Intersepssi I = Pg-(Tf+Sf)

Permukaan tanah

Evaporasi tanah (Ep) Curahan Tajuk

Tf = p(Pg)

Evapotranspirasi (ETP) Permukaan

Tajuk dan Batang

Curah hujan bersih (Pn = Pg-I)

Gambar 2. Agihan hujan pada proses intersepsi hujan

Berkaitan dengan karakter fisik vegetasi maka ahli hidrologi menetapkan empat parameter intersepsi yaitu :

a. Kapasitas tajuk (S) yang merepresentasikan porsi curah hujan yang tertahan di tajuk

b. Porositas tajuk (p) yang merepresentasikan porsi curah hujan yang jatuh langsung ke tanah melalui celah tajuk

c. Kapasistas batang (St) yang merepresentasikan porsi curah hujan yang tertahan pada batang

d. Koefisien input batang (pt) yang merepresntasikan besaran curah hujan yang diterima oleh batang dari tajuk.


(35)

Penelitian di lembah Yass Australia menunjukkan bahwa kapasitas intersepsi tanaman eucalyptus dan cemara adalah 1,7 dan 2 mm (Crockford dan Richardson, 1990). Kapasitas tajuk merupakan volume maksimum air yang dapat tersimpan baik pada tajuk (S) maupun pada batang (St). Fleischbein et al. (2005) mencatat hasil penelitian yang menetapkan nilai parameter kapasitas tajuk dan porositas tajuk khususnya untuk hutan pegunungan dataran rendah di berbagai negara, yang ditunjukkan pada Tabel 1.

2.3. Pendugaan Intersepsi Hujan

Intersepsi hujan sesungguhnya tidak dapat diukur langsung di lapangan, karena itu yang diukur di lapangan adalah (i) curah hujan yang diterima tajuk (P) dan (ii) curah hujan yang tiba di permukaan tanah (Pn) meliputi (a) curahan tajuk (Tf) dan (b) aliran batang (Sf). Nilai intersepsi hujan diduga melalui selisih antara curah hujan yang tiba di permukaan tanah dengan curah hujan yang diterima tajuk (Rutter diacu dalam Monteith 1975). Uraian ini menggambarkan bahwa untuk menduga intersepsi hujan maka faktor-faktor yang mempengaruhi nilai curahan tajuk dan aliran batang perlu mendapat perhatian serius.

Pengukuran agihan hujan merupakan kegiatan yang rumit dan memerlukan waktu yang lama. Di sisi lain data ini memiliki arti penting pada perencanaan dan pengelolaan sumber daya air. Permasalahan ini mendorong banyak pihak mengem-bangkan konsep pendugaan intersepsi hujan. Pendekatan klasik dari pendugaan intersepsi hujan yang umum dilakukan adalah mengintegrasikan antara komponen in put (jeluk hujan) dengan komponen out put (curah hujan neto atau nilai intersepsi) melalui hubungan empiris. Informasi yang dapat diperoleh dari hasil pendekatan ini adalah sangat minim yakni hanya menjelaskan porsi hujan yang hilang dan yang tiba di permukaan tanah baik pada setiap kejadian hujan maupun untuk skala waktu tertentu Konsekeuensi logis dari informasi tersebut maka pemanfaatannya juga terbatas dan menjadi sulit digunakan untuk kepentingan yang lebih luas seperti perencanaan dan pengelolaan sumber daya air suatu kawasan atau DAS.

Kelemahan pendekatan di atas diapresiasi oleh beberapa ahli untuk mencari solusinya, diantaranya Gash (1979) yakni melakukan pengkajian dan pengembang-an model pendugapengembang-an intersepsi hujpengembang-an ypengembang-ang mengintegrasikpengembang-an pengembang-antara komponen fisik dan komponen biologi yang kemudian mengidentifikasi secara terpisah pengaruh masing-masing faktor tersebut terhadap intersepsi hujan. Hasil yang di-peroleh kemudian dikenal sebagai model Gash 1979. Dibandingkan dengan


(36)

13

Tabel 1. Kapasitas (S) dan porisitas tajuk (p) diacu dalam Fleischbein et al., (2005)

No S p Negara vegetation Sumber

1 1.91 (0-8.01)

Gash dan Morton, 1978

0.42 (0.14-0.98) Jackson, 1975

Ecuador Lower montane

forest

This study, dry weeks

2 2.46 (0 – 10.33)

Gash model

0.63 (0.52-0.98) Gash model

Ecuador Lower mpntane

forest

All weeks

3 1.15

Gash and Morton,1978

0.23 Jackson (1975)

Puerto Rico Lower montane rain

forest

Schellekens et al.(1990)

4 5.57

Gash model

- Puerto Rico Lower montane rain

forest

Schellekens et al (1990)

5 3.5

regresi Tf dg P

- Costa Rica Montane cloud

forest

Kohler (2002)

6 1.30 – 1.57

Gash model

0.05 – 0.13 Gash model

Jamica Upper montane

cloud forest

Hafkensheid (2000)

7

0.89 Perhitungan untuk setiap kejadian hujan

Sf/P ratio Tamzanaia Upper montane

forest

Jackson (1975)


(37)

Lanjutan Tabel 1.

No S p Negara vegetation Sumber

8 - 0.52 -0.54

Rutter et al. 1971

Colombia Upper montane

cloud forest

Vebeklaas and van Ek (1990)

9 0.04 -1.39

Regresi Tf dan P

0.83 – 1.01 Regresi Tf dan P

Indonesia Low land rainforest Asdak, et al., 1998

10 0.1 Assigned

0.05 Assined after Gash an Morton, 1978

Brunei Lowland rainforest Dykes, 1997

11 1.6 – 8.3

Rainfall simulator

Australia Tropical rainforest Herwitz 1985

0.39 Regresi Tf dengan P

Australia Eucalyptus Crockford and Richardson 1990

12


(38)

15

model klasik maka model Gash dapat dinilai lebih maju karena informasi yang diperoleh dari model ini lebih banyak dan memungkinkan untuk diekstrapolasi untuk daerah lain. Kelemahan dari model ini seperti yang dikemukakan pada poin 2.1 yakni penetapan parameter curah hujan yang dibutuhkan untuk menjenuhkan tajuk. Pada parameter ini tajuk hanya diasumsikan dua dimensi. Asumsi ini berarti bagian tajuk yang membutuhkan penjenuhan hanya bagian permukaan tajuk yang menerima langsung hujan. Akan tetapi faktanya tidak demikian karena bagian hujan yang lolos dari permukaan tajuk akan menjadi input pada lapisan di bawahnya. Ini berarti penggunaan luas tajuk sebagai representasi dari penutupan permukaan atau kondisi vegetasi masih dinilai lemah karena tajuk memilki tiga dimenasi. Karena itu fraksi penutupan tajuk merupakan fungsi dari ILD. Revisi model Gash 1995 yang merupa-kan penyempurnaan dari model Gash 1979. Konsekuensi dari perubahan fraksi penutupan tajuk pada revisi model Gash 1995 berdampak pada penetapan besaran kuantitatif parameter intersepsi khususnya nilai curah hujan yang diperlukan untuk menjenuhkan tajuk (Pg). Akibat dari perubahan parameter Pg’ maka selanjutnya mempengaruhi komponen intersepsi hujan seperti jeluk hujan yang dapat men-jenuhkan tajuk (m), jeluk hujan yang tidak menmen-jenuhkan tajuk (n) dan evaporasi tajuk selama hujan berlangsung (E). Perubahan ini selanjutnya mempengaruhi nilai intersepsi hujan (Ic). Revisi model Gash 1995 mendapat banyak respon positif dari peneliti hidrologi dan menilainya lebih realistis dibandingkan dengan model Gash 1979 dan memungkinkan digunakan lebih luas.

Asumsi-asumsi utama yang disederhanakan oleh Gash, sebagai berikut :

a. Pola distribusi hujan dalam bentuk hujan terus-menerus dengan interval periode tidak hujan cukup lama, sehingga memungkinkan tajuk dan batang pohon menjadi kering,

b. Kondisi meteorologi selama terjadi penjenuhan tajuk, dianggap sama untuk semua hujan, artinya bahwa rata-rata kondisi hujan dan evaporasi dapat mewakili seluruh data hujan dan evaporasi yang ada, dan

c. Bahwa tidak ada penetesan (air yang lolos) selama proses penjenuhan tajuk dan jumlah air pada tajuk setelah hujan akan cepat berkurang (antara 20 – 30 menit) sampai tercapai nilai daya tampung air yang terkecil.

2.4. Dinamika Energi

Menurut (Calder 1977 dan 1992, diacu dalam Ramirez dan Senarath 1999) bahwa intersepsi hujan tidak hanya berpengaruh penting pada keseimbangan air,


(39)

tetapi juga pada neraca energi suatu permukaan lahan. Hal serupa dikemukakan oleh Seller et al. (1997); Ramires dan Senarath (1999) bahwa intersepsi hujan akan mengurangi aliran energi sensible heat dan meningkatkan aliran energi latent heat. Hutan yang dikonversi menjadi lahan pertanian tanaman semusim (jagung dan kedelai) menyebabkan radiasi neto dan evapotranspirasi berkurang masing-masing 20 % dan 0,75 mm/hari, di sisi lain aliran permukaan meningkat, kondisi ini akan terjadi sebaliknya bila konversi lahan padang rumput menjadi areal pertanian musiman, besarnya peningkatan evapotranspirasi adalah 0,4 mm/hari atau 45 % (Twine et al. 2004).

Tomo’omi Kumagai et al. (2004) melaporkan salah satu hasil penelitiannya bahwa hubungan antara latent heat (λE) dan sensible heat (H) terhadap radiasi neto (Rn) pada hari hujan di musim hujan, menunjukkan slope dari regresinya adalah 0,82 dan nilai ini lebih besar dibandingkan pada hari tidak hujan yakni hanya 0.78. Selanjutnya dijelaskan perbedaan ini dikarenakan pada hari hujan, terjadi aliran eddy yang disebabkan oleh evaporasi dari tajuk yang basah. Lantai hutan yang tidak ter-tutupi oleh tajuk tanaman menyebabkan jumlah radiasi neto yang tiba di permukaan tanah lebih banyak sehingga limpahan λE dan H meningkat dibandingkan dengan permukaan tanah yang ditutupi oleh tajuk (Law et al. 2000). Selanjutnya dilaporkan pada hasil simulasi dengan ILD= 5, Net Ecocsystem Exchange (NEE) 37 %, limpahan λE hanya 12 %, tetapi pengaruh yang paling nyata adalah pada net photo-synthesis yakni mencapai 20 %. Kesimpulan lain yang dikemukakan adalah distribusi radiasi pada tajuk pengaruhnya tidak sebesar dari pengaruh ILD.

Uraian di atas mempertegas bahwa intersepsi hujan memiliki pengaruh penting terhadap dinamika energi pada sistem vegetasi. Pertukaran energi antara suatu sistem dengan atmosfir memiliki variability dalam skala ruang dan waktu. Simpanan energi pada tajuk merupakan salah satu hal penting bersama energi yang tersedia pada proses pertukaran energi dengan atmofir. McCaughey dan Saxton (1988, diacu dalam Samson dan Lemeur 2000) mengemukakan bahwa simpanan energi pada tajuk dibagi menjadi lima bagian yaitu simpanan energi sensible heat (Sa) dan latent heat (Sw) pada lapisan perbatas, simpanan energi pada biomassa (Sv), energi yang dipergunakan pada fotosintesisi (Sp) dan simpanan pada tanah (Sg). Banyak studi menunjukkan nilai Sg diasumsikan sama dengan nilai aliran energi ke tanah (G) bahkan sering diabaikan karena nilainya yang kecil (Shuttleworth 1994, diacu dalam Samson dan Lemeur 2000). Secara emipiris nilai G pada siang hari adalah 0,5 dan malam hari 0,1 dari radiasi neto (FAO.1988).


(40)

17

Penelitian yang dilakukan oleh Samson dan Lemeur (2000) tentang simpanan energi pada hutan dengan tiga kondisi cuaca menunjukkan simpanan sensible heat

pada ketiga kondisi cuaca menunjukkan perbedaan pada time to peak dan besaran kuantitatif simpanan energi. Ketiga kondisi cuaca yang dikaji adalah :

■ Cuaca cerah dengan tajuk yang kering

■ Cuaca berawan dengan tajuk kering

■ Cuaca berawan dengan tajuk basah

Pada cuaca cerah dengan tajuk kering diperoleh simpanan energi maksimum terjadi lebih awal yakni pada pukul 10 dan nilainya mencapai ± 40 Wm-2. Sedangkan pada kondisi berawan dengan tajuk kering dan basah simpanan energi maksimum masing masing terjadi pada pukul 11 dan 12 dan nilainya jauh lebih kecil dari kondisi cuaca cerah. Bagian lain hasil yang diperoleh menunjukkan simpanan energi pada tanah baik pola maupun kuantitasnya pada ketiga kondisi cuaca tersebut relatif sama.

Oliphan et al. (2004) melaporkan hasil penelitiannya tentang simpanan energi pada hutan bahwa simpanan energi sensible heat memiliki variabilitas yang tinggi dan pengaruhnya nyata terhadap simpanan energi lainnya. Selain itu ditegaskan pula bahwa selama tiga tahun penelitian ternyata simpanan energi pada hutan adalah kecil tetapi konsisten terjadi defisit rata rata 16,18 MJ m-2a-1.

Adveksi energi merupakan representasi aliran energi dari dan ke suatu per-mukaan. Presipitasi merupakan sumber terjadinya adveksi pada sistem vegetasi hutan baik secara horisontal maupun vertikal. Resenberg et al. (1983, diacu dalam Todd et al. 2000) mendefinisikan bahwa adveksi merupakan aliran energi, massa dan momentum secara horisontal akibat dari arah angin ke bawah. Karena itu menurut Todd et al. (2000) bahwa pada kondisi tertentu ratio antara tahanan iklim dengan tahanan aerodinamik nilainya menjadi besar yang dikenali sebagai kondisi oasis. Kondisi yang dimikian umumnya terjadi saat udara panas, kering dan atau pemindahan massa yang berlangsung cepat akibat angin. Konsekuensi dari kondisi ini maka terjadi aliran sensible heat yang tinggi.

McCaughey and Saxton (1988) berpendapat bahwa aliran energi ke tanah me-rupakan komponen penting terhadap simpanan energi. Selanjutnya dijelaskan bahwa pada musim kering atau cuaca cerah simpanan sinsible heat pada tajuk adalah tinggi sedangkan pada musim hujan atau udara lembab simpanan latent heat menjadi tinggi, tetapi fluktuasinya sangat cepat. Hal lain yang disimpulkan adalah terdapat hubungan linier antara jumlah simpanan sensible heat dan biomassa terhadap perubahan suhu pada boundary layers.


(41)

Komponen neraca energi suatu ekosistem vegetasi memiliki variasi yang nyata bergantung pada karakteristik vegetasi sepeti ILD, umur, tingkat penutupan, dan tinggi vegetasi (Jiquan Cheng et al.). Selanjutnya dilaporkan bahwa energi yang ter-simpan akan berkurang secara linier terhadap tinggi vegetasi. Di hutan, atau daerah yang bervegetasi, dinamika energi menjadi tinggi dengan bertambahnya produksi biomassa dengan ketebalan lapisan udara (Gay 2000). Selanjutnya ditegaskan bahwa komponen simpanan energi merupakan fungsi dari suhu dan panas jenis dari media. Kapasitas simpan energi pada tanaman pinus scots adalah 7,06 Wm-2. (Jaeger and Kessler 1996 ; Stewart 1998, diacu dalam Gay 2000). Adanya pertukar- an energi dan aliran massa uap air pada intersepsi hujan, maka sesungguhnya intersepsi hujan identik dengan kehilangan energi atau heat loss. Ini dikarenakan proses evaporasi membutuhkan energi untuk merubah air menjadi uap air dan energi untuk menguapkan air http://www.plantphys.net .

Pielke (2001) mengkaji pengaruh penutupan lahan terhadap perubahan iklim dengan menguraikan persamaan neraca energi dan air, Salah satu hasil yang diper-oleh bahwa reduksi evapotranspirasi akibat dari keterbatasan lengas tanah me-nyebabkan limpahan sensible heat dan pemanasan tanah meningkat. Pengurangan lengas tanah dimungkinkan karena run off yang tinggi dan atau presipitasi neto yang rendah dan atau infiltrasi yang terbatas.

2.5. Neraca Energi

Menurut Oke (1987, diacu dalam Oliphan et al. 2004) bahwa neraca energi pada ekosistim merupakan gambaran dari energi yang diterima dan yang dilepaskan dan dipengaruhi oleh karakter permukaan dengan lingkungan atmosfir. Neraca energi merupakan pernyataan hukum kekekalan energi yang menguraikan tentang energi yang diterima dan yang dilepaskan. Untuk itu neraca energi dapat disajikan sebagai suatu metode untuk mengenali dinamika energi pada suatu sistem. Implementasi konsepsi ini kedalam suatu sistem memungkinkan aliran energi dapat dibedakan antara yang tersedia dan penggunaannya dan selalu berada dalam kondisi setimbang. Persamaan dasar neraca energi sesuai dengan hukum kekekalan energi, dapat dituliskan sebagai berikut :

n

R

=

λ

E

+

H

+

G

(Wm-2 ) ……… (1) Rn : radiasi neto (net radition),

H : aliran bahang terasa (sensible heat flux density), λΕ : aliran bahang laten (latent heat flux density), G : aliran bahang tanah (soil heat flux density),


(42)

19

Nielsen et al., (1981) menyatakan bahwa neraca energi, terutama fluks

sensible heat, merupakan faktor penentu karakteristik golak (turbulence) dari lapisan batas bumi (Planetary Boundary Layer, PBL). Selain itu neraca energi juga merupakan mata rantai utama yang mengaitkan karakteristik permukaan bumi dengan model sirkulasi umum atau General Circulation Model, GCM (Sellers et al. 1997). Gambaran di atas menunjukkan bahwa dengan neraca energi dapat dikenali limpahan energi suatu sistem, selain itu neraca energi dapat menggambarkan kondisi iklim lokal. Contoh sederhana dari gambaran iklim lokal melalui neraca energi adalah bila konversi energi yang dominan ke sensible heat (H), maka dapat diartikan bahwa kawasan tersebut mengalami cekaman air atau lengas pemukaan rendah sebagai gambaran kekeringan.

Konversi dan limpahan energi di permukaan bumi dipengaruhi oleh sifat termal dan emisivitas permukaan, kekasapan (roughness) dan kandungan lengas tanah (Campbell 1977). Besaran nilai masing-masing komponen neraca energi ditentukan kelembaban udara dan kandungan lengas permukaan (http://www.balticuniv.uu). Masing-masing komponen neraca energi memberikan pengaruh terhadap proses fisik dan biologi seperti pemindahan massa uap air, pemanasan atau pendinginan udara dan tanah. Bentuk umum dari limpahan atau pemindahan energi dari suatu tempat ke tempat lain adalah konveksi dan konduksi. Uraian ini menggambarkan bahwa dinamika energi di permukkan bumi berkaitan erat dengan karakteristik permukaan dan berhubungan dengan proses fisik lainnya. Sekalipun demikian kajian tentang neraca energi terutama di daerah lintang rendah masih sangat terbatas seperti halnya di Indonesia. Asdak et al. (1998) menghitung nilai evaporasi hutan berdasarkan perinsip neraca energi sebagai dampak penebangan pada ekosistem hutan alam di Kalimantan Tengah. Penelitian terakhir tentang neraca energi yang memperhatikan kondisi topografi banyak dilakukan untuk kawasan di daerah beriklim subtropis dimana faktor topografi, perubahan tata guna lahan dan kondisi pertanian, dan presipitasi sangat menentukan distribusi spasialnya (Kalthof et al. 1999; Friedrich

et al. 2000; Polonia dan Soller 2000).

2.5.1 Radiasi Neto (Rn)

Radiasi neto disebut juga energi tersedia. Besaran nilai ini ditentukan oleh jumlah radiasi neto gelombang pendek (Rns) dan radiasi neto gelombang panjang

(Rnl) yang diterima. Berkaitan dengan radiasi neto gelombang pendek, maka sifat


(43)

albedo (α). Secara khusus neraca radiasi untuk gelombang pendek dan kaitannya dengan nilai albedo adalah sebagai berikut :

... (2)

) 1 ( −α ↓

= RS

Rns

Rns : Radiasi neto gelombang pendek Rs : Radiasi global yang diterima

α : Albedo permukaan

Persamaan ini menjelaskan bahwa albedo sangat mempengaruhi jumlah radiasi neto gelombang pendek yang dapat disimpan menjadi energi tersedia. Persamaan ini juga memperjelas bahwa perubahan penggunaan lahan mempengaruhi ketersedia-an energi. Ini dapat dipahami karena masing masing bentuk penggunaketersedia-an lahketersedia-an memiliki nilai albedo tertentu seperti yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Albedo berbagai tipe permukaan

No Tipe Permukaan Albedo (%)

1. Tanah pasir kering 25 – 45

2. Tanah liat kering 20 – 35

3. Tanah gambut 5 – 15

4. Tanaman di lapangan 20 – 30

5. Hutan berdaun lebar 15 – 20

6. Hutan berdaun jarum 10 – 15

Rosenberg 1983.

Perubahan nilai albedo (α) dari 15 % menjadi 25 % dapat menimbulkan variasi radiasi neto mencapai 5% (Tunner 1968, diacu dalam Murdiyarso dan Satjapraja 1991).

Nilai dari radiasi neto memiliki arti penting karena terkait dengan jumlah energi yang tersedia untuk dipergunakan pada proses fisik dan biologi dalam sistem biosfer. Berkaitan dengan itu dan keterbatasan alat ukur, maka peneliti mencoba me-ngembangkan persamaan empiris untuk menduga besaran nilai Rn. Linacre (1968, diacu dalam Rosenberg 1983) mengembangkan persamaan empiris untuk menduga nilai Rn dengan mengunakan radiasi global, albedo, persen peluang radiasi (n/N) dan suhu udara (oC) dengan persamaan matematika sebagai berikut:

Rn = (1-α)Rs-1.11(0.2+0.8n/N)(100-T) ... (3)

Rn : radiasi netto


(1)

Tabel Lampiran 11. Curahan Tajuk pada Berbegai Sifat Hujan Di Hutan Babahaleka TNLL (Juni 2006 – Mei 200&)

Kelas Jeluk Hujan (mm) Komponen Satuan

0.5 – 1 1,0 - 5 5,0 - 10 10,0 - 15 > 15 Total

Hari 18 61 39 24 39 181

Kejadian

(n) % total 9,9 33,7 21,6 13,3 21,6 100,0 mm 14,8 161,2 280,8 295,6 906,6 1659,0 Curah

hujan (P) mm/hari 0,8 2,6 7,2 12,3 23,3 9,2

mm 2,9 70,3 173,0 188,4 622,1 1056,6

mm/hari 0,2 1,2 4,4 7,9 16,0 5,8

% P 19,8 43,6 61,6 63,7 68,6 63,7

Cutahan Tajuk (Tf)

% Total 0,3 6,7 16,4 17,8 58,9 100,0 Kelas Durasi hujan (menit)

Komponen Satuan

5 – 30 30 -60 60-120 120 – 240 >240 Total

hari 64 42 46 26 3 181

Kejadian

(n) % total 35,36 23,2 25,4 14,4 1,7 100,0 mm 185,2 268,0 606,4 478,8 120,6 1659,0 Curah

hujan (P) mm/hari 2,89 6,4 13,2 18,4 40,2 9,2 mm 91,7 163,1 387,4 319,6 94,8 1056,6

mm/hari 1,43 3,9 8,4 12,3 31,6 5,8

% P 49,5 60,9 63,9 66,8 78,6 63,7

Cutahan Tajuk (Tf)

% Total 8,68 15,4 36,7 30,3 9,0 100,0 Kelas Intensitas hujan (mm/jam)

Komponen Satuan

1,0 – 10 10 -20 20 - 30 30 – 40 >40 Total

hari 129 45 5 0 2 181

Kejadian

(n) % total 71,27 24,9 2,8 0 1,1 100,0

mm 884,2 655,4 82,6 0 36,8 1659,0

Curah

hujan (P) mm/hari 6,85 14,6 16,5 0 18,4 9,2

mm 540,48 432,3 58,5 0 25,3 1056,6

mm/hari 4,19 9,6 11,7 0 12,7 5,8

% P 61,13 66,0 70,9 0 68,7 63,7

Cutahan Tajuk (Tf)


(2)

Tabel Lampiran 12.. Aliran Batang pada Berbegai Sifat Hujan Di Hutan Babahaleka TNLL (Juni 2006 – Mei 2007)

Kelas Jeluk Hujan (mm) Komponen Satuan

0.5 – 1 1,0 - 5 5,0 - 10 10,0 - 15 > 15 Total

Hari 18 61 39 24 39 181

Kejadian

(n) % total 9,9 33,7 21,6 13,3 21,6 100,0 mm 14,8 161,2 280,8 295,6 906,6 1659,0 Curah

hujan (P) mm/hari 0,8 2,6 7,2 12,3 23,3 9,2

mm 0,0 0,1 0,2 0,2 0,7 1,1

mm/hari 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

% P 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 0,1

Aliran batang

(Sf)

% Total 0,3 6,1 15,2 18,9 59,5 100,0 Kelas Durasi hujan (menit)

Komponen Satuan

5 – 30 30 -60 60-120 120 – 240 >240 Total

hari 64 42 46 26 3 181

Kejadian

(n) % total 35,4 23,2 25,4 14,4 1,7 100,0 mm 185,2 268,0 606,4 478,8 120,6 1659,0 Curah

hujan (P) mm/hari 2,9 6,4 13,2 18,4 40,2 9,2

mm 0,1 0,2 0,4 0,3 0,1 1,1

mm/hari 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

% P 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1

Aliran batang

(Sf)

% Total 8,7 16,0 36,4 31,3 7,6 100,0 Kelas Intensitas hujan (mm/jam)

Komponen Satuan

1,0 – 10 10 -20 20 - 30 30 – 40 >40 Total

hari 129 45 5 0 2 181

Kejadian

(n) % total 71,3 24,9 2,8 0,0 1,1 100,0 mm 884,2 655,4 82,6 0,0 36,8 1659,0 Curah

hujan (P) mm/hari 6,9 14,6 16,5 0,0 18,4 9,2

mm 0,6 0,4 0,1 0,0 0,0 1,1

mm/hari 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

% P 0,1 0,1 0,1 0,0 0,1 0,1

Aliran batang

(Sf)


(3)

Tabel Lampiran 13. Intersepsi hujan pada Berbegai Sifat Hujan Di Hutan Babahaleka TNLL (Juni 2006 – Mei 2007)

Kelas Jeluk Hujan (mm) Komponen Satuan

0.5 - 1 1,0 - 5 5,0 - 10 10,0 - 15 > 15 Total

hari 18 61 39 24 39 181

Kejadian

(n) % total 9,9 33,7 21,6 13,3 21,6 100,0 mm 14,8 161,2 280,8 295,6 906,6 1659,0 Curah

hujan (P) mm/hari 0,8 2,6 7,2 12,3 23,3 9,2

mm 11,9 90,9 107,7 107,0 283,9 601,3

mm/hari 0,7 1,5 2,8 4,5 7,3 3,3

% P 80,2 56,4 38,4 36,2 31,3 36,3

Intersepsi hujan (Ic)

% Total 1083,8 8301,5 9838,6 9779,3 25940,2 54943,3 Kelas Durasi hujan (menit)

Komponen Satuan

5 – 30 30 -60 60-120 120 – 240 >240 Total

hari 64 42 46 26 3 181

Kejadian

(n) % total 35,4 23,2 25,4 14,4 1,7 100,0 mm 185,2 268,0 606,4 478,8 120,6 1659,0 Curah

hujan (P) mm/hari 2,9 6,4 13,2 18,4 40,2 9,2

mm 93,4 104,8 218,6 158,8 25,7 601,3

mm/hari 1,5 2,5 4,8 6,1 8,6 3,3

% P 50,5 39,1 36,1 33,2 21,3 36,3

Intersepsi hujan (Ic)

% Total 15,5 17,4 36,4 26,4 4,3 100,0 Kelas Intensitas hujan (mm/jam)

Komponen Satuan

1,0 – 10 10 -20 20 - 30 30 – 40 >40 Total

hari 129 45 5 0 2 181

Kejadian

(n) % total 71,3 24,9 2,8 0,0 1,1 100,0

mm 884,2 655,4 82,6 0,0 36,8 1659,0

Curah

hujan (P) mm/hari 6,9 14,6 16,5 0,0 18,4 9,2

mm 343,2 222,7 24,0 0,0 11,5 601,3

mm/hari 2,7 5,0 4,8 0,0 5,7 3,3

% P 38,8 34,0 29,0 0,0 31,2 36,3

Intersepsi hujan (Ic)


(4)

Tabel Lampiran 14. Neraca Energi pada Hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006)

Dalam kanopi Diatas Kanopi

Rn (W/m2) S (W/m2)

LE (W/m2) H (W/m2) LE (W/m2) H (W/m2)

Jam

Hujan Tidak

Hujan Hujan

Tidak

Hujan Hujan

Tidak

Hujan Hujan

Tidak

Hujan Hujan

Tidak

Hujan Hujan

Tidak Hujan

6. -15,36 -24,15 -13,31 -12,49 -5,55 -7,16 3,51 -4,50 0,84 11,61 -2,88 -23,27

7. 42,66 44,60 10,93 10,36 16,64 -0,35 15,09 34,58 56,54 34,36 -24,80 -0,13

8. 151,10 172,01 26,32 33,67 131,54 156,83 -6,75 -18,49 119,98 60,22 4,81 78,12

9. 321,84 353,53 39,34 48,25 296,45 268,10 -13,95 37,18 255,29 161,47 27,21 143,81

10. 504,63 503,74 59,22 53,28 308,23 254,87 137,18 195,59 332,29 317,68 113,12 132,77

11. 566,50 563,90 46,52 45,39 526,35 354,70 -6,37 163,82 452,76 365,67 67,22 152,85

12. 374,30 370,91 32,53 40,04 243,20 455,28 98,57 -124,41 268,14 245,15 73,63 85,73

13. 468,05 558,29 57,81 52,96 336,33 148,52 73,92 356,81 297,65 359,44 112,60 145,89

14. 367,00 450,02 7,61 10,25 221,30 304,27 138,09 135,49 253,70 131,43 105,69 308,34

15. 249,92 334,58 -25,15 -9,21 188,96 70,87 86,11 272,91 200,20 388,16 74,87 -44,37

16. 114,91 167,56 -14,53 -12,34 141,28 131,06 -11,84 48,83 100,33 223,91 29,11 -44,02

17. 18,54 41,03 -21,58 -16,15 31,67 49,99 8,45 7,19 12,48 67,64 27,64 -10,46

18. -25,43 -33,32 -28,63 -24,68 2,77 -8,91 0,43 0,27 -12,41 -16,11 15,61 7,47

19. -23,83 -39,50 -25,87 -28,12 0,30 -6,92 1,74 -4,45 4,84 -6,17 -2,80 -5,21

20. -21,75 -38,07 -16,47 -23,81 -13,30 -12,30 8,02 -1,97 3,59 0,73 -8,87 -15,00

21. -22,45 -36,32 -15,55 -22,26 -2,63 -13,00 -4,28 -1,06 -4,97 -7,36 -1,94 -6,70

22. -21,97 -33,95 -22,83 -19,22 -2,65 -12,64 3,51 -2,08 24,22 36,47 -23,35 -51,19

23. -21,89 -35,63 -12,12 -18,01 -12,44 -14,33 2,67 -3,29 2,61 35,49 -12,39 -53,11

24. -23,26 -37,17 -14,92 -18,40 -6,26 -19,54 -2,08 0,76 43,78 -3,49 -52,12 -15,28

1 -20,59 -35,22 -9,21 -18,73 -10,48 -1,63 -0,90 -14,86 -18,31 19,02 6,93 -35,51

2 -19,57 -34,05 -12,12 -17,69 -5,41 -17,17 -2,03 0,80 12,11 25,48 -19,56 -41,85

3 -19,67 -35,51 -10,62 -13,38 -7,94 91,39 -1,12 -113,53 -12,69 -17,16 3,64 -4,97

4 -19,91 -33,37 -11,21 -14,58 -2,69 -14,09 -6,01 -4,70 -5,20 -23,42 -3,51 4,63


(5)

Tabel Lampiran 15. Neraca Energi pada Padang Rumput di Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006)

Rn (W/m2) S (W/m2) LE (W/m2) H (W/m2) Jam

Hujan Tidak

Hujan Hujan

Tidak

Hujan Hujan

Tidak

Hujan Hujan

Tidak Hujan 6. -12,61 -18,76 -15,67 -17,16 2,38 -0,17 0,68 -1,44 7. 44,39 50,46 -13,52 -15,03 72,45 31,56 -14,54 33,94 8. 124,06 144,19 -6,51 -7,94 28,99 56,95 101,57 95,18 9. 295,43 311,89 4,04 2,50 76,31 90,97 215,07 218,42 10. 439,05 449,26 16,84 14,69 166,94 152,40 255,28 282,17 11. 478,50 494,37 28,12 24,67 198,50 201,42 251,88 268,28 12. 436,49 524,61 32,96 31,56 229,08 238,48 174,46 254,57 13. 391,62 469,25 33,85 36,15 156,63 259,31 201,14 173,79 14. 331,97 386,89 29,57 33,06 111,15 140,76 191,24 213,06 15. 239,39 310,48 22,91 27,21 86,79 120,31 129,69 162,97 16. 102,10 149,03 11,80 18,47 45,31 61,26 44,98 69,30 17. 7,66 27,69 2,75 7,72 4,53 3,44 0,38 16,54 18. -29,79 -38,10 -5,49 -1,16 -34,79 -12,43 10,49 -24,51 19. -26,22 -39,62 -9,88 -7,24 -15,35 -25,93 -1,00 -6,45 20. -24,50 -38,32 -12,51 -10,58 -10,83 -23,42 -1,16 -4,32 21. -22,86 -36,49 -13,76 -12,53 -9,87 -19,76 0,77 -4,21 22. -23,18 -33,91 -14,67 -13,76 -7,35 -29,37 -1,16 9,22 23. -23,04 -36,31 -14,82 -14,58 -7,48 -24,01 -0,73 2,28 24. -24,35 -35,18 -15,07 -15,44 -8,42 -16,24 -0,86 -3,50 1 -20,80 -34,54 -15,42 -16,00 -4,61 -15,58 -0,77 -2,96 2 -20,14 -33,47 -15,28 -16,60 -3,93 -13,38 -0,92 -3,49 3 -20,66 -33,67 -15,15 -16,90 -4,67 -13,68 -0,84 -3,08 4 -19,74 -31,04 -15,29 -17,21 -4,24 -10,70 -0,20 -3,13 5 -19,67 -29,63 -15,35 -17,31 -3,19 -10,01 -1,13 -2,31


(6)

Tabel Lampiran 16. Simpanan Energi pada Hutan Babahaleka TNLL (Juni 2005 – Mei 2006)

Dalam Kanopi Hutan Di Atas Kanopi Hutan Sa (W/m2) Sw (W/m2) Sa (W/m2) Sw (W/m2) Jam

Hujan Tidak

Hujan Hujan

Tidak

Hujan Hujan

Tidak

Hujan Hujan

Tidak Hujan 6. -0,40 -0,96 -1,31 -1,04 -1,59 -2,06 -0,88 -1,91 7. 1,32 1,46 3,97 6,30 6,27 7,77 6,41 7,40 8. 3,98 5,56 7,78 5,56 11,44 11,59 8,46 9,44 9. 4,77 6,70 5,15 3,64 16,82 17,81 6,04 3,61 10. 7,08 7,29 3,64 -1,53 19,21 17,81 -0,19 -7,68 11. 7,12 5,83 -5,33 -4,96 18,65 16,81 -10,68 -11,56 12. 1,39 2,39 -2,27 -1,37 8,78 9,05 -6,39 -5,03 13. 2,24 4,08 -0,26 -0,03 0,47 5,83 2,03 2,12 14. -0,54 1,48 3,61 2,06 -1,84 0,30 7,17 6,21 15. -4,08 -0,59 4,45 2,02 -9,55 -5,78 8,41 7,30 16. -3,85 -3,56 0,05 3,47 -11,83 -9,27 8,73 10,92 17. -5,44 -7,74 -0,23 2,29 -12,71 -11,78 -1,51 6,06 18. -4,92 -6,93 -2,30 0,29 -13,49 -13,46 -2,35 0,17 19. -2,39 -4,28 -2,74 -2,32 -5,88 -8,63 -3,86 -1,69 20. -1,26 -2,10 -1,87 -1,12 -3,14 -5,20 -0,69 -1,49 21. -0,87 -1,48 -1,25 -2,47 -2,77 -4,32 -2,88 -4,35 22. -0,90 -1,41 -1,49 -1,60 -2,45 -3,79 -2,22 -1,90 23. -0,68 -1,35 -1,72 -1,03 -2,41 -4,12 -2,05 -2,55 24. -0,61 -1,38 -1,54 -2,49 -2,98 -3,02 -2,13 -2,41 1 -0,52 -1,21 -0,99 -1,23 -2,08 -3,79 -1,60 -4,35 2 -0,42 -0,65 -1,45 -1,72 -3,12 -3,18 -3,42 -2,22 3 -0,39 -0,10 -1,02 -1,14 -2,66 -2,70 -1,93 -1,98 4 -0,36 -0,78 -1,32 -1,37 -2,46 -2,72 -2,21 -1,57 5 -0,49 -0,41 -0,92 -0,62 -2,02 -2,81 -1,78 -1,29