1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam struktur perekonomian Indonesia, sektor pertanian sangat berperan penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. Tetapi pada
kenyataannya, sektor tersebut tidak dipersiapkan untuk dapat bersaing dengan negara lain. Pada tahun 2010, pertumbuhannya hanya sekitar 3 persen, lebih
rendah dari sektor pengangkutan dan komunikasi 12 persen, perdagangan 9 persen, dan jasa 4,9 persen, padahal sektor tersebut diperlukan untuk
mendukung sektor lain sebagai bahan baku. Berdasarkan data dari global competitiveness report Tahun 2010-2011,
daya saing global Indonesia berada pada urutan 44 yang pada tahun sebelumnya berada pada peringkat 54. Walaupun ada peningkatan peringkat tetapi Indonesia
masih berada pada tahap factor driven ke efficiency driven. Transisi tersebut menegidikasikan bahwa Indonesia, sudah memperbaiki sistem pemerintahan,
infrastruktur, lingkungan makroekonomi, kesehatan dan pendidikan, tetapi belum mengoptimalkan pilar pendidikan yang tinggi, efisiensi pasar barang, tenaga kerja,
pembangunan pasar finansial, perluasan pasar dan teknologi
1
. Pentingnya daya saing dalam perdagangan internasional, dikarenakan
adanya peluang pasar dan globalisasi yang bisa mengakibatkan negara-negara baru bersaing satu sama lain. Apabila suatu negara tidak bisa meningkatkan daya
saing, maka produk-produk impor menjadi semakin banyak dan akan mempengaruhi perekonomian nasional.
Kondisi daya saing produk-produk pertanian di Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia, Jepang, Singapura dan
Cina. Indonesia masih mengekspor produk pertanian dalam bentuk segar sehingga harga jualnya rendah dan tidak bisa bersaing dengan produk olahan yang memiliki
nilai jual lebih tinggi.
1
WEF_Global Competitiveness report 2010-2011. www3.weforum.orgdocs.
2 Ubi Jalar merupakan salah satu produk pertanian yang telah diekspor
dalam bentuk segar maupun pasta. Indonesia memiliki lahan yang luas dan cocok untuk ditanami ubi jalar, tetapi permasalahan yang ada terkait dengan daya saing,
jumlah produk bukan merupakan parameter tetapi kualitas produk yang lebih diutamakan.
Peningkatan kualitas dapat dicapai melalui Standarisasi Produk Nasional dengan menggunakan logo SNI pada setiap produk yang dipasarkan di dalam dan
di luar negeri diekspor, logo SNI untuk ubi jalar adalah SNI 01-4493-1998
2
. Salah satu kebijakan yang telah direalisaikan yaitu dengan melakukan akreditasi
terhadap Laboratorium penguji Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi- umbian Balitkabi untuk mendapatkan jaminan tertulis tentang mutu suatu
produk. Berdasarkan Nutrition Action Health letter, USA, ubi jalar menempati
rangking satu dari 58 jenis sayuran sehingga disebut Sweet Potatoes is The King of Vegetables
dan menurut WHO, ubi jalar mengandung vitamin A empat kali lebih tinggi dari wortel dan mengandung beta caroten serta antociamin
3
. Indonesia berpotensi dalam pengembangan ubi jalar yang dapat dijadikan
komoditi unggulan pada setiap wilayah yang mengindikasikan setiap propinsi bisa membudidayakan komoditi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Peningkatan
produksi tidak diimbangi dengan rata-rata konsumsi per kapita yaitu hanya 2,064 kgkapitatahun dibandingkan dengan beras 84,24 kgkapitatahun sebagai
makanan pokok. Menurut data BPS 2009, konsumsi pangan dari tahun 2008- 2009 mengalami penurunan rata-rata sebesar 1 persen dapat dilihat pada Tabel 1.
2
SNI penguat Daya Saing Bangsa. http:docs.google.com.
3
15 Februari 2009. Telo Ubi jalar Indonesia diminati Jepang dan Korea. Edisi 816. Agrobis : Hlm 29. http:onlinebuku.com20090312
3 Tabel 1. Konsumsi Rata-rata per Kapita Kg Beberapa Bahan Pangan Tahun
2008 dan 2009 Jenis Bahan Makanan
2008 2009
Beras LokalKetan 86,256
84,24 Jagung basah dengan kulit
1,152 0,576
Ketela pohon 7,056
5,088 Ubi Jalar
2,448 2,064
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010 diolah
Pada tahun 2009, Jawa Barat merupakan propinsi sentra produksi ubi jalar di Indonesia yang memiliki produksi terbesar yaitu 469.646 ton dengan luas panen
33.387 ha dan produktivitas 140,67 kuha. Menurut data badan pusat statistik luas panen dan produksi ubi jalar di Jawa Barat berfluktuasi tiap tahunnya dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tanaman Ubi Jalar Provinsi Jawa Barat
Tahun Luas Panen Ha
Produktivitas KuHa Produksi Ton
2006 29.805
130,53 389.043
2007 28.096
133,73 375.714
2008 27.252
138,15 376.490
2009 33.387
140,67 469.646
2010 30.071
143,32 430.969
Sumber : Badan Pusat Statistik 2011
Produktivitas total dari semua varietas yang ditanam menunjukkan adanya peningkatan, tetapi jika dilihat dari masing-masing varietas menunjukkan
penurunan misalnya varietas ubi Cilembu yang disebabkan oleh teknologi budidaya yang masih tradisional, faktor cuaca dan hasil rata-rata produktivitas
paling rendah diantara varietas unggulan yang telah di lepas tahun 1977-2003 Tabel 3.
4 Tabel 3. Varietas Unggul Ubi Jalar yang telah di lepas oleh Pemerintah Tahun
1977-2003 No
Varietas Tahun Pelepasan
Rata-rata hasil TonHa
Umur Bln 1
Daya 1977
23 4
2 Borobudur
1981 25
3,5-4 3
Prambanan 1982
28 -
4 Muara Takus
1995 30-35
4-4,5 5
Mendut 1989
35 4
6 Kalasan
1991 40
2-3,5 7
Cangkuang 1998
30-31 4-4,5
8 Sewu
1998 28,5-30
4-4,5 9
Cilembu 2001
20 6-7
10 Sari
2001 30-35
3,5-4 11
Boko 2001
25-30 4-4,5
12 Sukuh
2001 25-30
4-4,5 13
Jago 2001
25-30 4-4,5
14 Kidal
2001 25-30
4-4,5 15
Shiroyutaka 2003
25-30 4-4,5
Sumber : Hilman, Yusdar, dkk dalam Jafar 2004
Jawa Barat memiliki dua Kabupaten sebagai sentra produksi ubi Jalar, yaitu Kuningan dan Sumedang. Di Kuningan para petani menanam varietas AC
dan Bogor yang diekspor ke Jepang dan Korea dalam bentuk pasta, sedangkan di Sumedang memiliki komoditi unggulan yaitu Cilembu yang telah diekspor ke
Jepang, Singapura, Hongkong, dan Malaysia. Sejak Tahun 2003, pengembangan ubi Cilembu dilakukan di Kabupaten Bandung, Cianjur, Purwakarta dan
Sukabumi. Walaupun pada Tabel 3, produktivitas ubi Cilembu dapat mencapai 20
tonHa, tetapi pada kenyataannya hanya 11 tonHa dikarenakan penggunaan bibit yang terus menerus dan tidak ada upaya pemuliaan tanaman teknologi untuk
5 mempertahankan kualitas ubi tersebut supaya bisa bersaing dengan varietas lain
baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Potensi daya saing dapat ditingkatkan melalui program OVOP one
village one product yang berarti satu daerah satu produk. Program tersebut
merupakan kerjasama antara Kementrian Koperasi dengan berbagai Usaha Kecil Menengah UKM sejak tahun 2008 setelah ada kebijakan penerbitan Peraturan
Menteri Perindustrian Nomor 78 tahun 2007 tentang penerapan pendekatan OVOP untuk pengembangan IKM.
Program OVOP adalah program yang diarahkan untuk menghasilkan satu jenis komoditi unggulan yang berada dalam suatu kawasan tertentu yang berarti
suatu desa. Adapun unsur-unsur yang melatarbelakangi adanya program tersebut adalah adanya kesesuaian potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia,
permodalan yang memadai, pemanfaatan teknologi, dan dukungan pemerintah untuk menjadikan suatu daerah sebagai penghasil produk berbasis lokal namun
berdaya saing global. Ubi Cilembu merupakan varietas yang paling rendah produktivitasnya
dibandingkan dengan varietas lain, tetapi apabila dilihat dari segi ekonomi, ubi Cilembu memiliki harga jual yang tinggi. Di Jawa Barat, Ubi Cilembu mentah di
tingkat pedagang besar seharga Rp 5.000,00-6.000,00 sedangkan untuk varietas AC dan Bogor hanya seharga Rp 2.400,00. Harga yang lebih tinggi, dikarenakan
ubi Cilembu sudah terkenal di domestik dan luar negeri serta memiliki brand tersendiri yang menjadi nilai jual.
Daerah pemasaran domestik meliputi Pulau Jawa, Bali dan Sumatera, biasanya ubi Cilembu digunakan sebagai bahan baku industri untuk diolah
menjadi makanan seperti keripik, tape, dodol, keremes, selai, saus, tepung, aneka kue, mie, es krim dan sirup, sedangkan di luar negeri dipasarkan di Jepang
dijadikan sebagai bahan pangan tradisional, diolah menjadi ethanol, bahan baku kosmetik dan minuman khas Jepang shake serta di Malaysia diolah dengan cara
dioven. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil
Pertanian Universitas Pasundan dan Fakultas Pertanian Universitas Widyatama, Bandung, ubi Cilembu mengandung karbohidrat 60,72 persen, protein 1,4 persen,
6 lemak 0,7 persen, gula total 14,16 persen, sukrose 8,47 persen, vitamin C 80 mg,
riboflavin 0,4 mg, niacin 0,6 mg, dan tanin 0,1 mg100 gram
4
. Sebagai varietas unggul, ubi Cilembu sangat disukai oleh pelaku usahatani
maupun konsumen dan menduduki peringkat teratas pesanan internasional seperti Jepang, Korea, dan Malaysia. Negara yang menjadi importir yaitu Jepang dengan
mengimpor 15 ton per dua minggu, sedangkan untuk negara Singapura dan Vietnam masih dalam tahap penjajakan
5
. Tetapi pada tahun 2010, ekspor ke Singapura sebanyak 10 ton dan
Hongkong 4 ton per dua minggu telah direalisasikan. Dengan adanya pasar yang terbuka lebar bisa menjadi peluang untuk menjadikan ubi Cilembu sebagai
komoditi daerah yang bisa bersaing di pasar internasional guna menambah pendapatan daerah setempat maupun sebagai devisa negara.
1.2 Perumusan Masalah