Desa Penghasil Ubi Jalar

40 VI HASIL DAN PEMBAHASAN Pengusahaan ubi jalar di Kabupaten Sumedang dipusatkan di daerah pengembangan yaitu di Desa Cilembu Pamulihan sebagai penghasil ubi Cilembu dan Desa Nagarawangi Rancakalong yang memiliki ekotype tanah yang sama. Pada umumnya petani di kedua desa menanam beberapa jenis ubi yang ditanam, ubi ungu, merah dan kuning, tetapi mayoritas menanam ubi kuning yaitu ubi Cilembu. 6.1 Struktur Penggunaan Biaya, Penerimaan dan Pendapatan dalam Pengusahaan Ubi Jalar di Kabupaten Sumedang Pada pengusahaan ubi jalar di Kabupaten Sumedang, komponen input yang digunakan adalah pupuk kandang dan bibit non tradable dan input tradable seperti Furadan, Urea, SP-36, KCL, Phoska, satuannya adalah Kg, dan Curacron adalah per botol. Terdapat perbedaan komponen penggunaan input pada kedua desa tersebut, petani di Desa Nagarawangi tidak menggunakan pupuk SP- 36 dan KCL. Tenaga kerja dikonversi menjadi Hari Orang Kerja HOK yang setara dengan Hari Kerja Pria HKP, sedangkan tenaga kerja wanita HKW dikonversi dengan mengalikan 0,8 agar menjadi setara dengan HOK. Upah tenaga kerja di Nagarawangi relatif lebih murah yaitu Rp 25.000 ditambah dengan makan, rokok, dan kopi untuk laki-laki dan di Desa Cilembu, upah tenaga kerja lebih mahal, Rp 30.000 ditambah uang makan untuk laki-laki sedangkan untuk wanita di kedua desa mendapatkan upah yang sama yaitu Rp 15.000,00. Aktivitas yang dilakukan oleh petani adalah melakukan pengolahan tanah, penanaman, pemupukan, penyemprotan, penyiangan dan pemanenan. Pada kegiatan pengolahan tanah, menggunakan tenaga kerja pria yang paling banyak diantara kegiatan lainnya, penanaman dan penyiangan biasanya dilakukan oleh tenaga kerja wanita. Tenaga kerja untuk pemanenan yaitu pria untuk menggali ubi, sedangkan wanita membersihkan ubi dari akar-akarnya dan memasukkan ke dalam wadah yang terbuat dari bambu dapat dilihat pada Gambar 6. 42 Tabel 13. Penerimaan, Biaya dan Keuntungan privat Usahatani Ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang per musim Tahun 2011 RpHa InputOutput Jenis Input Jumlah Harga Nilai Input Tradable Furadan 11 17.731 195.041 Urea 146 1.878 274.188 KCL 135 2.103 283.905 TSP 131 2.073 271.563 Phonska 265 2.506 664.090 Curacron 7 26.683 186.781 Input non tradable Bibit 1.804 835 1.506.340 Pupuk Kandang 5.644 196 1.106.224 Pengolahan lahan 176 27.250 4.796.000 Penanaman 20 24.188 483.760 Pemupukan 15 24.188 362.820 Penyiangan 38 24.188 919.144 Pemanenan 39 27.188 1.060.332 Cangkul 4 74.750 20.289 Sabit 4 40.833 11.083 Sprayer 5 305.000 54.900 Parang 4 40.750 11.061 Sewa Lahan Ha 1 6.000.000 6.000.000 Output Total Penerimaan 11.225 2.720 30.532.000 Total Biaya tidak termasuk lahan 12.207.521 Keuntungan tidak termasuk lahan 18.324.479 Keuntungan bersih termasuk lahan 12.324.479 RC 1,01 44 Dalam proses produksi, harga bayangan pupuk ditentukan berdasarkan harga border price free on board. Perhitungan harga bayangan pupuk Urea, FOB US 0,39 per kg dikalikan dengan SER tahun 2010 Rp 9.354,00 dikurangi dengan biaya tataniaga sebesar Rp 240,00kg Dinas Pertanian Kabupaten Sumedang, sedangkan untuk CIF KCL US 0,35kg dan CIF SP-36 US 0,4kg 9 dikalikan dengan SER tahun 2010 dan ditambah dengan biaya tataniaga. Untuk pupuk NPK Phonska memiliki harga bayangan yaitu Rp 6.650 yang merupakan harga non subsidi. Perbedaan rasio antara subsidi dan non subsidi yaitu 3-5 kali dari Harga Eceran Tertinggi HET . Dikarenakan NPK Phonska lebih banyak digunakan untuk produksi di domestik dibandingkan untuk diekspor dan hanya diproduksi oleh satu perusahaan yaitu PT Petrokimia Gresik. Harga Rp 6.650,00 diperoleh dari 3,8 dikalikan dengan Harga Eceran Tertinggi HET untuk Pupuk NPK Phonska yaitu Rp 1.750 per kg. Sedangkan untuk insektisida menggunakan harga aktual, dengan asumsi pasar persaingan sempurna.Tabel perhitungan Bujet Sosial untuk Usahatani Ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang dapat dilihat pada Tabel 14. 9 World Bank. 2010. Commodity Price Data Pinksheet http:www.worldbank.orgprospect 45 Tabel 14. Penerimaan, Biaya dan Keuntungan Sosial Usahatani Ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang per musim Tahun 2011 RpHa InputOutput Jenis Input Jumlah Harga Nilai Input Tradable Furadan 11 17.731 195.041 Urea 146 3.408 497.568 KCL 135 3.514 474.390 TSP 131 3.982 521.642 Phonska 265 6.650 1.762.250 Curacron 7 26.683 186.781 Input non tradable Bibit 1.804 835 1.506.340 Pupuk Kandang 5.644 196 1.106.224 Pengolahan lahan 176 24.798 4.364.448 Penanaman 20 22.011 440.220 Pemupukan 15 22.011 330.165 Penyiangan 38 22.011 836.418 Pemanenan 39 24.741 964.899 Cangkul 4 74.750 20.289 Sabit 4 40.833 11.083 Sprayer 5 305.000 54.900 Parang 4 40.750 11.061 Sewa Lahan Ha 1 5.931.375 5.931.375 Output Total Penerimaan 11.225 9.325 104.673.125 Total Biaya tidak termasuk lahan 13.283.719 Keuntungan tidak termasuk lahan 91.389.406 Keuntungan bersih termasuk lahan 85.458.031 46 Berdasarkan tabel tersebut biaya pada harga sosial menjadi lebih besar dikarenakan pada input tradable menggunakan harga dunia sehingga menjadi lebih tinggi, tetapi penerimaan yang didapatkan lebih besar menjadi Rp 9.325,00 sehingga mengakibatkan keuntungan menjadi lebih besar. Hal tersebut mengindikasikan bahwa harga dunia untuk ubi jalar lebih tinggi dibandingkan dengan harga domestik.

6.2 Analisis Daya saing Ubi Jalar di Kabupaten Sumedang

Analisis daya saing menggunakan Matriks Analisis Kebijakan PAM bisa mengukur daya saing melalui pendekatan keunggulan kompetitif, komparatif dan dampak kebijakan terhadap input maupun output. Matriks PAM terdiri dari penerimaan, biaya input tradable dan non tradable dan keuntungan berdasarkan harga finansial privat dan harga ekonomi sosial. Matriks PAM yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Matriks Analisis Kebijakan Pengusahaan Ubi Jalar Cilembu di Kabupaten Sumedang per musim Tahun 2011 Rpkg Ubi Jalar Keterangan Penerimaan Biaya Input Keuntungan Tradable Non Tradable Harga Privat 2.720,00 167,00 1.455,00 1.098,00 Harga Sosial 9.325,00 324,00 1.388,00 7.613,00 Dampak Kebijakan -6.605,00 -157,00 67,00 -6.515,00 Dari Tabel tersebut dapat diperoleh nilai sebagai indikator-indikator matriks kebijakan yang bisa menentukan keunggulan komparatif maupun kompetitif serta kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan ubi jalar di Kabupaten Sumedang Tabel 16. 47 Tabel 16. Indikator-Indikator Analisis PAM pada pengusahaan Ubi Jalar Cilembu di kabupaten Sumedang Tahun 2011 Indikator Nilai Keuntungan Privat KP 1.098,00 Keuntungan Sosial KS 7.613,00 Rasio Biaya Privat PCR 0,57 Rasio Sumberdaya Domestik DRC 0,15 Transfer Output OT -6.605,00 Koefisien Proteksi Output Nominal NPCO 0,29 Transfer Input IT -157,00 Transfer faktor TF 67,00 Koefisien Proteksi Input Nominal NPCI 0,52 Koefisien Proteksi Efektif EPC 0,28 Transfer Bersih NT -6.515,00 Koefisien Keuntungan PC 0,14 Rasio Subsidi Produsen SRP -0,70

6.2.1 Analisis Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif suatu komoditas dapat dilihat berdasarkan indikator-indikator Keuntungan Privat KP dan Rasio Biaya Privat PCR. Indikator tersebut menunjukkan tingkat keuntungan secara finansial dan tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya. Nilai KP yang didapat dari Tabel 15 yaitu Rp 1.098,00 dan PCR 0,57. Keuntungan Privat merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya input tradable dan domestik per satuan kilogram ubi jalar pada harga aktual. Berdasarkan Tabel , penerimaan petani secara finansial yaitu Rp 2.720,00 per kilogram sedangkan biaya input yang terdiri dari biaya tradable sebesar Rp Rp 167,00 dan biaya domestik sebesar Rp 1.445,00 sehingga keuntungan yang diperoleh yaitu Rp 1.098,00 per kilogram ubi jalar. Nilai keuntungan privat yang positif KP0 menunjukkan bahwa secara finansial pengusahaan ubi jalar di Kabupaten Sumedang menguntungkan. 48 Indikator tersebut menunjukkan bahwa petani sebagai pemilik bisa memenuhi kebutuhan keuangannya dengan melakukan usahatani ubi Cilembu. Tingkat efisiensi alokasi sumberdaya dapat diukur dengan menggunakan rasio biaya privat PCR yang merupakan rasio antara biaya faktor domestik dengan selisih antara penerimaan dan biaya input tradable pada harga privat. Nilai PCR menunjukkan bahwa setiap satu Dollar Amerika yang diperoleh dari ekspor ubi jalar di kedua desa hanya dibutuhkan biaya input domestik sebesar 0,57. Dengan nilai PCR lebih kecil dari satu PCR1 maka usahatani efisien secara finansial dan memiliki keunggulan kompetitif serta petani mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat.

6.2.2 Analisis Keunggulan Komparatif

Keunggulan komparatif dapat diukur dengan menggunakan nilai keuntungan sosial KS dan rasio biaya domestik DRC yang merupakan indikator menganalisis pengusahaan ubi jalar tetap memiliki daya saing tanpa bantuan pemerintah. Keuntungan sosial adalah selisih antara penerimaan dengan biaya input pada saat persaingan sempurna dan tidak ada efek divergensi baik kebijkan pemerintah maupun distorsi pasar. Keuntungan sosial diperoleh dari selisih penerimaan Rp 9.352,00 per kilogram dengan biaya input tradable sebesar Rp 324,00 dan biaya input domestik sebesar Rp 1.388,00 sehingga diperoleh keuntungan Rp 7.613,00 Keuntungan Sosial yang positif KS0 menunjukkan bahwa usahatani ubi di kedua desa menguntungkan secara ekonomi dan layak untuk diusahakan meskipun tanpa ada intervensi pemerintah. Usahatani ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang bisa bermanfaat untuk masyarakat maupun pemerintah, dengan ekspor ubi Cilembu mendapatkan devisa sebagai tambahan penerimaan negara. Selain Keuntungan Sosial KS, keunggulan komparatif bisa dilihat dari indikator DRC yang merupakan rasio antara biaya domestik dengan selisih penerimaan dikurangi biaya asing pada harga tanpa intervensi pemerintah harga bayangan. Suatu usahatani akan efisien secara ekonomi jika DRC diperoleh 49 kurang dari satu DRC1, semakin kecil nilai DRC maka keunggulan komparatif yang dimiliki semakin besar, dan jika DRC lebih dari satu DRC1 menunjukkan pemborosan sumberdaya domestik. Nilai DRC yang diperoleh adalah 0,15, nilai tersebut mengindikasikan usahatani ubi efisien secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif daya saing. Dengan nilai DRC yang diperoleh maka komoditas ubi jalar lebih efisien apabila diproduksi di dalam negeri dibandingkan impor atau memiliki peluang ekspor yang tinggi. Nilai DRC yang lebih kecil dari PCR DRCPCR menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tidak meningkatkan efisiensi dalam usahatani ubi jalar di Kabupaten Sumedang dan tanpa adanya kebijakan usahatani ubi Cilembu masih menguntungkan dan layak untuk dijalankan.

6.3 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah bisa memberikan dampak positif dan negatif serta bisa mengatur kuantitas input maupun output suatu aktivitas ekonomi. Berdampak positif jika kebijakan bisa membantu produsen dalam negeri meningkatkan keuntungan dengan bisa memasarkan produknya untuk diekspor dan berdampak negatif jika kebijakan tersebut menghambat usahatani suatu komoditi. Indikator kebijakan usatahatani ubi jalar di Kabupaten Sumedang bisa dibagi menjadi tiga yaitu dampak kebijakan terhadap output, input, dan input-output.

6.3.1 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output

Kebijakan pemerintah terhadap output bisa dilihat dari dua nilai yaitu Transfer Output OT dan Koefisien Proteksi Output Nasional NPCO. Transfer Output OT adalah selisih dari penerimaan privat dan penerimaan sosial. Nilai OT yang diperoleh adalah negatif OT0 yaitu Rp 6.605,00 yang mengindikasikan bahwa tidak ada insentif konsumen terhadap produsen, sehingga harga yang dibayarkan oleh konsumen lebih rendah dari seharusnya sehingga terjadi transfer output dari produsen ke konsumen. Dengan kata lain, tidak ada subsidi output yang menyebabkan harga sosial lebih tinggi 50 daripada harga privat. Harga ubi Cilembu domestik yaitu Rp 2.720,00 sedangkan harga dunia sebesar Rp 9.325,00. Perbedaan harga tersebut menjadikan penerimaan produsen menjadi lebih rendah pada saat ada kebijakan pemerintah harga aktual. Indikator lain yang bisa digunakan untuk melihat dampak kebijakan pemerintah yaitu Koefisien Proteksi Output Nominal NPCO yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap output. Nilai NPCO yang diperoleh yaitu 0,29 yang mengindikasikan bahwa ada hambatan kebijakan pemerintah untuk melakukan ekspor diantaranya pungutan-pungutan liar dan biaya bea cukai yang lebih tinggi apabila ekspor dilakukan pada hari libur sehingga tidak ada penambahan penerimaan. Petani hanya memperoleh 29 persen dari harga yang seharusnya yang menyebabkan petani tidak memperoleh insentif untuk meningkatkan produksi. Dengan tidak adanya transfer output dari konsumen ke produsen maka menyebabkan harga yang diterima oleh konsumen lebih rendah dari yang seharusnya dan terjadi kebijakan pemerintah yang melindungi konsumen domestik.

6.3.2 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input

Kebijakan pemerintah terhadap input bisa berupa subsidi dan hambatan impor untuk melindungi produsen. Untuk mengetahui adanya insentif pemrintah terhadap input bisa dilihat dari indikator Transfer Input IT, Transfer Faktor FT, dan Koefisien Proteksi Input Nasional NPCI. Nilai Transfer Input IT merupakan selisih Biaya Input Tradable Privat dan Sosial. Jika nilai IT positif IT0, maka harga sosial input asing lebih tinggi dan produsen membayar lebih mahal. Nilai IT yang diperoleh untuk petani di Kabupaten Sumedang yaitu negatif Rp 157,00 menunjukkan adanya subsidi pemerintah terhadap input asing, sehingga produsen tidak membayar penuh untuk membeli input. Dari harga dunia yang berlaku petani hanya membayar 55 persen dari harga yang seharusnya, sehingga subsidi yang diberikan pemerintah sebesar 45 persen.