11 Cilembu. Daya saing bisa dilihat dari keunggulan yang dimiliki baik komparatif
maupun kompetitif dan pengaruh kebijakan suatu negara terhadap keberlanjutan pengusahaan ubi Cilembu baik insentif maupun disinsentif yang akan menentukan
efektivitas, efisiensi dan kelayakan suatu usaha. Adapun perumusan masalah yang bisa dianalisis dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana daya saing keunggulan kompetitif dan komparatif pengusahaan ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang?
2. Bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah terhadap daya saing
pengusahaan ubi jalar?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Menganalisis daya saing pengusahaan ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang.
2. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan ubi
Cilembu.
1.4
Manfaat Penelitian
1. Petani lebih mengetahui keunggulan ubi Cilembu, bukan hanya dari produk
tetapi pemasarannya. 2.
Pemerintah Kabupaten Sumedang dalam menyusun strategi pengembangan budidaya ubi Cilembu agar lebih meningkatkan daya saing.
12
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis
Pada awalnya penelitian tentang sistem pertanian hanya terbatas pada tahap budidaya atau pola tanam, tetapi pada tahun 2000, sistem pertanian terus
disempurnakan sehingga menjadi sebuah sistem agribisnis yang terintegrasi antara industri hulu, usahatani, industri hilir dan jasa pendukung. Hal ini berkaitan
dengan Indonesia merupakan produsen terbesar untuk beberapa komoditas primer, tetapi belum memiliki kemampuan bersaing Sudaryanto dan Adnyana, 2002
6
. Sistem agribisnis sangat berkaitan dengan kemampuan bersaing, Suryana
2002 berpendapat bahwa setiap subsistem harus berdayasaing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi sehingga terwujud secara nyata dan konkrit
pada skala ekonomi di lapangan
7
. Berdayasaing memiliki ciri berorientasi pasar, sehingga memperluas
pangsa pasar internasional, mengandalkan produktivitas dan nilai tambah yang didukung dengan pemanfaatan modal, teknologi dan kreativitas sumberdaya
manusia sehingga tidak mengandalkan sumberdaya yang melimpah dan tenaga kerja tidak terdidik.
Berkerakyatan adalah mendayagunakan sumberdaya yang dimiliki sehingga nilai tambah yang dihasilkan bisa dinikmati oleh orang banyak dan
menjadi pelaku utama dalam kegiatan agribisnis. Berkelanjutan dicirikan dengan kemampuan merespon perubahan pasar
dengan cepat dan efisien, memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup sehingga berorientasi jangka panjang.
Terdesentralisasi yaitu memiliki basis pendayagunaan keragaman sumberdaya lokal, sehingga kreativitas pelaku ekonomi daerah tersebut menjadi
terpacu untuk meningkatkan kesejahteraan yang didukung oleh pemerintah daerah.
6
Bachrein, S. 2006. Penelitian Sistem Usaha Pertanian Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 4 Nomor 2, Juni 2006.
7
Loc.cit
13 Pengusahaan ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang, sistem pertaniannya
belum terintegrasi dengan baik. Pada industri hulu, hanya bisa memasok bahan baku berupa bibit, tetapi input lainnya seperti pupuk, masih dikendalikan oleh
pemerintah dengan menggunakan pupuk bersubsidi dan insektisida yang tidak disubsidi. Alat-alat pertanian pun seperti sprayer masih menggunakan produk
impor, sedangkan untuk cangkul, sabit dan parang sudah diproduksi di dalam negeri.
Usahatani ubi Cilembu, pengelolaannya masih tradisional, dengan lahan yang sempit, dan teknologi yang masih terbatas. Lahan yang dimiliki berkisar
antara 1400 m
2
– 7.000 m
2
, sedangkan untuk lahan yang lebih dari satu hektar, para petani menyewa per musim. Sehingga bisa mengurangi keuntungan yang
seharusnya diperoleh. Pada industri hilir, lembaga pemasaran untuk domestik yang ada pada
usahatani Ubi Cilembu yaitu petani-pedagang pengumpul-pedagang besar- pedagang eceran-konsumen, dan berdasarkan informasi dari pedagang besar,
margin harga yang paling besar berada pada pedagang eceran atau kios. Harga di tingkat petani Rp 2.500,00 7 persen, pedagang pengumpul Rp 3.500,00 dan
pedagang besar Rp 5.000,00 14 persen serta pedagang eceran Rp 10.000,00 50 persen per kilogram. Margin yang terlalu besar di tingkat pengecer
mengakibatkan keuntungan yang diperoleh tidak merata dan merugikan petani. Kios untuk pemasaran Cilembu sangat banyak di Cadas Pangeran dan lokasi
tersebut dekat dengan tempat usahatani, sehingga biaya transportasi tidak terlalu besar.
Sedangkan untuk pemasaran tujuan ekspor, lembaga pemasaran yang terbentuk yaitu petani- pedagang besar atau eksportir-konsumen. Harga di tingkat
petani yaitu Rp 2.000,00 dan di tingkat eksportir yaitu Rp 7.500,00 per kilogram. Perbedaan harga yang tinggi dikarenakan petani hanya berperan untuk menanam,
sedangkan panen, transportasi, pencucian, sortasi, grading serta pengepakan oleh eksportir.
Ekspor yang dilakukan adalah dengan melakukan ekspor langsung dan tidak langsung. Ekspor langsung melalui distributor yang berada di Malaysia,
pedagang besar hanya melakukan pengiriman barang dan pengemasan sampai di
14 pelabuhan Tanjung Priuk, sedangkan untuk masalah transportasi Kapal Laut ke
negara Malaysia menjadi tanggung jawab importir. Sedangkan untuk ekspor tidak langsung, melalui agen ekspor yaitu Perusahaan Bona Vista. Pedagang besar di
Cilembu hanya melakukan pengemasan ke dalam keranjang bambu, dan perusahaan tersebut melakukan pengemasan sendiri dan diberi logo perusahaan
pada kemasan serta mengekspor dengan produk-produk lain seperti sayuran maupun sabut kelapa.
Jasa pendukung misalnya Bank, sebagai penyedia modal untuk petani, tidak dimanfaatkan oleh petani. Padahal dengan adanya Bank, maka petani bisa
meningkatkan produksinya. Tetapi birokrasi yang terlalu rumit dan lama, menyebabkan petani tidak meminjam modal dari Bank. Koperasi yang terbentuk
di Desa Cilembu, yaitu Koperasi Wanita Tani belum mampu mengolah ubi Cilembu menjadi makanan yang memiliki nilai jual tinggi hanya mengolah
menjadi dodol atau keripik dan dipasarkan hanya sekitar Kabupaten Sumedang. Setiap subsistem dalam pengusahaan ubi Cilembu belum berdayasaing,
masih menggunakan tenaga kerja tidak terdidik dan hanya mengandalkan sumberdaya alam yang melimpah, walaupun sudah memperluas pemasarannya
ekspor. Informasi pasar tentang kualitas produk dan harga masih dikuasai oleh pedagang besar, sehingga petani hanya bersifat menerima harga price taker.
Kebijakan pemerintah belum mendukung sepenuhnya, terutama anggaran untuk pengembangan usahatani ubi Cilembu sehingga belum terdesentralisasi antara
lembaga pemasaran yang terkait dengan pemerintah.
2.2 Perkembangan Alat Analisis Daya Saing