139
VI  HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1
Analisis Aspek Kelayakan Non Finansial
Aspek  kelayakan  non  finansial  penting  untuk  dianalisis  karena  sebagai gambaran  terhadap  usaha  yang  akan  dijalankan  maupun  yang  sudah  dijalankan.
Kelayakan  aspek  non  finansial  menjadi  penentu  atas  kelayakan  aspek  finansial suatu  usaha.  Dalam  analisis  kelayakan  usaha  pupuk  organik  Poktan  Bhineka  I,
aspek yang ditinjau meliputi ; 1 Aspek teknis dan teknologi, 2 Aspek pasar, 3 Aspek manajemen, 4 Aspek hukum, dan 5 Aspek sosial lingkungan.
6.1.1  Aspek Teknis dan Teknologi
Kajian  aspek  teknis  dan  teknologi  menitikberatkan  pada  penilaian  atas kelayakan  proyek  dari  sisi  teknis  dan  teknologi.  Penilaian  meliputi  pemilihan
bahan baku dan peralatan, penentuan metode dan penentuan lokasi usaha.
1. Bahan Baku dan Peralatan Produksi Pupuk Organik Bhineka I
Setiap  bahan  organik  memberikan  kandungan  khusus  dalam  pupuk organik. Menurut Bapak Suta Suntana, Ketua APPOS,  komposisi pupuk organik
yang baik yaitu: 1.
Kotoran hewan : 40-50 persen
2. Jerami
: 20-30 persen 3.
Arang sekam : 20 persen
4. Bahan Tambahan Molase, zeolit,dll
: 10 persen Komposisi bahan baku pupuk organik Bhineka I diuraikan pada tabel berikut.
Tabel 4. Komposisi Bahan Baku 10 Ton Pupuk Organik Bhineka I
No Jenis Bahan Baku
Jumlah Total Kg
Proporsi Keterangan
1 Kotoran Hewan
460 karung 13800
48.75 Karung 30 kg
2 Arang Sekam
180 karung 5400
19.07 Karung 30 kg
3 Jerami
9 bak mobil 9000
31.79 Bak 500kg
4 Zeolit
1 kwintal 100
0.35 Kwintal100kg
5 Molase
10 kg 10
0.04 6
Dekomposer 10 botol
- -
Botol  1 liter 7
Air 1500 liter
- -
1500 liter
Total 23810
100
140 a.
Kotoran Hewan Produksi pupuk organik  yang dilakukan  Bhineka  I  menggunakan  kotoran
sebagai salah satu sumber bahan organik utama. Kotoran hewan  yang digunakan dalam usaha ini berasal dari kotoran sapi pedaging, sapi perah, domba dan ayam.
Menurut  pengelola,  penggabungan  dari  beragam  jenis  kotoran  ini  meningkatkan kualitas  pupuk  karena  setiap  kotoran  memiliki  karakter  sendiri  Lampiran  1.
Kotoran  sapi  pedaging  lebih  banyak  digunakan  daripada  sapi  perah  karena kandungan airnya lebih sedikit. Pada tahun 2008,  sebagian besar kotoran dipasok
dari  PT  Kresna  yaitu  sebuah  perusahaan  peternakan  terbesar  di  Kecamatan Purwadadi.  Pada  tahun  2009,  sebagian  besar  pasokan  kotoran  berasal  dari
peternakan  milik  warga  Desa  Blendung  dan  sekitarnya.  Menurut  pengelola kualitas kotoran dari peternakan warga  lebih baik dibandingkan yang berasal dari
peternakan besar karena kandungan sampah ransum dan air lebih rendah.
Tabel 5.  Ketersediaan Kotoran Hewan di Kecamatan Purwadadi
No Jenis Ternak
Jumlah Ekor Rata-rata Produksi
Kotoran per hari kg
Total Produksi Kotoran per Bulan
Kg
1 Sapi
708 3
63.720 2
Kambing, Domba 5619
0.5 84.285
3 Ayam Buras, Itik
5650 0.2
33.900
Total 181,905
Sumber:  diolah,  Warta  Penelitian  Pengembangan  Pertanian  Vol  27.  No  25.  2006  dan  Laporan Penyuluh Pertanian Desa BLendung, 2007
Seperti  diuraikan  pada  Tabel  3,  kebutuhan  kotoran  dalam  pembuatan  10 ton  pupuk  organik  yaitu  20.7  ton  per  bulan.  Jika  diasumsikan  pasokan  kotoran
diperoleh  dari  desa-desa  sekitar  Kecamatan  Purwadadi,  maka  ketersediaan kotoran terjamin karena ketersediaan kotoran sebesar 181, 9 ton per bulan.
b. Jerami dari Limbah Jamur
Fungsi jerami dalam pupuk organik yaitu memberikan kandungan karbon dalam pupuk. Jerami yang baik digunakan untuk pembuatan pupuk organik yaitu
jerami  yang  tercacah  kasar  dan  kering  agar  mudah  dikomposkan.  Dalam  usaha pupuk  organik  Poktan  Bhineka  I,  jerami  yang  digunakan  berasal  dari  limbah
usaha  budidaya  jamur  yang  sudah  tercacah  dan  terurai  sehingga  proses
141 pengomposan  menjadi  lebih  cepat.  Selain  itu,  alasan  penggunaan  jerami  dari
limbah  jamur  adalah  ketersediaanya  cukup  banyak,  harganya  lebih  murah  dan akses memperolehnya lebih dekat.
c. Arang sekam
Fungsi  arang  sekam  yaitu  memberikan  kandungan  unsur  K  dalam  pupuk organik.  Dalam  usaha  pupuk  organik  Bhineka  I,  arang  sekam  berasal  dari  usaha
penggorengan kerupuk dan pembuatan batu bata. Arang sekam yang berasal dari limbah  penggorengan  kerupuk  lebih  banyak  digunakan  dibandingkan  dari
pembuatan  bata.  Alasannya  adalah  arang  sekam  dari  limbah  penggorengan kerupuk  tidak  terlalu  matang  dalam  pembakaran  sehingga  lebih  banyak
mengandung K
2
O dan tidak berbentuk abu. d.
Molase Fungsi molase yaitu sebagai katalisator perkembangan mikroba pembusuk
pada  proses  pengomposan.    Selain  itu,  menurut  Isroi  2009,  molase  sebagai bahan  tambahan  dalam  pembuatan  pupuk  organik  juga  dapat  berperan  sebagai
perekat  agar  pupuk  organik  yang  dihasilkan  tidak  remah.  Pada  proses  produksi pembuatan  pupuk  organik  Poktan  Bhineka  I  digunakan  molase  sebanyak  10  kg
untuk  memproduksi 10 ton pupuk organik. Takaran penggunaan  molase tersebut dapat  bertambah  atau  berkurang  tergantung  kondisi  bahan  kompos.  Jika  bahan
kompos  terlalu  basah  maka  penggunaan  molase  akan  dikurangi.  Dan  sebaliknya jika kondisi bahan kompos terlalu kering maka takaran molase ditambah.
e. Dekomposer
Dekomposer  berbentuk  cairan  yang  berisi  bakteri  pembusuk  yang berfungsi  mendekomposisi  sampah  organik  timbunan.  Menurut  Djaja  2008,
dekomposer pada prinsipnya hanya sebagai pemacu mikroorganisme dalam proses pengomposan,  tetapi  tidak  dapat  menaikkan  kandungan  unsur  hara  dari  bahan
penyusun  kompos.  Pembuatan  kompos  tanpa  dekomposer  membutuhkan  waktu pengomposan  yang  lebih  lama.  Poktan  Bhineka  I  menggunakan  dekomposer
dalam  pembuatan  10  ton    pupuk  yaitu  sebanyak  1  liter  dekomposer  yang dilarutkan  dengan  150  liter  air.  Pemakaian  tersebut  sesuai  dengan  aturan  pakai
yang  tertera  pada  label  dekomposer.  Merek  dagang  dekomposer  yang  banyak beredar  dipasar  yaitu  merek  Superfarm  dan  Em4.  Merek  dekomposer  yang
142 digunakan  dalam  usaha  ini  yaitu  Superfarm  yang  diproduksi  oleh  Greenland
Agrotecht Industries Lampiran 4, Gambar 5. Alasan dari penggunaan Superfarm karena  mempunyai  bakteri  lebih  banyak sehingga hasil pengomposan  lebih  baik.
Pembelian dekomposer melalui APPOS. f.
Kaptan Kaptan dalam pembuatan pupuk organik beperan sebagai zat adiktif untuk
mengontrol PH dan kandungan silikat. Kaptan yang digunakan dalam pembuatan ini bermerek dagang Zeolit dan dibeli dalam bentuk curah karung 50 kg. Kaptan
didapatkan dari Jawa Tengah dan pembelian melalui APPOS. g.
Mesin dan peralatan Mesin dan peralatan yang digunakan oleh Bhineka I dalam proses produksi
tergolong sederhana dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6.  Rincian  Peralatan dan Fungsinya dalam Pembuatan Pupuk Organik  Bhineka I
No Jenis Peralatan
Jumlah Unit
Fungsi
1 Alas bambu
1 Sebagai alas tumpukan kompos
dalam proses pengomposan 2
Mesin giling 1
Menghaluskan pupuk organik yang masih kasar
3 Mesin kemas
1 Menjahit karung kemasan pupuk
organik 4
Timbangan gantung 100 kg
1 Menimbang bahan baku dengan
kapasitas beban dibawah 100 kg
5 Timbangan duduk 500 kg
1 Menimbang bahan baku dan
pupuk organik dengan kapasitas beban dibawah 500 kg
6 Terpal
1 Sebagai penutup dan alas
sewaktu menjemur 7
Cangkul 4
Sebagai alat pengaduk bahan kompos
8 Sekop
3 Sebagai alat pengaduk bahan
kompos 9
Ayakan 1
Menyaring partikel kompos 10  Drum
2 Sebagai tempat penampung air
11  Garu 1
Pengaduk bahan kompos 12  Embrat Penyiram
1 Sebagai alat penyiram
13  Sepatu Boot 2
Melindungi kaki pekerja 14  Ember dan gayung
2 Menampung dan mengambil air
143
2. Penentuan  Metode Produksi
Proses  produksi  yang  dilakukan  oleh  Poktan  Bhineka  I  dapat  dilihat  dari Gambar  4.  Proses  produksi
dimulai  dari  penyediaan  bahan  baku  hingga penyimpanan  produk  jadi.  Kapasitas  produksi  Poktan  Bhineka  I  yaitu  25  ton
pupuk  setiap  bulannya.  Nilai  kapasitas  ini  diukur  berdasarkan  luas  bangunan pengomposan.
Gambar 4. Skema Pembuatan Pupuk Organik Poktan  Bhineka I
1. Penanganan  dan Penyimpanan Bahan Baku
Penanganan  dan  penyimpanan  bahan  baku  mempengaruhi  kualitas pengomposan. Bahan baku seperti kotoran dan limbah jamur tidak dapat dibiarkan
lama  di  ruangan  terbuka  karena  bahan  baku  tersebut  menjadi  padat  dan  bersifat anaerobik. Jika demikian, maka kualitas dari pupuk organik yang dihasilkan akan
menurun. Menurut Djaja 2008, bahan baku seperti kotoran, jerami limbah jamur
dan arang sekam diletakkan dan disimpan di tempat yang teduh dan tertutup agar
Membuat Tumpukan Kompos Penanganan dan penyimpanan
bahan baku
Memberikan perlakuan berdasarkan suhu dan
kelembapan
Penjemuran
Penimbangan dan Pengemasan Pemanenan
Penyimpanan Pupuk organik Pengayakan
15-20 hari
144 tidak terkena air hujan, angin, dan panas. Tempat yang terbuka memungkinkan zat
hara  bahan  baku  tercuci  oleh  air  hujan  atau  menguap  karena  terbawa  angin  dan panas.  Namun,  tempat  yang  sangat  tertutup  pun  tidak  dianjurkan,  karena  uap
bahan  baku  dapat  menumpuk,  sehingga  bisa  menimbulkan  alergi  pada  pekerja, dan  keracunan.  Jadi,  tempat  penyimpanan  dan  penimbunan  yang  baik  adalah
tempat setengah terbuka dan beratap. Poktan Bhineka I hanya memiliki bangunan untuk pengomposan sedangkan ruang penyimpanan bahan baku tidak ada. Bahan
baku seperti  kotoran dan  limbah  jamur disimpan  di  luar tanpa atap Lampiran 4, Gambar  2    dan  tidak  beralas  sehingga  dapat  dikatakan  dalam  proses
penyimpanan bahan baku, penanganan yang dilakukan kurang baik. 2.
Membuat Tumpukan Kompos Proses  pengomposan  yang  dilakukan  Poktan  Bhineka  I  dengan  metode
Jepang.  Tumpukan  dibuat  dengan  meggunakan  alas  bambu  untuk  mempercepat proses pengomposan. Menurut Sutanto 2002 dan Djaja 2008 tinggi tumpukan
kompos  yang dianjurkan adalah 1  - 1,5  meter.  Pada  metode ini, tidak digunakan lubang  galian  untuk  pengomposan  tetapi  menggunakan  bak  penampung  yang
terbuat  dari  anyaman  bambu  yang  disusun  bertingkat  alas  bambu.  Fungsi  dari alas  bambu  tersebut  adalah  sebagai  aerasi  saluran  udara.  Menurut  Sutanto
2002,  keunggulan  dari  metode  Jepang  adalah  memudahkan  pengadukan  dalam proses  pengomposan  dan  menghindari  dari  pengurangan  nitrat  berlebihan  akibat
pelindian.  Sedangkan  menurut  pengelola,  pemilihan  metode  ini    karena  mudah diterapkan dan menghasilkan kualitas kompos yang baik.Tumpukan kompos yang
terlalu  tinggi  menyebabkan  kekurangan  aerasi  pada  pengomposan.  Dalam  usaha ini,  bahan  kompos  disusun  menurut  aturannya  dengan  tinggi  tumpukan  kurang
lebih 1,5 meter. Setelah tumpukan dibuat, maka yang dilakukan adalah penaburan molase dan penyiraman dengan larutan dekomposer.
Keterbatasan  luas  bangunan  produksi  dan  pasokan  bahan  baku menyebabkan proses pengomposan dilakukan secara bertahap. Dalam waktu satu
bulan,  Poktan  Bhineka  I  hanya  dapat  memproduksi  25  ton  pupuk  atau  5 tumpukan.  Tumpukan  kompos  dibuat  setiap  3  hari  sekali  dengan  volume
tumpukan sekitar 12 meter kubik 1,5m x 1,5 m x 4m atau dengan berat sekitar 5 ton.
145
Gambar 5. Susunan Tumpukan Kompos
Pada  Lampiran  6  dapat  dilihat  alur  proses  pengomposan  bertahap.  Setelah tumpukan  1  dibuat  maka  tahap  berikutnya  adalah  membiarkan  tumpukan
mengalami  proses  pengomposan  sambil  memberi  perlakuan  pembalikan  atau penyiraman.  Lima  hari  kemudian,  tumpukan  kedua  dibuat  dan  sambil  tetap
mengontrol  kondisi  tumpukan  1  hingga  matang.  Proses  ini  berlangsung  terus menerus selama bahan baku tersedia.
3. Memberikan perlakuan berdasarkan suhu dan kelembapan
Setelah dilakukan penumpukan, maka dalam beberapa hari suhu tumpukan akan  naik  perlahan-lahan  yang  menandakan  bakteri  sedang  bekerja.  Kondisi
tumpukan harus terus terpelihara agar kegiatan pelapukan bahan oleh jasad renik berlangsung dengan baik. Perlakuan yang dilakukan antara lain:
a. Pemantauan suhu
Suhu  yang  diinginkan  selama  proses  pelapukan  berkisar  antara  45-65
o
C. Pengukuran  suhu  biasanya  hanya  dirasakan  dengan  tangan.  Bila  suhu  tumpukan
diatas  65
o
C  maka  harus  dilakukan  pembalikan  sekaligus  penyiraman.  Tujuan pembalikan yaitu : 1 meratakan proses pelapukan di setiap bagian tumpukan, 2
membuang  panas  yang  berlebihan,  3  memasukkan  udara  segar  kedalam tumpukan, 3 meratakan pemberian air, dan 4 membantu penghancuran bahan.
Jika  suhu  dibawah  45
o
C  maka  yang  dilakukan  adalah  dengan  menutup  sedikit tumpukan dan penambahan dekomposer.
b. Pemeriksaan kelembapan
Kondisi kelembapan yang ingin dicapai yaitu 50 persen dimana jika bahan kompos  diremas  maka  akan  terdapat  sedikit  air  pada  sela  tangan.    Jika  bahan
Zeolit Kapur
Kotoran SapiDomba Arang Sekam
Jerami Limbah Jamur Kotoran Ayam
Alas Bambu
146 terlalu  kering,  dimana  saat  diremas  tidak  keluar  air  dan  terlalu  remah  sehingga
harus  dilakukan  penyiraman.  Akan  tetapi,  jika  saat  diremas  terlalu  banyak  air maka harus dilakukan pembalikan agar uap air keluar dari tumpukan kompos.
4. Pemanenan
Kompos  yang  siap  dipanen  memiliki  ciri-ciri  yaitu  suhu  rata-rata  setelah dua  minggu  menurun  hingga  dibawah  45
o
C  dimana  bahan  kompos  telah menyerupai tanah dan warnanya coklat kehitaman. Setelah pengomposan selesai,
bahan kompos dijemur terlebih dahulu beberapa jam sebelum dikemas. 5.
Penjemuran Bahan  kompos  yang  telah  matang  kemudian  dijemur  atau  dikeringkan
terlebih  dahulu  sebelum  dikemas.  Hal  ini  bertujuan  untuk  menormalkan  suhu bahan  kompos  dan  mengeringkannya.  Penjemuran  membutuhkan  waktu  1-3  hari
tergantung  dari  hasil  pengomposan  dan  cuaca.  Jika  hasil  pengomposan  cukup kering saat cuaca kemarau maka penjemuran bisa dilakukan dalam waktu sehari.
Penjemuran  dilahan  kosong  disebelah  ruang  pengomposan.  Lokasi  penjemuran belum bersemen sehingga digunakan terpal sebagai alas penjemuran Lampiran 5,
Gambar 5. 6.
Pengayakan Pengayakan dilakukan untuk  memisahkan  sampah dan  bahan  yang tidak
terkomposkan sehingga didapatkan pupuk organik bersih. 7.
Penimbangan dan Pengemasan Bahan kompos yang telah diayak kemudian dimasukkan ke dalam karung
dan ditimbang. Masing-masing karung berisi pupuk organik seberat 50 kilogram. Setelah  ditimbang,  karung  tersebut  kemudian  dijahit  dan  pupuk  siap  dijual.
Kemasan yang digunakan Poktan Bhineka I adalah karung goni plastik. 8.
Penyimpanan pupuk organik Pupuk yang dikemas kemudian disimpan di tempat yang teduh dan beratap
agar  tidak  terkena  cahaya  matahari  langsung  dan  hujan.  Proses  penyimpanan pupuk  organik  dalam  usaha  ini  kurang  baik.  Pupuk  disimpan  diruang  terbuka
menyebabkan  pupuk  mengalami  pengikisan  air  hujan    dan  terlalu  kering  saat kemarau Lampiran 5, Gambar 6.
147
3. Penentuan Lokasi
Lokasi  kantor  dan  pabrik  pupuk  organik  berada  di  dusun  IV  Desa Blendung  pada  lahan  seluas  1500m
2
dengan  luas  bangunan  8m  x  20m.  Lokasi usaha  ini  berdekatan  dengan  lokasi  usaha  pembibitan  Poktan  Bhineka  I,  usaha
peternakan  ayam  milik  pengelola,  usaha  perikanan  dan  usahatani  padi  sawah milik warga. Denah lokasi dari usaha ini dapat dilihat pada Lampiran 4.
1. Letak pasar yang dituju
Jarak lokasi usaha dengan pasar mempengaruhi besarnya biaya pemasaran. Oleh  karena  itu,  kedekatan  lokasi  usaha  dengan  pasar  penting  untuk  di  analisis.
Penjualan  pupuk  organik  yang  dilakukan  oleh  Poktan  Bhineka  I  dengan  cara penjualan  di  tempat  dimana  biaya  pengangkutan  tidak  ditanggung  oleh  penjual.
Oleh karena itu, jarak tidak menjadi masalah yang berarti bagi penjual. Sebagian besar pembeli pupuk  berlokasi di wilayah  sekitar Kabupaten Subang.  Konsumen
menganggap bahwa lokasi dari usaha ini cukup terjangkau. 2.
Kedekatan dengan bahan baku Bahan baku utama dari usaha ini adalah kotoran hewan, jerami dari limbah
jamur  dan  arang  sekam.    Kotoran  hewan  seperti  sapi  dan  domba  didapat  dari peternak sekitar lingkungan usaha yaitu peternak dari Desa Blendung sendiri dan
dari desa sekitar seperti Desa Koranji dan Panyingkiran. Sedangkan untuk kotoran ayam  diperoleh  dari  kandang  ayam  milik  pengelola  Bapak  Dedy  Sobandi.
Limbah jamur diperoleh dari Desa Rancabango dimana di daerah tersebut terdapat 20  pengusaha  budidaya  jamur.  Arang  sekam  diperoleh  dari  limbah  usaha
pembuatan  kerupuk  dan  usaha  pembuatan  bata  yang  berada  di  Kalijati  yang berjarak sekitar 10 km dari  lokasi usaha. Untuk bahan  bantu seperti  fosfat alam,
molase, zeolit dan lain-lain diperoleh dari luar Subang yaitu Jakarta dan Bandung dan dipesan melalui APPOS.
3. Air dan listrik
Air  sebagai  bahan  bantu,  berperan  penting  dalam  keberhasilan    proses produksi.  Oleh  karena  itu,  ketersediaan  air  penting  bagi  usaha  ini.  Usaha  ini
menggunakan  air  tanah  dalam  proses  produksi.  Berdasarkan  laporan  penyuluhan pertanian  2007,  Desa  Blendung  memiliki  drainase  yang  baik  sehingga
ketersediaan air cukup dan terjamin.
148 4.
Suplai tenaga kerja Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan rata-rata per bulannya yaitu 5 orang
yang  berasal  dari  lingkungan  sekitar  dengan  tingkat  pendidikan  terakhir  SD. Ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proses produksi pupuk organik
Poktan Bhineka cukup terjamin. 5.
Fasilitas transportasi Desa  Blendung  memiliki  jalan  utama  desa  dalam  kondisi  baik  dan
beraspal.  Lokasi  usaha  berada  sekitar  300  meter  dari  jalan  utama  desa  dengan kondisi jalan kurang baik dan belum beraspal.
6. Iklim dan keadaan tanah
Menurut  Djaja  2008,  cuaca  berpengaruh  dalam  pembuatan  pupuk organik  terutama  dalam  pengomposan.  Cuaca  yang  terlalu  kering    dengan
temperatur  yang  tinggi  menyebabkan  penguapan  yang  tinggi.  Sedangkan  pada musim  hujan  mengakibatkan  terjadinya  pencucian  mineral  bahan  baku  jika
penyimpanan bahan baku tidak dilakukan dengan baik. Cuaca yang terlalu basah dengan  kelembapan  yang  tinggi  juga  mengakibatkan  bahan  baku  mudah  busuk.
Lokasi  usaha  berada  di  Desa  Blendung  yang  terletak  di  wilayah  dataran  sedang dengan ketingggian 35 mdl. Wilayah ini memiliki curah hujan 1.721 mm dengan
6 bulan hujan dan 6 bulan kering. Suhu rata-rata harian adalah 29 derajat celcius. Berdasarkan  kondisi  geografisnya,  maka  Desa  Blendung  cocok  dijadikan  lokasi
pengomposan.  Tingkat  produksi  yang  lebih  tinggi  dapat  dilakukan  pada  saat musim  kemarau  daripada  musim  hujan  karena  saat  musim  kemarau  proses
pematangan kompos lebih cepat. 7.
Sikap masyarakat Proses  pembuatan  pupuk  organik  menghasilkan  bau  sehingga  pemilihan
lokasi  harus  mempertimbangkan  kedekatan  dengan  lokasi  pemukiman masyarakat.  Lokasi  usaha  pembuatan  pupuk  organik  Bhineka  I  berada  jauh  dari
pemukiman  penduduk  sehingga  tidak  menimbulkan  masalah  sosial.  Selama berlangsungnya  usaha  pembuatan  pupuk  organik,  Poktan  Bhineka  I  mendapat
dukungan dari masyarakat.
149 8.
Rencana untuk perluasan usaha Lokasi tempat proses pembuatan pupuk organik  ini  berada dilahan seluas
1500m
2
milik  pengelolanya  yaitu  Bapak  Dedi  Sobandi.  Luas  banguan  proses pengomposan yaitu 7x20 meter. Pemanfaatan lahan ini sebagai lokasi  usaha baru
sekitar 50 persen sehingga perluasan usaha dapat dilakukan.
6.1.2  Hasil Analisis Aspek Teknis dan Teknologi