139
VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1
Analisis Aspek Kelayakan Non Finansial
Aspek kelayakan non finansial penting untuk dianalisis karena sebagai gambaran terhadap usaha yang akan dijalankan maupun yang sudah dijalankan.
Kelayakan aspek non finansial menjadi penentu atas kelayakan aspek finansial suatu usaha. Dalam analisis kelayakan usaha pupuk organik Poktan Bhineka I,
aspek yang ditinjau meliputi ; 1 Aspek teknis dan teknologi, 2 Aspek pasar, 3 Aspek manajemen, 4 Aspek hukum, dan 5 Aspek sosial lingkungan.
6.1.1 Aspek Teknis dan Teknologi
Kajian aspek teknis dan teknologi menitikberatkan pada penilaian atas kelayakan proyek dari sisi teknis dan teknologi. Penilaian meliputi pemilihan
bahan baku dan peralatan, penentuan metode dan penentuan lokasi usaha.
1. Bahan Baku dan Peralatan Produksi Pupuk Organik Bhineka I
Setiap bahan organik memberikan kandungan khusus dalam pupuk organik. Menurut Bapak Suta Suntana, Ketua APPOS, komposisi pupuk organik
yang baik yaitu: 1.
Kotoran hewan : 40-50 persen
2. Jerami
: 20-30 persen 3.
Arang sekam : 20 persen
4. Bahan Tambahan Molase, zeolit,dll
: 10 persen Komposisi bahan baku pupuk organik Bhineka I diuraikan pada tabel berikut.
Tabel 4. Komposisi Bahan Baku 10 Ton Pupuk Organik Bhineka I
No Jenis Bahan Baku
Jumlah Total Kg
Proporsi Keterangan
1 Kotoran Hewan
460 karung 13800
48.75 Karung 30 kg
2 Arang Sekam
180 karung 5400
19.07 Karung 30 kg
3 Jerami
9 bak mobil 9000
31.79 Bak 500kg
4 Zeolit
1 kwintal 100
0.35 Kwintal100kg
5 Molase
10 kg 10
0.04 6
Dekomposer 10 botol
- -
Botol 1 liter 7
Air 1500 liter
- -
1500 liter
Total 23810
100
140 a.
Kotoran Hewan Produksi pupuk organik yang dilakukan Bhineka I menggunakan kotoran
sebagai salah satu sumber bahan organik utama. Kotoran hewan yang digunakan dalam usaha ini berasal dari kotoran sapi pedaging, sapi perah, domba dan ayam.
Menurut pengelola, penggabungan dari beragam jenis kotoran ini meningkatkan kualitas pupuk karena setiap kotoran memiliki karakter sendiri Lampiran 1.
Kotoran sapi pedaging lebih banyak digunakan daripada sapi perah karena kandungan airnya lebih sedikit. Pada tahun 2008, sebagian besar kotoran dipasok
dari PT Kresna yaitu sebuah perusahaan peternakan terbesar di Kecamatan Purwadadi. Pada tahun 2009, sebagian besar pasokan kotoran berasal dari
peternakan milik warga Desa Blendung dan sekitarnya. Menurut pengelola kualitas kotoran dari peternakan warga lebih baik dibandingkan yang berasal dari
peternakan besar karena kandungan sampah ransum dan air lebih rendah.
Tabel 5. Ketersediaan Kotoran Hewan di Kecamatan Purwadadi
No Jenis Ternak
Jumlah Ekor Rata-rata Produksi
Kotoran per hari kg
Total Produksi Kotoran per Bulan
Kg
1 Sapi
708 3
63.720 2
Kambing, Domba 5619
0.5 84.285
3 Ayam Buras, Itik
5650 0.2
33.900
Total 181,905
Sumber: diolah, Warta Penelitian Pengembangan Pertanian Vol 27. No 25. 2006 dan Laporan Penyuluh Pertanian Desa BLendung, 2007
Seperti diuraikan pada Tabel 3, kebutuhan kotoran dalam pembuatan 10 ton pupuk organik yaitu 20.7 ton per bulan. Jika diasumsikan pasokan kotoran
diperoleh dari desa-desa sekitar Kecamatan Purwadadi, maka ketersediaan kotoran terjamin karena ketersediaan kotoran sebesar 181, 9 ton per bulan.
b. Jerami dari Limbah Jamur
Fungsi jerami dalam pupuk organik yaitu memberikan kandungan karbon dalam pupuk. Jerami yang baik digunakan untuk pembuatan pupuk organik yaitu
jerami yang tercacah kasar dan kering agar mudah dikomposkan. Dalam usaha pupuk organik Poktan Bhineka I, jerami yang digunakan berasal dari limbah
usaha budidaya jamur yang sudah tercacah dan terurai sehingga proses
141 pengomposan menjadi lebih cepat. Selain itu, alasan penggunaan jerami dari
limbah jamur adalah ketersediaanya cukup banyak, harganya lebih murah dan akses memperolehnya lebih dekat.
c. Arang sekam
Fungsi arang sekam yaitu memberikan kandungan unsur K dalam pupuk organik. Dalam usaha pupuk organik Bhineka I, arang sekam berasal dari usaha
penggorengan kerupuk dan pembuatan batu bata. Arang sekam yang berasal dari limbah penggorengan kerupuk lebih banyak digunakan dibandingkan dari
pembuatan bata. Alasannya adalah arang sekam dari limbah penggorengan kerupuk tidak terlalu matang dalam pembakaran sehingga lebih banyak
mengandung K
2
O dan tidak berbentuk abu. d.
Molase Fungsi molase yaitu sebagai katalisator perkembangan mikroba pembusuk
pada proses pengomposan. Selain itu, menurut Isroi 2009, molase sebagai bahan tambahan dalam pembuatan pupuk organik juga dapat berperan sebagai
perekat agar pupuk organik yang dihasilkan tidak remah. Pada proses produksi pembuatan pupuk organik Poktan Bhineka I digunakan molase sebanyak 10 kg
untuk memproduksi 10 ton pupuk organik. Takaran penggunaan molase tersebut dapat bertambah atau berkurang tergantung kondisi bahan kompos. Jika bahan
kompos terlalu basah maka penggunaan molase akan dikurangi. Dan sebaliknya jika kondisi bahan kompos terlalu kering maka takaran molase ditambah.
e. Dekomposer
Dekomposer berbentuk cairan yang berisi bakteri pembusuk yang berfungsi mendekomposisi sampah organik timbunan. Menurut Djaja 2008,
dekomposer pada prinsipnya hanya sebagai pemacu mikroorganisme dalam proses pengomposan, tetapi tidak dapat menaikkan kandungan unsur hara dari bahan
penyusun kompos. Pembuatan kompos tanpa dekomposer membutuhkan waktu pengomposan yang lebih lama. Poktan Bhineka I menggunakan dekomposer
dalam pembuatan 10 ton pupuk yaitu sebanyak 1 liter dekomposer yang dilarutkan dengan 150 liter air. Pemakaian tersebut sesuai dengan aturan pakai
yang tertera pada label dekomposer. Merek dagang dekomposer yang banyak beredar dipasar yaitu merek Superfarm dan Em4. Merek dekomposer yang
142 digunakan dalam usaha ini yaitu Superfarm yang diproduksi oleh Greenland
Agrotecht Industries Lampiran 4, Gambar 5. Alasan dari penggunaan Superfarm karena mempunyai bakteri lebih banyak sehingga hasil pengomposan lebih baik.
Pembelian dekomposer melalui APPOS. f.
Kaptan Kaptan dalam pembuatan pupuk organik beperan sebagai zat adiktif untuk
mengontrol PH dan kandungan silikat. Kaptan yang digunakan dalam pembuatan ini bermerek dagang Zeolit dan dibeli dalam bentuk curah karung 50 kg. Kaptan
didapatkan dari Jawa Tengah dan pembelian melalui APPOS. g.
Mesin dan peralatan Mesin dan peralatan yang digunakan oleh Bhineka I dalam proses produksi
tergolong sederhana dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Rincian Peralatan dan Fungsinya dalam Pembuatan Pupuk Organik Bhineka I
No Jenis Peralatan
Jumlah Unit
Fungsi
1 Alas bambu
1 Sebagai alas tumpukan kompos
dalam proses pengomposan 2
Mesin giling 1
Menghaluskan pupuk organik yang masih kasar
3 Mesin kemas
1 Menjahit karung kemasan pupuk
organik 4
Timbangan gantung 100 kg
1 Menimbang bahan baku dengan
kapasitas beban dibawah 100 kg
5 Timbangan duduk 500 kg
1 Menimbang bahan baku dan
pupuk organik dengan kapasitas beban dibawah 500 kg
6 Terpal
1 Sebagai penutup dan alas
sewaktu menjemur 7
Cangkul 4
Sebagai alat pengaduk bahan kompos
8 Sekop
3 Sebagai alat pengaduk bahan
kompos 9
Ayakan 1
Menyaring partikel kompos 10 Drum
2 Sebagai tempat penampung air
11 Garu 1
Pengaduk bahan kompos 12 Embrat Penyiram
1 Sebagai alat penyiram
13 Sepatu Boot 2
Melindungi kaki pekerja 14 Ember dan gayung
2 Menampung dan mengambil air
143
2. Penentuan Metode Produksi
Proses produksi yang dilakukan oleh Poktan Bhineka I dapat dilihat dari Gambar 4. Proses produksi
dimulai dari penyediaan bahan baku hingga penyimpanan produk jadi. Kapasitas produksi Poktan Bhineka I yaitu 25 ton
pupuk setiap bulannya. Nilai kapasitas ini diukur berdasarkan luas bangunan pengomposan.
Gambar 4. Skema Pembuatan Pupuk Organik Poktan Bhineka I
1. Penanganan dan Penyimpanan Bahan Baku
Penanganan dan penyimpanan bahan baku mempengaruhi kualitas pengomposan. Bahan baku seperti kotoran dan limbah jamur tidak dapat dibiarkan
lama di ruangan terbuka karena bahan baku tersebut menjadi padat dan bersifat anaerobik. Jika demikian, maka kualitas dari pupuk organik yang dihasilkan akan
menurun. Menurut Djaja 2008, bahan baku seperti kotoran, jerami limbah jamur
dan arang sekam diletakkan dan disimpan di tempat yang teduh dan tertutup agar
Membuat Tumpukan Kompos Penanganan dan penyimpanan
bahan baku
Memberikan perlakuan berdasarkan suhu dan
kelembapan
Penjemuran
Penimbangan dan Pengemasan Pemanenan
Penyimpanan Pupuk organik Pengayakan
15-20 hari
144 tidak terkena air hujan, angin, dan panas. Tempat yang terbuka memungkinkan zat
hara bahan baku tercuci oleh air hujan atau menguap karena terbawa angin dan panas. Namun, tempat yang sangat tertutup pun tidak dianjurkan, karena uap
bahan baku dapat menumpuk, sehingga bisa menimbulkan alergi pada pekerja, dan keracunan. Jadi, tempat penyimpanan dan penimbunan yang baik adalah
tempat setengah terbuka dan beratap. Poktan Bhineka I hanya memiliki bangunan untuk pengomposan sedangkan ruang penyimpanan bahan baku tidak ada. Bahan
baku seperti kotoran dan limbah jamur disimpan di luar tanpa atap Lampiran 4, Gambar 2 dan tidak beralas sehingga dapat dikatakan dalam proses
penyimpanan bahan baku, penanganan yang dilakukan kurang baik. 2.
Membuat Tumpukan Kompos Proses pengomposan yang dilakukan Poktan Bhineka I dengan metode
Jepang. Tumpukan dibuat dengan meggunakan alas bambu untuk mempercepat proses pengomposan. Menurut Sutanto 2002 dan Djaja 2008 tinggi tumpukan
kompos yang dianjurkan adalah 1 - 1,5 meter. Pada metode ini, tidak digunakan lubang galian untuk pengomposan tetapi menggunakan bak penampung yang
terbuat dari anyaman bambu yang disusun bertingkat alas bambu. Fungsi dari alas bambu tersebut adalah sebagai aerasi saluran udara. Menurut Sutanto
2002, keunggulan dari metode Jepang adalah memudahkan pengadukan dalam proses pengomposan dan menghindari dari pengurangan nitrat berlebihan akibat
pelindian. Sedangkan menurut pengelola, pemilihan metode ini karena mudah diterapkan dan menghasilkan kualitas kompos yang baik.Tumpukan kompos yang
terlalu tinggi menyebabkan kekurangan aerasi pada pengomposan. Dalam usaha ini, bahan kompos disusun menurut aturannya dengan tinggi tumpukan kurang
lebih 1,5 meter. Setelah tumpukan dibuat, maka yang dilakukan adalah penaburan molase dan penyiraman dengan larutan dekomposer.
Keterbatasan luas bangunan produksi dan pasokan bahan baku menyebabkan proses pengomposan dilakukan secara bertahap. Dalam waktu satu
bulan, Poktan Bhineka I hanya dapat memproduksi 25 ton pupuk atau 5 tumpukan. Tumpukan kompos dibuat setiap 3 hari sekali dengan volume
tumpukan sekitar 12 meter kubik 1,5m x 1,5 m x 4m atau dengan berat sekitar 5 ton.
145
Gambar 5. Susunan Tumpukan Kompos
Pada Lampiran 6 dapat dilihat alur proses pengomposan bertahap. Setelah tumpukan 1 dibuat maka tahap berikutnya adalah membiarkan tumpukan
mengalami proses pengomposan sambil memberi perlakuan pembalikan atau penyiraman. Lima hari kemudian, tumpukan kedua dibuat dan sambil tetap
mengontrol kondisi tumpukan 1 hingga matang. Proses ini berlangsung terus menerus selama bahan baku tersedia.
3. Memberikan perlakuan berdasarkan suhu dan kelembapan
Setelah dilakukan penumpukan, maka dalam beberapa hari suhu tumpukan akan naik perlahan-lahan yang menandakan bakteri sedang bekerja. Kondisi
tumpukan harus terus terpelihara agar kegiatan pelapukan bahan oleh jasad renik berlangsung dengan baik. Perlakuan yang dilakukan antara lain:
a. Pemantauan suhu
Suhu yang diinginkan selama proses pelapukan berkisar antara 45-65
o
C. Pengukuran suhu biasanya hanya dirasakan dengan tangan. Bila suhu tumpukan
diatas 65
o
C maka harus dilakukan pembalikan sekaligus penyiraman. Tujuan pembalikan yaitu : 1 meratakan proses pelapukan di setiap bagian tumpukan, 2
membuang panas yang berlebihan, 3 memasukkan udara segar kedalam tumpukan, 3 meratakan pemberian air, dan 4 membantu penghancuran bahan.
Jika suhu dibawah 45
o
C maka yang dilakukan adalah dengan menutup sedikit tumpukan dan penambahan dekomposer.
b. Pemeriksaan kelembapan
Kondisi kelembapan yang ingin dicapai yaitu 50 persen dimana jika bahan kompos diremas maka akan terdapat sedikit air pada sela tangan. Jika bahan
Zeolit Kapur
Kotoran SapiDomba Arang Sekam
Jerami Limbah Jamur Kotoran Ayam
Alas Bambu
146 terlalu kering, dimana saat diremas tidak keluar air dan terlalu remah sehingga
harus dilakukan penyiraman. Akan tetapi, jika saat diremas terlalu banyak air maka harus dilakukan pembalikan agar uap air keluar dari tumpukan kompos.
4. Pemanenan
Kompos yang siap dipanen memiliki ciri-ciri yaitu suhu rata-rata setelah dua minggu menurun hingga dibawah 45
o
C dimana bahan kompos telah menyerupai tanah dan warnanya coklat kehitaman. Setelah pengomposan selesai,
bahan kompos dijemur terlebih dahulu beberapa jam sebelum dikemas. 5.
Penjemuran Bahan kompos yang telah matang kemudian dijemur atau dikeringkan
terlebih dahulu sebelum dikemas. Hal ini bertujuan untuk menormalkan suhu bahan kompos dan mengeringkannya. Penjemuran membutuhkan waktu 1-3 hari
tergantung dari hasil pengomposan dan cuaca. Jika hasil pengomposan cukup kering saat cuaca kemarau maka penjemuran bisa dilakukan dalam waktu sehari.
Penjemuran dilahan kosong disebelah ruang pengomposan. Lokasi penjemuran belum bersemen sehingga digunakan terpal sebagai alas penjemuran Lampiran 5,
Gambar 5. 6.
Pengayakan Pengayakan dilakukan untuk memisahkan sampah dan bahan yang tidak
terkomposkan sehingga didapatkan pupuk organik bersih. 7.
Penimbangan dan Pengemasan Bahan kompos yang telah diayak kemudian dimasukkan ke dalam karung
dan ditimbang. Masing-masing karung berisi pupuk organik seberat 50 kilogram. Setelah ditimbang, karung tersebut kemudian dijahit dan pupuk siap dijual.
Kemasan yang digunakan Poktan Bhineka I adalah karung goni plastik. 8.
Penyimpanan pupuk organik Pupuk yang dikemas kemudian disimpan di tempat yang teduh dan beratap
agar tidak terkena cahaya matahari langsung dan hujan. Proses penyimpanan pupuk organik dalam usaha ini kurang baik. Pupuk disimpan diruang terbuka
menyebabkan pupuk mengalami pengikisan air hujan dan terlalu kering saat kemarau Lampiran 5, Gambar 6.
147
3. Penentuan Lokasi
Lokasi kantor dan pabrik pupuk organik berada di dusun IV Desa Blendung pada lahan seluas 1500m
2
dengan luas bangunan 8m x 20m. Lokasi usaha ini berdekatan dengan lokasi usaha pembibitan Poktan Bhineka I, usaha
peternakan ayam milik pengelola, usaha perikanan dan usahatani padi sawah milik warga. Denah lokasi dari usaha ini dapat dilihat pada Lampiran 4.
1. Letak pasar yang dituju
Jarak lokasi usaha dengan pasar mempengaruhi besarnya biaya pemasaran. Oleh karena itu, kedekatan lokasi usaha dengan pasar penting untuk di analisis.
Penjualan pupuk organik yang dilakukan oleh Poktan Bhineka I dengan cara penjualan di tempat dimana biaya pengangkutan tidak ditanggung oleh penjual.
Oleh karena itu, jarak tidak menjadi masalah yang berarti bagi penjual. Sebagian besar pembeli pupuk berlokasi di wilayah sekitar Kabupaten Subang. Konsumen
menganggap bahwa lokasi dari usaha ini cukup terjangkau. 2.
Kedekatan dengan bahan baku Bahan baku utama dari usaha ini adalah kotoran hewan, jerami dari limbah
jamur dan arang sekam. Kotoran hewan seperti sapi dan domba didapat dari peternak sekitar lingkungan usaha yaitu peternak dari Desa Blendung sendiri dan
dari desa sekitar seperti Desa Koranji dan Panyingkiran. Sedangkan untuk kotoran ayam diperoleh dari kandang ayam milik pengelola Bapak Dedy Sobandi.
Limbah jamur diperoleh dari Desa Rancabango dimana di daerah tersebut terdapat 20 pengusaha budidaya jamur. Arang sekam diperoleh dari limbah usaha
pembuatan kerupuk dan usaha pembuatan bata yang berada di Kalijati yang berjarak sekitar 10 km dari lokasi usaha. Untuk bahan bantu seperti fosfat alam,
molase, zeolit dan lain-lain diperoleh dari luar Subang yaitu Jakarta dan Bandung dan dipesan melalui APPOS.
3. Air dan listrik
Air sebagai bahan bantu, berperan penting dalam keberhasilan proses produksi. Oleh karena itu, ketersediaan air penting bagi usaha ini. Usaha ini
menggunakan air tanah dalam proses produksi. Berdasarkan laporan penyuluhan pertanian 2007, Desa Blendung memiliki drainase yang baik sehingga
ketersediaan air cukup dan terjamin.
148 4.
Suplai tenaga kerja Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan rata-rata per bulannya yaitu 5 orang
yang berasal dari lingkungan sekitar dengan tingkat pendidikan terakhir SD. Ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proses produksi pupuk organik
Poktan Bhineka cukup terjamin. 5.
Fasilitas transportasi Desa Blendung memiliki jalan utama desa dalam kondisi baik dan
beraspal. Lokasi usaha berada sekitar 300 meter dari jalan utama desa dengan kondisi jalan kurang baik dan belum beraspal.
6. Iklim dan keadaan tanah
Menurut Djaja 2008, cuaca berpengaruh dalam pembuatan pupuk organik terutama dalam pengomposan. Cuaca yang terlalu kering dengan
temperatur yang tinggi menyebabkan penguapan yang tinggi. Sedangkan pada musim hujan mengakibatkan terjadinya pencucian mineral bahan baku jika
penyimpanan bahan baku tidak dilakukan dengan baik. Cuaca yang terlalu basah dengan kelembapan yang tinggi juga mengakibatkan bahan baku mudah busuk.
Lokasi usaha berada di Desa Blendung yang terletak di wilayah dataran sedang dengan ketingggian 35 mdl. Wilayah ini memiliki curah hujan 1.721 mm dengan
6 bulan hujan dan 6 bulan kering. Suhu rata-rata harian adalah 29 derajat celcius. Berdasarkan kondisi geografisnya, maka Desa Blendung cocok dijadikan lokasi
pengomposan. Tingkat produksi yang lebih tinggi dapat dilakukan pada saat musim kemarau daripada musim hujan karena saat musim kemarau proses
pematangan kompos lebih cepat. 7.
Sikap masyarakat Proses pembuatan pupuk organik menghasilkan bau sehingga pemilihan
lokasi harus mempertimbangkan kedekatan dengan lokasi pemukiman masyarakat. Lokasi usaha pembuatan pupuk organik Bhineka I berada jauh dari
pemukiman penduduk sehingga tidak menimbulkan masalah sosial. Selama berlangsungnya usaha pembuatan pupuk organik, Poktan Bhineka I mendapat
dukungan dari masyarakat.
149 8.
Rencana untuk perluasan usaha Lokasi tempat proses pembuatan pupuk organik ini berada dilahan seluas
1500m
2
milik pengelolanya yaitu Bapak Dedi Sobandi. Luas banguan proses pengomposan yaitu 7x20 meter. Pemanfaatan lahan ini sebagai lokasi usaha baru
sekitar 50 persen sehingga perluasan usaha dapat dilakukan.
6.1.2 Hasil Analisis Aspek Teknis dan Teknologi