Kesimpulan KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

246

BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

10.1. Kesimpulan

Dalam cakupan masa kontemporer, menguatnya pengaruh kapitalisme ter- hadap komunitas petani di empat lokasi penelitian dimulai sejak terjadinya peru- bahan praktek moda produksi dari moda produksi yang menopang sistem perta- nian “ladang berpindah” untuk menghasilkan padi ladang produk untuk dimakan menjadi moda produksi yang menopang sistem “pertanian menetap” untuk meng- hasilkan komoditas perkebunan produk perdagangan atau produk untuk dijual. Setelah itu, pengaruh kapitalisme dilanjutkan dengan semakin dominannya prak- tek “moda produksi” yang menggunakan teknologi intensif pada usahatani padi sawah. Hal tersebut dilakukan para petani untuk mencapai peningkatan produksi padi per satuan luas lahan produktivitas lahan karena akhir-kahir ini lahan sawah menjadi satu-satunya tempat petani menghasilkan padi, terutama setelah hampir seluruh lahan kering digunakan untuk mengusahakan tanaman perkebunan tanaman komersial. Dalam empat komunitas petani kasus, elemen-elemen moda produksi kapitalis umumnya masuk “merembes” melalui berbagai aktivitas baru, terutama aktivitas penjualan hasil produksi usahatani kebun buah kakao sangat dominan serta aktivitas penguasaan modal non lahan bahanalat produksi dan modal finansial untuk mendukung proses produksi padi sawah aktivitas di on farm. Dengan cara masuk yang “merembes”, maka pengaruh kapitalisme tidak menghilangkan elemen-elemen moda produksi non-kapitalis yang sudah lama dijalankan anggota komunitas petani. Oleh sebab itu, para petani di empat komunitas kasus menjalankan beberapa elemen moda produksi berbeda secara bersamaan, baik elemen-elemen moda produksi yang masih mempunyai ciri non- kapitalis, elemen-elemen moda produksi yang sudah mempunyai ciri kapitalis, maupun elemen-elemen moda produksi yang mempunyai ciri keduanya. Berlangsungnya transformasi sistem pertanian dari perladangan berpindah ke pertanian menetap juga telah memperkuat proses transformasi struktur agraria. Dalam hal ini basis penguasaan sumberdaya agraria telah beralih dari ”pemilikan kolektif” collective ownership menjadi ”pemilikan perorangan” individual 247 ownership . Bahkan akhir-akhir ini status hukum pemilikan perorangan diperkuat melalui penerapan status formal bukti tertulis seperti akte jual beli, surat keterangan desa, surat pembayaran pajak, dan sertifikat. Bersamaan dengan menguatnya penerapan elemen-elemen moda produksi kapitalis, transformasi struktur agraria yang terjadi kemudian membangkitkan hadirnya beragam mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang semakin “tertutup” sehingga akses lapisan petani tunakisma miskin untuk menguasai sumberdaya agraria semakin berkurang. Hal ini terjadi baik pada mekanisme ”penguasaan tetap” pemilikan perorangan maupun ”penguasaan sementara”. Selain itu, bersamaan dengan praktek kekuatan produksi teknologi intensif yang banyak menggunakan modal produksi non lahan dari luar komunitas petani, muncul dua pola hubungan sosial produksi berikut : 1 pola hubungan sosial produksi agraria yang melibatkan semakin banyak pihak, yaitu munculnya pihak baru non petani yang menguasai modal non lahan, dan 2 pola hubungan sosial produksi agraria dua pihak yang semakin terakumulasi dan tersubordinasi, yaitu hubungan sosial produksi agraria antara petani pemilik lahan yang semakin kuat karena selain menguasai modal lahan juga menguasai modal non lahan dengan petani penggarap pemilik sementara yang semakin lemah karena posisi petani penggarap hanya berlandaskan penguasaan tenaga kerja. Berbagai realitas ter- sebut kemudian memberi jalan bagi proses pembentukan struktur sosial masya- rakat agraris yang semakin terpolarisasi. Namun demikian, masih kuatnya hubungan sosial produksi yang berpijak pada prinsip moral tradisional 126 turut mempertahankan penerapan pola hubungan “penguasaan sementara” , terutama melalui pola “bagi hasil” pada usahatani kakao dan usahatani padi sawah. Realitas struktur agraria ini kemudian memberi jalan bagi proses diferensiasi sosial masyarakat agraris sehingga struktur sosial masyarakat tersebut terstratifikasi oleh banyak lapisan, baik lapisan yang hanya mempunyai satu status status tunggal maupun lapisan yang mempunyai bebe- rapa status status kombinasi. Nampaknya hubungan sosial produksi yang sebe- lumnya sudah berjalan mapan terstruktur sejak lama dalam komunitas petani 126 terutama ikatan kekerabatan dan solidaritas lokal untuk menjaga kebutuhan minimum warga se komunitas 248 karena diikat oleh prinsip moral tradisional telah berperan sebagai pengaman komunitas petani dari serbuan kapitalisme. Berlangsungnya beragam mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan pada proses polarisasi dan stratifikasi secara bersamaan ternyata telah melahirkan bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang memiliki tipe “stratifikasi - timpang”. Struktur sosial masyarakat agraris tersebut terdiferen- siasi dalam banyak lapisan, baik lapisan yang dibentuk oleh status tunggal mau- pun lapisan yang dibentuk oleh status kombinasi. Selain itu, struktur sosial masyarakat agraris tersebut disertai dengan semakin timpangnya luas pemilikan sumberdaya agraria. Berbasis pada penguasaan sumberdaya agraria, hasil penelitian di empat ko- munitas petani di Propinsi Sulawesi Tengah dan NAD menunjukkan bahwa struk- tur sosial masyarakat agraris disusun oleh beberapa lapisan, baik lapisan yang ber- tumpu pada satu status status tunggal dimana status dimaksud merupakan basis dasar pelapisan masyarakat maupun lapisan yang berbasiskan kombinasi beberapa status secara kompleks status kombinasi. Secara rinci, lapisan-lapisan masyara- kat agraris dengan status tunggal terdiri dari : 1 petani pemilik, 2 petani pengga- rap, dan 3 buruh tani. Sementara itu, lapisan-lapisan masyarakat agraris dengan status kombinasi terdiri dari : 1 petani pemilik + penggarap 127 , 2 petani pemilik + penggarap + buruh tani, 3 petani pemilik + buruh tani, dan 4 petani penggarap + buruh tani. Lebih lanjut, lapisan petani penggarap dan petani penggarap + bu- ruh tani dapat dikelompokkan sebagai ”tunakisma tidak mutlak” masih mempu- nyai akses untuk menguasai sumberdaya agraria meskipun hanya melalui pengu- asaan sementara sedangkan lapisan buruh tani dikelompokkan sebagai ”tuna- kisma mutlak” sama-sekali tidak mempunyai akses untuk menguasai sumberdaya agraria. Pada saat penelitian berlangsung, petani tunakisma tidak mutlak maupun pe- tani tunakisma mutlak sudah muncul di semua komunitas petani lokasi peneli- tian. Bahkan di komunitas petani Desa Jono Oge Sulawesi Tengah, proporsi pe- tani tunakisma tidak mutlak sudah mencapai 6,9 dan proporsi tunakisma mutlak 127 Penggarap adalah petani yang mengusahakan lahan milik orang lain, umumnya melalui bagi hasil pola penggarap lain adalah gadai dan sewa 249 sudah mencapai 27,3 sehingga jumlah seluruh tunakisma sudah mencapai 34,2 dari total rumahtangga petani. Selain itu, berdasarkan analisa gini ratio, ter- nyata ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria total 128 juga sudah muncul di semua komunitas kasus, meskipun tingkat ketimpangannya tidak sama. Tingkat ketimpangan ”Tinggi” muncul dalam komunitas petani di Desa Jono Oge dan Cot BarohTunong, ”Sedang” muncul dalam komunitas petani di Desa Tondo, dan “Rendah” muncul dalam komunitas petani di Desa Ulee Gunong. Bahkan, bila analisa ketimpangan diterapkan pada sumberdaya agraria produktif 129 ternyata sebagian besar komunitas petani di lokasi penelitian berada pada tingkat ketim- pangan Tinggi, kecuali komunitas petani di Desa Cot BarohTunong tingkat ke- timpangan Rendah 130 . Setelah para petani terintegrasi dengan moda produksi yang semakin kapi- talis melalui pengusaahaan kakao untuk memenuhi kebutuhan pasar dan pengua- saahn padi sawah yang semakin intensif yang kemudian diikuti oleh transformasi struktur agraria dan diferensiasi sosial masyarakat agraris, ternyata perubahan tersebut berimplikasi pada meningkatnya diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani. Dalam hal ini, berdasarkan status kesejahteraan, komunitas petani di seluruh lokasi penelitian terbagi dalam tiga lapisan, yaitu : “petani kaya”, “petani sedang”, dan “petani miskin”. Lebih lanjut, hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi belum mampu mensejahterakan sebagian besar petani. Beradasarkan lapisan kesejahteraan, ternyata sebagian besar petani di desa-desa kasus di NAD berada pada lapisan miskin. Kondisi yang relatif lebih baik terjadi di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah, dimana proporsi lapisan petani miskin dan lapisan petani sedang dalam komunitas petani relatif seimbang, tetapi proporsi petani kaya masih relatif sedikit. Di semua komunitas petani kasus, munculnya lapisan 128 Sumberdaya agraria total adalah seluruh sumberdaya agraria milik petani, termasuk sumber- daya agraria yang tidak diusahakan tidak ada tanamannya atau ada tanamannya tetapi tidak berproduksi tidak menghasilkan 129 Sumberdaya agraria produktif adalah hanya sumberdaya agraria yang ada tanamannya dan tanaman tersebut berproduksi 130 Nilai Gini Ratio 0,4 = Ketimpangan Rendah, 0,4 – 0,5 = Ketimpangan ModeratSedang, dan 0,5 = Ketimpangan Tinggi 250 petani miskin tidak hanya terjadi pada petani tunakisma mutlak maupun tidak mutlak tetapi juga pada lapisan petani pemilik, terutama lapisan petani yang luas sumberdaya agraria miliknya relatif sempit kurang dari dua ha. Dengan meng- gunakan analisa gini ratio, sebenarnya ketimpangan penghasilan dan pengeluaran di empat komunitas kasus umumnya masih berada pada kategori rendah, kecuali ketimpangan penghasilan di Desa Jono Oge yang tergolong Tinggi dan ketimpangan penghasilan di Desa Tondo yang tergolong Sedang. Namun demikian rendahnya ketimpangan tersebut tidak dapat dimaknai sebagai kondisi yang baik karena sebagian besar petani belum sejahtera. Perubahan struktur agraria dan struktur sosial masyarakat agraris juga mulai mengancam keamanan sosial ekonomi petani terutama bagi petani tunakisma miskin. Pada saat ini, ”tangga” tempat berjalannya proses peningkatan kesejah- teraan petani sudah semakin tertutup. Padahal sebelumnya banyak petani tuna- kisma miskin yang mampu meningkatkan status kesejahteraannya melalui tangga berikut : petani yang awalnya tunakisma mutlak buruh tani dapat menguasai lahan melalui tangga ”penggarap bagi hasil” pemilik sementara danatau ”peng- garap bagi kebun” atau “penggarap bagi tanaman” pemilik sempit, dan selan- jutnya mereka dapat melakukan akumulasi lahan sehingga menjadi pemilik se- dang danatau pemilik luas. Pada komunitas petani juga sedang terjadi proses pemiskinan dan mulai muncul problema 131 kesejahteraan . Beberapa situasi yang potensial memper- cepat proses pemiskinan petani adalah: kenaikan harga kebutuhan pokok dan modal produksi yang lebih besar dibanding kenaikan harga-harga hasil pertanian, semakin banyaknya jumlah danatau ragam kebutuhan pokok sehari-hari maupun modal produksi yang harus dibeli petani, produktivitas sumberdaya agraria menu- run akibat menurunnya kesuburan danatau ketersediaan air, hilangnya katup pe- ngaman penghasilan minimal yang berasal dari sumberdaya agraria milik komu- nal, serta berkurangnya luas sumberdaya agraria per rumahtangga karena ca- dangan sumberdaya agraria untuk usaha pertanian tidak tersedia lagi sedangkan jumlah anggota komunitas terus bertambah. Sementara itu, beberapa situasi yang potensial mendorong terjadinya problema kesejahteraan petani adalah sumberdaya 131 Adanya warga komunitas yang jumlah pengeluarannya dibawah garis kemiskinan. 251 agraria yang ada dalam komunitas petani tidak dapat memberikan penghasilan mi- nimal setara garis kemiskinan dan bersamaan dengan itu tidak tersedia sumber penghasilan alternatif penghasilan dari sumber non pertanian. Realitas munculnya moda produksi ”amphibian”, munculnya transformasi struktur agraria dari penguasaan kolektif ke perorangan, munculnya diferensiasi sosial masyarakat agraris dalam bentuk ”stratifikasi” dengan pemilikan sumber- daya agraria yang semakin timpang, serta munculnya diferensiasi kesejahteraan petani Gambar 10.1 ternyata terjadi di semua komunitas petani kasus. Perbe- daan yang muncul di antara komunitas petani lebih nampak pada perbedaan “ukuran” realitas, bukan perbedaan ”bentuk” realitas. Nampaknya, kesamaan ting- kat kapitalisme yang masuk melalui jenis tanaman dan tipe sistem pertanian yang sama mendorong munculnya kesamaan bentuk transformasi struktur agraria serta diferensiasi sosial dan kesejahteraan dalam komunitas petani, meskipun mereka mempunyai latar belakang etnis berbeda. Fakta ini juga menunjukkan bahwa ko- munitas petani yang mempunyai latar belakang etnis berbeda ternyata mempunyai kemampuan yang relatif sama dalam hal membendung pengaruh kapitalisme. Dengan kata lain, yang terjadi dalam komunitas petani adalah commodity-driven relation of production bukan etnics-driven relation of production. Dalam hal perbedaan ukuran realitas di antara empat komunitas petani ka- sus, komunitas petani yang berlatar belakang etnis Bugis di Desa Jono Oge mempunyai perbedaan yang sangat menonjol. Perbedaan tersebut muncul pada lebih tingginya intensitas penerapan elemen moda produksi yang berciri kapitalis, intensitas mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan pada pembentukan struktur sosial masyarakat agraris yang semakin terpolarisasi, tingkat ketimpangan dalam penguasaan sumberdaya agraria, dan tingkat ketim- pangan dalam kesejahteraan warga komunitas. Di desa ini, meskipun sudah mun- cul ”petani sangat luas” yang memiliki lahan seluas 75 ha, tetapi dalam penge- lolaan usahatani terutama usahatani padi sawah dan kebun kakao masih memilih menerapkan pola bagi hasil bersama petani penggarap. Padahal berdasarkan perhitungan ekonomi, bilamana ”petani sangat luas” tersebut melakukan sendiri pengelolaan usahatani miliknya dan disertai dengan penggunaan buruh tani maka petani tersebut akan memperoleh pendapatan yang lebih besar. 252 Dari empat komunitas petani yang dipilih sebagai lokasi penelitian, tiga di antaranya berada pada wilayah ekologi dataran rendah yang mempunyai komu- nitas petani “kombinasi”. Dalam hal ini, sebagian anggota komunitas merupakan petani yang mengusahakan padi sawah dan kakao secara bersamaan dengan sis- tem pertanian menetap sedangkan sebagian petani lainnya hanya mengusahakan kakao atau hanya mengusahakan padi sawah tetapi juga dengan sistem pertanian menetap. Bahkan di Desa Jono Oge Propinsi Sulawesi Tengah dan di Desa Cot Baroh Propinsi NAD, petani yang mengusahakan padi sawah dan kakao secara bersamaan merupakan bagian terbesar. Potret tiga komunitas petani tersebut me- nunjukkan bahwa gambaran komunitas petani di “Indonesia Luar” Sumatera, Ka- limantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusatenggara tidak “relevan” lagi dengan ke- simpulan Geertz yang dibuat dari hasil studi lapang yang dilakukannya awal tahun 50 an tentang tipe komunitas petani “Indonesia Luar” yang berbeda sangat kontras dengan tipe komunitas petani “Indonesia Dalam” Jawa. Pada saat itu, Geertz membuat kesimpulan bahwa desa-desa di “Indonesia Dalam” merupakan desa “pos-tradisional” sedangkan desa-desa di “Indonesia Luar” merupakan desa “tradisional”. 10.2. Implikasi 10.2.1. Teoritis