165 4.
Petani Pemilik + Buruh Tani . Para petani pada lapisan ini menguasai
sumberdaya agraria melalui pola pemilikan tetap. Selain itu, untuk menam- bah penghasilan keluarganya, mereka juga menjalankan peranan sebagai
seorang buruh tani
102
5.
Petani Penggarap
. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria hanya melalui pola pemilikan sementara dengan cara mengusaha-
kan lahan milik petani lain, umumnya melalui sistem bagi hasil. Ditinjau dari sisi pemilikan, lapisan petani penggarap termasuk tunakisma, tetapi
kategori tunakisma petani penggarap menjadi tidak mutlak karena ditinjau dari sisi penggarapan sumberdaya agraria mereka termasuk petani penguasa
tanah efektif 6.
Petani Penggarap + Buruh Tan
i. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria melalui pola pemilikan sementara dengan cara meng-
usahakan lahan milik petani lain melalui sistem bagi hasil, sewa, atau gadai. Selain itu, untuk menambah penghasilan keluarga, mereka juga menjalankan
peranan sebagai buruh tani. Sebagai mana lapisan petani penggarap, lapisan ini termasuk tunakisma tetapi tidak mutlak.
7. Buruh Tani.
Para petani pada lapisan ini benar-benar tidak menguasai sumberdaya agraria, sehingga dapat dikategorikan sebagai tunakisma mutlak.
Walaupun demikian, mereka masih memperoleh manfaat dari sumberdaya agraria dengan cara menjadi buruh tani. Pada umumnya buruh tani di desa
lokasi penelitian juga menjadi buruh kegiatan non pertanian danatau men-
cari hasil hutan terutama pada saat peluang berburuh tani tidak ada.
Ketujuh lapisan masyarakat tersebut muncul di seluruh desa kasus, kecuali lapisan petani penggarap tunggal tidak muncul di desa Ulee Gunong. Hal ini ter-
jadi karena komunitas petani di Desa Ulee Gunong merupakan sebuah komunitas petani yang sumberdaya agrarianya hanya diusahakan untuk tanaman perkebunan
kakao danatau kopi. Selain itu, banyak kebun kakao danatau kopi yang
102
Sebenarnya petani yang merangkap sebagai buruh tani sudah ditemukan Geertz dalam studi lapang yang dilakukan awal tahun 50 an Geertz, 1976. Para buruh tebu di Jawa saat itu juga
merupakan petani pemilik sehingga selain mereka sebagai petani rumahtangga yang berorientasi komunitas juga buruh upahan.
166 kondisinya kurang baik, sehingga produktivitas tanamannya sangat rendah. Oleh
sebab itu, para petani penggarap kebun kakao harus menambah penghasilan-nya dengan cara menjadi buruh. Namun demikian, distribusi rumahtangga berda-
sarkan lapisan-lapisan tersebut berbeda antara satu komunitas petani kasus dengan
komunitas petani kasus lainnya Gambar 7.1..
20 40
60 80
100
Tondo Jono
Ulee Cot
BT penggarap+BT
penggarap pemilik+BT
pemilik+penggarap+BT pemilik+penggarap
pemilik
Gambar 7.1.
Struktur Sosial Masyarakat Agraris di Empat Desa Kasus, 2007.
Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci
Munculnya tujuh lapisan masyarakat agraris di empat komunitas petani kasus menunjukkan bahwa pelapisan yang terjadi pada masyarakat agraris
berbasis kombinasi usahatani padi sawah dan kakao lebih beragam dan lebih rumit dibandingkan dengan hasil temuan di sepuluh Desa padi sawah di Pulau Jawa
pada Tahun 1979 dan Tahun 19811982. Dalam tulisan Wiradi 1984 Penduduk pedesaan di sepuluh Desa di Pulau Jawa dikelompokkan menjadi: 1 Pemilik
penggarap murni : petani yang hanya menggarap tanahnya sendiri, 2 Penyewa dan Penyakap Murni : petani yang tidak memiliki tanah tetapi mempunyai tanah
garapan melalui sewa danatau bagi hasil tunakisma, tetapi penguasa tanah efektif, 3 Pemilik Penyewa danatau Pemilik Penyakap : petani yang selain
menggarap tanahnya sendiri juga menggarap tanah milik orang lain, 4 Pemilik Bukan Penggarap, 5 Tunakisma mutlak : tidak memiliki tanah dan tidak mem-
punyai tanah garapan umumnya buruh tani dan sebagian lainnya bukan petani.
167
Struktur sosial masyarakat agraris sebagaimana tertera pada Gambar 7.1.
juga menunjukkan bahwa bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang muncul merupakan struktur yang semakin terstratifikasi atau melipatnya sub-kelas komu-
nitas petani menjadi banyak lapisan. Selain itu, realitas di lapangan menunjukkan bahwa dalam menjalankan pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria ba-
nyak rumahtangga petani yang melakukannya tidak secara ekslusif hanya men- jalankan satu pola hubungan sosial tetapi mereka menjalankan beberapa pola
hubungan sosial. Hal ini terjadi karena banyak petani pemilik yang luas sumber- daya agrarianya relatif sempit, apalagi pada pemilikan sumberdaya agraria pro-
duktif lahan yang berproduksi. Nampaknya, pemilikan tetap yang luasnya relatif sempit menyebabkan penghasilan petani dari sumberdaya agraria yang menjadi
miliknya tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka. Oleh sebab itu, untuk memperbesar akses dalam penguasaan sumberdaya agraria, para petani
tidak membatasi diri hanya pada pola penguasaan tetap tetapi mereka memper- luasnya dengan menjalankan pola pemilikan sementara.
Secara keseluruhan, hasil sensus di empat komunitas petani kasus menun- jukkan bahwa proporsi lapisan petani yang memiliki status sebagai petani pemilik
tunggal + kombinasi masih merupakan bagian terbesar dari komunitas petani dominan. Walaupun demikian, petani tunakisma petani penggarap, buruh tani,
dan penggarap + buruh tani sudah muncul di semua komunitas petani kasus. Akan tetapi umumnya proporsi mereka masih merupakan bagian terkecil dari
komunitas petani, kecuali di Desa Jono Oge dimana proporsi tunakisma sudah mencapai 34,2 , dan sebagian besar 27,3 merupakan tunakisma mutlak. Bila
lapisan-lapisan petani tersebut dibandingkan di antara desa kasus, nampak bahwa proporsi petani pemilik tunggal + kombinasi paling tinggi terjadi pada komuni-
tas di Desa Ulee Gunong 93,2 , kemudian disusul di Desa Tondo 81 dan di Desa Cot BarohTunong 78,2 , sedangkan proporsi petani pemilik paling
rendah terjadi pada komunitas di Desa Jono Oge, yaitu hanya 65,8 Tabel 7.1..
168
Tabel 7.1
Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Status Penguasaan Sumberdaya Agraria, 2007
Status dalam Penguasaan Sumberdaya Agraria
Tondo Jono Oge
Ulee Gunong
Cot Baroh
N N N N
1. Pemilik 157 57.5
68 36.4
85 34.1
68 37.2
2. Pemilik+penggarap 26 9.5
44 23.5
9 3.6
53 29.0
3. Pemilik+penggarap+BT 3 1.1 3
1.6 4
1.6 11
6.0 4. Pemilik+BT 35
12.8 8
4.3 134
53.8 11
6.0 5. Penggarap 17
6.2 10
5.3 -
- 31
16.9 6. Penggarap+BT 3
1.1 3
1.6 1
0.4 1
0.5 7. BT Buruh Tani
32 11.7
51 27.3
16 6.4
8 4.4
Total 273 100.0
187 100.0
249 100.0 183 100.0 A. Total Pemilik
221 80,92
123 65,8
223 93,2 143 78,2 B. Total Tunakisma
52 19,08
64
34,2 26 6,8 40
21,8
•
Tunakisma Tidak Mutlak Penggarap
20 7,3
13 6,9
1 0,4 32
17,4
•
Tunakisma Mutlak Buruh Tani
32 11.7
51 27.3
16 6.4
8 4.4
Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci
Selain telah munculnya lapisan petani tunakisma, ternyata proporsi petani pemilik yang memiliki status “hanya sebagai petani pemilik” status tunggal
umumnya sudah menjadi bagian kecil dari komunitas tidak dominan lagi,
kecuali di Desa Tondo. Data pada Tabel 7.1 menunjukkan bahwa di desa Tondo
proporsi lapisan petani pemilik tunggal masih 57,5 , sedangkan di desa Cot BarohTunong, Jono Oge, dan Ule Gunong masing-masing hanya 37,2 , 36,4 ,
dan 34,1 . Sementara itu, status petani pemilik lainnya merupakan status kombinasi campuran dari 2 - 3 status, yaitu : 1 lapisan pemilik + penggarap, 2
lapisan pemilik + buruh tani, dan 3 lapisan pemilik + penggarap + buruh tani. Lebih lanjut, lapisan petani yang memiliki status penggarap tunggal +
kombinasi sangat menonjol terjadi di desa-desa yang memiliki usahatani padi sawah, seperti di Desa Cot BarohTunong 52,4 , Desa Jono Oge 32,0 , dan
Desa Tondo 17,9 . Di Desa Ulee Gunong, desa yang tidak memiliki sumber- daya agraria sawah, proporsi lapisan petani dengan status penggarap tunggal +
169 kombinasi hanya 5,6 . Adapun lapisan petani dengan status buruh tani tunggal
dan kombinasi paling banyak terjadi di Desa Ulee Gunong 62,2 , kemudian disusul di Desa Jono Oge 34,8 , Desa Tondo 26,7 , dan Desa Cot
BarohTunong 16,9 . Di Desa Ulee Gunong NAD status buruh tani sangat tinggi karena pada beberapa tahun terakhir banyak petani yang menjadi buruh
pada proyek rehabilitasi pasca tsunami danatau pasca konflik. Kemudian, hasil peneltian juga menunjukkan bahwa petani pemilik yang
luas sumberdaya agrarianya kurang dari dua hektar umumnya masih cukup besar, bahkan di sebagian besar komunitas petani kasus masih merupakan bagian
terbesar. Realitas ini terjadi pada pemilikan sumberdaya agraria total
103
. Bahkan pada pemilikan sumberdaya agraria produktif
104
realitas tersebut nampak lebih
menonjol. Data pada Tabel 7.2. menunjukkan bahwa proporsi petani pemilik
yang luas sumberdaya agraria totalnya kurang dari dua hektar masih cukup besar, bahkan di desa Tondo dan di Desa Ulee Gunong merupakan bagian terbesar dari
komunitas petani masing-masing 58,8 dan 73,9 . Kemudian data pada
Tabel 7.3. menunjukkan bahwa proporsi petani pemilik yang luas sumberdaya
agraria “produktifnya” kurang dari 2 hektar lebih besar dari pada proporsi petani pemilik yang luas sumberdaya agraria “totalnya” kurang dari dua hektar. Bahkan
di Desa Tondo, Desa Cot BarohTunong, dan Desa Ulee Gunong proporsi petani
dimaksud masing-masing 60,6 , 68,9 dan 79,8 .
103
Sumberdaya agraria yang berproduksi ditambah dengan sumberdaya agraria yang tidak ber- produksi baik karena masih berupa lahan kosong atau karena tanamannya rusak
104
Hanya sumberdaya agraria yang sedang dikelola dan menghasilkan produk sedang berpro- duksi
170
Tabel 7.2. Distribusi Rumah Tangga Petani Berdasarkan Luas Pemilikan
Sumberdaya Agraria Total, 2007
Luas Pemilikan
Jono Oge Tondo
Cot Baroh
Tunong Ulee
Gunong Total
N N N N N
50 26,7
34 12,4
10 5,5
16 5,9
110 12,0
0 - 0,5 3
1,6 15
5,5 10
5,5 2
0,7 30
3,3 O,5 - 1
22 11,8
70 25,5
11 6,0
51 18,8
154 16,8
1 - 2
44
23,5
76
27,7
59 32,2
148
54,4
327 35,7
2 - 3 27
14,4 43
15,7 70
38,3 38
14,0 178
19,4 3 - 4
15 8,0
20 7,3
13 7,1
12 4,4
60 6,6
4 26
13,9 16
5,8 10
5,5 5
1,8 57
6,2
Total
187 100,0 274
100,0 183
100,0 272
100,0 916
100,0 0 - 1
75 40,1
119 43,4
31 16,9
69 25,4
294 32,1
0 - 2 69 36,9 161
58,8 80
43,7 201
73,9 511
55,8
Rata-rata 1,288
2,168 1,697
1,373
Tertinggi ha
74 16 8,8 13,5 74
Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci
Tabel 7.3.
Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria Produktif, 2007
Luas Pemilikan
Jono Oge Tondo
Cot Baroh
Tunong Ulee
Gunong Total
N N
N N N
64 34,2
51 18,6
41 22,4
41 15,1
197 21,5
0,5
5 2,7
17 6,2
22 12,0
7 2,6
51 5,6
O,5 - 1
23 12,3
67 24,5
33 18,0
119 43,8
242 26,4
1 - 2 36
19,3 82
29,9 71
38,8 91
33,5 280
30,6 2 - 3
28 15,0
30 10,9
10 5,5
10 3,7
78 8,5
3 - 4
14 7,5
14 5,1
5 2,7
2 0,7
35 3,8
4
17 9,1
13 4,7
1 0,5
2 0,7
33 3,6
Total
187 100,0 274
100,0 183
100,0 272
100,0 916
100,0 0- 1
92 49,2
135 49,3
96 52,5
167 61,4
490 53,5
0 - 2
64 34,2
166 60,6
126 68,9
217 79,8
573 62,6
Rata-rata
1,069 1,813
1,697 1,373
Tertinggi ha
71
12 4
10 71
Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci
171
Data-data pada Tabel 7.3. dan Tabel 7.4. juga menunjukkan bahwa di desa-
desa kasus belum terjadi “pemusatan sumberdaya agraria” yang sangat nyata. Meskipun di semua desa kasus terdapat sejumlah petani yang oleh masyarakat
sudah dikategorikan sebagai “petani luas yang kaya” tetapi luas lahan yang mereka miliki umumnya hanya sekitar 10 ha. Petani “pemilik sangat luas” hanya
muncul di Desa Jono Oge yang beretnis Bugis dan petani tersebut merupakan keturunan perintis pertama. Adapun luas sumberdaya agraria lahan yang
dimilikinya mencapai 74 ha, tetapi lahan tersebut tersebar pada 21 plot bidang dan sebagian besar 49,5 ha berada di luar desa. Walaupun luas lahan milik
petani tersebut sangat luas, tetapi seluruh lahan padi sawah dan kebun kakao diusahakan dengan pola bagi hasil
105
. Hanya kebun kelapa dan cengkeh yang diusahakan sendiri oleh petani pemilik luas kaya dengan menggunakan buruh
upahan, dan untuk mengawasi buruh upahan yang bekerja kadang-kadang petani pemilik luas kaya tersebut menggunakan mandor tidak tetap
106
.
Hasil sensus rumahtangga petani di empat desa kasus menunjukkan bahwa rata-rata luas pemilikan sumberdaya agraria di antara lapisan petani tidak sama.
Rata-rata luas pemilikan sumberdaya agraria paling besar terjadi pada lapisan petani pemilik dengan status tunggal sebagai “petani pemilik”, sedangkan rata-
rata luas pemilikan sumberdaya agraria paling kecil terjadi pada lapisan petani
dengan komplek, yaitu “pemilik + buruh tani” Tabel 7.4.. Realitas tersebut
muncul baik pada pemilikan sumberdaya agraria “total” maupun pada pemilikan sumberdaya agraria “produktif”.
105
Seluruh sumberdaya agraria padi sawah milik petani “sangat kaya” dalam komunitas petani di Desa Jono Oge 18 ha dikelola oleh para petani penggarap bagi hasil oleh 18 petani
penggarap bagi hasil. Demikian halnya kebun coklat yang luasnya 10 ha dikelola petani bagi hasil oleh 5 petani penggarap bagi hasil. Sementara itu, seluruh kebun cengkeh 8 ha dan
kebun kelapa 25,5 ha tidak digarapkan tetapi dikelola sendiri karena tidak perlu perawatan yang intensif sepanjang tahun.
106
Dalam hal ini, mandor digunakan untuk mengawasi panen hasil. Adapun biaya mandor cengkeh adalah Rp. 100,-liter sedangkan biaya mandor kelapa Rp. 100.000,-satu kali penen
sebanyak 3,000 pohon
172
Tabel 7.4.
Rata-rata Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria Total dan Sumberdaya Agraria Produktif, 2007
Status Pemilikan Sumberdaya Agraria
Total Sumberdaya Agraria
Produktif • Pemilik
2,268 1,740
• pemilik + penggarap 2,062 1,452
• pemilik + penggarap + BT 2,152 1,474
• pemilik + BT 1,474 0,888
Keterangan :
berbeda pada taraf nyata 20 dengan uji LSD Sumber data : Diolah dari Data Sensus Rumahtangga Hasil Diskusi dengan Informan Kunci
Walaupun demikian, bila mengacu pada hasil uji statistik uji beda nyatauji
LSD dengan selang kepercayaan 20 sebagaimana tertera pada lampiran 7.1. nampaknya rata-rata luas pemilikan yang dianggap “berbeda nyata” hanya terjadi
antara lapisan petani dengan status tunggal “petani pemilik” dengan lapisan petani dengan status kompleks “petani pemilik + buruh tani”. Realitas ini terjadi baik
pada rata-rata luas pemilikan sumberdaya agraria total maupun pada rata-rata luas pemilikan sumberdaya agraria produktif.
7.2. Arah Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Agraris : Jalan Bercabang Menuju Struktur Terstratifikasi atau Terpolarisasi
Sebelumnya, pada periode dimana sumberdaya agraria masih dikuasaai secara kolektif oleh komunitas petani, semua warga komunitas mempunyai akses
yang sama untuk menguasai dalam hal ini mengusahakan sumberdaya agraria sebagai sumber utama pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Oleh sebab itu, pada
periode tersebut dapat diduga bahwa struktur sosial masyarakat agraris relatif merata karena dibentuk oleh struktur penguasaan sumberdaya agraria yang ter-
buka atau memberikan akses yang sama kepada semua lapisan warga komu- nitas
107
. Kalaupun terdapat perbedaan lebih banyak terkait dengan perbedaan
107
Dalam sistem pemilikan kolektif yang diatur dalam ketentuan hukum adat, setiap anggota masyarakat mempunyai hak membuka tanah untuk dijadikan tanah pesawahan, ladang dan
tempat tinggal. Humairah Sabri dan Aminuddin, 1992.
173 kemauan di antara warga komunitas petani untuk mengusahakan sumberdaya
agraria yang tersedia. Kemudian setelah hampir seluruh sumberdaya agraria dalam komunitas pe-
tani dikuasai secara individual, sebagaimana yang terjadi saat ini di semua komu- nitas petani kasus, ternyata bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang muncul
merupakan sebuah struktur yang terstratifikasi
108
atas banyak lapisan petani. Lapisan yang membentuk struktur tersebut dijalin oleh status yang lebih
kompleks, karena selain dijalin melalui tatanan pemilikan tetap juga melalui dijalin melalui tatanan pemilikan sementara. Oleh sebab itu, lapisan-lapisan yang
membentuk struktur tersebut cukup banyak, mulai dari petani pemilik luas yang sebagian sumberdaya agraria miliknya diusahakan petani lain, petani pemilik se-
dang yang sumberdaya agraria miliknya hanya diusahakan sendiri keluarga inti, petani pemilik sempit yang selain mengusahakan sendiri lahan miliknya juga
harus merangkap sebagai penggarap danatau buruh tani, serta para penggarap dan “buruh tani” yang tidak memiliki sumberdaya agraria.
Bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi tersebut, mes- kipun dibangun melalui berbagai mekanismeproses penguasaan sumberdaya
agraria atau pola hubungan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria secara perorangan atau individual, tetapi mereka diikat oleh landasan moral tradisional.
Walaupun mekanisme-mekanisme yang memberi jalan pada pembentukan struk- tur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi masih dominan, tetapi pada saat
ini dalam komunitas petani di empat kasus juga sedang berjalan beberapa mekanismeproses penguasaan sumberdaya agraria atau pola hubungan sosial
penguasaan sumberdaya agraria individual yang cenderung mendorong memfasilitasi terjadinya bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang semakin
terpolarisasi
109
Tabel 7.5.. Dalam proses ini landasan moral tradisional mulai
digantikan oleh hubungan “pasar” yang tidak lagi bersifat pribadi.
108
Sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang melipatgandakan sub-kelas petani di dalam suatu rangkaian spektrum dari buruh tani tunakisma sampai ke pemilik luas yang tidak
mengusahakan sendiri tanahnya
109
Sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang mengkutubkan masyarakat tani menjadi hanya dua lapisan, yakni petani luas komersial yang kaya dan lapisan buruh tani tunakisma
yang miskin.
174
Tabel 7.5.
Kaitan antara Pola Hubungan Sosial Penguasaan Sumberdaya Agraria dengan Arah Perubahan Struktur Sosial Masyarakat
Agraris, 2007.
Pemanfaatan Sumberdaya
Agraria Pola Hubungan
Sosial Penguasaan Sumberdaya Agraria
Status Ekonomi Penggarap
Mekanisme Perubahan Struktur
Masyarakat Tahap Pembangunan KebunSawah
Padi-Sawah Bagi Waktu Tanam
Sedang Polarisasi
Kakao Bagi Kebun
Miskin -
Sedang Stratifikasi
Bagi Tanaman Miskin – Sedang
Polarisasi
Tahap Pengelolaan KebunSawah
Padi-Sawah Bagi 2 atau Bagi 3
Sedang Polarisasi
Kakao Bagi 2 atau Bagi 3
Miskin – Sedang Stratifikasi
Kopi Bagi 2 atau Bagi 3
Miskin – Sedang Stratifikasi
Kelapa Sewa Kaya
Polarisasi Cengkeh Buruh
– Upahan
Miskin Polarisasi
Semua Tanaman Gadai
Kaya Polarisasi
Sumber data : Wawancara dengan Informan Kunci
Beberapa mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang mendorong perubahan struktur sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang terstratifikasi
adalah : pola bagi kebun pada tahap pembangunan kebun dan pola bagi hasil untuk kebun baik kebun kakao maupun kebun kopi. Selain itu, pola pewarisan
yang membagikan sumberdaya agraria lahan milik orang tua kepada semua anaknya umumnya dalam jumlah yang sama juga cenderung mendorong bentuk
struktur agraria yang semakin terstratifikasi. Sementara itu, beberapa mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang
mendorong perubahan struktur sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang semakin terpolarisasi adalah : pola bagi tanaman pada tahap pembangunan
kebun, bagi waktu panen pada saat pencetakan sawah, pola bagi hasil sumberdaya agraria sawah, sistem sewa sumberdaya agraria sawah dan kebun
175 terutama pada sumberdaya agraria kebun kelapa, dan sistem gadai. Demikian
halnya menguatnya mekanisme transfer sumberdaya agraria melalui transaksi jual - beli
110
, semakin rendahnya kemampuan petani miskin untuk memiliki sumberdaya agraria danatau membangun sumberdaya agraria, semakin luasnya
penggunaan buruh upahan mendorong perubahan struktur sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang semakin terpolarisasi.
Pola bagi tanaman pada tahap pembangunan kebun, penyewaan terutama kelapa dan gadai sumberdaya agraria pada tahap pengelolaan usahatani, serta
transaksi jual-beli sumberdaya agraria maupun jual beli tanaman
111
seluruhnya cenderung mendorong struktur sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang
semakin terpolarisasi. Hal ini terjadi karena pemilik sumberdaya agraria pada pola bagi tanaman kebun dan pola bagi waktu panen sawah serta petani yang
menjadi pembeli, penyewa, dan penggadai sumberdaya agraria lahan umumnya para petani yang termasuk dalam lapisan “petani kaya”. Berbagai mekanisme
dimaksud lebih lanjut akan mengakumulasikan sumberdaya agraria pada kelom- pok minoritas lapisan petani kaya.
Sebaliknya, para petani yang menjadi penggarap dalam pola bagi tanaman serta para petani yang menyewakan, menggadaikan, dan menjual sumberdaya
agraria kebun maupun sawah umumnya merupakan para petani yang berada pada lapisan petani sedang danatau petani miskin, sehingga luas sumberdaya
agraria milik mereka semakin sempit atau bahkan menjadi petani tak bertanah. Semakin banyaknya kebutuhan petani yang harus dipenuhi dengan uang tunai
memperbesar proses pelepasan hak pemilikan tetap para petani miskin melalui transaksi jualbeli danatau melalui pelepasan hak pemilikan sementara sewa dan
gadai. Demikian halnya, pola bagi hasil pada pengelolaan padi sawah yang berjalan saat ini mendorong terbentuknya struktur sosial masyarakat agraris
110
Sebagaimana ditemukan Billah 1984 pengalaman di pedesaan Jawa Tengah menunjukkan bahwa mekanisme jual beli sumberdaya agraria memberi jalan bagi berlangsungnya
pemusatan pemilikan tanah di satu pihak, sebaliknya di pihak lain jumlah orang yang tidak memiliki tanah akan terus bertambah. Sementara itu, pewarisan sumberdaya agraria yang
secara adat hidup subur akan memberi jalan bagi berlangsungnya fragmentasi pemilikan sumberdaya agraria menjadi luasan-luasan yang semakin sempit.
111
Penjualan tanaman seringkali dilakukan para petani “pembagi hasil tanaman” kepada “petani pemilik tanah” yang menjadi parner kerjasamanya. Di Cot BarohTunong NAD harga kebun
kakao dengan benih unggul berumur 2 tahun yang lokasinya sekitar 5 km dari desa mempunyai harga sekitar 30 ribupohon.
176 menuju bentuk yang semakin terpolarisasi. Hal ini terjadi karena dengan semakin
intensifnya teknologi yang diterapkan pada pengelolaan usahatani tersebut, maka semakin besar modal finasial yang diperlukan sehingga para petani yang mendu-
duki posisi sebagai penggarap bukan lagi lapisan petani miskin tetapi lapisan petani menengah sedang yang mempunyai modal finansial atau yang dipercaya
pemilik modal finasial untuk diberikan pinjaman.
Tabel 7.6.
Modal Finansial Untuk Membangun Kebun 1 Ha pada Lahan Hutan di Desa Cot BarohTunong Dan Ulee Gunong, 2007
Aktivitas Volume Harga
Satuan Jumlah Keterangan
Tebang sewa chainsaw 4 hari
250.000 1.000.000,- Sewa alatjasa
Merintis 15 hari
50.000,- 750.000,- Dilakukan sendiri
Membersihkan dan bakar 15 hari
50.000,- 750.000,- Dilakukan sendiri
Menggali lubang 1.000 buah
1.000,- 1.000.000,- SendiriBuruh Upahan
Menanam 1.000 btg
1.000,- 1.000.000,- Dilakukan sendiri
Bibit 1.000 btg
1.500,- 1.500.000,-
SendiriBeli Ongkos bawa bibit
1.000 500,-
500.000,- SendiriBuruh Upahan
Jumlah 6.500.000,-
Sumber data : Wawancara dengan Informan Kunci
Hal lain yang membuat penguasaan sumberdaya agraria mendorong ter- jadinya polarisasi struktur sosial masyarakat agraris adalah semakin rendahnya
akses petani miskin terhadap cadangan sumberdaya agraria baru lahan hutan. Hal ini terjadi karena beberapa hal berikut : 1 letak sumberdaya agraria baru
lahan kosong semakin jauh dari pemukiman petani, 2 persediaan cadangan sumber-daya agraria semakin terbatas sehingga terjadi persaingan dalam
mendapatkannya, 3 program pemerintah bias kepada petani lapisan kaya dan atau lapisan petani sedang, dan 4 biaya pembangunan kebun semakin mahal. Bila
seluruh input produksi dibeli termasuk bibit maka modal finansial yang diperlukan petani untuk membangun kebun tahun pertama sebesar Rp. 6.500.000.-
Tabel 7.6..
Akan tetapi, bila petani sudah mempunyai penghasilan untuk biaya hidup selama membangun kebun dan sebagian pekerjaan dilakukan oleh anggota
keluarganya, maka jumlah modal finansial yang mereka perlukan pada tahun pertama pembangunan kebun kakao hanya setengahnya Rp. 3.250.000,-
177 Dengan berlakunya pemilikan individual yang diperkuat status hukum
formal surat keterangan yang dikeluarkan pemerintahan desa, maka semakin banyak orang kaya yang menguasai lahan untuk investasi masa depan tetapi
mereka seringkali tidak langsung mengusahakannya. Ketentuan aturan lama aturan adat maupun aturan baru UU Pokok Agraria yang menetapkan bahwa
lahan kosong yang dalam kurun waktu tertentu tiga tahun tidak diusahakan dapat diusahakan petani lain ternyata dalam implementasinya di lapangan tidak lagi
diterapkan secara sunguh-sungguh. Bersamaan dengan itu, program pemerintah dalam pembangunan kebun
baru sengaja atau tidak sengaja umumnya tidak memberikan prioritas kepada para petani tak berlahan atau petani berlahan sempit. Realitas ini lebih menonjol terjadi
di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah. Selain itu, realitas dimaksud terutama berkaitan dengan beberapa praktek berikut :
Para elit lokal cenderung memilih peserta program pembangunan kebun
yang mempunyai hubungan sosial dekat umumnya yang memiliki hubung- an kerabat danatau kolega,
Syarat peserta program masih diskriminatif, misalnya para petani harus
memiliki sertifikat lahan. Padahal pembuatan sertifikat lahan memerlukan biaya yang cukup besar, sehingga hal tersebut umumnya hanya dapat dipe-
nuhi oleh para petani yang tergolong petani kaya,
Lahan semakin jauh dari pemukiman sehingga bila petani miskin umumnya penggarap danatau buruh tani ikut sebagai peserta program pembangunan
kebun, maka mereka tidak dapat bekerja untuk mendapatkan penghasilan yang diperlukan guna memenuhi biaya hidup keluarganya. Oleh sebab itu,
banyak petani miskin yang tidak mau ikut menjadi peserta program tersebut. Meskipun realitas struktur sosial masyarakat agraris saat ini masih cende-
rung berada dalam bentuk yang terstratifikasi, tetapi dengan menggunakan alat analisa statistik “gini ratio” dapat ditunjukkan bahwa ketimpangan dalam
pemilikan sumberdaya agraria di dalam komunitas petani kasus sudah mulai
nampak Tabel 7.7. Realitas ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria tersebut
umumnya semakin besar bila analisa gini ratio dilakukan pada pemilikan
178 sumberdaya agraria produktif, yaitu sumberdaya agraria yang sudah menghasilkan
berproduksi. Tingginya angka ketimpangan penguasaan sumberdaya agraria berlangsung sejalan dengan adanya proses-proses penguasaan sumberdaya agraria
yang memberi jalan pada struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi.
Tabel 7.7.
Analisa Gini Ratio Terhadap Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria, 2007.
Desa Sumberdaya
Agraria Total Sumberdaya Agraria
Produktif Tondo
0,44 0,59 M T
Jono Oge 0,69 0,71
T T
Cot Baroh
0,57 0,42 T M
Ulee Gunong
0,32 0,55 R T
Keterangan : Nilai Gini Ratio 0,4 = R = Ketimpangan Rendah, 0,4 – 0,5 = M = Ketimpangan Moderat, dan 0,5 = T= Ketimpangan Tinggi
Sumber data: Diolah dari Data Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan
Informan Kunci
Dalam hal pemilikan sumberdaya agraria total, ketimpangan yang termasuk kategori tinggi terjadi pada komunitas petani di Desa Jono Oge dan pada
komunitas di Desa Cot Baroh. Bahkan ketimpangan paling tinggi terjadi pada komunitas petani di Desa Jono Oge yang berlatarbelakang etnis pendatang Bugis.
Pada komunitas petani di Desa Tondo ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria total masih termasuk kategori moderat dan pada komunitas petani di Desa Ulee
Gunong ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria total masih termasuk dalam kategori rendah.
Lebih lanjut bila analisa gini ratio dilakukan hanya terhadap sumberdaya agraria produktif, ternyata ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria pada
komunitas petani di Desa Jono Oge, di Desa Tondo, dan di Desa Ulee Gunong lebih tinggi dibanding ketimpangan pada pemilikan sumberdaya agraria total, dan
179 kategori ketimpangan penguasaan sumberdaya agraria di ketiga desa dimaksud
berada dalam kategori ketimpangan tinggi. Realitas tersebut terjadi karena banyak petani pemilik kebun yang tanamannya sudah rusak sehingga kebun tersebut tidak
lagi berproduksi. Sementara itu, pada komunitas petani di Desa Cot Baroh Tunong, ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria produktif lebih rendah
dibanding ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria total. Realitas tersebut muncul karena di desa Cot BarohTunong luas sumberdaya agraria kebun kakao
yang baru dibangun belum produktif cukup besar tetapi distribusinya relatif ku- rang merata sehingga berperan kuat dalam meningkatkan ketimpangan pemilikan
sumberdaya agraria dalam komunitas petani tersebut.
7.3. Peranan Program Pemerintah dan Lembaga Lokal dalam Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris