Ihtisar : Beragam “Kekuatan Produksi” dalam Komunitas Petani

115

5.5. Ihtisar : Beragam “Kekuatan Produksi” dalam Komunitas Petani

Bertolak dari pengalaman yang terjadi di empat komunitas petani kasus, pengaruh kapitalisme terhadap perkembangan praktek “kekuatan produksi” force of production sudah muncul dan cenderung semakin kuat. Pengaruh tersebut dimulai dengan terjadinya perubahan praktek kekuatan produksi : dari kekuatan produksi yang menopang sistem pertanian “ladang berpindah” shifting cultivation menjadi kekuatan produksi yang menopang “pertanian menetap”, sehingga seluruh proses produksi pertanian di dalam komunitas petani hanya dijalankan dengan satu sistem, yaitu “pertanian menetap” sedentary cultivation. Di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah, sistem perladangan berpindah tergusur sejak berkembangnya pertanian menetap yang mengusahakan tanaman “komersial” kelapa; kemudian disusul tanaman “komersial” cengkeh; dan terakhir tanaman “komersial kakao”. Sementara itu, di desa-desa kasus di NAD, sistem perladangan berpindah di lahan kering tergusur oleh pengusahaan tanaman “ko- mersial” kopi di wilayah dataran tinggi dan kemudian oleh tanaman “komersial” kakao di wilayah dataran tinggi dan dataran rendah. Di desa-desa kasus di Sula- wesi Tengah sistem pertanian perladangan berpindah berakhir sekitar awal tahun 90 an, sedangkan di desa-desa kasus di NAD sistem tersebut berakhir lebih lambat, yaitu sekitar pertengahan tahun 90 an Setelah berakhirnya perladangan berpindah, proses kapitalisme dilanjutkan dengan semakin dominannya praktek “kekuatan produksi” yang menggunakan teknologi intensif untuk mencapai peningkatan produksi per satuan luas lahan produktivitas lahan. Kekuatan produksi tersebut banyak menggunakan modal non lahan bahan, alat, dan modal finansial serta keterampilan yang berasal dari luar komunitas petani, sehingga untuk mendapatkannya para petani harus melaku- kan hubungan pertukaran di pasar melalui mekanisme jual beli. Dengan kata lain, praktek kekuatan produksi teknologi intensif telah mengintegrasikan petani pada pihak lain yang umumnya berada di luar komunitas petani, sehingga proses pro- duksi yang dilakukan petani semakin tergantung kepada pihak lain yang mengua- sai modal non lahan serta keterampilan yang menopang proses produksi tersebut. Namun demikian, pada komunitas petani yang mengusahakan beragam jenis tanaman ternyata pengaruh kapitalisme tidak mendorong hadirnya kekuatan pro- 116 duksi yang seragam, tetapi sebaliknya menghadirkan beragam kekuatan produksi yang dipraktekkan secara bersamaan. Pada usahatani padi sawah yang menghasil- kan produk untuk dimakan produk subsisten, proses produksi dijalankan dengan praktek kekuatan produksi “teknologi intensif”. Sebaliknya, pada usahatani perke- bunan yang menghasilkan produk untuk dijual produk komersial, proses produk- si dijalankan dengan praktek kekuatan produksi “teknologi yang tidak intensif”. Oleh sebab itu, meskipun sebagian besar kebun kakao sudah diusahakan secara monokultur tetapi produkstivitas kebun tersebut masih sangat rendah, yaitu umumnya hanya sekitar 200 – 400 kghatahun padahal potensinya dapat menca- pai 900 kghatahun. Dengan kata lain, pada usahatani padi sawah kapitalisme masuk terutama melalui penyediaan modal non lahan yang diperlukan untuk menopang praktek teknologi intensif, sedangkan pada usahatani kebun kakao kapitalisme masuk terutama melalui penguasaan hasil produksi petani yang digu- nakan bahan baku industri di negara maju. Keputusan petani dalam memilih kekuatan produksi yang akan mereka praktekkan didasari oleh rasionalitas yang berbeda. Rasionalitas para petani ter- nyata tidak semata-mata mengacu pada jenis produk yang dihasilkan produk untuk dimakan atau produk untuk dijual. Akan tetapi, rasionalitas mereka cende- rung berkaitan dengan strategi pencapaian kesejahteraan keluarga masa kini dan masa yang akan datang. Oleh sebab itu, 1 pada usahatani padi sawah, pening- katan produksi menjadi satu-satunya jalan yang harus ditempuh petani untuk mempertahankan kepastian ketersediaan pangan keluarganya merupakan strategi pencapaian kesejahteraan keluarga masa kini, dan 2 pada usahatani kebun, menambah luas kebun merupakan jalan yang lebih baik dibanding peningkatan produktivitas untuk “berinvestasi” menyiapkan masa depan keluarga, termasuk masa depan anak-anaknya. Pada saat ini, satu-satunya sumberdaya agraria yang dapat menghasilkan padi beras adalah sumberdaya agraria sawah karena ketersediaan sumberdaya agraria lahan kering untuk menghasilkan padi dahulu melalui sistem perladangan berpindah sudah tidak mungkin lagi. Bersamaan dengan itu, kemungkinan mem- perluas sumbedaya agraria sawah juga semakin sulit akibat ketersediaan sumber- daya air yang semakin terbatas. Padahal dipihak lain, jumlah anggota komunitas 117 yang memerlukan padi sebagai sumber pangan keluarga terus meningkat. Oleh sebab itu, satu-satunya pilihan petani untuk menghasilkan jumlah produksi padi yang lebih banyak adalah menjalankan usahatani padi sawah dengan praktek ke- kuatan produksi “teknologi intensif”, walaupun untuk itu mereka harus menye- diakan modal finansial lebih banyak atau semakin tergantung kepada pihak lain. Sebaliknya, upaya petani untuk meningkatkan jumlah produksi dari usaha- tani kebun masih dapat dilakukan dengan cara memperluas penguasaan sumber- daya agraria lahan kering sampai ke wilayah dekat hutan danatau ke dalam wilayah hutan. Apalagi akuisisi sumberdaya agraria hutan danatau bekas hutan belum dikontrol secara efektif, baik oleh kelembagaan lokal pada tingkat komu- nitas maupun oleh aturankebijakan pemerintah regional maupun nasional. Selain itu, perluasan sumberdaya agraria kebun mempunyai nilai masa depan nilai investasi sangat penting bagi para petani. Khususnya, sumberdaya tersebut dapat dijadikan pembuka jalan bagi upaya melepas landaskan masa depan anak- anak mereka. Dalam hal ini, sumberdaya agraria kebun selain dapat dipinjamkan, dibagihasilkan, dan diwariskan kepada anak-anak mereka bila anak-anak mereka meneruskan pekerjaan orangtuanya sebagai petani tetapi juga dapat digunakan untuk membiayai anak sekolah atau biaya masuk sebagai pegawai negeri. Besarnya dorongan petani untuk memperluas sumberdaya agraria “lahan kering” serta tidak adanya pengawasan yang efektif dalam tataguna sumberdaya agraria hutan danatau bekas hutan telah mendorong petani menggunakan sumber- daya agraria yang terletak di wilayah sekitar hutan danatau bahkan di wilayah hutan, meskipun lokasinya jauh dari pemukiman petani. Kemudian rendahnya kemampuan modal finansial dan tenaga kerja petani menyebabkan mereka menge- lola sumberdaya agraria dimaksud tanpa menerapkan teknologi intensif dan tekno- logi yang mendukukng pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan diantara- nya tanpa terasering. Dalam jangka panjang, tata cara tersebut akan berdampak pada menurunnya kualitas sumberdaya agraria lahan kering kebun dan juga menurunnya luas danatau kualitas sumberdaya agraria padi sawah akibat terus berkurangnya persediaan air. 118 Tabel 5.8. Perkembangan Sistem Pertanian Menetap di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007. Aspek Tondo Jono Oge Cot Baroh Tunong Ulee Gunong Lahan Basah Bentuk Perkembangan Pertanian Menetap Padi Sawah Pertanian Menetap Padi Sawah Pertanian Menetap Padi Sawah x Riwayat Perkembangan Sejak Awal Belanda Sejak Awal Belanda + pencetakan baru tahun 80 an pemerintah + swadaya Sejak Awal Belanda x Fasilitas Irigasi setengah teknis dibangun Belanda, kondisi kurang baik Irigasi setengah teknis teknis dibangun Belanda, kondisi baik Irigasi setengah teknis dibangun Belanda kondisi baik x Intensitas Tanam 1 kalitahun, sebagian kecil lahan ditanami 1 kalitahun, seluruh lahan ditanami 1 kalitahun, seluruh lahan ditanami x Lahan Kering Bentuk Perkembangan Ladang Berpindah Æ Pertanian Menetap kelapa, cengkeh, kakao Pertanian Menetap kelapa, cengkeh, kakao Ladang Berpindah Æ Pertanian Menetap kakao Ladang Berpindah Æ Pertanian Menetap kopi, kakao Riwayat Perkembangan Akhir Ladang Berpindah = awal 90 an Kelapa mulai = 60 an, cengkeh = 75 an, kakao = awal 90 an Kelapa mulai = 60 an, cengkeh = 75 an, kakao = akhir 80 an Akhir Ladang Berpindah = pertengahan 90 an kakao = awal 90 an Akhir Ladang Berpindah = pertengahan 90 an Kopi sejak Belanda, pertengah- an tahun 90 an hampir punah terkena serangan penyakit, Kakao = awal 90 an Fasilitas Proyek Kakao P2WK awal 90 an Proyek Kakao P2WK awal 90 an Proyek Kakao APBD setelah tahun 2000 Proyek Kopi Pembagian BibitPemda, Ada Kebun percobaan yang dibangun Belanda Pola Tanam Monokultur Kakao Dominan Monokultur Kakao Dominan Monokultur Kakao Dominan Campuran kopi + kakao dominan Produktivitas Kakako Dominan 200 kgha 400 - 600 kgha 200 kgha 200 - 400 kg ha Sumber Utama Informasi TeknologiBahan Tanam Proyek Kakao P2WK Wilayah asal, Proyek Kakao P2WK Petani Perintis, Desa Tetangga Petani Perintis, Desa Tetangga Urutan Luas Penggunaan Lahan Kering Kakao cengkeh kelapa Kakao cengkeh kelapa Kakao Kopi = kakao 119

BAB VI TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN