132 16 Dinamika Pola Hubungan Sosial Produksi Sumberdaya Agraria

129 Tabel 6.3. Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Petani, 2007 Pola Akuisisi Miskin Sedang Kaya N N N

A. Buka Baru

28 41.2 63 32.3 14 25.5 1. Buka Sendiri 23 33.8 52 26.7 11 20.0 2. Berbagi 5 7.4 11 5.6 3 5.5

B. Transfer Lahan 40

58.8 132

67.7 41

74.5 1. Ganti Rugi 19 27.9 72 36.9 34 61.8 2. Pewarisan 21 30.9 60 30.8 7 12.7 Jumlah 68 100.0 195 100.0 55 100.0 Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Miskin Sedang Kaya Pew arisan Ganti Rugi Berbagi Buka Sendiri Gambar 6.7. Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Petani, 2007 Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden 130 Dalam hal petani membangun sendiri kebunnya, mereka umumnya lebih banyak mengandalkan tenaga kerja anggota keluarga kreluarga inti. Meskipun mereka membuka kebun secara bersama-sama dalam sebuah rombongan 5 – 10 petani, tetapi sebagian besar pekerjaan dilakukan oleh masing-masing keluarga inti suami, istri dan anak. Hanya pekerjaan membuka hutan merintis, menebang pohon besar, membersihkan lahan yang seringkali dikerjakan bersama melalui mekanisme gotong royong pertukaran tenaga di antara petani. Setelah itu, lahan dibagikan kepada seluruh anggota rombongan dengan luasan yang sama dengan cara diundi yang diundi adalah letak lahan. Adapaun kegiatan selanjutnya, yaitu : mengajir, membuat lubang tanam, membuat bibit, dan menanam dilakukan oleh anggota keluarga masing-masing petani. Bila dalam kegiatan membuka kebun diperlukan biaya sewa alat misalnya sewa chainsaw, umumnya ditempuh dua mekanisme berikut : a biaya ditanggung bersama oleh anggota rombongan, atau b pemilik chainsaw akan memperoleh pembagian lahan. Beberapa pertimbangan rasional yang mendorong petani membuka lahan secara rombongan adalah : di hutan masih banyak binatang buas, jika terjadi kecelakaan ada yang menolong, mengawasimenengok kebun dapat dilakukan secara bergantian, pagar dapat dibuat bersama sehingga biayanya lebih murah, ada saksi dalam hal penetapan status pemilikan kebun. Di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah, akuisisi sumberdaya agraria melalui buka hutan banyak dilakukan pada akhir tahun 80 an, sedangkan di desa-desa penelitian di Propinsi NAD baru banyak dilakukan pada akhir tahun 90 an. Pada periode tersebut lahan kosong asal hutan masih mudah didapat, sehingga untuk membangun kebun pada umumnya petani melakukan pembukaan hutan pada lahan yang berstatus swaprajanegara dengan cara sebagai berikut : paras, tebas, dan bakar pada hutan sekunder atau paras, tebang, dan bakar pada hutan primer. Pada saat ini, untuk memperoleh lahan kosong asal hutan para petani di desa kasus harus menempuh perjalanan sekitar 10 – 12 km 76 , sehingga mereka harus sering tinggal di lokasi lahan yang baru dibuka tersebut. Selain itu, hampir semua lahan hutan yang cocok untuk menyelenggarakan usahatani kakao sudah dibuka 76 Sebagian jalan menuju hutan masih jalan setapak dan hanya dapat dilewati kendaraan roda dua. Untuk mencapai lokasi tersebut, bila ditempuh dengan berjalan kaki diperlukan waktu 2 jam, dan bila menggunakan motor ojek diperlukan ongkos Rp. 50.000,- 131 dan sudah ada pemiliknya walaupun belum semuanya ditanami 77 , sehingga un- tuk mendapatkan lahan tersebut umumnya harus melalui mekanisme jual-beli ganti rugi dengan harga relatif mahal sekitar tiga sampai dengan lima juta rupiah. Sebenarnya, untuk memperoleh sumberdaya lahan yang masih hutan rimba seorang petani tidak perlu membeli atau mengganti rugi, paling-paling hanya membayar biaya administrasi ke desa setempat sebesar Rp. 150.000ha. Akan tetapi lahan hutan rimba yang masih ada kurang cocok untuk ditanami kakao karena arealnya terlalu miring dan letaknya berada dekat jurang tebing. Oleh sebab itu, pada saat ini persaingan mendapatkan lahan asal hutan semakin tinggi. Apalagi para pemodal dari kota pegawai, pedagang mulai ikut bersaing menguasai lahan 78 . Pola pewarisan sumberdaya agraria di desa-desa kasus sudah mengalami perubahan. Pada saat ini, pola pewarisan sumberdaya agraria yang diterapkan para petani di lokasi penelitian Desa Tondo komunitas beretnis Kaili maupun di lokasi penelitian Desa Jono Oge komunitas Bugis adalah sama. Dalam pola pewarisan yang mereka terapkan saat ini, seorang anak laki-laki maupun anak perempuan mendapatkan hak waris sumberdaya agraria dengan jumlah yang sama. Padahal pada komunitas beretnis Bugis di Sulawesi Selatan sampai saat ini anak laki-laki mendapat dua bagian sedangkan anak perempuan hanya satu bagian, sehingga ada ungkapan ”anak laki-laki malempa menanggung sedang- kan anak perempuan hanya majungjung menggendong”. Sepanjang ingatan para Kepala Desa, pola pewarisan yang lebih banyak untuk laki-laki tidak diterapkan lagi karena dianggap tidak adil. Demikian hal nya pada masyarakat Kaili sebelumnya sekitar 30 tahun lalu lalu, seorang anak laki-laki akan mendapat warisan sebanyak dua bagian karena harus “mikul” sedangkan perem- puan hanya mendapatkan satu bagian karena hanya “nanggoro”. Sementara itu di desa-desa kasus di NAD, pola pewarisan umumnya masih menerapkan pola 77 Di wilayah bukaan baru seperti Pura banyak petani kaya danatau pejabat yang “memagar tanah”, mereka menguasai lahan secara formal surat dari desa meskipun lahan tersebut belum diusahakan. 78 Para petani di Desa Tondo dan Jono Oge mengungkapkan bahwa di Pura lokasi bukaan baru banyak pedagang dari Pasar Inpres dan Pasar Masomba di Kota Palu membuka kebun. Kebanyakan dari mereka merupakan orang Bugis dan mereka membangun dan memelihara kebun dengan menggunakan tenaga kerja upah.harian. 132 dimana anak laki-laki memperoleh warisan yang lebih besar mengacu pada Syariah Islam. Tabel 6.4. Berbagai Kebutuhan yang Mendorong Petani Menjual Sumberdaya Agraria, 2007. Jenis Kebutuhan Petani Desa Tondo Jono Oge Ulee Gunong Cot Baroh Tunong Kebutuhan Konsumtif 7 78 4 33 1 25 2 100 • Membeli motor 1 0 0 0 • Kebutuhan mendesak 3 1 1 1 • Pesta pernikahan 2 2 0 0 • Biaya naik haji 1 1 • Biaya membeli rumah 0 1 0 0 Pengembangan Usaha 2 22 2 17 3 75 0 0 • Perlu modal Usaha 1 1 3 • Membeli kebun lain 1 1 Masa Depan Anggota Keluarga 0 0 6 50 0 0 0 0 • Biaya sekolah Anak 0 4 0 0 • Biaya anak masuk kerja 2 Jumlah Kasus 9 100 12 100 4 100 2 100 Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden Keterangan : Angka dalam kurung sama dengan Transfer sumberdaya agraria melalui mekanisme jual beli terus meningkat karena akhir-akhir ini semakin banyak kebutuhan petani yang hanya dapat mereka penuhi dengan cara menjual lahan 79 . Secara umum, kebutuhan-kebutuhan para petani tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : kebutuhan konsumtif, pengembangan usaha, upaya memperbaiki masa depan anak Tabel 6.4.. Kebu- tuhan konsumtif petani yang dipenuhi dengan cara menjual kebun adalah membeli motor, penyelenggaraan pesta pernikahansunatan umumnya sekitar 10 juta, membuat rumah, berobat, kebutuhan mendesak, dan ongkos naik haji. Adapun upaya memperbaiki masa depan anak yang dipenuhi dengan cara menjual kebun adalah biaya sekolah kuliah serta biaya agar anak diterima sebagai pegawai. 79 Billah 1984 mengemukakan bahwa tidak adanya peluang kerja lain dan mengecilnya pendapatan dibandingkan dengan kebutuhan yang semakin meningkat mendorong pemilik lahan melakukan transaksi jual beli lahan, gadai dan sewa lahan. 133 Sementara itu, pengembangan usaha yang dilakukan petani dengan menjual kebun diantaranya adalah membeli alat pertanian untuk disewakan atau membeli kebun yang lebih jauh dengan harga lebih murah sehingga lebih luas. Proses jual beli sumberdaya agraria yang terjadi pada komunitas petani etnis lokal di Desa Tondo - Sulawesi Tengah dan Desa Cot BarohTunong - NAD umumnya berlangsung diantara sesama warga satu desa. Sebaliknya, proses jual beli sumberdaya agrarian yang terjadi pada komunitas petani etnis pendatang di Desa Jono Oge - Sulawesi Tengah dan di Desa Ulee Gunong - NAD proses jual beli sumberdaya agraria banyak berlangsung diantara warga dari desa yang berbeda tetapi mereka masih berada dalam wilayah kecamatan yang sama Tabel 7.5.. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa gejala masuknya warga kota kabupaten sama yang membeli lahan pertanian di desa meskipun sudah ada tetapi propor-sinya masih relatif kecil. Tabel 6.5. Alamat Pelaku Jual Beli Sumberdaya Agararia, 2007. Alamat Pelaku Tondo Jono Oge Ulee Gunong Cot Baroh N N N N

1. Desa Sama 13

59.1 16

44.4 2

9.5 13 86.7

2. Kecamatan Sama

6 27.3 19 52.8 11 52.4 2 13.3

3. Kabupaten Sama

3 13.6 1 2.8 8 38.1 - Jumlah Kasus 22 100.0 36 100.0 21 100.0 15 100.0 Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden

6.2. Dinamika Pola Hubungan Sosial Produksi Sumberdaya Agraria

Secara garis besar, hubungan sosial produksi sumberdaya agraria lahan untuk usaha pertanian diimplementasikan dalam dua tahap. Munculnya tahapan tersebut sejalan dengan proses pengembangan suatu usahatani, yaitu : 1 tahap pembuatanpembangunan kebun dan tahap pembuatanpencetakan sawah, 2 tahap pengelolaanpengusahaan kebun dan tahap pengelolaanpengusahaan sawah. Kedua tahap hubungan sosial dimaksud muncul di semua komunitas petani kasus 134 dan terjadi pada semua jenis pemnafaatn sumberdaya agraria, baik usa-ha tanaman kakao, kopi, kelapa, cengkeh, maupun padi-sawah. Namun demikian, ragam bentuk danatau intensitas setiap pola hubungan sosial produksi tersebut dapat berbeda. Perbedaan bentuk pola hubungan sosial produksi umumnya mun-cul dalam sebuah komunitas manakala jenis tanaman yang di-usahakan berbeda. Sementara itu, perbedaan intensitas pola hubungan sosial produksi umumnya muncul di antara komunitas petani yang berbeda meskipun jenis tanaman yang diusahakan sama.

6.2.1. Dinamika Pola Hubungan Sosial Produksi Sumberdaya Agraria

Pada Tahap Pembangunan Kebun dan Pencetakan Sawah Dalam melaksanakan pembangunan kebun dan pencetakan sawah, sebuah keluarga petani seringkali tidak mampu menyelesaikannya hanya dengan curahan tenaga kerja keluarga inti suami, istri, dan anakmenantu. Oleh sebab itu, para petani melakukan kegiatan tersebut melalui mekanisme pertukaran kerjasama. Mekanisme pertukaran tersebut terutama berlangsung di antara anggota kerabat kerabat inti dan kerabat luas. Walaupun demikian, tidak tertutup kemungkinan mekanisme tersebut berlangsung di antara warga satu komunitas yang tidak memiliki ikatan kekerabatan, misalnya di antara tetangga. Pada tahap pembangunan kebun dan pencetakan sawah, secara garis besar terdapat dua pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria yang umum dijalankan para petani di empat komunitas petani kasus. Pertama; pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria “berbagi, yang dikenal masyarakat dengan istilah “bagi kebun”, “bagi tanaman” danatau “bagi sawah”. Pola ini dibangun dengan tatanan yang lebih kompleks dan lebih bersifat personal serta dilakukan antara petani pemilik sumberdaya agararia 80 yang seringkali merangkap sebagai pemilik modal non lahan 81 dengan petani pembagi 82 penggarap. Kedua; pola 80 Pada umumnya merupakan seorang petani yang menguasai lahan kosong relatif luas tetapi tidak mempunyai cukup tenaga kerja danatau modal financial yang diperlukan untuk membuat kebunmencetak sawah 81 Pada umumnya seorang warga desaluar desa pemilik modal non lahan untuk membeli sarana produksi serta untuk membiayai hidup petani penggarap selama proses pembuatan kebun pencetakan sawah berlangsung 135 hubungan sosial produksi sumberdaya agraria “petani pemilik lahan – buruh tani”, yaitu sebuah pola kerjasama yang tatanannya relatif sederhana dan lebih bersifat kontraktual. Pola ini berlangsung antara petani pemilik sumberdaya agraria dengan buruh tani, dan hak buruh tani dipenuhi melalui transaksi pemba-yaran upah harian sebagai buruh harian lepas. Secara lebih rinci, dalam hal hubungan sosial produksi sumberdaya agraria pembangunan kebun terdapat empat bentuk yang pernah atau sedang dilakukan warga komunitas di lokasi penelitian Tabel 6.6, yaitu : a. Bagi Tiga . Dalam pola ini petani pemilik sumberdaya agraria mendapat satu bagian kebun dan petani pembagi mendapat dua bagian kebun. Hal ini terjadi bila semua sarana produksi untuk membangun kebun disediakan petani pembagi. b. Bagi Dua . Dalam pola ini petani pemilik sumberdaya agraria dan petani pembagi memperoleh bagian yang sama masing-masing pihakpelaku memperoleh kebun dengan luas yang sama. Hal ini terjadi bila sarana produksi untuk membangun kebun mulai tahap penanaman sampai dengan tahap panen disediakan oleh pihak petani pemilik sumberdaya agraria 83 . c. Bagi Tanaman Dalam pola ini tanaman yang sudah menghasilkan dibagi dua antara pemilik lahan dan penggarap sedangkan sumberdaya lahannya tidak dibagi dua, sehingga di kemudian hari bila masa produksi tanaman kakao sudah habis 20-30 tahun kemudian, seluruh sumberdaya lahan tersebut harus dikembalikan kepada petani pemilik. Pola ini sebagai bentuk penyesuaian atas semakin langkanya lahan kosong yang cocok untuk kebun kakao. Di Aceh pola bagi tanaman dinamai “mawah” dan pola ini mulai 82 Umumnya adalah seorang petani penggarappemilik lahan sempitburuh tani yang hanya mempunyai kelebihan tenaga kerja tetapi tidak mempunyai modal financial untuk membangun kebunmencetak sawah sendiri. 83 Hasil studi Sayuti 2002 di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari Sulawesi Tengah dan hasil studi Sutisna dkk 2005 di Desa Lambandia Sulawsi Tenggara menunjukkan bahwa sistem bagi kebun yang banyak dilakukan adalah “sistem bagi dua”. Dalam hal ini, baik pemilik lahan maupun penggarap berhak memiliki separoh kebun kakao yang dibagai pada saat kebun tersebut mulai menghasilkan umur tanaman sekitar 4 - 5 tahun. Kewajiban pemilik adalah menyedia- kan lahan baru dan bibit kakao, sedangkan kewajiban penggarap adalah melakukan penanaman dan pemeliharaan sampai tanaman menghasilkan. Namun demikian, kinerja kelembagaan ini semakin menghilang sejalan dengan semakin langkanya lahan kosong yang tersedia. 136 berkembang akhir tahun 90 an serta keberadaannya mulai menggeser pola bagi kebun 84 . Pola ini masih menjadi pilihan banyak petani karena kebun yang dibangun melalui pola ini umumnya lebih baik dibanding kebun yang dibangun melalui pola pemilik-buruh upahan. d. Pemilik – Buruh Tani . Dalam pola ini seluruh tanaman dan lahan kebun akan menjadi milik petani pemilik sumberdaya agraria, sedangkan pihak lain yang ikut bekerja buruh tani hanya akan mendapatkan upah harian. Selain empat pola hubungan sosial produksi agraria yang umum diterapkan warga komunitas petani tersebut, sebenarnya terdapat beberapa variasi pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria antara pemilik lahan dengan penggarap, tetapi intensitas pola-pola dimaksud relatif jarang diterapkan. Bentuk pola-pola hubungan sosial produksi agraria tersebut sangat tergantung bentuk “kepentingan” antara pemilik lahan dan penggarap danatau “berat ringannya” pekerjaan yang harus ditanggung penggarap. Misalnya, di desa penelitian di Sulawesi Tengah terdapat ragam pola “bagi tanaman” pada usahatani kakao yang ditanam di antara kelapa yang sudah ditanam sebelumnya oleh pemilik lahan. Dalam pola ini yang dibagi di antara pemilik lahan pemilik kebun kelapa dan penggarap hanya tanaman kakaonya saja tetapi lahan dan kebun kelapanya tidak dibagi, sehingga pada saat tanaman kakao tersebut sudah tua dan mati, maka seluruh lahan dikembalikan kepada pemiliknya Pembagian haknya pun bervariasi seperti berikut : a berbagi hasil panen : bagi dua atau bagi tiga, b bagi masa panen; umumnya setelah kakao dipanen selama 5 lima tahun, tanaman kakao diserahkan ke pemilik lahan; c seluruh hasil produksi tanaman kakao menjadi hak penggarap tetapi penggarap berkewajiban memelihara kebrsihan kebun, menjaga hasil kebun dari pencurian, meremajakanmengganti tanaman yang mati, serta menyerahkan hasil tanaman utamanya tanaman kelapa. 84 Pola bagi tanaman juga ditemukan dalam penelitian Fadjar 2004 pada usahatani karet di kabupaten Musi Rawas Propinsi Sumatera Selatan, khususnya di wilayah dimana ketersedian lahan baru sudah sangat terbatas dan harganya sudah relatif mahal. 137 Tabel 6.6. Pola Hubungan Sosial Produksi pada Tahap Pembangunan Kebun dan Pencetakan Sawah, 2007 Lingkungan Konstekstual Bentuk Hubungan Sosial Produksi Kewajiban Hak Petani Pemilik Lahan Petani Pembagi Buruh Tani Petani Pemilik Lahan Petani Pembagi Buruh Tani PembuatanPembangunan Kebun Lahan melimpah, teknologi sangat sederhana, tidak ada input produksi yang harus dibeli, tenaga kerja terbatas Bagi Tiga Menyerah kan lahan Membangun dan memelihara kebun sampai siap panen + menanggung sarana produksi bibit tidak unggul 1 bagian kebun lahan dan tanaman 2 bagian kebun lahan dan tanaman Lahan melimpah, teknologi semi intensif, sebagian input produksi harus dibeli, tenaga kerja terbatas Bagi Dua Menyerahkan lahan + ikut membiayai bahanalat produksi danatau membantu biaya hidup petani pembagi Membangun kebun dan memelihara kebun sampai siap panen 1 bagian kebun lahan dan tanaman 1 bagian kebun lahan dan tanaman Lahan langka, teknologi semi intensif – intensif , sebagian besar input produksi harus dibeli, tenaga kerja terbatas Bagi Tanaman Menyerahkan lahan + ikut membiayai bahanalat produksi sedangkan mem- bantu biaya hidup petani pembagi tidak wajib Membangun kebun dan memelihara kebun sampai siap panen 1 bagian tanaman + seluruh lahan 1 bagian tanaman saja Lahan langka, teknologi semi intensif – intensif , sebagian besar input produksi harus dibeli, tenaga kerja melimpah Pemilik – Buruh Tani Menyediakan lahan + seluruh biaya bahan alattenaga Menyediakan Tenaga Kerja Seluruh lahan + seluruh tanaman Memperoleh Upah Harian bila bekerja PembuatanPencetakan Sawah Lahan langka, teknologi semi intensif – intensif , sebagian besar input produksi harus dibeli, tenaga kerja terbatas Bagi Waktu Panen Menyerahkan lahan yang cocok untuk dibuat sawah MembutMen cetak sawah Memperoleh kembali lahan sawah miliknya setelah diusahakan selama 5 kali panen 5 tahun oleh petani pembagi Memperoleh hak mengusahakan sawah selama 5 x masa tanam sejak sawah tersebut dicetak dan seluruh hasil panen untuk petani pembagi Lahan langka, teknologi semi intensif – intensif , sebagian besar input produksi harus dibeli, tenaga kerja melimpah Pemilik – Buruh Tani Menyediakan lahan + seluruh biaya bahan alattenaga Menyediakan Tenaga Kerja Seluruh lahan + seluruh tanaman Memperoleh Upah Harian Sumber data : Diskusi Kelompok dengan Informan Kunci 138 Sementara itu, dalam kegiatan pembangunanpencetakan sawah terdapat dua bentuk hubungan sosial produksi sumberdaya agraria Tabel 6.6, yaitu : 1. Bagi Waktu Panen. Dalam pola ini, lahan sawah yang dibangun peng- garap dapat mereka kelola selama tiga sampai lima kali masa panen. Setelah itu, lahan sawah diserahkan kembali kepada petani pemilik. Besar frekuensi panen yang menjadi bagian hak penggarap ditentukan oleh curahan tenaga kerja berat ringgannya pekerjaan yang harus mereka curahkan dalam pencetakan sawah. Semakin besar curahan tenaga kerja yang harus dilakukan petani pembagi maka akan semakin lama hak mengusahakan yang diperoleh petani pembagi. 2. Pemilik – Buruh Tani . Dalam pola ini seluruh tanaman dan lahan sawah akan menjadi milik petani pemilik, pihak lain yang ikut bekerja buruh tani hanya akan mendapatkan upah harian. Pengaturan hubungan sosial produksi agraria pada tahap pembangunan kebun maupun pencetakan sawah semuanya berlangsung secara informal. Dalam hal ini, kesepakatan tentang hak dan kewajiban di antara para pelaku tidak dilakukan dalam perjanjian tertulis dan seringkali dilakukan tanpa adanya pihak lain yang menjadi “saksi”. Oleh sebab itu, bila terjadi pelanggaran oleh salah satu pihak yang bekerjasama pemilik lahan dan penggarap tidak ada pihak lain yang dapat membantu menyelesaikan, termasuk aparat Pemerintahan Desa maupun Ketua Adat. Bila terjadi sengketa seringkali pihak penggarap yang dirugikan oleh petani pemilik lahan, karena umumnya posisi petani penggarap pada posisi yang sangat lemah 85 . Perkembangan pola-pola hubungan sosial produksi agraria tersebut justru memberi jalan pada terbentuknya “struktur agraria yang semakin tertutup”, yaitu 85 Misalnya, ada kasus petani penggarap bagi kebun dirugikan pemilik tanah tidak mendapat bagin dan tidak ada yang memberikan pembelaan kasus Pak Asnar di Desa Tondo. Pada tahun 2002, Bapak Asnar bersama kawan-kawan tetangganya lima orang membuka kebun di Sidoli +- lima km dari desa, dan salah satu dari mereka menjadi ketuanya. Setelah lahan dibuka kemudian ditanami cengkeh seluruh biaya pembukaan lahan termasuk bibit berasal dari penggarap. Lahan yang dibuka Pak Asnar milik orang lain, yaitu pegawai yang tinggal di Palu. Sebelumnya, disepakati bahwa pola bagi kebun yang akan digunakan adalah bagi dua. Akan tetapi, sejak dua tahun lalu seluruh kebun diambil pemilik tanah 139 sebuah struktur agraria yang membatasi bahkan menutup akses para petani tak berlahan tunakisma dalam penguasaan sumberdaya agraria. Lebih lanjut keadaan tersebut berimplikasi pada meningkatnya ancaman terhadap kesejahteraan petani terutama bagi lapisan petani miskin. Padahal sebelumnya banyak petani yang meningkatkan kesejahteraan keluarganya melalui tangga berikut : buruh tani, penggarap bagi hasil, penggarap bagi kebun, pemilik sempit, pemilik luas. Ditinjau dari sisi pemerataan kesempatan memproleh sumberdaya agraria dalam bentuk lahan produktif 86 , kehadiran hubungan sosial agraria pola bagi kebun sangat baik. Dalam hal ini para petani miskin tanpa lahan tunakisma yang hanya memiliki modal tenaga kerja memperoleh kesempatan untuk menjadi petani pemilik kebun. Tanpa melalui mekanisme bagi kebun, pada umumnya para petani miskin tidak mempunyai kemampuan membangun kebun secara swadayaswadana. Hal ini terjadi terutama karena dua hal berikut : 1 petani miskin tidak memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya selama petani tersebut harus bekerja membangun kebun, dan 2 tidak memiliki modal finansial yang diperlukan untuk membiayai sewa alat dan pem- belian bahan produksi yang harus dibayar kepada pihak lain. Sewa alat yang harus dibayar petani terutama mesin pemotong kayuchainsaw untuk membuka lahan hutan yang nilainya dapat mencapai satu jutaha. Akan tetapi, patut disayangkan pada akhir-akhir ini terutama setelah tahun 2000 an pola hubungan sosial agraria bagi kebuncetak sawah sudah sangat jarang terjadi. Pola bagi kebun banyak diterapkan masyarakat terutama pada awal pengembangan tanaman cengkeh, kelapa, dan coklat akhir tahun 70 sampai dengan awal tahun 90 an. Pada saat ini, pola bagi kebun berubah menjadi bagi tanaman, tetapi pola inipun hanya terjadi bila pemilik lahan tidak mungkin melakukan sendiri pemeliharaan kebun karena : 1 lokasi sumberdaya lahan untuk pembangunan kebun jauh dari pemukiman sekitar 10 km, 2 pemilik lahan bertempat tinggal di luar desa bahkan tinggal di kota, dan 3 petani pemilik lahan memiliki sumber pekerjaan lain yang tidak bisa ditinggalkan misalnya pedagang atau pegawai. Akses petani penggarap dalam menguasai tanaman 86 Sebuah plot sumberdaya lahan dimana diatas sumberdaya lahan tersebut terdapat tanaman yang menghasilkan 140 umumnya segera hilang karena seringkali tanaman hasil pola bagi tanaman tersebut kemudian dijual kepada pemilik lahan. Akhirnya petani penggarap bagi tanaman kembali menjadi petani tunakisma. Nampaknya, para petani pemilik sumberdaya agraria yang tidak melakukan sendiri pembangunan kebun cenderung memilih pola hubungan sosial produksi agraria bagi tanaman yang dibagi dua hanya tanamannya atau mempekerjakan buruh tani. Hal ini terjadi karena sumberdaya agraria yang baru semakin sulit diperoleh dan kalaupun ada letaknya semakin jauh dari pemukiman. Selain itu, walaupun terdapat mekanisme akuisisi sumberdaya agraria melalui transaksi jual beli, tetapi harga sumberdaya agraria tersebut sudah semakin mahal terutama setelah berlangsunya krisis moneter 87 . Oleh sebab itu, para petani tidak ingin melepaskan sumberdaya agraria milikinya kepada petani lain. Pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria “bagi kebun” meng- hasilkan pembagian luas kebun lahan dan tanaman di antara petani pemilik lahan dan petani penggarap. Dalam hal ini pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria “bagi kebun” masih berujung pada sebuah bentuk “penguasaan tetap” atas sumberdaya agraria. Sementara itu, pola hubungan sosial produksi “bagi ta- naman” pada pembangunan kebun dan “pembagian waktu panen” pada pen- cetakan sawah, sumberdaya agraria dimiliki sepenuhnya oleh petani pemilik. Dengan kata lain, pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria pada tahap bagi tanaman dan pencetakan sawah hanya berujung pada bentuk “penguasaan sementara”. Kedua fenomena yang berbeda tersebut menunjukkan bahwa semakin langka sumberdaya agraria yang tersedia 88 , maka besaran hak yang diperoleh petani penggarap semakin kecil. Walaupun demikian, pola tersebut masih dipilih petani pembagi karena mereka sulit memperoleh peluang berusahabekerja lain. 87 Di Desa Jono Oge dan Desa Tondo Sulawesi Tengah, harga kebun kebun kakao, kebun cengkeh, dan kebun kelapa sebelum krisis moneter hanya 1,5 jutaha tetapi setelah krisis moneter menjadi 10 jutaha, kemudian harga sawah sebelum krisis moneter hanya 20 jutaha tetapi setelah krisis moneter menjadi 30 jutaha. Pada saat ini, di daerah Pura yang berjarak sekitar 10 km dari desa Jono OgeTondo, biaya ganti rugi lahan kosong yang sudah ditebang dan ditebas siap ditanami kakao mencapai Rp 5 jutaha. Sementara itu, Di Cot BarohTunong, harga kebun kakao dengan benih unggul berumur 2 tahun yang berada sekitar 5 km dari desa berharga sekitar 17 juta rupiah 88 Pencetakan sawah baru sudah sangat jarang dilakukan karena secara teknis sangat dibatasi oleh ketersediaan air yang jumlahnya cenderung terus menurun. Di Desa Tondo pencetakan sawah yang terjadi saat ini umumnya berlangsung pada sawah yang sudah lama terlantar pengolahan ulang. 141

6.2.2. Dinamika Pola Hubungan Sosial Produksi Pada Tahap Pengelolaan

Sumberdaya Agraria Pada tahap pemanfaatan sumberdaya agraria, baik melalui pengusahaan tanaman subsisten padi-sawah maupun tanaman komersial perkebunan tanaman kakao, kopi, kelapa, dan cengkeh, terdapat beragam pola hubungan sosial produksi yang menyertainya. Realitas hadirnya beragam pola hubungan sosial produksi tersebut terjadi di semua komunitas petani kasus, baik di Sulawesi Tengah maupun di NAD. Dalam sebuah komunitas petani, bentuk hubungan sosial produksi sumberdaya agraria tersebut sangat mungkin tidak sama bila tanaman yang diusahakan berbeda. Sementara itu, bentuk hubungan sosial produksi agraria yang dominan pada pengelolaan suatu tanaman umumnya sama meskipun komunitas petani yang menjalankannya berbeda. Gejala ini muncul baik pada pengelolaan sumberdaya agraria melalui usaha padi sawah, kakao, maupun kopi Tabel 6.7.. Dengan demikian, yang terjadi adalah commodity-driven relation of production bukan etnics-driven relation of production. Tabel 6.7. Bentuk Hubungan Sosial Produksi yang Dominan pada Pengelolaan Sumberdaya Agraria Usahatani, 2007. Jenis Usahatani Desa Tondo Jono Oge Ulee Gunong Cot Baroh Tunong Padi Bagi Hasil Bagi Hasil X Bagi Hasil Kakao Bagi Hasil Bagi Hasil Bagi Hasil Bagi Hasil Kopi X x Bagi Hasil x Kelapa Sewa Tahunan Sewa Tahunan X x Cengkeh Buruh Harian Buruh Harian X x Sumber data : Wawancara dengan Informan Kunci 142 Tabel 6.8. Jumlah Rumahtangga Petani Penggarap Bagi Hasil pada Berbagai Jenis Usahatani, 2007 Jenis UsahataniPola Pemilikan Sementara Desa Tondo Jono Oge Ulee Gunong Cot Baroh Tunong Bagi Hasil • Kakao 12 6 9 1 • Cengkeh 0 1 X X • Kopi X X 8 X • Padi 32 42 X 95 Sewa • Padi 0 2 X 2 • Kelapa 2 3 X X Sumber Data : Sensus Penduduk Melalui Diskusi Informan Kunci Keterangan : x = Tidak ada tanaman Pola hubungan sosial produksi agraria “bagi hasil” 89 sangat menonjol pada pengelolaan sumberdaya agraria untuk usahatani padi-sawah. Fenomena tersebut terjadi di semua komunitas petani kasus, baik di Sulawesi Tengah maupun di NAD. Pola bagi hasil juga muncul pada pengelolaan sumberdaya agraria yang digunakan untuk usahatani kakao di semua desa kasus serta usahatani kopi di desa Ulee Gunong – NAD, walaupun inten-sitas jumlah pola hubungan tersebut masih sedikit Tabel 6.8.. Pada penge-lolaan sumberdaya agraria melalui usahatani kelapa, pola hubungan sosial produksi agraria yang menonjol adalah sewa kebun di Sulawesi Tengah disebut “bapajak”. Sementara itu, pada pengelolaan sumberdaya agraria melalui usaha-tani cengkeh, pola hubungan sosial produksi agraria yang menonjol adalah pola hubungan pemilik - buruh tani buruh upah harian. Pada usaha tanaman cengkeh, pola bagi hasil atau sewa hanya 89 Shelthema dalam Rahman 2007 sistem bagi hasil di Indonesia telah ada sejak sebelum Belanda masuk ke Indonesai. Selain itu, sistem bagi hasil merupakan kasus yang universal pada masyarakat feodal, kapitalis, dan juga masyarakat sosialis. 143 terjadi bila petani pemilik kebun bukan sepenuh-nya petani pegawai atau pedagang dan petani pemilik tersebut bertempat tinggal sangat jauh dari kebun tinggal di kota.

6.2.2.1. Pola Bagi Hasil

Para petani yang memiliki sumberdaya agraria sawah dengan luasan relatif besar cenderung memilih hubungan sosial produksi agraria bagi hasil dari pada mereka harus mengelola sendiri usahatani padi sawahnya. Padahal sebenarnya di lokasi tempat tinggal para petani tersedia banyak “buruh bagi-hasil tanam-panen“ 90 di Sulawesi Tengah atau buruh-upah tanampanen di NAD yang dapat membantu langsung para petani pemilik dalam mengelola usaha padi sawah miliknya. Sebagaimana diungkapkan para petani, pilihan tersebut terjadi karena “secara sosial” sebagian besar petani pemilik sawah luas memilih menggarapkan sawah karena mereka bermaksud mengimplementasikan “solidaritas lokal” yang mereka yakini sebagai sesuatu yang baik. Dalam hal ini, para petani pemilik sawah luas mempunyai pemahaman bahwa memberi peluang memperoleh peng- hasilan kepada kerabat terutama kerabat dekat 91 merupakan tindakan yang wajib dijalankan dan memberi peluang memperoleh penghasilan kepada tetangga merupakan tindakan terpuji. Selain itu, terkait dengan kondisi lingkungan dan karakteristik tanaman ternyata “secara teknis” 92 usahatani padi-sawah memer- lukan perawatan yang sangat intensif, terutama dalam kegiatan-kegiatan berikut : 1 mengontrol air; 2 mengontrol hama; terutama burung dan ternak, serta 3 melakukan perawatan seperti menyiang; memupuk; dan menyemprotkan obat 90 Di Desa Jono Oge dan Tondo, buruh tanam-panen satu paket merupakan buruh bagi hasil yang dibayar saat panen sebesar 15 dari hasil sawah. Sementara itu, di Desa Cot BarohTunong buruh upah tanampanen tidak satu paket dibayar harian 91 Pada masyarakat Bugis di Desa Jono Oge yang dimaksud saudara dekat adalah Saudara Satu yang terdiri dari anak dan saudara sekandung adik atau kakak serta Saudara Dua terutama ponakan. 92 Temuan tersebut sejalan dengan pendapat Steward dalam Geertz 1974 mengemukakan bahwa tantangan ekologis yang berbeda akan menyebabkan hubungan sosial beda. Steward mencontoh- kan bahwa masyarakat berburu dengan teknologi yang sama panah, tombak, lubang perangkap ternyata mempunyai cara berlainan sebagai akibat dari jenis binatang buruan. Kalau binatang buruan hidup dalam kawanan besar misalnya bison maka mereka berburu secara gotong- royong dalam kelompok-kelompok yang cukup besar. Sebaliknya, kalau binatang buruan itu hidup dalam kawanan kecil yang terpisah-pisah, maka mereka berburu dalam kelompok- kelompok kecil. 144 untuk mengendalikan hamapenyakit. Semua kegiatan tersebut perlu dilakukan secara teliti dan tekun. Oleh sebab itu, keberadaan penggarap yang dapat melaku- kan pekerjaan dimaksud dengan baik masih diperlukan. Beberapa petani menge- mukakan bahwa tingkat keberhasilan sawah yang dikelola petani penggarap lebih baik dari pada sawah yang mengandalkan buruh-upahan. Hal lain juga yang menyebabkan banyaknya petani pemilik yang meng- garapkan sawah kepada petani lain karena banyak pemilik yang tinggal di luar desa Tabel 6.9. Umumnya mereka adalah pemilik generasi pertama danatau anak pemilik generasi pertama yang sudah berusahabekerja di luar pertanian danatau tinggal desa lain yang lebih dekat ke kota. Jika data monografi desa dan atau data hasil diskusi kelompok dibandingkan dengan hasil sensus penguasaan sumberdaya agraria yang dilakukan dalam penelitian ini nampak bahwa luas sumberdaya agraria sawah yang pemiliknya bertempat tinggal di luar desa men- capai proporsi 61 - 87 . Tabel 6.9 . Luas Sawah Berdasarkan Tempat Tinggal Pemilik ha, 2007. Desa Luas Sawah Di Desa Luas Sawah yang Pemilknya Tinggal di Desa Luas sawah yang Pemiliknya Tinggal di Luar Desa Cot Baroh Tunong 132 51 81 61 Tondo 280 36 244 67 Jono Oge 400 69 331 85 Sumber Data : = Monografi DesaDiskusi, = Hasil Sensus Melalui Informan Kunci Keterangan : angka dalam kurung = Hubungan sosial produksi agraria “bagi hasil” juga menjadi pilihan petani dalam pengelolaan usahatani kakao. Meskipun intensitasnya tidak sebanyak yang terjadi dalam pengelolaan usahatani padi sawah tetapi relatif lebih banyak bila di- bandingkan dengan yang terjadi pada usahatani tanaman “komersial” perkebunan lainnya. Menurut pertimbangan para petani, pilihan hubungan sosial produksi agraria “bagi hasil” pada pengelolaan kebun kakao terjadi karena secara teknis masa panen kakao relatif panjang terus menerus selama 6 bulan, sekali dalam 1 – 145 2 minggu. Kondisi teknis tersebut menyebabkan para petani memerlukan tenaga kerja cukup banyak untuk melaksanakan proses pemanenan serta untuk melaku- kan pengawasan intensif terhadap buah yang belum dipanen, baik pengawasan dari pencurian oleh manusia maupun serangan oleh berbagai binatang monyet, tupai, dan babi. Sementara itu, pada pengelolaan sumberdaya agaria untuk ushatani cengkeh dan kelapa umumnya petani tidak melakukan hubungan sosial produksi bagi hasil karena secara teknis kedua tanaman tersebut tidak perlu perawatan dan penga- wasan yang intensif sepanjang tahun. Untuk tanaman kelapa, meskipun proses panen harus dilakukan secara intensif tetapi frekuensi panen hanya satu kaliempat bulan satu tahun tiga kali panen. Demikian halnya pada usahatani cengkeh, proses panen hanya dilakukan satu kali dalam setahun. Oleh sebab itu, para petani yang memiliki kebun cengkeh dan kelapa relatif luas cenderung memilih tenaga mandor 93 dalam mengatasi kebutuhan tenaga koordinasipengawasan buruh panen. Menurut pengamatan penduduk setempat, sekitar 30 pohon kelapa di Desa Jono Oge dan Desa Tondo tidak dikelola sendiri oleh pemiliknya, tetapi dikontrakkan kepada petani lain. Pada saat penelitian berlangsung, pola hubungan sosial produksi bagi hasil padi sawah, kakao, dan kopi yang diterapkan para petani adalah “bagi dua” dan “bagi tiga”. Pada pengelolaan smberdaya agraria usaha padi sawah – irigasi setengah teknis pola hubungan sosial produksi yang paling banyak diterapakan petani adalah “Bagi Tiga” Tabel 6.10. Pola Bagi Dua tidak banyak yang menerapkan dan hanya berlangsung di antara kerabat dekat. Pada pola “Bagi Dua“, hasil panen dibagi dua tetapi input produksi juga dibagi dua termasuk biaya traktor. Pola ini muncul relatif baru dan kemunculannya didorong oleh “solidaritas” petani pemilik untuk membantu kerabatnya. Dalam hal ini petani pemilik merasa kasihan terhadap kondisi kerabat yang menjadi pembagi hasil, sehingga petani pemilik memberikan toleransi agar hasil panen yang dibawa pulang petani pembagi hasil tidak terlalu sedikit. 93 Biaya mandor cengkeh adalah Rp. 100,-liter sedangkan biaya mandor kelapa Rp. 100.000,-satu kali panen untuk kebun kelapa yang luasnya sekitar 30 ha atau 3.000 pohon kelapa. 146 Tabel 6.10. Bentuk Hubungan Sosial Produksi Bagi Hasil yang Dominan Pada Tahap Pengelolaan Sumberdaya Agraria, 2007. Jenis Tanaman Hubungan Sosial Produksi Desa Tondo Jono Oge Ulee Gunong Cot Baroh Tunong Kakao Bagi Dua 5 1 5 Bagi Tiga 7 1 4 Kopi Bagi Dua 3 Bagi Tiga 2 Padi Bagi Dua 3 2 Bagi Tiga 8 26 26 Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden Pilihan bagi dua atau bagi tiga terutama didasarkan terutama pada besarnya curahan bahanalatjasa yang dipertukarkan di antara para pelaku petani serta besaran potensi resiko gagal panen yang dapat muncul. Bahanalat yang diper- tukarkan terutama kualiatas atau kesuburan sumberdaya agraria lahan, bahan alat produksi lain, serta modal finansial, sedangkan jasa yang dipertukarkan umumnya tenaga kerja. Semakin besar atau semakin baik bahanalat dan jasa yang diberikan seseorang petani, maka semakin besar bagian hasil yang diperolehnya Tabel 6.11.. Seringkali lahan yang lokasinya jauh dari pemukiman memberikan bagian penggarap relatif lebih besar dibanding yang lokasinya dekat pemukiman. Selain itu, meskipun tidak selalu menjadi pertimbangan utama, seringkali hubung- an personal diantara petani dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan hak dan kewajiban pola bagi hasil, terutama bila petani yang berperan sebagai pembagi hasil merupakan seorang kerabat dekat petani pemilik lahan. Oleh sebab itu, meskipun dalam komunitas terdapat suatu pola bagi hasil yang dominan tetapi juga terdapat sejumlah pola lain yang berbeda. Misalnya pelasksanaan bagi dua pada pengelolaan kebun kakao, sebagian dilakukan setelah dikurangi ongkos panen tetapi sebagian lainya tidak dikurangi ongkos panen. 147 Tabel 6.11. Pola Hubungan Sosial Produksi Agraria Bagi Hasil, 2007 Situasi Konstekstual Pola Kewajiban Hak Pemilik Lahan Penggarap Buruh Bagi Hasil Pemilik Lahan Penggarap Buruh Bagi Hasil Padi Sawah Irigasi Setengah Teknis Teknologi tidak intensif, pengolahan tanah dengan kerbau, lahan milik luas Bagi Tiga Menyediakan sumberdaya lahan Mengusahakan sumberdaya lahan + menanggung biaya alatbahan produksi 1 bagian Hasil panen 2 bagian hasil panen Teknologi intenif, pengolahan tanah dengan traktor, traktor disediakan penggarap, lahan milik luas Bagi Tiga Menyediakan sumberdaya lahan Mengusahakan sumberdaya lahan + menanggung biaya alat bahan produksi 1 bagian hasil panen 2 bagian hasil panen , tetapi satu bagian habis untuk sewa traktor Teknologi intenif, Pengolahan tanah dengan traktor yang disediakan pemilik lahan, lahan milik luas Bagi Tiga Menyediakan sumberdaya lahan + menyediakan traktorsewa traktor Mengusahakan sumberdaya lahan + menanggung biaya bahan produksi 2 bagian hasil panen 1 bagian hasil panen Teknologi intenif, Pengolahan tanah dengan traktor yang dimiliki pemilik lahan, lahan milik luas Bagi Dua Menyediakan sumberdaya lahan + menanggung biaya sarana produksi Mengusahakan sumberdaya lahan + menanggung biaya sarana produksi 1 bagian hasil panen 1 bagian hasil panen Teknologi intenif, Pengolahan tanah dengan traktor yang dimiliki pemilik lahan, lahan milik sempit Pemilik – Buruh Bagi Hasil Menyediakan sumberdaya lahan + menanggung biaya sarana produksi Melaksanakan penanaman dan pemanenan hasil panen – upah buruh bagi hasil 16 bagian hasil panen Padi Sawah Tadah Hujan Persediaan air terbatas, resiko gagal panen sangat besar, lahan milik luas Bagi Tiga Menyediakan sumberdaya lahan Mengusahakan sumberdaya lahan + menanggung biaya sarana produksi 1 bagian hasil panen 2 bagian hasil panen Persediaan air terbatas, resiko gagal panen sangat besar, lahan milik sempit Pemilik – Buruh Bagi Hasil Menyediakan sumberdaya lahan + menanggung biaya sarana produksi Melaksanakan penanaman dan pemanenan hasil panen – upah buruh bagi hasil 16 bagian hasil panen Kebun KakaoKopi Teknologi tidak intensif, tanpa bahanalat yang dibe-li, lokasi sulit dijangkau Bagi Tiga Menyediakan sumberdaya lahan Mengusahakan sumberdaya lahan 1 bagian hasil panen 2 bagian hasil panen Teknologi semi intensif, tanpa bahanalat yang dibe-li, lokasi mudah dijangkau Bagi Dua Menyediakan sumberdaya lahan Mengusahakan sumberdaya lahan 1 bagian hasil panen 1 bagian hasil panen Teknologi intensif, menggunakan bahanalat yang dibeli, lokasi mudah dijangkau Bagi Dua Menyediakan sumberdaya lahan Mengusahakan sumberdaya lahan, ikut menangung bersama pembelian bahanalat 1 bagian hasil panen setelah dikurangi biaya bahanalat 1 bagian hasil panen setelah dikurangi biaya bahanalat Sumber data : Wawancara dengan Informan Kunci Keterangan : setelah dikurangi biaya buruh bagi hasil panen 16 bagian 148 Dalam memilih calon petani pembagi hasil sebagai parner kerjasama, para pemilik sumberdaya agraria akan menggunakan dua kriteria, yaitu “kriteria sosial” dan kriteria teknis. Berdasarkan kriteria sosial, prioritas pertama dalam pem- berian kesempatan menggarap sumberdaya agraria ditujukan kepada keluarga inti umum-nya anak danatau menantu, sedangkan prioritas kedua adalah kerabat dan prioritas berikutnya adalah tetangga. Sementara itu berdasarkan “kriteria teknis”, penggarap yang dipilih pemilik lahan adalah mereka yang memenuhi kriteria berikut : 1 mau mengikuti aturan yang diinginkan pemilik, 2 mampu melaksanakan pekerjaan dengan baik dan rajin, dan 3 berprilaku jujur. Menurut para petani pemilik, kecuali untuk keluarga inti, terpenuhinya kriteria teknis men- jadi pertimbangan utama. Oleh sebab itu, kerabat yang tidak memenuhi kriteria teknis akan kalah prioritas dibanding tetangga atau orang lain yang memenuhi kriteria teknis. Data dan informasi pada Tabel 6.12. menunjukkan bahwa di semua desa kasus ternyata pemilihan petani penggarap yang didasarkan pada per-timbangan sosial masih cukup kuat. Dalam hal ini ternyata sebagian besar petani pembagi hasil yang dipilih para petani pemilik adalah ”kerabat inti” dan paling tidak adalah ”kerabat luas”. Bahkan di lokasi desa-desa penelitian di Propinsi NAD frekuensi munculnya fenomena ini lebih menonjol bila dibandingkan de-ngan yang terjadi di komunitas petani desa kasus di Propinsi Sulawesi Tengah. Untuk mengamankan hubungan kerjasama berjalan dengan benar, para peta- ni pemilik sumberdaya agraria juga melakukan pengawasan. Pengawasan terhadap penggarap oleh pemilik lahan dilakukan melalui dua cara berikut : 1 “penga- wasan melekat” dimana petani penggarap harus mengolah padi hasil panennya di penggilingan yang dimiliki oleh pemilik sawah, 2 ada seseorang yang ditugasi petani pemilik sebagai ”mata-mata” untuk memonitor apakah petani penggarap bertindak jujur atau tidak. Untuk tanaman selain padi dan kakao, keberadaan se- orang mata-mata sangat penting karena hasil panen kebun cengkeh atau kelapa dapat langsung dijual di pasar tidak perlu diolah dahulu. 149 Tabel 6.12. Hubungan Sosial antara Petani Pemilik dengan Petani Pembagi Hasil, 2007. Hubungan Sosial Tondo Jono Oge Ulee Gunong Cot Baroh N N N N A. Kerabat 5 55.6 26 63.4 11 84.6 31 77.5 • Kerabat Inti 3 33.3 10 24.4 5 38.5 16 40.0 • Kerabat Luas 2 22.2 16 39.0 6 46.2 15 37.5

B. Orang Lain 4

44.4 15 36.6 2 15.4 9 22.5 • Tetangga 1 11.1 - 1 7.7 4 10.0 • Bukan Tetangga 3 33.3 15 36.6 1 7.7 5 12.5 Jumlah Kasus 9 100.0 41 100.0 13 100.0 40 100.0 Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden

6.2.2.2. Pola Sewa

Hubungan sosial produksi pengelolaanpengusahaan sumberdaya agraria dengan mekanisme sewa sangat jarang dilakukan para petani dalam meng-usaha- kan tanaman padi sawah maupun kakao, bahkan hasil wawancara dengan respon- den tidak ada di antara mereka yang pernah menjalannkannya. Hubungan sosial produksi sewa sawah umumnya hanya terjadi manakala pemilik belum mengenal prestasi penggarap bagi hasil dalam mengusahakan sawah. Walaupun demikian, hubungan sosial produksi sewa sangat dominan pada pengelolaan tanaman kelapa, khususnya di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah dengan istilah lokal “bapajak”. Beberapa kepentingan yang mendorong petani memajakkan kebunnya umumnya merupakan upaya petani untuk memenuhi kebutuhan berikut : biaya pesta pernikahansunatan, biaya pengobatan, biaya anak sekolah, dan berbagai keper- luan lebaran. Sistem sewa yang diterapkan para petani di desa-desa kasus merupakan bentuk penyerahan sementara hak pengusahaan sebidang tanah kepada orang lain dan besarnya uang sewa ditetapkan atas dasar kesepakatan antara pemilik dan penyewa sedangkan resiko produksi ditanggung penyewa. Lama sewa biasanya ditetapkan berdasarkan jumlah uang yang diperlukan pemilik lahan dan untuk 150 usahatani perkebunan umumnya tiga sampai dengan lima tahun. Bahkan untuk kasus sewa kebun kelapa di Desa Tondo lama penyewaan lebih dari 10 tahun karena pemilik memerlukan uang tunai dalam jumlah besar untuk mem-bayar ongkos naik haji. Sementara itu, jangka waktu sewa pada usahatani sawah umumnya hanya satu musim tanam karena seringkali sawah tidak dapat ditanami akibat kemarau. Kalaupun sawah “dipajakkan” dalam jangka waktu panjang penghitungannya didasarkan pada jumlah musim dimana sawah dimaksud dapat ditanami Untuk usahatani kebun, nilai sewa ditetapkan berdasarkan jumlah pohon, kualitasproduktivitas pohon, dan lamanya penyewaan. Umumnya nilai sewa tanaman perkebunan kakao dan kelapa berkisar antara Rp. 1.000,- sampai dengan Rp. 1.500,- pohontahun. Sementara itu, untuk usahatani sawah nilai sewa di lokasi penelitian Desa Jono Oge dan Desa Tondo sekitar satu juta rupiah setiap satu hektar dalam satu kali musim tanam, sedangkan di Desa Cot BarohTunong nilai sewa sawah sekitar dua ton padi setiap satu hektar dalam kurun waktu satu kali musim tanam.

6.2.2.3. Pola Gadai

Sistem gadai yang diterapkan para petani di desa kasus terjadi pada semua jenis usahatani, tetapi intensitas pola hubungan sosial produksi tersebut relatif kecil dan seringkali tidak diketahui orang lain umumnya dirahasiakan para pelakunya. Pada umumnya transaksi gadai dilakukan para petani tanpa meng- gunakan surat perjanjian. Namun demikian, akhir-akhir ini petani yang melakukan transaksi gadai sudah mulai menggunakan surat perjanjian tertulis yang diketahui oleh Kepala Desa. Sebagai-mana berlaku di tempat lain, sistem gadai di desa-desa kasus merupakan bentuk penyerahan sementara hak pengusahaan sebidang tanah kepada orang lain karena pemilik meminjam sejumlah uang tunai, dan pemilik dapat mengambil kembali hak pemilikan atas tanahnya bila pinjamannya telah dilunasi. Dalam konsep sistem gadai, “pemilik kebunsawah menyerahkan kebunsawahnya kepada pemilik uang untuk diambil hasilnya sampai waktu dimana pemilik kebunsawah mengembalikan uang pinjamannya. Waktu gadai tidak dibatasi 151 tetapi umumnya mempunyai batas waktu minimal, umumnya sekitar dua tahun. Kemudian kebunsawah akan dikembalikan kepada pemiliknya pada saat pinjam- an sudah dikembalikan dengan nilai sama seperti saat dipinjam. Selama pinjaman belum dilunasi, hasil kebunsawah menjadi milik pihak yang memberikan pinjaman uang. Di desa-desa kasus di NAD konsep gadai dikenal dengan istilah “Jual Angkat”. Istilah ini digunakan karena sistem jual angkat bukan menjual yang sebenarnya dan penerapan sistem ini didasari upaya saling menolong 94 . Sistem gadai dipilih petani pemilik lahan terutama pada saat mereka memer- lukan pinjaman uang yang jumlahnya relatif besar jauh diatas nilai sewa lahan dan mendekati nilai jual lahan tetapi masih ingin mempertahankan kepemilikan lahannya. Nilai uang tunai yang dapat diperoleh petani yang menggadaikan lahan- nya ditentukan oleh kualitasproduktivitas kebun. Misalnya, di Desa Ulee Gunong nilai gadai kebun kopi maupun kakao yang baik sebesar 20 mayam emashektar atau sekitar 14 juta rupiahhektar 95 . Sementara itu, nilai gadai sawah yang terjadi di Desa Cot BarohTunong jauh lebih mahal daripada nilai gadai kebun, yaitu minimal 16 manyam emasnaleh atau 64 manyam emashektar Rp. 33.280.000,- hektar. 6.3. Pola Kelembagaan Produksi : Jalan Masuk Modal Non Lahan

6.3.1. Pola Kemitraan Antar Pihak : Hubungan Sosial Produksi yang

Semakin Kompleks dan Semakin Tersubordinasi Penerapan kekuatan produksi “teknologi intensif” mendorng semakin ba- nyaknya modal non lahan yang tidak dihasilkan sendiri oleh para petani dan anggota keluarganya umumnya merupakan hasil industri yang berada di kota, sehingga mereka harus menyediakan bahanalat dimaksud dengan cara membeli dari pihak lain yang berada di dalam desa atau bahkan di luar desa merupakan 94 Misalnya pada tahun 1999, Pak Hasan bukan nama sebenarnya di Desa Ulee Gunong menerima jual angkat kebun coklat milik adiknya seluas 0,5 ha dengan nilai 10 manyam emas murni senilai Rp. 6.000.000,- 10 x Rp. 600.000,-. Hal ini dilakukan adiknya karena perlu modal untuk membuka usaha bengkel. Sebelumnya, Pak Rani bukan nama sebenarnya juga pernah melakukan jual angkat kebun miliknya seluas 0,5 ha dengan nilai 8 manyam emas murni senilai Rp 4.800.000,-. Hal ini dilakukan Pak Rani untuk memenuhi kebutuhan keluarga selama konflik berlangsung. 95 Satu manyam emas = 3.3 gram emas dan harga satu manyam emas murni = Rp.720.000, sedangka harga satu manyam emas biasa = Rp 520.000,- 152 agen formal atau agen tidak formal dari industri. Selain itu, meningkatnya jumlah bahanalat yang harus dibeli para petani menyebabkan mereka harus menyediakan modal financial lebih banyak. Manakala jumlah modal finansial yang dimiliki petani terbatas umumnya terjadi pada petani berlahan sempit yang tingkat kesejahteraanya miskin, maka mereka harus melakukan kerjasama dengan para pemilik modal finansial yang ada di desa warga satu komunitas 96 maupun di luar desa. Kecuali di desa Jono Oge, umumnya para pedagang sarana produksi bertempat tinggal di kota kecamatan tetpi seringkali mereka mempunyai “orang kepercayaan” di desa. Orang tersebut bertugas menseleksi petani yang layak diberi pinjaman serta menarik pembayaran pada saat waktu panen. Dengan kata lain, hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dalam konteks berlangsungnya hubungan sosial produksi agraria yang menerapkan praktek teknologi intensif dengan penggunaan bahanalat produsi yang harus dibeli maka “peranan hubungan sosial produksi dalam penguasaan lahan menjadi sama penting dengan peranan hubungan sosial produksi dalam penguasaan modal non lahan bahan, alat, modal finansial”. Oleh sebab itu, pola kelembagaan sumberdaya agraria yang muncul semakin beragam, semakin kompleks, serta melibatkan pihak yang semakin banyak. Para petani kecil yang sebelumnya pada saat menerapkan teknologi tidak intensif dapat melakukan usahatani secara man- diri, kemudian menjadi tidak mandiri lagi karena mereka harus menjalin kerja- sama dengan para pemilik modal finansial. Demikian halnya para penggarap pun harus menjalin kerjasama dengan pelaku yang lebih banyak. Hubungan sosial 96 Munculnya kebutuhan modal non lahan yang harus dibelidisewa mendorong munculnya para penyediapedagang modal non lahan di tingkat desa. Umumnya mereka adalah para petani luas yang kaya. Keadaan ini berkembang pesat di Desa Jono Oge yang berlatar belakang etnis Bugis pendatang. Sebagai contoh, di Desa Jono Oge, usaha penyewaan traktor yang dikelola per- orangan berkembang pesat, sehingga saat ini jumlahnya mencapai 20 diusahakan oleh 8 orang, masing-masing memiliki 1 – 3 traktor. Traktor-traktor tersebut bukan hanya disewakan di dalam desa tetapi juga di luar desa. Sebaliknya, di Desa Tondo yang merupakan etnis lokal Kaili, traktor yang dimiliki perorangan hanya ada 6 buah jumlah pemilik ada 4 orang, masing-masing memiliki 1 – 3 traktor. Di Desa Jono Oge sudah terjadi persaingan penyewaan traktor melalui penawaran biaya sewa yang lebih murah. Sementara itu, di kedua desa tersebut pengelolaan traktor bantuan pemerintah Depsos dan KUD tidak berkembang, bahkan pada tahun 2007 traktor bantuan pemerintah di Desa Jono Oge mendapat penolakan dari usaha perorangan. Hal ini terjadi karena diantaranya para petani tidak mampu melunasi biaya sewa. Di Desa Cot Baroh terdapat 5 traktor kecil milik perorangan, dan sebagian traktor lainnya yang digunakan warga desa berasal dari luar desa. Untuk seluruh penyewaan traktor di Desa Cot dikoordinir oleh Kejreung Blang. 153 produksi yang harus mereka jalin tidak hanya “penggarap - pemilik lahan” tetapi menjadi “penggarap–pemilik lahan–pemilik modal non lahan” Gambar 6.8. Pemilik Modal Non Lahan Pemilik Lahan Sempit Buruh Bagi Hasil Pemilik Modal Non Lahan Penggarap Pemilik Lahan Luas Buruh Bagi Hasil Gambar 6.8. Pola Hubungan Sosial Produksi Terkait Penerapan Teknologi Intensif pada Usahatani Sawah, 2007 Lebih lanjut, pola hubungan sosial produksi tersebut menyebabkan surplus hasil produksi yang diperoleh dari usahatani akan terbagi kepada banyak pihak, bukan lagi hanya terbagi diantara petani pemilik yang mempunyai lahan dan penggarap yang mempunyai tenaga kerja tetapi juga terbagi dengan pihak yang menguasai modal non lahan modal finansial, bahan, dan alat produksi. Dalam prakteknya, seringkali terjadi pemilik modal non lahan adalah juga para petani pemilik lahan luas petani kaya. Kondisi tersebut kemudian akan menyebabkan surplus usahatani menjadi terakumulasi kepada petani pemilik lahan. Dalam hal ini petani pemilik lahan yang juga penyedia modal non lahan akan mendapat dua bagian hasil panen 97 sedangkan petani penggarap hanya mendapat satu bagian hasil panen. Padahal sebelumnya petani penggarap mendapat dua bagian hasil penen sedangkan petani pemilik lahan hanya mendapat satu bagian hasil penen. Perubahan tersebut, dalam proses transaksinya seringkali tidak nampak karena petani penggarap seolah-olah masih mendapat dua bagian tetapi satu bagian yang 97 Satu bagian dari hasil penen diperoleh sebagi insentif atas penyediaan lahan dan satu bagian lainnya diperoleh sebagai insentif atas penyediaan modal non lahan. 154 diperolehnya digunakan untuk membayar alat produksi traktor yang meng- gantikan cuarahan tenaga kerja.

6.3.2. Pola Transaksi Produksi : Sistem Yarnen dengan Alat Bayar Natura

Dalam upaya memenuhi kebutuhan modal non lahan, sebagian petani ter- utama petani pemilik sempit dan penggarap melakukan penyedian modal non lahan melalui pola pinjaman ”yarnen”. Dalam hal ini pinjaman para petani dibayar pada waktu panen dalam bentuk natura berupa beras atau padi. Pola ini sangat umum dilakukan pada pengelolaan usahatani padi-sawah, terutama dalam penye- diaan pupuk dan obat-obatan pengendali hamapenyakit serta dalam penyewaan traktor pembajak lahan. Meskipun pinjaman modal non lahan tersebut sangat ma- hal sekitar 40 selam 4 bulansatu periode panen, para petani tetap melakukan peminjaman modal dimaksud karena mereka meyakini bahwa manfaat modal tersebut sangat penting dalam meringankan dan mempercepat proses pekerjaan petani melalui penggunaan traktor 98 serta dalam meningkatkan produktivitas melalui penggunaan pupuk dan obat-obatan 99 . Desakan keinginan untuk me- ningkatkan produksi beras semakin kuat karena sawah menjadi satu satunya tem- pat para petani menghasilkan padi yang mereka perlukan sebagai pangan ke- luarga setelah semua lahan kering tempat menanam padi ladang penuh dengan tanaman perkebunan. Saat ini, padi lahan kering hanya ditanam sebagai tanaman sela pada tanaman kakao dua kali panen. Dalam hal terjadi transaksi peminjaman modal non lahan, mekanisme yang banyak diterapkan para petani adalah pola ”yarnen”, yaitu pinjaman para petani dibayar pada waktu panen. Pola ini sangat umum dilakukan pada pengelolaan usa- hatani padi-sawah, baik dalam penyediaan pupuk dan obat-obatan pengendali hamapenyakit maupun dalam penyewaan traktor pembajak lahan. Meskipun bia- ya sewa traktor atau biaya beli bahan dapat dihitung setara uang tunai, tetapi pro- ses pembayaran pola ”yarnen” umumnya tidak dilakukan dengan menggunakan 98 Untuk luasan satu ha, membajak dengan kerbau perlu 40 hari sedangkan dengan traktor cukup 20 hari, dan biayanya menjadi lebih murah 99 Berdasarkan pengalamannya, para petani mengemukakan bahwa penggunaan pupuk yang optimal Urea sebanyak 400 kgha dapat meningkatkan produksi padi sawah sebanyak dua kali lipat dari 3 ton menjadi 6 ton. Oleh sebab itu, penggunaan biaya pupuk Urea pinjaman sebesar Rp. 880.000,- 8 zak x Rp. 110.000 diyakini petani akan menambah hasil panen sebesar Rp. 6.600.000 3.000 kg x Rp. 2.200 155 ”uang tunai”. Pembayaran tersebut dilakukan dalam bentuk “natura” dengan menggunakan ”beras” atau “padi”. Dalam hal ini, pihak pemberi pinjaman modal non lahan mengambil insentif atau keuntungan dengan menetapkan volume dan harga beras atau “padi” yang harus diserahkan sebagai alat pembayaran. Pada umumnya harga beras atau padi untuk pembayaran yarnen ditetapkan lebih rendah dari harga beras di pasar, sehingga keuntungan yang diperoleh pemberi pinjaman bertambah besar. Meskipun pola transaksi “yarnen” pada penyediaan modal non lahan terjadi di semua desa kasus, tetapi dalam implementasinya seringkali terdapat beberapa perbedaan Tabel 6.13, Tabel 6.14, dan Tabel 6.15.. Perbedaan ter-sebut terutama terjadi pada besaran tarif imbalan. Selain itu, besaran tarif imbalan kepada penyedia modal non lahan juga banyak ditentukan oleh lamanya waktu peminjman dan kemudahan pihak penyedia pinjaman dalam mendapatkan bahanalat yang diperlukan di lapangan. Untuk bahan yang sulit didapat tetapi peminatnya banyak seperti pupuk urea, maka biaya pinjamannya relatif mahal. Tabel 6.13. Pola Transaksi Penyediaan Sarana Produksi Usahatani dan Modal Finansial di Desa Jono Oge dan Desa Tondo, Sulawesi Tengah, 2007 Nama AlatBahan Harga Kontan Rp Nilai Pembayaran Pinjaman 3 bulan Yarnen Biaya Pinjaman Rp Pupuk Urea 65.000,-zak 50 kg 30 liter beras = Rp 90.000,- 25.000 38 Pupuk Organik Bonanza 25.000,-liter 10 liter beras = Rp 30.000,- 5.000 20 Obat hama penyakit 50.000,-liter 20 liter beras = Rp 60.000 10.000 20 Sewa Traktor Rp. 700.000,- Beras dengan harga 500 lebih murah 105.000 16,5 Uang Tunai Beras dengan harga 500 lebih murah 20 Beras dengan harga 300 lebih murah 10 Keterangan : lama pinjaman 3 – 4 bulan, lama pinjaman 1-2 bulan, biaya pinjaman lebih murah karena peminatnya sedikit Sumber data : Wawancara dengan Informan Kunci 156 Tabel 6.14. Pola Transaski Penyediaan Sarana Produksi Usahatani di Desa Cot BarohTunong dan Desa Ulee Gunong, Nangroe Aceh Darussalam, 2007 Jenis Input Harga Kontan Nilai Pembayaran Pinjaman 3 bulan Yarnen Biaya Pinjaman Rp Rp Rp Cot TunongCot Baroh • Urea 75.000zak 50 kg padi = 110.000 35.000 46 • KCL 240.000zak 340.000 100.000 41 . Sewa Traktor 760.000ha 500 kg padi = 1.100.000 340.000 45 Ulee Gunong • Urea 73.000 90.000 17.000 23 Sumber data : Wawancara dengan Informan Kunci Tabel 6.15. Pola Transaksi Penyediaan Modal Finasial di Desa Cot Baroh Tunong dan Desa Ulee Gunong, Nangroe Aceh Darussalam, 2007 Pemberi modal Pinjaman Biaya Pinjaman Bentuk Satuan Nilai Rp Bentuk Volume Nilai Rp Kerabat Emas Manyam emas 540.000manyam Padi 30 kg padi untuk pinjaman 1 manyam emas 69.000 13 Orang Lain Emas Manyam emas 540.000manyam Padi 75 kg padi untuk pinjaman 1 manyam emas 172.500 32 Sumber data : Wawancara dengan Informan Kunci Secara keseluruhan, sebenarnya biaya transaksi pinjaman informal yang ber- langsung di antara anggota masyarakat jauh lebih besar dari pada biaya bunga pinjaman yang ditetapkan lembaga keuangan bank. Apalagi untuk bahan yang seringkali sulit di dapat di pasar dan peminatnya banyak. Bahkan, di desa-desa kasus di NAD tarif imbalan transaksi yarnen relatif lebih tinggi dari pada yang terjadi di desa-desa penelitian di Sulawesi Tengah. Walaupun demikian, karena 157 desakan keinginan untuk meningkatkan produksi beras 100 yang diperlukan sebagai pangan keluarga dan para petani tidak memiliki akses untuk mendapatkan modal finansial yang lebih murah dari pemerintah maupun lembaga keuangan perban- kan, maka para petani tetap memilih pola transaksi peminjaman modal finansial yang berlaku di masyarakat pola yarnen. Di semua kasus ”ijab kabul” pemberian dan pembayaran pinjaman diwujud- kan dalam bentuk barang bukan dalam wujud uang tunai sehingga transaksi yang berlangsung tidak mempunyai makna membungakan uang. Di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah seluruh transaksi pinjaman dilakukan dalam bentuk be- ras sedangkan di desa-desa kasus di NAD transaksi pinjaman bahanalat produksi dalam bentuk padi dan pinjaman uang dalam bentuk emas dengan imbalan padi. Pendekatan tersebut mereka lakukan agar tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam yang mereka anut dimana ajaran Agama Islam melarang membungakan uang. Oleh sebab itu, di NAD nilai pinjaman seringkali disetarakan dengan harga emas dan insentif pinjaman disetarakan de-ngan pemberian padi. Selain itu, pembayaran dengan beras juga dilakukan untuk memudahkan para pemodal dalam menagih pembayaran karena mereka umumnya juga pengusaha gilingan padi, sehingga pembayaran pinjaman akan mereka ambil di penggilingan padi. 6.4. Ihtisar : Dari Pemilikan Kolektif ke Perorangan serta Hadirnya Hu- bungan Sosial Produksi yang Semakin Kompleks dan Subordinatif Sejalan dengan berlangsungnya perubahan sistem pertanian : dari sistem pertanian ladang berpindah shifting cultivation ke sistem pertanian menetap saddentary cultivation yang didominasi tanaman perkebunan, dalam komunitas petani terjadi perubahan pola pemilikan sumberdaya agraria lahan, yaitu dari pemilikan kolektif collective ownership ke ”pemilikan perorangan” indi- vidual ownership . Dalam hal, ini terjadi perubahan hak pemanfaatan sumberdaya 100 Para petani di Sulawesi Tengah dan NAD mempunyai pengalaman bahwa pemberian pupuk dan pemeliharaan dengan obat-obtan dapat meningkatkan produksi padi sawah menjadi dua kali lipat dari 3.000 kg padihatahun menjadi 6.000 kg padihatahun. Dengan tambahan modal membeli pupuk sebesar Rp 1.200.000 melalui pola yarnen untuk 1 ha sawah petani akan memperoleh tambahan produksi sebesar 3.000 kg atau 9 juta rupiah. Untuk kakao, pemupukan tidak dilakukan karena para petani masih berkeyakinan bahwa peningkatan prouksi akibat penggunaan pupuk relatif sedikit. Apalagi bila lahan yang mereka gunakan bekas hutan yang masih cukup subur. 158 agraria dari “hak setiap orang” menjadi “hak sebagian orang”. Menurut penga- laman para petani di empat desa kasus, sistem perladangan berpindah yang mengusahakan tanaman utama padi ladang telah lama berakhir. Sistem tersebut mulai sulit dilakukan sejak dikembangkannya tanaman perkebunan kelapa; ceng- keh di Sulawesi Tengah dan kopi terutama di NAD dataran tinggi dan kemudian berakhir sejak pesatnya pengembangan tanaman kakao. Di lokasi penelitian Sulawesi Tengah perladangan berpindah berakhir sekitar awal tahun 90 an sedangkan di NAD sekitar pertengahan tahun 90 an. Pada periode penguasaan kolektif, semua anggota komunitas dapat mengua- sai sumberdaya agraria dengan mudah, yaitu dengan cara meminta izin kepada pemimpin lokal untuk membuka lahan yang belum ada penggarapnya. Hak pengu- sahaan sumberdaya agraria tersebut hanya akan gugur bila seorang anggota komu- nitas yang telah membuka hutan tidak lagi mengusahakannya maksimal dalam kurun waktu tiga tahun. Kemudian lahan tersebut oleh pemimpin lokal akan diserahkan kepada anggota komunitas lain yang berminat mengusahakannya. Dengan kata lain, pada periode ini sumberdaya agraria yang tidak diusahakan oleh seorang warga komunitas dapat dipindahtangankan kepada warga lainnya. Sebaliknya, pada periode penguasaan perorangan, anggota komunitas tidak dapat menguasai sumberdaya agraria dengan cara yang mudah karena selain harus memperoleh izin juga harus mempunyai modal finansial atau mempunyai kedu- dukan sebagai penerima waris. Modal finansial diperlukan terutama untuk mem- bayar ganti rugi atau membeli lahan serta untuk membiayai pembangunan kebun biaya bahanalat dan biaya bekal hidup. Selain itu, peluang penguasaan lahan semakin sempit karena petani yang sudah ditetapkan sebagai pemilik sumberdaya agraria dengan legalitas formal umumnya surat keterangan desa dan akte jual beli dapat terus menguasai lahan miliknya walaupun tidak diusahakan. Oleh sebab itu, pada periode penguasaan perorangan, satu-satunya jalan petani tuna- kisma untuk dapat menguasai lahan adalah “mekanisme pemilikan sementara”, seperti bagi hasil dan sewa. Dengan kata lain, bersamaan dengan terjadinya transformasi struktur agraria dari penguasaan kolektif ke penguasaan perorangan juga terjadi perubahan akses petani terhadap penguasaan sumberdaya agraria : dari akses ”terbuka” ke akses ”semakin tertutup”. 159 Bersamaan dengan berlangsungnya pemilikan perorangan, akuisisi sumber- daya agraria yang berlangsung melalui mekanisme ”transfer” jual beliganti rugi atau pewarisan cenderung terus meningkat dan proporsinya lebih besar dari mekanisme “buka baru” baik yang dilakukan sendiri atau melalui pola ”ber- bagi”. Akuisisi sumberdaya agraria melalui buka baru hanya menonjol dalam komunitas petani di Desa Cot BarohTunong pada periode tahun 1997 sampai 2003 karena didorong oleh masuknya beragam program pemerintah. Sementara itu, mekanisme jual beli sumberdaya agraria sangat menonjol terjadi dalam komu- nitas petani di Desa Jono Oge yang merupakan komunitas pendatang berlatar belakang etnis Bugis 72,3. Lebih lanjut, pada periode penguasaan perorangan, pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria lahan untuk usaha pertanian diimplementasikan dalam dua tahap yaitu: tahap pembangunan kebunpencetakan sawah dan tahap pengusahaan kebunsawah. Pada dasarnya, perubahan-perubahan hubungan sosial produksi yang terjadi menunjukkan terjadinya akses penguasaan lahan yang semakin tertutup. Pada tahap pembangunan kebun dan pencetakan sawah pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria berubah dari pola hubungan sosial produksi “bagi kebunbagi sawah” ke pola “bagi tanamanbagi waktu panen”. Bahkan pola hubungan sosial produksi “petani pemilik lahan – buruh tani” mulai menjadi pilihan sejumlah petani. Sementara itu, pada tahap pengelolaan kebun kakaosawah pola hubungan sosial produksi yang menonjol masih tetap pola bagi hasil. Akan tetapi, pola hubungan sosial produksi yang berlangsung saat ini ter- utama pada usahatani sawah semakin kompleks sehingga pihak petani penggarap semakin tersubordinasi. Perkembangan tersebut berlangsung terkait dengan sema- kin sulitnya penyediaan lahan baru serta semakin intensifnya penggunaan tek- nologi yang menggunakan modal non lahan yang berasal dari luar komunitas petani dan harus dibeli petani sehingga kehadiran aktor yang menguasai modal non lahan menjadi penting. Dengan kata lain, dalam konteks berlangsungnya hubungan sosial produksi agraria yang menerapkan praktek teknologi intensif dengan penggunaan bahan alat produsi yang harus dibeli maka “peranan hubungan sosial produksi dalam penguasaan lahan menjadi sama pentingnya dengan peranan hubungan sosial pro- 160 duksi dalam penguasaan modal non lahan bahan, alat, modal finansial”. Para petani kecil yang sebelumnya pada saat menerapkan teknologi tidak intensif dapat melakukan usahatani secara mandiri, kemudian menjadi tidak mandiri lagi karena mereka harus menjalin kerjasama dengan para pemilik modal finansial. Demikian halnya para penggarap pun harus menjalin kerjasama dengan pelaku yang lebih banyak, hubungan sosial produksi yang harus mereka bangun tidak lagi hanya “penggarap - pemilik lahan” tetapi menjadi “penggarap – pemilik lahan – pemilik modal non lahan”. Dalam upaya memenuhi kebutuhan modal non lahan, sebagian petani mela- kukan penyedian modal non lahan melalui pola pinjaman ”yarnen”, yaitu pin- jaman para petani dibayar pada waktu panen dalam bentuk natura berupa beras atau padi. Pola ini sangat umum dilakukan pada pengelolaan usahatani padi- sawah, baik dalam penyediaan pupuk dan obat-obatan pengendali hamapenyakit maupun dalam penyewaan traktor pembajak lahan. Meskipun pinjaman modal non lahan tersebut sangat mahal sekitar 40 selam 4 bulansatu periode panen, para petani tetap melakukan peminjaman modal dimaksud karena mereka meya- kini bahwa manfaat modal tersebut sangat penting dalam meringankanmemper- cepat proses pekerjaan penggunaan traktor serta dalam meningkatkan produkti- vitas lahan peng-gunaan pupuk dan obat-obatan. Desakan keinginan untuk meningkatkan produksi beras semakin kuat karena sawah menjadi satu satunya tempat para petani menghasilkan padi yang mereka perlukan sebagai pangan keluarga setelah semua lahan kering tempat menanam padi ladang penuh dengan tanaman perkebunan. Lebih lanjut realitas hubungan sosial produksi yang menempatkan penting- nya penguasaan modal produksi non lahan dari luar menyebabkan hasilsurplus usahatani menjadi terbagi kepada banyak pihak atau bila petani pemilik sumber- daya agraria juga menguasai modal non lahan maka surplus usahatani semakin terakumulasi pada petani pemilik sumberdaya agraria. Dengan demikian, semakin intensif teknologi pertanian yang diterapkan maka semakin banyak jalan yang dapat digunakan pemilik sumberdaya agraria untuk meraih surplus usaha tani. Dalam aktivitas di on-farm, meskipun dalam pengelolaan tanaman kakao realitas hubungan sosial produksi yang semakin tersubordinasi belum dominan 161 tetapi dalam pengelolaan tanaman ”subsisten” padi-sawah hubungan sosial pro- duksi dimaksud sudah dominan Pada usahatani kakao hubungan sosial produksi yang tersubordinasi justru terjadi pada penjualan hasil produksi petani melalui pasar. Dalam hubungan ini petani tidak dapat menentukan harga yang diberikan pedagang. Dengan kata lain, dalam pengelolaan tanaman komersial kakao kapital- isme masuk terutama melalui pintu hubungan sosial penguasaan hasil produksi di pasar, sedangkan dalam pengelolaan tanaman subsisten padi sawah kapitalisme masuk terutama melalui pintu hubungan sosial penguasaan modal non lahan. Sementara itu, dalam hubungan sosial penguasaan sumberdaya agraria, landasan pasar dan landasan ikatan moral tradisional masih berjalan secara bersamaan. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa dalam komunitas petani kakao hadir beragam praktek hubungan sosial produksi yang berlangsung secara bersamaan maupun secara bergantian. 162 Tabel 6.16. Transformasi Struktur Agraria dan Hubungan Sosial Produksi di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 Aspek Tondo Jono Oge Cot Baroh Tunong Ulee Gunong Perubahan Struktur Agraria Pola Pemilikan Pemilikan Kolektif Æ Pemilikan Perorangan Pemilikan Perorangan Pemilikan Kolektif Æ Pemilikan Perorangan Pemilikan Kolektif Æ Pemilikan Perorangan Status Hukum Tanpa surat dominan Surat Dominan, terutama aktekuitansi Tanpa surat dominan Tanpa surat dominan Pola Akuisisi Transfer Lahan Lebih Menonjol dibanding Buka Baru, Pewarisan dan Jual Beli relatif imbang Transfer Lahan Sangat Menonjol dibanding Buka Baru, Jual Beli Sangat Menonjol dibanding Pewarisan Buka Baru dan Transfer Lahan Relatif Imbang, Pewarisan dan Jual Beli relatif imbang Transfer Lahan Lebih Menonjol dibanding Buka Baru, Pewarisan dan Jual Beli relatif imbang Perubahan Pola Hubungan Sosial Produksi Sumberdaya Agararia Tahap Pembangunan KebunSawah Bagi Kebun Æ Pemilik Buruh Upah Bagi kebun semakin hilang Bagi waktu panen pada pencetakan ulang sawah Bagi Kebun Æ Pemilik Buruh Upah Bagi kebun pernah ada, sudah hilang Bagi Kebun Æ Pemilik Buruh Upah Bagi kebun semakin hilang Bagi Kebun Æ Pemilik Buruh Upah Bagi kebun semakin hilang Tahap Pengelolaan KebunSawah Sawah : Bagi Hasil Penggarapan + Buruh Bagi Hasil Tanam + Panen Kakao : Bagi Hasil relatif banyak Kelapa : sewa tahunan dan buruh upahan Cengkeh : buruh upahan Sawah : Bagi Hasil Penggarapan + Bagi Hasil Penggarapan + Buruh Bagi Hasil Tanam + Panen Kakao : Bagi Hasil relatif sedikit Kelapa : sewa tahunan dan buruh upahan Cengkeh : buruh upahan Sawah : Bagi Hasil Garapan + Buruh Upah Tanam, Panen Kakao : Bagi Hasil relatif sedikit Kakao dan Kopi : Bagi Hasil relatif banyak Pola Kemitraan Antar Pihak Sawah : Petani - Pemilik Modal Non Lahan Hulu Warga Komunitas sebagai penyedia modal non lahan sedikit dan tidak terus-terusan Kakao, Kelapa, Cengkeh : Petani - Pedagang Hasil Hilir Sawah : Petani - Pemilik Modal Non Lahan Hulu, Warga Komunitas sebagai penyedia modal non lahan relatif banyak Kakao, Kelapa, Cengkeh : Petani - Pedagang Hasil Hilir Sawah : Petani - Pemilik Modal Non Lahan Hulu Warga Komunitas sebagai penyedia modal non lahan sedikit dan tidak terus-terusan Kakao, Kelapa, Cengkeh : Petani - Pedagang Hasil di Hilir Kakao, Kopi : Petani - Pedagang Hasil Hilir Pola Transaksi Produksi SistemYarnen Pembayaran natura dengan beras Pola Yarnen Pembayaran natura dengan beras Sistem Yarnen Pembayaran natura setara padi Sistem Yarnen Pembayaran natura setara padi 163

BAB VII DIFERENSIASI SOSIAL MASYARAKAT AGRARIS

7.1. Bertambahnya Lapisan Petani serta Meningkatnya Pemilik Sempit dan Tunakisma

Sebagaimana dikemukakan Sanderson 2003, masyarakat agraris adalah masyarakat yang menyandarkan hidupnya pada pertanian, baik sebagai pemilik lahan maupun bukan pemilik lahan tunakisma. Sumberdaya agraria lahan digunakan secara berkesinambungan periode kosong penggunaan lahan sangat pendek atau bahkan tidak ada lagi. Oleh sebab itu, gambaran struktur sosial masyarakat agraris yang merujuk pada peta hubungan sosial di kalangan anggota masyarakat agraris akan bertumpu pada posisi para petani dalam penguasaan sumberdaya agraria, baik melalui mekanisme penguasaan tetap pemilikan mau- pun penguasaan sementara seperti bagi hasil. Kemudian diferensiasi sosial masyarakat agraris merujuk pada keberadaan kelompok-kelompok dalam masya- rakat yang posisinya dalam penguasaan sumberdaya agraria tidak sama. Setelah berakhirnya struktur agraria yang dibangun melalui penguasaan kolektif, ternyata struktur agraria yang dibangun melalui penguasaan perorangan tidak lagi terbuka sebagaimana periode sebelumnya. Pada periode struktur agraria berbentuk penguasaan kolektif semua warga komunitas memperoleh akses yang sama untuk dapat mengusahakan sumberdaya agraria. Sebaliknya, pada periode dimana struktur agraria sudah berbentuk penguasaan perorangan tidak semua war- ga komunitas dapat dengan mudah memperoleh akses untuk menguasai sumber- daya agraria. Pada periode ini seorang warga yang akan menguasai tanah harus memenuhi persyaratan atau kemampuan tertentu. Bahkan pada periode ini muncul tatanan pemilikan tetap dan pemilikan sementara. Tatanan pemilikan tetap diguna- kan untuk menunjuk pada hubungan sosial penguasaan sumberdaya agraria yang memberikan akses kepada seorang petani untuk dapat menguasai sumberdaya agraria secara permanen. Sementara itu, tatanan penguasaan sementara digunakan untuk menunjuk pada hubungan sosial penguasaan sumberdaya agraria yang memberikan akses seorang petani untuk menguasai sumberdaya agraria dalam kurun waktu sementara karena sumberdaya tersebut milik petani lain.