179 kategori ketimpangan penguasaan sumberdaya agraria di ketiga desa dimaksud
berada dalam kategori ketimpangan tinggi. Realitas tersebut terjadi karena banyak petani pemilik kebun yang tanamannya sudah rusak sehingga kebun tersebut tidak
lagi berproduksi. Sementara itu, pada komunitas petani di Desa Cot Baroh Tunong, ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria produktif lebih rendah
dibanding ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria total. Realitas tersebut muncul karena di desa Cot BarohTunong luas sumberdaya agraria kebun kakao
yang baru dibangun belum produktif cukup besar tetapi distribusinya relatif ku- rang merata sehingga berperan kuat dalam meningkatkan ketimpangan pemilikan
sumberdaya agraria dalam komunitas petani tersebut.
7.3. Peranan Program Pemerintah dan Lembaga Lokal dalam Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris
7.3.1. Peranan Program Pemerintah dalam Diferensiasi Sosial
Masyarakat Agraris Program-program pembangunan perkebunan kakao yang dilaksanakan di
Indonesia, termasuk di kedua propinsi lokasi penelitian Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam, merupakan program yang pelaksanaanya dimasukkan
ke dalam komunitas petani dan ditujukan seluruhnya untuk anggota komunitas petani. Oleh sebab itu, penentuan peserta program selain dipengaruhi pihak luar
juga sangat diwarnai oleh kekuatan-kekuatan yang ada pada tingkat komunitas petani. Kebijakan yang diacu oleh komunitas petani akan menentukan apakah
kesempatan menjadi peserta pembangunan kebun akan terdistribusi secara merata atau tidak. Akan tetapi, pada umumnya fasilitasi program pemerintah sangat kecil
dibanding kebutuhan masyarakat, sehingga jumlah warga komunitas yang dapat difasilitasi hanya sekitar 20 - 30 . Selain itu, besar fasilitasi umumnya hanya
cukup untuk membangun kebun dengan luas lahan per petani yang relatif sempit. Di pihak lain, data statistik perkebunan yang dikeluarkan Direktorat
Jenderal Perkebunan pada Tahun 2004 menunjukkan bahwa tingkat kemandirian masyarakat dalam membangun kebun kakao sangat tinggi. Hal ini terjadi baik di
Propinsi Sulawesi Tengah maupun di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam NAD. Di kedua propinsi tersebut, sebagian besar kebun kakao dibangun para petani
tanpa fasilitasi program pemerintah. Bahkan di Propinsi Sulawesi Tengah, yang
180 kondisi keamanannya sangat kondusif, nampak bahwa pembangunan kebun kakao
yang sepenuhnya merupakan hasil swadaya masyarakat berlangsung sangat pesat, meskipun fasilitasi program pemerintah di wilayah tersebut sangat sedikit.
Oleh sebab itu, pada tahun 1999 kebun kakao di Propinsi Sulawesi Tengah yang dibangun oleh para petani secara swadaya tanpa fasilitasi pihak lain,
terutama pemerintah mencapai 97 dari total perkebunan kakao rakyat yang ada
di propinsi tersebut Gambar 7.2.. Meskipun perkembangannya tidak sepesat
sebagaimana terjadi di Propinsi Sulawesi Tengah, di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam pun pada tahun 1999 pengembangan kebun kakao yang dibangun
oleh para petani secara swadaya mencapai 96 dari total perkebunan kakao
rakyat yang ada di propinsi tersebut Gambar 7.3.. Namun demikian, di kedua
propinsi tersebut kondisi kebun yang dibangun masyarakat secara swadaya umumnya kurang baik, sehingga produktivitasnya jauh lebih rendah dibanding
kebun yang dibangun dengan fasilitasi program pemerintah.
- 10,000
20,000 30,000
40,000 50,000
60,000 70,000
80,000
1990 1995
1999 Berbantuan
sw adaya murni Total
Gambar 7.2. Perkembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Sulawesi Tengah
Berdasarkan Pola Pengembangan ha
Sumber Data : Statistik Perkebunan Ditjenbun, 2004
181
- 10,000
20,000 30,000
40,000 50,000
60,000 70,000
80,000
1990 1995
1999 Berbantuan
sw adaya murni Total
Gambar 7.3. Perkembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Nangroe Aceh
Darussalam Berdasarkan Pola Pengembangan ha, 2007
Sumber Data : Statistik Perkebunan Ditjenbun, 2004
Tidak berbeda dengan gambaran makro diatas, hasil pengamatan di dalam komunitas petani kasus menunjukkan hal yang sama, dimana sebagian besar ke-
bun kakao dibangun dengan upaya swadaya petani tanpa bantuanfasilitasi pihak luar desa. Di tiga desa kasus yang pernah danatau sedang ada program peme-
rintah pun proporsi kebun kakao yang dibangun melalui fasilitasi program peme- rintah hanya sekitar 20 , sedangkan sebagian besar kebun kakao lainnya
dibangun secara swadaya, baik oleh petani yang pernah menjadi peserta program pemerintah maupun petani lainnya yang tidak pernah menjadi peserta program
pemerintah. Misalnya pada program pembangunan kebun baru di Desa Cot BarohTunong, jumlah warga komunitas yang menjadi peserta program hanya 57
petani atau hanya 28 dari seluruh warga komunitas. Selain itu, luas lahan sebagian besar petani yang mendapat fasilitas program pembangunan kebun hanya
setengah hektar Tabel 7.8..
182
Tabel 7.8.
Distribusi Luas Lahan Peserta Program Pembangunan Kebun Baru di Desa Cot BarohTunong, 2007
Luas Kebun ha
Jumlah Peserta Jumlah Luas
Kebun ha
N 0.5
27 47.37
13.5 1
14 24.56
14 1.5
4 7.02
6 2
10 17.54
20 2.5
1 1.75
2.5 1
1 1.75
1 Jumlah
57 100.00
57
Sumber data: Diolah dari Data Kelompok Tani
Sebenarnya di desa Ulee Gunong, pernah ada bantuan pemerintah tetapi bukan untuk pengembangan tanaman kakao. Pada awal tahun 80 an para petani di
desa ini pernah menerima bantuan bibit kopi sebanyak 800 pohon per petani. Jika dihitung berdasarkan kebutuhan tanaman kopi untuk luasan lahan 1 ha, maka
jumlah bantuan bibit tersebut dapat memenuhi kebutuhan 0.5 ha lahan. Bibit tersebut diberikan oleh pemerintah melalui Dinas Perkebunan Tingkat II Kabupa-
ten Pidie. Akan tetapi, akibat kematian pada saat penanaman serta adanya se- rangan hama penyakit, tanaman kopi yang bibitnya berasal dari bantuan tersebut
hampir tidak ada lagi. Meskipun nama program yang pernahsedang ada di lokasi desa penelitian
berbeda Tabel 7.9., tetapi pola fasilitasi yang diberikan pemerintah di ketiga
desa kasus realtif sama. Seacara substansial, kedua program tersebut, baik P2WK Pengembangan Perkebunan di Wilayah Khusus yang dilaksanakan di Desa Jono
Oge dan Desa Tondo maupun Perluasan Kebun di Desa Cot BarohTunong merupakan Program Berbantuan Parsial. Dalam program tersebut pemerintah atau
pihak luar lainnya memberikan bantuan bahan tanam dan input produksi lain pupuk, obat-obatan serta sebagian biaya tenaga kerja untuk memenuhi
kebutuhan pemeliharaan tanaman sampai dengan umur tanaman satu tahun di
lapangan Tabel 7.10.. Setelah itu, seluruh biaya untuk memelihara tanaman
sampai tanaman tersebut menghasilkan menjadi tanggungan petani.
183
Tabel 7.9
. Fasilitasi Pemerintah Melalui Program Pengembangan Perkebunan,
2007
Desa Program Pengembangan Perkebunan
Ada Program Tidak Ada Program
•
Desa Tondo
•
BerbantuanParsialP2WK Biaya APBN, 1990
•
Desa Jono Oge
•
BerbantuanParsialP2WK Biaya APBN, 1990
•
Desa Cot Baroh Tunong
•
Penghijauan Kehutanan – Petani Mendapat Bibit Kakao Tidak Unggul
APBD Tingkat II, 2000
•
Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat
APBD Tingkat II, 2004
•
BerbantuanParsialPerluasan Kebun Biaya Grant ADB, 2006
•
Desa Ulee Gunong
Swadaya Murni
Sumber Informasi : Diolah dari berbagai sumber
Tabel 7.10. Intervensi Pemerintah dalam Pola BerbantuanParsial, 2007
Intervensi Pemerintah
Swadaya BerbantuanParsial Murni
Penyediaan Lahan
Sepenuhnya inisiatif dan kemampuan petani secara
individualkelompok peranan elit lokal tingkat
desa dalam pengaturan pemilihan lahan dan petani
peserta sangat besar Sepenuhnya inisiatif dan
kemampuan petani secara individualkelompok
peranan elit lokal tingkat desa dalam pengaturan pemilihan
lahan dan petani peserta tidak terlalu besar
Penyediaan Input Lain
Pemerintah menyediakan input untuk penanaman dan
pemeliharaan selama 1 tahun. Selanjutnya, penyediaan input
tergantung inisiatif dan kemampuan petani
Sepenuhnya inisiatif dan kemampuan petani
Pengolahan dan Pemasaran
Sepenuhnya inisiatif dan kemampuan petani
Sepenuhnya inisiatif dan kemampuan petani
Sumber Informasi : Diolah dari berbagai sumber
184 Bagi para petani peserta, adanya program-program tersebut telah membe-
rikan manfaat meningkatkan kemampuan mereka dalam penguasaan input pro- duksi dan keterampilan baru, sehingga mereka dapat memperluas kebun miliknya.
Sementara itu, bagi anggota komunitas petani yang tidak menjadi peserta prog- ram, adanya program-program tersebut juga telah memberikan manfaat paling
tidak dalam 3 tiga hal berikut : 1 meningkatkan keterampilan dengan cara be- lajar langsung meniru dari petani peserta, 2 mendapatkan kebun contoh sehing-
ga keberhasilan kebun contoh dapat mendorong minat petani lain untuk melaku- kan hal yang sama sebagaimana dilakukan petani peserta program, 3 menjadi
sumber bahan tanam bagi kebunpetani lain sehingga mereka dapt membangun sendiri kebun miliknya. Umumnya biji kakao yang diperlukan sebagai bahan
tanam dapat diminta dari kebun produksi petani lain. Kesempatan tersebut dapat mengurangi kesenjangan yang terjadi antara petani peserta yang difasilitasi
program pemerintah dengan petani lain yang tidak difasilitasi program tersebut.
Tabel 7.11.
Petani Peserta Proyek ADB Pengembangan Kebun Kakao di Desa Cot BarohTunong, 2007
Kriteria N Peserta
Proyek dari
Peserta dari n
Status Penguasaan Lahan
• Pemilik 68 16
40,0 23,5
• Pemilik + Penggarap 53
12
30,0 22,6
• Pemilik + Penggarap + BT 11
2 5,0
18,2 • Pemilik + BT
11 3
7,5 27,3
• Penggarap 32
6 15,0
18,8 • BT 8
1 2,5
12,5 • Total N
183 40
100,0 21,9
Tingkat Kesejahteraan Petani
• Miskin 123 27
67,5 22,0
• Sedang 52 9
22,5 17,3
• Kaya 8 4
10,0 50,0
Total N
183 40 100,0 21,9
Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci
185 Sebagaimana terjadi di desa Cot BarohTunong, meskipun para petani
pemilik luas masih mendapat kesempatan lebih besar untuk menjadi peserta program pembangunan kakao yang difasilitasi program pemerintah tetapi para
petani tanpa lahan atau tunakisma penggarap dan buruh tani serta para petani
yang memiliki lahan sempit tidak ditinggalkan Tabel 7.11.. Data pada Tabel 7.11.
menunjukkan bahwa proporsi para petani miskin yang ikut serta dalam
program pemerintah masih merupakan bagian terbesar. Kondisi ini jauh lebih baik dibanding program-program pemerintah yang hanya memberikan kesempatan
kepada perusahaan besar untuk mengambil lahan di desa dan menjadikan masya- rakat desa hanya sebagai buruh tani.
7.3.2. Peranan Lembaga Lokal dalam Diferensiasi Sosial Masyarakat
Agraris Di semua komunitas petani kasus terdapat beragam kelembagaan lokal yang
secara langsung berperan dalam proses distribusi penguasaan sumberdaya agraria, dan lebih lanjut proses tersebut akan mempengaruhi proses diferensiasi sosial
masyarakat agraris Tabel 7.12. Peranan kelembagaan lokal tersebut dapat terjadi
sejak tahap pencarian sumberdaya agraria yang cocok untuk pembangunan kebun, distribusi sumberdaya agraria di antara anggota komunitas, proses pembangunan
kebunpencetakan sawah, sampai tahap pengusahaanpengelolaan kebunsawah
112
. Akan tetapi, akhir-akhir ini peranan kelembagaan lokal pada seluruh tahapan tersebut semakin berkurang, terutama sejak diberlakukannya Undang Undang
Pemerintahan Desa Nomor 5 Tahun 1979. Sejak saat itu, peranan Kepala Desa semakin menggantikan peranan para pemimpin lokal.
112
Sebagaimana dikemukakan Humairah Sabri dan Aminuddin 1992, di Sulawesi Tengah, di
masa lalu, Izin membuka tanah diperoleh dari Kepala Adat sebagai penguasa tanah bukan pemilik tanah. Dalam hal memperoleh hak milik atas tanah melalui cara membuka tanah,
maka Ketua Adat berperan dalam mengawal implementasi ketentuan hukum adat yang menetapkan syarat berikut : harus memperoleh izin dari ketua adat, tanahhutan yang dibuka
harus diolahdigarap secara terus menerus, mereka yang membuka tanah harus menanami tanaman kerastanaman tahunan, tanahhutan yang dibuka belum pernah ditandai orang lain,
dan tanah yang dibuka harus diberi tanda patok untuk menunjukkan batas dan luasnya tanah. Bilamana patok dan tanaman diatasnya hilang maka pemilik tanah dapat kehilangan hak atas
tanahnya. Demikian halnya bila tanah tersebut ditelantarkan selama 5 tahun maka hak pemilikannya gugur dan dapat diganti petani lain. Dalam hukum adat ini masih dimungkinkan
adanya tanaman yang menumpang di atas tanah orang lain Pada suku Kaili di Donggala disebut ”tana niinda”.
186
Tabel 7.12.
Kelembagaan Lokal yang Berkaitan dengan Penguasaan Sumberdaya Agraria, 2007.
Desa Kelembagaan Lokal
Kebun Sawah Sulawesi Tengah
Desa Tondo Ketua Adat
Ketua Adat
•
Desa Jono Oge
Ketua Adat Ketua Adat,
Ketua Kelompok Tani
Nangroe Aceh Darussalam
Desa Cot Baroh Tunong Peutua Senuebok
Imum Mukim -
Desa Ulee Gunong Peutua Seneubok
Imum Mukim Kejruen Blang
Sumber Informasi : Diskusi dengan Informan Kunci
Menurunnya peran Ketua Adat yang digantikan Kepala Desa
113
dalam pengaturan penguasaan sumberdaya agraria sangat menonjol dalam komunitas
petani kasus di Sulawesi Tengah Desa Jono Oge dan Desa Tondo. Bahkan di kedua komunitas tersebut, pengaturan distribusi penguasaan sumberdaya agraria
lahan sudah sepenuhnya berada di tangan Kepala Desa yang didukung perangkat pemerintah di atasnya
114
. Sebenarnya, di Desa Tondo maupun Desa Jono Oge masih terdapat seseorang yang dipilih langsung masya-rakat sebagai Ketua Adat
tetapi posisi ketua adat berada dibawah kepala desa walaupun tidak termasuk perangkat desa. Pada saat penelitian berlangsung, peranan Ketua Adat lebih ba-
nyak berlangsung pada kegiatan upacara adat seperti perkawinan serta penye- lesaiaan konflik rumahtangga konflik suami istri. Pada aktivitas usaha pertanian
kadang-kadang Ketua Adat diminta peranannya dalam hal-hal berikut : proses pewarisan lahan, penyelesaian sengketa lahan, dan penyelesaian sengketa antara
113
Fenomena tersebut sama dengan yang dikemukakan Adimiharja 1999 bawa setelah adanya UU No 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, peranan ketua adat digantikan oleh kepala
desa. Keadaan tersebut menyebabkan disfungsinya pemerintahan adat dan kemudian menye- babkan split personality di kalangan masyarakat
114
Permintaan izin kepada Kepala Desa untuk lahan yang luasnya hanya dua ha, bila luas lahan yang diminta lebih dari 2 ha – 5 ha permintaan izin harus diajukan kepada Camat, dan bila
lebih dari lima ha permintaan idzin harus diajukan kepada Bupati
187 pemilik ternak dan pemilik kebunsawah bila terdapat ternak yang merusak
kebunsawah. Namun demikian, pada saat ini untuk hal-hal tersebut pun masyarakat lebih banyak meminta fasilitasimediasi dari Kepala Desa. Kemudian,
dalam menjalankan koordinasi pengelolaan usahatani sawah pembersihan saluran air, penetapan waktu tanam, di Desa Jono Oge lebih banyak dilakukan oleh ketua
kelompok tani. Berbeda dengan di Sulawesi Tengah, dalam komunitas petani kasus di
Nangroe Aceh Darussalam Desa Ulee Gunong dan Desa Cot BarohTunong peranan Kepala Desa yang dijalankan oleh seorang Keucik
115
. masih relatif berimbang dengan peranan pemimpin lokal lainnya seperti Peteua Seneubok dan
Imum Mukim. Permintaan idzin melalui Keucik hanya dominan manakala pembangunan kebun difasilitasi oleh program pemerintah, sedangkan peranan
Peutua Seneubok akan dominan pada saat penguasaan lahan ditempuh melalui mekanisme ganti rugi atas lahan petani lain anggota seneubok atau pembukaan
lahan baru sekitar lahan yang sudah dibuka kelompok yang dipimpin Peutua Seneubok. Kemudian, peranan Imam Mukim akan dominan bilamana pembukaan
lahan baru berada pada wilayah beberapa desa. Dalam proses pembangunan kebun, kelembagaan lokal ”Seneubok” yang
diketuai oleh ”Peutua” Seneubok tidak hanya berperan dalam mendistribusikan lahan tetapi juga dalam melakukan koordinasi kegiatan yang mengupayakan agar
lahan tersebut dapat diusahakan secara produktif. Dalam hal ini, Peutua Seneubok akan melakukan koordinasi aktivitas teknis pencarian dan pembukaan lahan,
pemagaran, penetapan musim tanam yang tepat maupun aktivitas upacara adat kenduri. Akan tetapi, peranan Peutua Seneubok umumnya sangat berkurang
setelah kebun menghasilkan karena kegiatan yang perlu dilakukan bersama di antara petani tidak ada lagi. Pada saat itu, peranan Peutua Seneubok hanya
memimpin upacara adat kenduri yang dilakukan sekalitahun. Pada kegiatan
pembangunan kebun yang mendapat fasilitasi pemerintah, nama Peutua Seneubok
115
Keuchik adalah Kepala Gampong setara Kepala Desa yang dipilih secara langsung oleh masyarakat untuk masa jabatan enam tahun. Ketua Mukim adalah seorang pemimpin yang
berperan sebagai koordinator beberapa desa. Peutua Seneubok adalah orang yang ditunjuk anggotanya dalam memimpin pembukaan hutan danatau pembangunan kebun.
188 akan berubah menjadi Ketua Kelompok Tani, tetapi umumnya diperankan oleh
orang yang sama. Dalam proses penyiapan lahan untuk tanaman perkebunan, Peutua Seneu-
bok bersama dengan beberapa petani lain akan mencari lokasi yang dianggap baik. Lahan yang dipilih pertama adalah yang memiliki kriteria berikut :
Diutamakan tanah bekas ”orang tua” menanam padi ladang karena ”orang
tua” mereka hidup sebagai peladang berpindah dengan siklus tiga tahun.
Lahan yang dibuka bukan tempat yang terlalu miring tetapi agak miring dan menghadap ke timur menghadap matahari terbit. Bila tanah tersebut terlalu
miring musim buahnya lebih pendek
Setelah itu, Peutua Seneubok beserta para petani perintis lainnya mengum- pulkan sekitar 10 orang petani yang berminat membuka kebun. Pembukan kebun
diawali dengan kenduri yang oleh penduduk lokal disebut kenduri Peusejuk Parang
. Dalam kenduri disediakan nasi ketan, kelapa pakai gula buluka. Tujuan utama melaksanakan kenduri adalah memohon doa bersama supaya dalam melak-
sanakan usahatani terhindar dari berbagai gangguan, termasuk gangguan hama dan penyakit tanaman. Dalam kenduri buka kebun biasanya dibacakan doa
sebagai berikut : Weh kamou menjak minta rezeki bek na soe ganggu-ganggu, mudah-mudahan kamou nayre bermudah rezeki pemberi le Allah
yang artinya Kalau kamu mengharapkan rezeki janganlah mengganggu kami, mudah-mudahan
kamu mendapat rezeki dari Allah. Pembangunan kebun pada umumnya dilakukan secara berkelompok dalam
waktu bersamaan tetapi sebagian besar pekerjaan dilakukan oleh masing-masing keluarga inti. Hanya pekerjaan tertentu yang dikerjakan secara tolong menolong
pertukaran tenaga misalnya menebang kayu besar dan menggali lubang untuk tanam coklat. Pembukaan kebun secara berkelompok menjadi pilihan petani
mengingat : di hutan masih banyak binatang buas, jika terjadi kecelakaan ada yang menolong, mengawasimenengok kebun secara bergantian, membuat pagar
bersama lebih murah, ada saksi kepemilikan kebun Sementara itu, dalam usaha pertanian padi sawah, kelembagaan lokal yang
berperanan adalah ”Kejruen Blang” yang diketuai oleh ”Peutua” Kejruen Blang.
189 Keberadaan kelembagaan ini terus berlanjut sejak aktivitas pencetakan sawah
sampai dengan pengusahaanpemanfatan sawah dan relatif hadir secara berkelan- jutan karena kehadiran seseorang yang melakukan kordinasi selalu diperlukan
mengatur waktu tanam, penyediaan air, pelaksanaan bajak lahan. Mengingat tugasnya yang cukup berat, maka Peutua Kejruen Blang mendapat imbalan berupa
: insentif pengurusan sewa traktor sebesar Rp. 5.000,-nale = Rp. 20.000,-hektar dan padi hasil panen sebesar 5 bambunale = 20 bambuha =16 kgha. Peutua
Kejruen Blang juga Peutua Seneubok dipilih dari anggota petani yang berpenga- laman, dan proses pemilihan dilakukan melalui musyawarah para anggota.
Pada kegiatan usahatani padi sawah tugas seorang Kejruen Blang adalah sebagai berikut : a mengajak masyarakat untuk turun ke sawah menanam padi
sawah, b memgkoordinir petani untuk membersihkan parit, c memerintahkan petani untuk membajak sawah, d mempimpin kenduri di sawah. Jenis kenduri
yang dilakukan oleh petani sawah adalah : Kenduri Buka Sawah, Kenduri Tanam Bibit di pembibitan, Kenduri Tanam Padi, Kenduri Padi Bunting keumaweeh,
dan Kenduri Panen. Kelembagaan lokal yang masih ada di empat komunitas petani kasus masih
memberi kesempatan para petani miskin untuk mempunyai kebun. Akan tetapi, akses yang yang diberikan kepada para petani tunakisma miskin tanpa lahan
lebih kecil dari pada yang diberikan kepada para petani pemilik sedang dan kaya. Manakala petani tunakisma miskin dilibatkan sebagai peserta dalam kegiatan
pembukaan lahan baru, umumnya luas lahan yang diperuntukkan bagi mereka relatif sempit. Dalam hal ini, bila petani pemilik mendapat lahan minimal seluas
satu hektar tetapi petani tunakisma miskin hanya memperoleh lahan seluas sete- ngah hektar. Hal ini terjadi karena di dalam komunitas petani berkembang keya-
kinan bahwa kemampuan petani tunakisma miskin sangat terbatas akibat mereka harus mencurahkan sebagian waktunya untuk mencari nafkah guna memenuhi
kebutuhan hidup keluarganya. Oleh sebab itu, kalau mereka diberikan kesempatan membangun kebun yang luas mereka tidak akan mampu membangunmemelihara
kebun dengan baik sehingga kebun tersebut akan terlantar. Dengan membangun memlihara kebun yang tidak terlalu luas mereka masih mampu membagi waktu
untuk mencari nafkah dan memelihara kebun.
190
7.4. Ihtisar : Bentuk Stratifikasi dengan Pemilikan Lahan yang Semakin Timpang, di Persimpangan Jalan Menuju Polarisasi
Beradasarkan realitas hubungan sosial dalam segi penguasaan sumberdaya agraria penguasaan tetap dan penguasaan sementara, beragam lapisan yang me-
nyusun struktur sosial komunitas petani kakao struktur sosial masyarakat agraris ada-lah sebagai berikut : 1 petani pemilik, 2 petani pemilik + penggarap, 3
petani pemilik + penggarap + buruh tani, 4 petani pemilik + buruh tani, 5 petani penggarap, 6 petani penggarap + buruh tani, dan 7 buruh tani. Realitas tersebut
menunjukkan bahwa bentuk struktur sosial masyarakat agrariris yang ada cende- rung merupakan struktur masyarakat yang terstratifikasi atau melipatnya sub-kelas
komunitas petani menjadi banyak lapisan. Pada saat ini, proporsi petani pemilik yang memiliki status tunggal hanya sebagai petani pemilik ternyata sudah sangat
kecil tidak dominan lagi. Status petani pemilik lainnya merupakan status kompleks status kombinasi yang dibangun oleh beragam status dalam hubungan
sosial produksi agraria. Meskipun realitas bentuk struktur sosial masyarakat agraris di empat komu-
nitas petani kasus masih terstratifikasi atas banyak lapisan, tetapi juga terdapat be- berapa hubungan sosial produksi agraria yang cenderung memberi jalan terjadinya
perubahan struktur sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang semakin ter- polarisasi. Akan tetapi, masih kuatnya hubungan sosial produksi yang berpijak
pada ikatan tradisional melalui ikatan kekerabatan serta solidaritas di antara anggota se komunitas untuk turut menyediakan sumber penghasilan anggota lain
terutama kerabat, turut mendorong pilihan utama petani pada pola hubungan sosial produksi yang menjembatanai lahirnya bentuk struktur sosial masyarakat
agraris yang terstratifikasi. Beberapa pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria yang memberi
jalan kepada diferensiasi sosial masyarakat agraris menuju bentuk stratifikasi adalah : pola bagi kebun pada tahap pembangunan kebun, pola bagi hasil di
kebun, serta pola pewarisan. Sementara itu, beberapa pola hubungan sosial pro- duksi sumberdaya agraria yang mendorong diferensiasi sosial masyarakat agraris
menuju bentuk polarisasi adalah : pola bagi tanaman pada tahap pembangunan kebun, pola bagi hasil sumberdaya agraria sawah, sistem sewa sumberdaya
191 agraria sawah dan kebun terutama pada kebun kelapa, sistem gadai, dan transfer
lahan melalui transaksi jual-beli danatau ganti-rugi, serta semakin luasnya peng- gunaan buruh upahan. Hal lain yang juga turut mendorong diferensiasi sosial
masyarakat agraris menuju bentuk yang semakin terpolarisasi adalah : 1 semakin rendahnya akses petani miskin terhadap cadangan sumberdaya agraria baru lahan
hutan, 2 program pemerintah dalam pembangunan kebun baru seringkali mem- berikan akses yang lebih besar terhadap lapisan petani menengah dan lapisan
petani kaya, dan 3 praktek kekuatan produksi teknologi intensif yang semakin mengakumulasikan hasil atau surplus pada pemilik sumberdaya agraria danatau
pemilik modal finansial.
Lebih lanjut, meskipun realitas struktur sosial masyarakat agraris saat ini masih cenderung berbentuk stratifikasi, tetapi ketimpangan dalam pemilikan sum-
berdaya agraria sudah semakin nampak. Realitas tersebut ditunjukkan oleh fakta berikut :
Petani pemilik yang memiliki status tunggal “hanya sebagai petani pemilik”
umumnya sudah menjadi bagian kecil dari komunitas tidak dominan lagi,
kecuali di Desa Tondo. Di desa Tondo proporsi lapisan petani pemilik
dengan status tunggal masih 57,5 , sedangkan di desa Jono Oge hanya 36,4 , di desa Ule Gunong hanya 34,1 , dan di desa Cot BarohTunong
hanya 37,2 .
Proporsi petani pemilik yang luas sumberdaya agrarianya relatif sempit ku-
rang dari dua hektar umumnya cukup besar, bahkan di sebagian besar desa kasus masih merupakan bagian terbesar dari komunitas petani. Realitas ini
terjadi pada pemilikan sumberdaya agraria total maupun pada pemilikan sumberdaya agraria produktif. Bahkan pada pemilikan sumberdaya agraria
produktif realitas tersebut nampak lebih menonjol.
Proporsi petani tunakisma yang tidak menguasai sumberdaya agaria petani
penggarap dan buruh tani pada empat komunitas petani kasus sudah cukup besar, yaitu antara 6,8 Desa Ulee Gunong sampai dengan 34,2 Desa
Jono Oge.
192
Berdasarkan analisa gini ratio, ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria sudah muncul di desa-desa kasus. Bahkan, realitas ketimpangan tersebut
umumnya semakin besar bila analisa gini ratio dilakukan pada pemilikan sumberdaya agraria produktif. Kemudian bila ketimpangan pemilikan ter-
sebut dibandingkan di antara komunitas petani kasus, ketimpangan tertinggi terjadi di komunitas petani di Desa Jono Oge - Sulawesi Selatan. Realitas
tersebut muncul baik pada pemilikan sumberdaya agraria total maupun pem- ilikan sumberdaya produktif.
Pada awalnya, pada saat sumberdaya agraria masih melimpah, adanya prog- ram pemerintah dalam pengembangan tanaman kakao telah meningkatkan pe-
nguasaan bahanalat produksi serta keterampilan para petani, sehingga para petani peserta maupun non peserta dapat memperluas kebun miliknya. Akan tetapi,
program pemerintah yang dilaksanakan akhir-akhir ini semakin tidak pro petani tunaskisma miskin. Bersamaan dengan itu, meskipun di semua komunitas petani
kasus terdapat beragam kelembagaan lokal yang secara langsung maupun tidak langsung berperan dalam proses pengusasaan sumberdaya agraria, tetapi
kelembagaan tersebut tidak memiliki tatanan yang secara khusus pro petani tunakisma miskin. Walaupun demikian, program pemerintah yang sepenuhnya
ditujukan untuk anggota komunitas petani dan proses pengambilan keputusannya banyak ditentukan komunitas petani tidak berimplikasi pada terkutubnya struktur
sosial masyarakat agraris menjadi dua lapisan : petani pemilik yang kaya dan buruh tani yang miskin.
193
Tabel 7.13. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Agraris di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007
Aspek Tondo
Jono Oge Cot Baroh Tunong
Ulee Gunong
Ragam Lapisan
Pemilik, Pemilik+penggarap,
Pemilik+penggarap+BT, Pemilik+BT, Penggarap,
Penggarap+BT, BT Pemilik, Pemilik+penggarap,
Pemilik+penggarap+BT, Pemilik+BT, Penggarap,
Penggarap+BT, BT Pemilik, Pemilik+penggarap,
Pemilik+penggarap+BT, Pemilik+BT, Penggarap,
Penggarap+BT, BT Pemilik, Pemilik+penggarap,
Pemilik+penggarap+BT, Pemilik+BT, Penggarap, BT
Tunakisma
Penggarap = 7,3 Buruh Tani = 11,7
Penggarap = 6,9 Buruh Tani = 27,3
Penggarap = 17,4 Buruh Tani = 4,4
Penggarap = 0,4 Buruh Tani = 6,4
Luas Milik Maksimum
16 ha 74 ha
8,8 ha 13,5 ha
Rata-rata Luas Pemilikan
Total = 1,288 ha Produktif = 1,069 ha
Total = 2,168 ha Produktif = 1,813 ha
Total = 1,697 ha Produktif = 0,774 ha
Total = 1,373 ha Produktif = 0,770 ha
Ketimpangan Pemilikan Lahan
Gini Ratio Total : 0,44 M
Produktif : 0,59 T Total : 0,69 T
Produktif : 0,71 T Total : 0,57 T
Produktif : 0,42 M Total : 0,32 R
Produktif : 0,55 T
Arah Perubahan
Mekanisme yang mendorong Stratifikasi Dominan
Mekanisme yang mendorong stratifikasi masih dominan,
tetapi mekanisme polarisasi sudah menonjol
Mekanisme yang mendorong Stratifikasi Dominan
Mekanisme yang mendorong Stratifikasi Dominan
194
BAB VIII DIFERENSIASI KESEJAHTERAAN PETANI
8.1. Sumber-sumber Penghasilan
Agraria 8.1.1.
Menghilangnya Penghasilan dari Sumberdaya Agraria Milik Komunal
Sumber-sumber penghasilan yang saat ini tersedia di desa-desa kasus ham- pir seluruhnya berasal dari sumberdaya yang telah dimiliki secara individual,
termasuk pada sumberdaya agraria. Beberapa jenis penghasilan masyarakat yang berasal dari sumberdaya agraria komunal yang sampai saat ini masih tersedia di
semua desa kasus hanya hasil hutan dan hasil sungai. Bersamaan dengan itu, penghasilan dari sumberdaya komunal tersebut sudah sangat sedikit dan cara
memperolehnya sudah sangat sulit karena lokasinya relatif jauh terutama untuk hasil hutan. Oleh sebab itu, penghasilan dari sumberdaya agraria komunal tidak
lagi menjadi sumber penghasilan utama masyarakat desa lokasi penelitian, tetapi hanya sebagai sumber penghasilan alternatif manakala sumber penghasilan utama
mengalami penurunan tajam atau bahkan sedang tidak tersedia. Walaupun demikian, di desa-desa kasus di Nangroe Aceh Darussalam
NAD penghasilan dari sumberdaya hutan relatif lebih tersedia dibanding di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah. Bagi warga Desa Tondo di Sulawesi Te-
ngah, penghasilan dari sumberdaya hutan yang masih tersedia hanya mengumpul- kan rotan dan menjadi buruh angkut kayu. Bahkan saat ini warga Desa Jono Oge
di Sulawesi Tengah tidak lagi mencari penghasilan dari hasil sumberdaya hutan. Sementara itu, di desa-desa kasus di Nangroe Aceh Darussalam, jenis penghasilan
dari sumberdaya hutan masih relatif banyak, yaitu selain mengumpulkan rotan dan mengangkut kayu juga mengumpulkan ijuk. Walaupun demikian, penghasilan
sebagai buruh angkut kayu sangat tergantung seberapa banyak warga desa danatau luar desa yang melakukan penebangan hutan secara liar illegal logging.
Dengan semakin giatnya pnertiban illegal logging maka peluang menjadi buruh angkut kayu dari hutan semakin menghilang.
Khusus di Sulawesi Tengah, terdapat sumber penghasilan “milik komunal” yang sebenarnya berasal dari sumberdaya agraria “milik individual”, yaitu
mencari kelapa jatuh di kebun milik petani lain. Nampaknya realitas sosial ini