Agrarian structure transformation and social differentiation on peasant community (Case study on four Cocoa Farmer Communities in Central Sulawesi and Nangroe Aceh Darussalam)

(1)

TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN

DIFERENSIASI SOSIAL PADA KOMUNITAS PETANI

(Studi Kasus Pada Empat Komunitas Petani Kakao di

Propinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam)

UNDANG FADJAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Transformasi Struktur Agraria dan Diferensiasi Sosial Pada Komunitas Petani (Studi Kasus Pada Empat Komunitas Petani Kakao di Propinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam) adalah merupakan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun ke perguruan tinggi manapun. Sumber infornasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2009

Undang Fadjar NRP: A. 162030011


(3)

ABSTRACT

UNDANG FAJAR. Agrarian Structure Transformation and Social Differentiation on Peasant Community (Case Study on Four Cocoa Farmer Communities in Central Sulawesi and Nangroe Aceh Darussalam). Supervised by M.T. FELIX SITORUS, ARYA H. DHARMAWAN, SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO

This research analyses about how and how far the transformation of mode of production and agrarian structure within cacao-base peasant community imply to social differentiation and welfare status of the farmers”. The research uses a “multiple case study” approach in four cacao peasant communities, i.e.: two communities in Central Sulawesi and the other two in Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). The result shows that capitalism enters the communities by ‘permeating’ (not eliminating) through various new activities, and then produced a ‘transitional’ mode of production. In this case, farmers in those four communities operate in several but different, yet simultanously, mode of productions, i.e.: elements of non-capitalistic mode of production, elements of capitalistic mode of production, and elements of a combination between capitalist and non-capitalist mode of production. In addition, the farmers have been practicing those mode of productions with an “amphibian” strategy. Thischanging mode of production has paved a way for a transformation process of agrarian structure, which is from collective ownership to individual ownership. Nevertheless, a persistence of moral-traditional social relation of production (particularly takes form as ‘temporary holding’), has resulted a social differentiation in peasant community that is called as ‘unequal-stratification’ of an agrarian social structure. This social structure is differentiated in many layers, from a single status layer (land owner, tiller, and labor) to combination of layers (of those three statuses). Moreover, this emerging social structure is also accompanied by a further inequality in agrarian resource ownership. Along with such social differentiation, a differentiation in farmers’ welfare also occurs, which is signified by the emerging layer of wealthy, medium and poor farmers. This research also demonstrates that farmers with different ethnicity background possess relatively equal capacity in resisting the influence of capitalism. In this case, what happens is a formation of commodity - driven relation of production, not ethnics - driven relation of production.

Key words: mode of production, agrarian structure, social structure, welfare, peasant, cocoa.


(4)

RINGKASAN

UNDANG FADJAR. TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN DIFERENSIASI SOSIAL PADA KOMUNITAS PETANI (Studi Kasus Pada Empat Komunitas Petani Kakao di Propinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam). Dibimbing oleh FELIX SITORUS, ARYA H. DHARMAWAN, SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO

Tujuan utama penelitian ini adalah “menganalisis bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria yang berlangsung di dalam komunitas petani kecil (peasant) berbasis usahatani kakao berimplikasi terhadap diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan dalam komunitas petani”. Adapaun tujuan pene-litian yang lebih rinci dirumuskan sebagai berikut :

1. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana moda produksi kapitalis masuk ke dalam komunitas petani kakao yang sebelumnya telah mempraktekkan moda produksi non-kapitalis

2. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi yang terjadi dalam komunitas petani kakao tersebut memberi jalan bagi berlangsungnya peru-bahan struktur agraria,

3. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi sosial masyarakat agraris : apakah semakin terpolarisasi atau semakin terstratifikasi ?

4. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana diferensiasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani, 5. Menganalisis lingkungan/kekuatan sosial spesifik apa saja yang secara konstekstual

berperan mendorong transformasi moda produksi dan struktur agraria serta mendo-rong diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan komunitas petani ?

Penelitian dilakukan di empat komunitas petani kakao: dua komunitas di Sulawesi Tengah dan dua lainnya di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Data dan informasi yang dikumpulkan merupakan data kualitatif dan kuantitatif. Data dan informasi kualitatif dikumpulkan terutama melalui diskusi kelompok pada tingkat desa dan dusun, sedangkan data dan informasi kuantitatif dikumpulkan terutama melalui sensus dan wawancara responden (30 responden/desa). Kemudian data dan informasi yang telah terkumpul dianalisis melalui analisis kualitatif terutama untuk menjawab mengapa dan bagaimana suatu realitas berubah serta analisis kuantitatif (Cross Tabulation dan Gini Ratio) terutama untuk menjawab sejauhmana suatu realitas berubah.

Dalam komunitas petani di empat desa kasus, pengaruh kapitalisme terhadap per-kembangan praktek moda produksi cenderung semakin kuat. Pengaruh tersebut dimulai dengan terjadinya perubahan praktek moda produksi pertanian, khusunya perubahan dari praktek moda produksi yang menopang sistem pertanian “ladang berpindah” terutama untuk memproduksi tanaman pangan (padi ladang) menjadi praktek moda produksi yang menopang “pertanian menetap” untuk memproduksi komoditas perdagangan (kakao). Pada saat penelitian berlangsung seluruh proses produksi pertanian di empat komunitas petani kasus hanya dijalankan dengan satu sistem, yaitu “pertanian menetap”. Setelah itu, proses kapitalisme dilanjutkan dengan semakin dominannya praktek “moda produksi” yang menggunakan teknologi intensif untuk mencapai peningkatan produktivitas lahan.


(5)

Dalam komunitas petani, elemen-elemen moda produksi kapitalis masuk dengan cara “merembes” melalui aktivitas baru, yaitu melalui: 1) berbagai aktivitas penguasaan modal non lahan, khususnya pada proses produksi padi sawah (aktivitas di on farm), dan 2) berbagai aktivitas penjualan hasil produksi kebun, terutama buah kakao. Dengan cara masuk yang “merembes”, maka dalam komunitas petani yang mengusahakan beragam jenis tanaman (terutama kakao dan padi sawah) pengaruh kapitalisme tidak menghilang-kan elemen-elemen moda produksi non-kapitalis. Oleh sebab itu, para petani dalam komunitas tersebut menjalankan beberapa elemen moda produksi yang berbeda secara bersamaan, yaitu: elemen moda produksi yang masih mempunyai ciri non-kapitalis, elemen moda produksi yang sudah mempunyai ciri kapitalis, atau elemen moda produksi yang mempunyai ciri keduanya.

Dengan kata lain, implikasi kapitalisme terhadap praktek moda produksi yang merupakan “cara produksi” (ways of production) komunitas petani ternyata tidak “mem-belah” komunitas petani menjadi beberapa bagian (kelompok) yang terpisah akibat perbedaan praktek moda produksi yang mereka jalankan. Akan tetapi implikasi tersebut menjadikan para petani harus berjalan di atas dua moda produksi berbeda, kapitalis dan prakapitalis. Hal ini terjadi baik pada aktivitas yang berlangsung dalam pengelolaan usahatani padi sawah maupun usahatani kakao. Dengan demikian, temuan tersebut mem-berikan sumbangan terhadap pentipologian strategi praktek moda produksi yang dijalan-kan petani, yaitu teridentifikasinya sebuah tipe strategi praktek moda produksi yang diberi nama strategi “amphibian”.

Berlangsungnya perubahan sistem pertanian dari perladangan berpindah ke perta-nian menetap telah memperkuat proses transformasi struktur agraria, dimana basis pe-nguasaan sumberdaya agraria beralih dari pepe-nguasaan kolektif ke pepe-nguasaan pero-rangan. Bahkan akhir-akhir ini status hukum pemilikan perorangan semakin diperkuat melalui penerapan status formal (bukti tertulis) seperti akte jual beli, surat keterangan desa, surat pembayaran pajak, dan sertifikat. Bersamaan dengan menguatnya penerapan elemen-elemen moda produksi kapitalis, transformasi struktur agraria yang terjadi mem-bangkitkan beragam mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan pada proses diferensiasi sosial masyarakat agraris. Walaupun demikian, masih kuatnya hubungan sosial produksi yang berpijak pada ikatan moral tradisional (terutama ikatan kekerabatan, pola pewarisan, dan solidaritas lokal untuk menjaga kebutuhan minimum warga sekomunitas) turut mendorong petani untuk menerapkan pola “penguasaan semen-tara” atas sumberdaya agraria, terutama melalui pola bagi hasil pada usahatani padi sawah dan kakao. Keadaan ini kemudian menjembatani lahirnya bentuk struktur masya-rakat agraris yang semakin terstratifikasi oleh banyak lapisan, baik lapisan berstatus tung-gal maupun lapisan berstatus kombinasi. Ternyata berlangsungnya beragam mekanisme yang memberi jalan pada proses polarisasi dan stratifikasi secara bersamaan telah melahirkan bentuk struktur sosial masyarakat agraris tipe “stratifikasi “ dengan pemilikan lahan yang semakin timpang.

Beragam lapisan yang menyusun struktur sosial masyarakat agraris di empat komunitas petani kasus terdiri dari : 1) petani pemilik, 2) petani pemilik + penggarap, 3) petani pemilik + penggarap + buruh tani, 4) petani pemilik + buruh tani, 5) petani penggarap, 6) petani penggarap + buruh tani, dan 7) buruh tani. Lapisan petani penggarap dan petani penggarap + buruh tani merupakan “tunakisma tidak mutlak” sedangkan lapisan buruh tani merupakan “tunakisma mutlak”. Ternyata lapisan petani tunakisma tidak mutlak maupun petani tunakisma mutlak sudah muncul di semua komunitas petani kasus. Bahkan di Desa Jono Oge Sulawesi Tengah, proporsi petani tunakisma sudah


(6)

mencapai 34,2 % (tunakisma tidak mutlak sebesar 6,9 %, tunakisma mutlak sebesar 27,3 %). Selain itu, ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria total (seluruh sumberdaya agraria) sudah muncul dengan berbagai tingkat ketimpangan (“Tinggi” di Desa Jono Oge dan Cot Baroh/Tunong, “Sedang” di Desa Tondo, dan “Rendah” (di Desa Ulee Gunong). Bahkan, bila analisa ketimpangan diterapkan pada sumberdaya agraria produktif (hanya sumberdaya agraria yang berproduksi), ternyata sebagian besar komu-nitas petani kasus berada pada tingkat ketimpangan “Tinggi”, kecuali di Desa Cot Baroh/Tunong (tingkat ketimpangan “Rendah”). Hal ini terjadi karena di Cot Baroh/Tunong peranan pemimpin lokal (Peutua Seneubok) dalam mengatur distribusi lahan untuk seluruh warga komunitas masih kuat.

Bersamaan dengan terjadinya diferensiasi sosial masyarakat agraris juga terjadi diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani. Dalam hal ini, komunitas petani ter-bagi menjadi tiga lapisan, yaitu : petani kaya, petani sedang, dan petani miskin. Berda-sarkan lapisan kesejahteraan tersebut, sebagian besar petani di desa-desa kasus di NAD berada pada lapisan miskin. Sementara itu, di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah proporsi lapisan petani miskin dan lapisan petani sedang relatif seimbang. Munculnya lapisan petani miskin tidak hanya terjadi pada petani tunakisma tetapi juga sudah muncul pada petani pemilik, khususnya petani yang memiliki lahan relatif sempit (kurang dari dua ha). Transformasi agraria juga telah mengancaman keamanan sosial ekonomi petani (terutama bagi lapisan petani tunakisma miskin). Problema kesejahteraan akan terjadi pada saat sumberdaya agraria yang ada dalam komunitas petani tidak dapat memberikan penghasilan minimal (setara garis kemiskinan) bagi anggota komunitas dan bersamaan dengan itu tidak tersedia sumber penghasilan alternatif (non pertanian).

Realitas munculnya moda produksi ”amphibian”, munculnya transformasi struktur agraria dari penguasaan kolektif ke perorangan, munculnya diferensiasi sosial masyarakat agraris dalam bentuk ”stratifikasi” dengan pemilikan lahan yang semakin timpang serta munculnya diferensiasi kesejahteraan petani ternyata terjadi di semua kasus. Perbedaan yang terjadi di antara komunitas petani lebih nampak pada perbedaan “ukuran” realitas, bukan perbedaan ”bentuk” realitas. Nampaknya, kesamaan tingkat kapitalisme yang ma-suk melalui jenis tanaman dan tipe sistem pertanian yang sama mendorong munculnya kesamaan bentuk transformasi struktur agraria serta diferensiasi sosial dalam komunitas petani, meskipun mereka mempunyai latar belakang etnis berbeda. Fakta ini juga me-nunjukkan bahwa komunitas petani yang mempunyai latar belakang etnis berbeda ter-nyata mempunyai kemampuan yang relatif sama dalam membendung pengaruh kapi-talisme. Dengan kata lain, yang terjadi dalam komunitas petani adalah commodity-driven relation of production bukan etnics-driven relation of production

Dalam hal ukuran realitas, komunitas petani kasus di Desa Jono Oge yang berlatar belakang etnis Bugis (pendatang) berbeda dengan tiga komunitas petani kasus lainnya. Dalam komunitas petani di Desa Jono Oge, intensitas proses penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan pada pembentukan struktur sosial masyarakat agraris yang semakin terpolarisasi serta tingkat ketimpangan dalam penguasaan sumberdaya agraria dan dalam kesejahteraan di antara anggota komunitas sangat menonjol.

Kata Kunci : moda produksi, struktur agraria, struktur sosial masyarakat agraris, kesejahteraan, petani kakao


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa idzin IPB.


(8)

TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN

DIFERENSIASI SOSIAL PADA KOMUNITAS PETANI

(Studi Kasus Pada Empat Komunitas Petani Kakao di

Propinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam)

UNDANG FADJAR

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor

Pada Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

Penguji Luar Komisi :

Ujian Tertutup : Dr. Ir. Lala M. Kolopaking

(Ketua Jurusan Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor)

Ujian Terbuka : Dr. Ir. Agus Pakpahan

(Deputi Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan, Kementrian BUMN serta Anggota Dewan Penyantun Lembaga Riset Perkebunan Indonesia)

Dr. Ir. Tahlim Sudaryanto

(Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi - Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian)


(10)

Judul Disertasi : TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN

DIFERENSIASI SOSIAL PADA KOMUNITAS PETANI

(Studi Kasus Pada Empat Komunitas Petani Kakao di

Propinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam)

Nama : Undang Fadjar

Nomor Pokok : A. 162030011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, M.S. Ketua

Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, MSc.Agr Anggota

Prof. Dr. S.M.P. Tjondronegoro Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD)

Dr. Nurmala K. Pandjaitan M.S. DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis, Undang Fadjar, dilahirkan pada tanggal 28 Agustus 1958 di Ciamis – Jawa Barat. Kedua orangtuanya adalah H. Amir Soleh dan H. Siti Komariah. Pendidikan Sarjana (S1) ditempuh di Jurusan Penyuluhan Pertanian - Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB, dan lulus pada tahun 1983. Pada tahun 1989 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan S2 di Jurusan Sosiologi Pedesaan, Program Pascasrjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1994. Kesempatan melanjutkan pendidikan S3 diperoleh penulis pada tahun 2003 di jurusan Sosiologi Pedesaan, Program Pascasrjana IPB. Selama 2,5 tahun penulis memperoleh Beasiswa Pendidikan S3 dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian (Proyek PHT).

Penulis bekerja sebagai seorang peneliti pada Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI). Di lingkup LRPI, penulis mulai bekerja tahun 1983 di Pusat Penelitian Karet Sembawa - Palembang sebagai peneliti sosial-ekonomi. Tahun 1994, penulis pindah tugas ke Pusat Pengkajian Agribisnis Perkebunan (P2PA) di Jakarta sampai tahun 1998, dan tetap sebagai peneliti sosial-ekonomi. Mulai tahun 1998, penulis pindah tugas lagi ke Kantor Pusat LRPI di Bogor. Selain mengerjakan tugas-tugas non penelitian, penulis tetap menjalankan tugas sebagai peneliti sosial-ekonomi. Sejak tahun 2005 penulis telah memperoleh jenjang fungsional peneliti “Ahli Peneliti Muda”.

Selama mengikuti pendidikan Program S3, beberapa karya ilmiah yang sudah dipublikasikan adalah : “Perbaikan Struktur Usaha Perkebunan Masih Jalan di Tempat : Suatau Analisis Struktural” diterbitkan dalam Mimbar Sosek : Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian Vol 16 Nomor 1: April 2003; “Kemitraan Usaha Perkebunan: Perubahan Struktur yang Belum Lengkap” diterbitkan dalam Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 24 No. 1, Juli 2006. Penulis juga mengikuti

Disertation Workshop on The Challenges of Agrarian Transition in Southeast Asia pada tanggal 30 Juni – 1 Juni 2008 di Los Banos, Philippina

Sejak tahun 1988 penulis menikah dengan Heni Hersiani. Pada saat ini, penulis telah dikaruniani empat orang anak, yaitu : Muhammad Seta Bagja Fardhaka (Seta), Siti Rizkika Hersifa (Dita), Chairunnisa Diya Silmi (Chia), dan Muhammad Rafif Herdafa (Afif).


(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Transformasi Struktur Agraria dan Diferensiasi Sosial Pada Komunitas Petani”. Penelitian dimaksud dilaksanakan melalui studi kasus pada empat komunitas petani kakao di Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam. Tema tersebut dipilih untuk mem-peroleh potret mutakhir kondisi kesejahteraan petani dan kondisi penguasaan sumber-daya agraria yang merupakan basis penghasilan petani, dimana jumlah mereka terus bertambah sedangkan ketersediaan sumberdaya agraria semakin berkurang. Seca-ra khusus, pengumpulan data dan informasi di lapangan dilaksanakan mulai perte-ngahan sampai dengan akhir tahun 2007. Namun demikian, sejak dua tahun sebelum-nya penulis ikut serta dalam kegiatan “kaji tindak” (Action Research) penerapan tek-nologi budidaya kakao di semua desa kasus, sehingga penulis memperoleh sedikit be-kal dalam “mengenal masyarakat setempat”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. MT Felix Sitorus MS, Dr. Arya H. Dharmawan, dan Prof. Sediono MP Tjondronegoro selaku pembimbing yang telah banyak memberi semangat dan saran. Disamping itu, penulis ucapkan terima kasih kepada Pimpinan Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) yang telah memberi penulis kesempatan meneruskan pendidikan S3 serta kepada Pimpinan Badan Pene-litian dan Pengembangan Pertanian yang telah berkenan memberikan Beasiswa Pendidikan S3 dan membiayai penelitian untuk disertasi ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada masyarakat di empat desa kasus yang telah bersedia mem-berikan data dan informasinya serta kepada teman-teman yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data di lapangan dan dalam diskusi-diskusi. Akhirnya, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada keluarga (terutama orang tua, istri dan anak) yang telah memberikan banyak waktu kepada penulis untuk memprioritaskan penye-lesaian penulisan disertasi ini serta mendukungnya dengan doa.

Bogor, Januari 2009


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Pertanyaan Penelitian ... 8

1.4. Tujuan Penelitian ... 9

1.5. Kegunaan Penelitian ... 10

BAB II. PENDEKATAN TEORI ... 12

2.1. Perkembangan Moda Produksi dan Petani ... 12

2.1.1. Perkembangan Moda Produksi ... 12

2.1.2. Perkembangan Petani ... 18

2.2. Transformasi Struktur Agraria ... 27

2.3. Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris ... 33

2.4. Kesejahteraan Petani Berbasis Sumberdaya Agraria ... 38

2.5. Kerangka Teoritis ... 45

BAB III. METODOLOGI ... 55

3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 55

3.2. Paradigma dan Strategi Penelitian ... 57

3.3. Lokasi Penelitian ... 60

3.4. Metoda Pengumpulan Data ... 64

3.5. Analisis Data ... 66

3.5.1. Analisa Kualitatif ... 67


(14)

BAB IV. PROFIL EMPAT KOMUNITAS PETANI KASUS ... 69

4.1. Profil Dua Komunitas Petani Kasus di Kabupaten Donggala – Sulawesi Tengah ... 69

4.1.1. Komunitas Petani di Desa Tondo: Kaili – Lokal ... 69

4.1.2. Komunitas Petani di Desa Jono Oge: Bugis – Pendatang ... 72

4.2. Profil Dua Komunitas Petani Kasus di Kabupaten Pidie – Nangroe Aceh Darussalam (NAD) ... 74

4.2.1. Komunitas Petani di Desa Cot Baroh/Tunong: Aceh - Lokal ... 74

4.2.2. Komunitas Petani di Desa Ulee Gunong: Aceh – Pendatang ... 76

4.3. Perbandingan dan Kesimpulan ... 77

BAB V. PERKEMBANGAN SISTEM PERTANIAN DI EMPAT KOMUNITAS PETANI KASUS ... 81

5.1. Perkembangan Pertanian Menetap “Padi Sawah” dan “Tanaman Perkebunan” di Empat Komunitas Petani Kasus... 81

5.1.1. Perkembangan Pertanian Menetap “Padi Sawah” dan “Perkebunan” di Desa Tondo – Sulawesi Tengah ... 88

5.1.2. Perkembangan Pertanian Menetap “Padi Sawah” dan “Perkebunan” di Desa Jono Oge – Sulawesi Tengah... 89

5.1.3. Perkembangan Pertanian Menetap “Padi Sawah” dan “Perkebunan” di Desa Cot Baroh/Tunong – NAD ... 91

5.1.4. Perkembangan Pertanian Menetap “Perkebunan” di Desa Ulee Gunong–NAD ... 93

5.2. Diversifikasi Tanaman yang Diusahakan Komunitas Petani ... 95

5.3. Ragam Kekuatan Produksi dalam Komunitas Petani: Teknologi Intensif di Padi Sawah dan Tidak Intensif di Kebun Kakao ... 103

5.4. Marginalisasi Kualitas Sumberdaya Agraria ... 110

5.5. Ihtisar : Beragam “Kekuatan Produksi” dalam Komunitas Petani ... 115


(15)

BAB VI. TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN

DINAMIKA HUBUNGAN SOSIAL PRODUKSI DALAM

KOMUNITAS PETANI ... 119

6.1. Transformasi Struktur Agraria ... 119

6.1.1. Transformasi Pola Pemilikan Sumberdaya Agraria : Dari Pemilikan Kolektif ke Pemilikan Perorangan ... 119

6.1.2. Transformasi Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria : Dari Buka Baru ke Transfer Sumberdaya Agraria ... 123

6.2. Dinamika Pola Hubungan Sosial Produksi Sumberdaya Agraria ... 133

6.2.1. Dinamika Pola Hubungan Sosial Produksi Sumberdaya Agraria Pada Tahap Pembangunan Kebun dan Pencetakan Sawah ... 134

6.2.2. Dinamika Pola Hubungan Sosial Produksi pada Tahap Pengelolaan Sumberdaya Agraria ... 141

6.2.2.1. Pola Bagi Hasil ... 143

6.2.2.2. Pola Sewa ... 149

6.2.2.3. Pola Gadai ... 150

6.3. Pola Kelembagaan Produksi : Jalan Masuk Modal Non Lahan ... 151

6.3.1. Pola Kemitraan Antar Pihak : Hubungan Sosial Produksi yang Semakin Kompleks dan Semakin Tersubordinasi... 151

6.3.2. Pola Transaksi Produksi : Sistem Yarnen dengan Alat Bayar Natura ... 154

6.4. Ihtisar : Dari Pemilikan Kolektif ke Perorangan serta Hadirnya Hubungan Sosial Produksi yang Semakin Kompleks dan Sub-ordinatif ... 157

BAB VII. DIFERENSIASI SOSIAL MASYARAKAT AGRARIS ... 163

7.1. Bertambahnya Lapisan Petani serta Meningkatnya Pemilik Sempit dan Tunakisma ... 163

7.2. Arah Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Agraris : Jalan Bercabang Menuju Struktur Terstratifikasi atau Terpolarisasi ... 172

7.3. Peranan Program Pemerintah dan Lembaga Lokal dalam Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris ... 179

7.3.1. Peranan Program Pemerintah dalam Diferesiasi Sosial Masyarakat Agraris ... 179

7.3.2. Peranan Lembaga Lokal dalam Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris ... 185

7.4. Ihtisar : Bentuk Stratifikasi dengan Pemilikan Lahan yang Semakin Timpang, di Persimpangan Jalan Menuju Polarisasi ... 190


(16)

BAB VIII. DIFERENSIASI KESEJAHTERAAN PETANI ... 194

8.1. Sumber-sumber Penghasilan Agraria ... 194

8.1.1. Menghilangnya Penghasilan dari Sumberdaya Agraria Milik Komunal ... 194

8.1.2. Peranan Sumberdaya Agraria dalam Struktur Penghasilan Petani ... 196

8.2. Peta Lapisan Masyarakat Agraris Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan ... 201

8.3. Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga Pada Berbagai Lapisan Petani ... 205

8.4. Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan ... 209

8.5. Ketimpangan dalam Penerimaan dan Pengeluaran ... 212

8.6. Proses Pemiskinan Petani ... 214

8.7. Ihtisar : Meningkatnya Diferensiasi dan Rendahnya Ketimpangan Kesejahteraan dalam Komunitas Petani ... 216

BAB IX. STRATEGI ”AMPHIBIAN” DALAM PRAKTEK MODA PRODUKSI, STRUKTUR AGRARIA YANG SEMAKIN TERTUTUP, DAN PROBLEMA KESEJAHTERAAN PETANI ... 220

9.1. Tipe Lain Komunitas Petani “Indonesia Luar” : Berbasis Kombinasi Usahatani Padi Sawah dan Perkebunan (Kakao) ... 220

9.2. Munculnya Strategi “Amphibian” dalam Praktek Moda Produksi ... 222

9.3. Perubahan Struktur Agraria: Menuju Struktur yang Semakin Tertutup ... 238

9.4. Potensi Munculnya Problema Kesejahteraan Petani ... 242

BAB X. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI ... 246

10.1. Kesimpulan ... 246

10.2. Implikasi ... 252

10.2.1. Teoritis...252

10.2.2. Kebijakan...255

DAFTAR PUSTAKA ... 2599


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Tipe-tipe Moda Produksi ... 13 Tabel 2.2. Perbedaan Ciri-ciri Peasant dan Smallholder ... 21 Tabel 2.3. Perbedaan Ciri antara Moda Produksi Subsisten,

Komersial, dan Kapitalis ... 25 Tabel 2.4. Keterkaitan antara Jenis Tanaman dengan Perkembangan

Petani ... 26 Tabel 2.5. Perubahan Pemilikan Lahan dalam Masyarakat

Pra-kapitalis ... 28 Tabel 2.6. Kaitan antara Perkembangan Pertanian dengan Perubahan

Pola Penguasaan Lahan (Kasus Pada Masyarakat Dayak) ... 30 Tabel 2.7. Diferensiasi Sosial Masyarakat ... 34 Tabel 2.8. Keterkaitan antara Komersialisasi Pertanian dengan

Hubungan Kelas Agraris. ... 42 Tabel 3.1. Distribusi Masyarakat Desa Berdasarkan Rumahtangga

Petani dan Non Petani, 2007 ... 61 Tabel 3.2. Tanaman yang Diusahakan Komunitas Petani, 2007 ... 61 Tabel 3.3. Latar Belakang Lingkungan Spesifik Lokal Komunitas

Petani di Empat Desa Kasus, 2007 ... 62 Tabel 3.4. Distribusi Rumahtangga (RT) Petani dan Distribusi

Responden di Empat Desa Kasus, 2007 ... 65 Tabel 4.1. Profil Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 ... 80 Tabel 5.1. Luas Sumberdaya Agraria Berdasarkan Pemanfaatannya

(ha), 2007 ... 99 Tabel 5.2. Pola Tanam dalam Usahatani di Empat Komunitas Petani

Kasus, 2007 ... 101 Tabel 5.3. Jenis Pola Tanam Campuran yang Diushakan Petani, 2007. ... 102 Tabel 5.4. Penerapan Teknologi Intensif pada Sistem Pertanian

Menetap di Empat Desa Kasus di Sulawesi Tengah dan

Nangroe Aceh Darussalam (NAD), 2007 ... 104 Tabel 5.5. Populasi Beragam Jenis Tanaman yang Diusahakan Petani,

2007. ... 106 Tabel 5.6. Produktivitas Beragam Jenis Tanaman yang Diusahakan

Petani, 2007. ... 107 Tabel 5.7. Tambahan Biaya untuk Penerapan Teknologi Intensif, 2007 ... 108 Tabel 5.8. Perkembangan Sistem Pertanian Menetap di Empat


(18)

Tabel 6.1. Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria di Empat Komunitas

Petani Kasus, 2007 ... 126 Tabel 6.2. Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria Berdasarkan Jenis

Tanaman yang Diusahakan, 2007. ... 127 Tabel 6.3. Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria Berdasarkan Tingkat

Kesejahteraan Petani, 2007 ... 129 Tabel 6.4. Berbagai Kebutuhan yang Mendorong Petani Menjual

Sumberdaya Agraria, 2007. ... 132 Tabel 6.5. Alamat Pelaku Jual Beli Sumberdaya Agararia, 2007. ... 133 Tabel 6.6. Pola Hubungan Sosial Produksi pada Tahap Pembangunan

Kebun dan Pencetakan Sawah, 2007 ... 137 Tabel 6.7. Bentuk Hubungan Sosial Produksi yang Dominan pada

Pengelolaan Sumberdaya Agraria (Usahatani), 2007. ... 141 Tabel 6.8. Jumlah Rumahtangga Petani Penggarap Bagi Hasil pada

Berbagai Jenis Usahatani, 2007 ... 142 Tabel 6.9. Luas Sawah Berdasarkan Tempat Tinggal Pemilik (ha),

2007. ... 144 Tabel 6.10. Bentuk Hubungan Sosial Produksi Bagi Hasil yang

Dominan Pada Tahap Pengelolaan Sumberdaya Agraria,

2007. ... 146 Tabel 6.11. Pola Hubungan Sosial Produksi Agraria Bagi Hasil, 2007 ... 147 Tabel 6.12. Hubungan Sosial antara Petani Pemilik dengan Petani

Pembagi Hasil, 2007. ... 149 Tabel 6.13. Pola Transaksi Penyediaan Sarana Produksi Usahatani dan

Modal Finansial di Desa Jono Oge dan Desa Tondo,

Sulawesi Tengah, 2007 ... 155 Tabel 6.14. Pola Transaski Penyediaan Sarana Produksi Usahatani di

Desa Cot Baroh/Tunong dan Desa Ulee Gunong di

Nangroe Aceh Darussalam, 2007 ... 156 Tabel 6.15. Pola Transaksi Penyediaan Modal Finasial di Desa Cot

Baroh/Tunong dan Desa Ulee Gunong di Nangroe Aceh

Darussalam, 2007 ... 156 Tabel 6.16. Transformasi Struktur Agraria dan Hubungan Sosial

Produksi di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 ... 162 Tabel 7.1 Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Status

Penguasaan Sumberdaya Agraria, 2007 ... 168 Tabel 7.2. Distribusi Rumah Tangga Petani Berdasarkan Luas

Pemilikan Sumberdaya Agraria Total, 2007 ... 170 Tabel 7.3. Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Luas


(19)

Tabel 7.4. Rata-rata Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria Total dan

Sumberdaya Agraria Produktif, 2007 ... 172 Tabel 7.5. Kaitan antara Pola Hubungan Sosial Penguasaan

Sumberdaya Agraria dengan Arah Perubahan Struktur

Sosial Masyarakat Agraris, 2007. ... 174 Tabel 7.6. Modal Finansial Untuk Membangun Kebun (1 Ha) pada

Lahan Hutan di Desa Cot Baroh/Tunong dan Ulee Gunong,

2007 ... 176 Tabel 7.7. Analisa Gini Ratio Terhadap Luas Pemilikan Sumberdaya

Agraria, 2007. ... 178 Tabel 7.8. Distribusi Luas Lahan Peserta Program Pembangunan

Kebun Baru di Desa Cot Baroh/Tunong, 2007 ... 182 Tabel 7.9. Fasilitasi Pemerintah Melalui Program Pengembangan

Perkebunan, 2007 ... 183 Tabel 7.10. Intervensi Pemerintah dalam Pola Berbantuan/Parsial, 2007 ... 183 Tabel 7.11. Petani Peserta Proyek (ADB) Pengembangan Kebun Kakao

di Desa Cot Baroh/Tunong, 2007... 184 Tabel 7.12. Kelembagaan Lokal yang Berkaitan dengan Penguasaan

Sumberdaya Agraria, 2007. ... 186 Tabel 7.13. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Agraris di Empat

Komunitas Petani Kasus, 2007 ... 193 Tabel 8.1. Perkembangan Upah Buruh di Desa Kasus di Sulawesi

Tengah, 2007. ... 196 Tabel 8.2. Sumber Penghasilan Petani di Empat Komunitas Petani

Kasus, 2007 ... 198 Tabel 8.3. Kaitan antara Lapisan Kesejahteraan Hasil Rekonstruksi

Masyarakat dan Ukuran Sajogyo, 2007 ... 203 Tabel 8.4. Rata-Rata Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga

Petani pada Berbagai Lapisan Kesejahteraan, 2007. ... 205 Tabel 8.5. Rata-Rata Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga

Petani pada Berbagai Lapisan Penguasaan Sumberdaya

Agraria, 2007 ... 207 Tabel 8.6. Hasil Analisa Gini Ratio Terhadap Pendapatan dan

Pengeluaran, 2007. ... 213 Tabel 8.7. Perkembangan Harga Hasil Perkebunan dan Kebutuhan

Pokok, 2007. ... 214 Tabel 8.8. Diferensiasi Kesejahteraan di Empat Komunitas Petani

Kasus, 2007. ... 219 Tabel 9.1. Fakta Kekuatan Produksi Amphibian (Bersifat Ganda) pada


(20)

Tabel 9.2. Fakta Hubungan Sosial Produksi Amphibian (Bersifat

Ganda) pada Usahatani Padi Sawah dan Kakao, 2007 ... 230 Tabel 9.3. Nilai Ekonomi yang Diperoleh Penggarap Bagi Hasil dan

Buruh Bagi Hasil di Desa Tondo dan Desa Jono Oge -

Sulawesi Tengah, 2007 ... 232 Tabel 9.4. Perbandingan Konsep Amphibian dalam Dua Ranah

Keilmuan ... 233 Tabel 9.5. Sistem Ekonomi Boeke dalam Komunitas Petani (Sebuah

Perbandingan) ... 236 Tabel 9.6. Perbedaan Masyarkat dalam Rumusan Teori Ekonomi

Ganda Boeke ... 237 Tabel 9.7. Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Garis

Kemiskinan dan Tingkat Kesejahteraan, 2007... 244 Tabel 9.8. Distribusi Rumah Tangga Petani Berdasarkan Garis

Kemiskinan dan Pelapisan Petani dalam Penguasaan


(21)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Struktur Hubungan Sosial Kamunitas Petani dengan

Masyarakat Supra Lokal ... 22

Gambar 2.2. Transformasi Moda Produksi dan Struktur Agraria serta Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris dan Kesejahteraan Petani...54

Gambar 5.1. Perkembangan Pertanian Menetap di Desa Tondo, 2007 ... 82

Gambar 5.2. Perkembangan Pertanian Menetap di Desa Jono Oge, 2007... 82

Gambar 5.3. Perkembangan Pertanian Menetap di Desa Cot Baroh/Tunong, 2007 ... 83

Gambar 5.4. Perkembangan Pertanian Menetap di Desa Ulee Gunong, 2007 ... 83

Gambar 5.5. Peta Lokasi Pertanian Menetap di Desa Tondo dan Desa Jono Oge - Kabupaten Donggala - Sulawesi Tengah, 2007... 85

Gambar 5.6. Peta Lokasi Pertanian Menetap di Desa Cot Baroh/Tunong - Kabupaten Pidie – Nangroe Aceh Darussalam, 2007 ... 86

Gambar 5.7. Peta Lokasi Pertanian Menetap di Desa Ulee Gunong - Kabupaten Pidie – Nangroe Aceh Darussalam, 2007 ... 87

Gambar 5.8. Proporsi Rumahtangga Berdasarkan Jenis Tanaman yang Diusahakan, 2007 ... 97

Gambar 5.9. Proporsi Sumberdaya Agraria Berdasarkan Pemanfaatan, 2007 ... 100

Gambar 5.10. Perkembangan Asal Sumberdaya Agraria untuk Sistem Pertanian Menetap di Desa Tondo, 2007. ... 111

Gambar 5.11. Perkembangan Asal Sumberdaya Agraria untuk Sistem Pertanian Menetap di Desa Jono Oge ... 111

Gambar 5.12. Perkembangan Asal Sumberdaya Agraria untuk Sistem Pertanian Menetap di Desa Ulee Gunong, 2007 ... 112

Gambar 5.13. Perkembangan Asal Sumberdaya Agraria untuk Sistem Pertanian Menetap di Desa Jono Cot Baroh/Tunong, 2007 ... 112

Gambar 6.1. Status Hukum Sumberdaya Agraria Milik Petani, 2007 ... 121

Gambar 6.2. Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria di Desa Tondo, 2007... 124

Gambar 6.3. Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria di Desa Jono Oge, 2007 ... 124

Gambar 6.4. Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria di Desa Ule Gunong, 2007 ... 125

Gambar 6.5. Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria di Desa Cot Baroh/ Tunong, 2007 ... 125


(22)

Gambar 6.6. Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria Berdasarkan Jenis

Tanaman, 2007 ... 128 Gambar 6.7. Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria Berdasarkan Tingkat

Kesejahteraan Petani, 2007 ... 129 Gambar 6.8. Pola Hubungan Ssosial Produksi Terkait Penerapan

Teknologi Intensif, 2007 ... 153 Gambar 7.1. Struktur Sosial Masyarakat Agraris di Empat Desa Kasus,

2007. ... 166 Gambar 7.2. Perkembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Sulawesi

Tengah Berdasarkan Pola Pengembangan (ha) ... 180 Gambar 7.3. Perkembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Nangroe Aceh

Darussalam Berdasarkan Pola Pengembangan (ha), 2007 ... 181 Gambar 8.1. Struktur Penghasilan Petani di Empat Komunitas Petani

Kasus, 2007 ... 197 Gambar 8.2. Struktur Penghasilan Petani Berdasarkan Lapisan dalam

Penguasaan Sumberdaya Agraria, 2007 ... 200 Gambar 8.3. Struktur Penghasilan Petani Berdasarkan Tingkat

Kesejahteraan, 2007 ... 201 Gambar 8.4. Kaitan antara Tingkat Kesejahteraan Hasil Rekonstruksi

Masyarakat dan Ukuran Sajogyo, 2007. ... 204 Gambar 8.5. Rata-Rata Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga

Petani pada Berbagai Lapisan Kesejahteraan (per kapita

dalam juta), 2007 ... 206 Gambar 8.6. Rata-Rata Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga

Petani pada Berbagai Lapisan Penguasaan Sumberdaya

Agraria (Rp Juta), 2007. ... 207 Gambar 8.7. Rata-Rata Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga

Petani di Empat Komunitas Petani Kasus (Rp Juta), 2007 ... 208 Gambar 8.8. Distribusi Rumahtangga Berdasarkan Tingkat

Kesejahteraan di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 ... 210 Gambar 8.9. Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Pola

Penguasaan Sumberdaya Agraria dan Tingkat

Kesejahteraan di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 ... 211 Gambar 8.10. Dsitribusi Rumahtangga Berdasarkan Tingkat

Kesejahteraan dan Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria

Produktif di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 ... 212 Gambar 9.1. Proporsi Jumlah Rumahtangga Petani yang Terlibat dalam

Usahatani Kakao dan Padi Sawah di Tiga Desa Kasus,

2007 ... 220 Gambar 9.2. Strategi “Amphibian” dalam Praktek Moda Produksi di


(23)

Gambar 9.3. Peranan Usahatani Sawah dalam Menyerap Penggarap Bagi

Hasil di Tiga Komunitas Petani Kasus, 2007... 231 Gambar 9.4. Perkembangan Hubungan Sosial Produksi Sumberdaya

Agraria pada Tahap Pembangunan Kebun/Sawah, 2007 ... 240 Gambar 9.5. Perkembangan Hubungan Sosial Produksi Pada Tahap

Pengelolaan Sumberdaya Agraria Kebun/Sawah, 2007... 240 Gambar 9.6. Tangga Petani dalam Memperbaiki Status dari Buruh Tani

Menjadi Pemilik Luas, 2007 ... 241 Gambar 9.7. Pengeluaran/Kapita Rumahtangga Petani di Empat

Komunitas Petani Kasus, 2007 ... 243 Gambar 10.1. Transformasi Moda Produksi dan Struktur Agraria serta

Implikasinya Terhadap Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris dan Kesejahteraan dalam Komunitas Petani. (Berdasarkan


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.1. Luas Areal Perkebunan Komoditas Utama Tahun 2006 ... 266 Lampiran 1.2. Pola Pengembangan Perkebunan Rakyat ... 267 Lampiran 1.3. Perkembangan Luas Lahan Usahatani Kakao ... 268 Lampiran 5.1. Analisa Usahatani Sawah yang Umum Dilaksanakan

Petani (Teknologi Intensif) ... 269 Lampiran 5.2. Analisa Usahatani Padi Sawah (semi intensif)... 270 Lampiran 5.3. Analisa Usahatani Kakao dengan Teknologi Intensif

(Harapan) ... 271 Lampiran 5.4. Analisa Usahatani Kakao yang Umum Dilaksanakan

Petani (Tidak Intensif) ... 272 Lampiran 5.5. Analisa Usahatani Cengkeh dengan Teknologi Intensif

(Harapan) ... 273 Lampiran 5.7. Analisa Usahatani Kelapa dengan Teknologi Intensif

(Harapan) ... 275 Lampiran 5.8. Analisa Usahatani Kelapa yang Umum Dilaksanakan

Petani (Tidak Intensif) ... 276 Lampiran 5.9. Perkembangan Lahan Pertanian Padi Sawah di Desa

Cot Baroh/Tunong - Nangroe Aceh Darussalam ... 277 Lampiran 5.10. Perkembangan Lahan Pertanian Kakao di Desa Cot

Baroh/Tunong - Nangroe Aceh Darussalam ... 278 Lampiran 5.11. Perkembangan Lahan Pertanian di Desa Ulee Gunong -

Nangroe Aceh Darussalam ... 279 Lampiran 5.12. Luasan Plot Sumberdaya Agraria Milik Petani ... 280 Lampiran 5.13. Contoh Kasus Fragmentasi Sumberdaya Agraria Milik

Bapak Aklin di Desa Jono Oge ... 281 Lampiran 7.1. Uji T terhadap Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria ... 282 Lampiran 7.2. Daftar Anggota Kelompok Tani Pengusul Pembukaan

Lahan Baru ... 283 Lampiran 8.1. Hasil Analisa Beda Nyata Tingkat Kesejahteraan Petani

Berdasarkan Penerimaan dan Pengeluaran

Rumahtangga Petani Per Kapita... 284 Lampiran 8.2. Hasil Analisa Beda Nyata Lapisan Petani dalam

Pe-nguasaan Sumberdaya Agraria Berdasarkan Penerimaan

dan Pengeluaran Rumahtangga Petani Per Kapita ... 285 Lampiran 8.3. Hasil Analisa Beda Nyata Penerimaan dan Pengeluaran

Rumahtangga Petani Per Kapita pada Desa yang


(25)

Lampiran 8.4. Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Pola Penguasaan Sumberdaya Agraria dan Tingkat

Kesejahteraan di Desa Tondo... 293 Lampiran 8.5. Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Pola

Penguasaan Sumberdaya Agraria dan Tingkat

Kesejahteraan di Desa Jono Oge ... 293 Lampiran 8.6. Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Pola

Penguasaan Sumberdaya Agraria dan Tingkat

Kesejahteraan di Cot Baroh/Tunong ... 294 Lampiran 8.7. Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Pola

Penguasaan Sumberdaya Agraria dan Tingkat


(26)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkebunan kakao di Indonesia telah menjadi tumpuan masyarakat yang tinggal di pedesaan dalam “memenuhi kelangsungan hidup” (survival) dan “mem-buat kehidupan yang lebih baik” (a better living). Data Direktorat Jenderal Per-kebunan (2007) menunjukkan bahwa luas tanaman kakao menduduki posisi ke tiga setelah tanaman sawit dan karet (lampiran 1.1.). Tanaman tersebut dikem-bangkan melalui dua pendekatan, yaitu “perkebunan rakyat” yang diusahakan oleh entitas petani dan “perkebunan besar” yang diusahakan oleh entitas perusa-haan. Meskipun terdapat dua pendekatan, sebagian besar perkebunan kakao di Indonesia dikembangkan melalui pendekatan “perkebunan rakyat”. Pada tahun 2006, luas perkebunan kakao rakyat mencapai 1.219.633 hektar (92.3 persen dari total perkebunan kakao di Indonesia) dan jumlah petani yang mengusahakannya mencapai 1.237.119 rumah tangga (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007). Selain itu, sebagian besar (86,34 persen) perkebunan kakao rakyat dibangun oleh petani secara swadaya atau tanpa fasilitasi pihak lain (lampiran 1.2.)

Peranan tersebut akan semakin penting karena prospek pasar kakao masih terus meningkat dan sumberdaya agraria (lahan) yang dapat digunakan untuk mengusahakan tanaman kakao masih tersedia walaupun jumlahnya semakin berkurang. Hal ini ditunjukkan oleh terus bertambahnya luas sumberdaya agraria yang ditanami kakao dan jumlah petani yang mengusahakan tanaman kakao (Lampiran 1.3.). Oleh sebab itu, tanaman kakao bersama-sama dengan tanaman karet dan sawit masuk dalam program “revitalisasi perkebunan” 1.

Namun demikian, di sisi lain ternyata para petani kakao (perkebunan kakao rakyat) umumnya hanya menguasai lahan yang relatif sempit. Data Direktorat

1

Revitalisasi perkebunan merupakan program pemerintah yang berupaya mempercepat pengem-bangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan. Pelaksanaan program ini didukung adanya kredit investasi dan subsidi bunga oleh pemerintah serta dilibatkannya perusahaan perkebunan sebagai mitra pengembangan, khususnya dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran hasil. Melalui program ini petani mendapatkan kredit dengan bunga lunak (sebesar 10 %, dimana selisih antara bunga komersial dengan bunga kredit disubsidi pemerintah). Dalam kurun waktu empat tahun (2007-2010) Direktorat Jenderal Perkebunan mencanangkan program revitalisasi perkebunan seluas dua juta ha untuk tanaman kakao, karet, dan kelapa sawit (Dirjenbun, 2007).


(27)

Jenderal Perkebunan (2007) menunjukkan bahwa pada tahun 2006 ternyata rata-rata luas kebun kakao setiap rumahtangga petani hanya sebesar 0,98 hektar 2. Selain itu, para petani mengusahakan tanaman kakao dalam bentuk usaha keluarga (farm household) dan hasil produksi yang mereka peroleh umumnya untuk men-cukupi kebutuhan pokok (konsumsi) keluarga. Oleh sebab itu, meskipun produk yang dihasilkan petani kakao merupakan produk untuk diekspor (produk komer-sial/perdagangan), namun sangat mungkin mereka masih berada pada tingkat “hi-dup subsisten”, sehingga secara keseluruhan sebenarnya kehi“hi-dupan petani kakao hanya sejajar dengan “peasant” sebagaimana dikonsepkan Shanin (1990) atau

“smallholder” sebagaimana dikonsepkan Netting (1993).

Sebagai komoditas komersial, sebenarnya kakao yang diproduksi para peta-ni ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hilir yang berada di wilayah maju/pusat, bahkan sebagian besar berada di negara maju 3. Oleh sebab itu, di dalam komunitas petani kakao terjadi pertemuan antara kekuatan moda produksi kapitalis yang datang dan diarahkan dari luar (dari aras supra lokal atau wilayah pusat/negara maju/centre) dengan kekuatan moda produksi non-kapitalis yang sebelumnya sudah tumbuh berkembang dalam komunitas petani (aras lokal atau wilayah pinggiran/wilayah terbelakang/periphery).

Adanya perubahan penerapan moda produksi yang dipraktekkan oleh komu-nitas petani kakao akan mendorong perubahan realitas sosial lainnya, terutama realitas sosial yang proses perubahannya terkait erat dengan praktek moda pro-duksi seperti struktur agraria, struktur sosial masyarakat agraris serta kesejahte-raan dalam komunitas petani. Dugaan ini sangat mungkin terjadi karena menurut

2

Berkaitan dengan distribusi pemilikan kebun, sebagai contorh penelitian Fadjar dkk. (2006) pada Lima Desa di Kabupaten Pidie-Nangroe Aceh Darussalam menunjukkan bahwa proporsi petani kakao yang memiliki kebun kakao seluas 2 ha atau lebih sangat sedikit, yaitu hanya 11%. Padahal bila kebun tidak dipelihara secara intensif (produktivitas hanya 500 kg/ha/tahun), pendapatan dari 2 ha kebun kakao hanya cukup mencapai garis kemiskinan (untuk keluarga dengan jumlah anggota 5 orang). Sementara itu, sebagian besar petani lainnya hanya memiliki kebun kakao seluas 1 - < 2 ha (57%) dan kurang dari 1 ha (29%). Bahkan sebanyak 3% petani kakao tidak memiliki lahan atau hanya mengusahakan kebun milik petani lain. Sejalan dengan temuan tersebut, hasil penelitian D.H Penny di Desa Srihardjo (Sajogyo, 2002) mengungkapkan bahwa separuh penduduk di lapisan bawah yang tak cukup luas tanahnya masih “tergolong miskin”.

3

Pada tahun 2002 (Ditjenbun, 2003), sebanyak 78 % produksi kakao Indonesia diekspor (412.360 ton) ke berbagai negara maju seperti Amerika Serikat (40% dari total ekspor) dan negara-negara di Benua Eropa. Data Ditjenbun juga menunjukkan bahwa sebanyak 77 % dari kakao yang diekspor masih berupa bahan mentah (biji kakao).


(28)

Shanin (1990) dan Ray (2002) struktur sosial-ekonomi pedesaan bukan meru-pakan sesuatu yang stabil, dan timbulnya perubahan (tersebut) dapat dipengaruhi oleh terjadinya perubahan moda produksi.

Di Indonesia, fenomena munculnya perbedaan struktur sosial masyarakat agraris yang berkaitan dengan perbedaan penerapan moda produksi sudah banyak dikaji di daerah pedesaan Jawa. Hasil penelitian Soentoro (1980) dan Kano (1984) di daerah pedesaan Jawa menunjukkan bahwa penggunaan moda produksi yang relatif komersial (pada usahatani tebu) telah mendorong proses perubahan penguasaan sumberdaya agraria (lahan) yang mendorong terbentuknya masyara-kat agraris yang “terpolarisasi”. Sebaliknya, di daerah pedesaan Jawa lain yang hanya menggunakan moda produksi relatif subsisten (pada usahatani padi) ter-nyata proses perubahan penguasaan sumberdaya agraria mengarah ke bentuk masyarakat agraris yang “terstratifikasi”.

Sementara itu, di daerah pedesaan luar Jawa, penelitian serupa belum ba-nyak dilakukan. Penelitian serupa semakin perlu dilakukan di pedesaan luar Jawa mengingat : 1) Pada saat ini, para petani di luar Jawa mengembangkan usahatani dengan komposisi tanaman yang berbeda dibanding tanaman yang dikembangkan para petani di pedesaan Jawa, dan 2) Jumlah penduduk di luar Jawa terus mening-kat sedangkan luas sumberdaya agraria baru yang dapat digunakan masyaramening-kat pedesaan untuk lahan pertanian semakin berkurang sehingga perubahan struktur agraria dan struktur sosial masyarakat agraris dapat berlangsung lebih cepat.

1.2. Perumusan Masalah

Menurut Taylor, 1979 dan Schuurman dalam Ray (2002) umumnya moda produksi berubah dari moda produksi non-kapitalis (komunal) menuju moda produksi kapitalis (kelas). Akan tetapi, pada masyarakat kontemporer di belahan dunia bukan Barat, perubahan moda produksi yang terjadi tidak menghasilkan moda produksi kapitalis melainkan hanya mencapai moda produksi “transisional”. Sejalan dengan pendapat tersebut, perubahan moda produksi yang terjadi pada komunitas petani kakao yang juga berada di belahan dunia bukan Barat sangat mungkin belum mencapai moda produksi kapitalis tetapi baru mencapai moda produksi “transisional”. Realitas ini dapat terjadi karena laju kekuatan moda


(29)

produksi kapitalis mendapat hambatan dari lingkungan/kekuatan sosial spesifik lokal yang masih memberi jalan pada praktek moda produksi non-kapitalis yang sejak lama sudah diterapkan para petani.

Walaupun demikian, sejalan dengan pendapat Russel (1989) ternyata moda produksi transisional yang hadir dalam masyarakat kontemporer di belahan bukan barat tidak seragam. Secara lebih rinci ragam moda produksi transisional yang berpotensi hadir adalah seperti berikut: 1) beberapa moda produksi hadir secara bersamaan tetapi salah satu moda produksi “mendominasi” yang lainnya, 2) ter-dapat beberapa praktek moda produksi yang berbeda tetapi hadir secara “berdam-pingan”, 3) di antara bagian wilayah masyarakat terdapat praktek moda produksi yang berbeda, 4) terdapat moda produksi baru yang ciri-cirinya merupakan “gabungan” ciri-ciri dari lebih satu moda produksi

Pada saat moda produksi baru yang lebih kapitalis (moda produksi transisi-onal) semakin dominan, maka pada saat itu akan terjadi perubahan struktur agra-ria. Perubahan struktur agraria tersebut akan bergerak dari penguasaan kolektif

(collective ownship) menuju penguasaan perorangan (private ownship). Suatu perubahan dari “hak setiap orang” untuk memanfaatkan sumberdaya agraria men-jadi “hanya sebagian orang” yang berhak memanfaatkan sepenuhnya sumberdaya agraria sehingga terjadi ketidaksamaan akses petani dalam penguasaan sumber-daya agraria. Realitas tersebut kemudian akan memberi jalan pada proses diferen-siasi struktur sosial masyarakat agraris (struktur sosial-ekonomi). Sebagaimana di-kemukakan para pakar dan banyak hasil penelitian sebelumnya (Tabel 2.7.), seca-ra kontekstual akan muncul dua kemungkinan bentuk struktur sosial masyaseca-rakat agraris, yaitu stratifikasi (bertambah banyaknya lapisan masyarakat) dan polari-sasi (terkutubnya masyarakat dalam dua lapisan). Pada komunitas petani kakao, bentuk struktur mana yang akan muncul sangat tergantung pada hasil pertemuan antara moda produksi kapitalis yang diperkenalkan dari luar (aras supra lokal/-wilayah maju/center) dengan moda produksi non-kapitalis yang sebelumnya sudah lama berkembang dalam komunitas petani (aras lokal/wilayah pinggiran/

periphery) serta tergantung pada perubahan struktur agraria yang terjadi.

Lebih lanjut, transformasi struktur agraria yang diikuti oleh perubahan struktur sosial masyarakat agraris tersebut akan mendorong berlangsungnya


(30)

peru-bahan akses petani dalam memperoleh penghasilan dari sumberdaya agraria se-hingga kemudian terjadi perubahan kesejahteraan petani. Di satu pihak perubahan tersebut diharapkan akan berimplikasi pada meningkatnya peluang berusaha pe-tani sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Akan tetapi, di pihak lain, perubahan tersebut sangat mungkin berimplikasi pada munculnya diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani (terjadi ketimpangan kesejah-teraan), bahkan sangat potensisial memperburuk kondisi kesejahteraan keluarga petani.

Melalui proses polarisasi masyarakat agraris (berbasis penguasaan lahan), jumlah kaum tani yang terlepas atau kehilangan kontrol terhadap kekuatan pro-duksi sumberdaya agraria akan semakin banyak. Dalam posisi tersebut mereka hanya menjadi buruh tani yang kehidupannya sangat tergantung pada pihak lain yang memiliki kekuatan produksi sumberdaya agraria. Sementara itu, melalui pro-ses stratifikasi masyarakat agraris, meskipun tidak terjadi pengkutuban masya-rakat agraris (lapisan petani pemilik sumberdaya agraria yang kaya dan lapisan buruh tani yang miskin) tetapi melalui proses tersebut sangat potensial terjadi pemiskinan petani, baik melalui proses eksploitasi sendiri (self-exploitation) yang berlangsung dalam komunitas petani atau melalui eksplotasi yang dilakukan oleh aktor dari luar komunitas petani (aras supra-lokal) terhadap komunitas petani. Oleh sebab itu, bila kekuatan produksi sumberdaya agraria yang dikuasai petani tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimum (setara garis kemiskinan) ser-ta pengurangan lebih lanjut menimbulkan malnutrisi dan kematian dini, maka da-lam keluarga petani sedang terjadi “problema” 4 kesejahteraan.

Secara garis besar, pertanyaan utama yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah “bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria yang berlangsung di dalam komunitas petani kecil berbasis usahatani kakao berimplikasi terhadap diferensiasi sosial dan kesejahteraan dalam komu-nitas petani”. Secara lebih spesifik, dalam konteks adanya perubahan praktek moda produksi dari moda produksi non-kapitalis menuju moda produksi kapitalis

4 Dalam penelitian ini istilah “problema” kesejahteraan dimaknai sejalan dengan istilah “bencana

minimum” sebagaimana digunakan Scott (1989). Problema ini akan terjadi bila kekuasaan petani atas sumberdaya lahan tidak mampu memberikan penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (setara garis kemiskinan) sehingga pengurangan lebih lanjut akan menimbulkan malnutrisi dan kematian dini.


(31)

(penuh) namun potensial terhenti pada moda produksi transisional (moda produksi komersial) karena ditahan oleh realitas lingkungan atau kekuatan sosial spesifik, maka beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh penelitian ini adalah : 1) bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi memberi jalan pada transformasi struktur agraria ? 2) bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferen-siasi sosial masyarakat agraris: apakah menimbulkan gejala polarisasi atau stratifikasi sosial ?, 3) bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani : apakah pemerataan atau ketimpangan ?, serta 4) bagaimana dan sejauhmana realitas lingkungan/kekuatan sosial spesifik mengarahkan transformasi moda produksi dan struktur agraria serta mendorong terjadinya diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan dalam komunitas petani ?

Sebenarnya hasil penelitian Sitorus (2002) di komunitas petani kakao yang bermukim sekitar kawasan hutan di Sulawesi Tengah dapat memberikan jawaban atas sebagian pertanyaan tersebut. Hasil penelitian Sitorus menunjukkan bahwa perubahan moda produksi yang dijalankan petani kakao 5 telah medorong berlang-sungnya perubahan struktur agraria, dan perubahan tersebut menghasilkan bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi 6. Demikian halnya hasil penelitian Li (2002) pada komunitas petani masyarakat terasing 7 yang menempati dataran tinggi di Sulawesi Tengah menunjukkan adanya beragam mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang mendorong terjadinya struktur sosial masya-rakat agraris yang polarisasi.

5

Menurut Sitorus (2002) moda produksi petani berubah dari moda produksi susbsisten yang berlangsung pada usahatani padi menjadi moda produksi komersial yang berlangsung pada usahatani kakao.

6

Gejala polarisasi tersebut, menurut Sitorus (2002), ditunjukkan oleh meningkatnya posisi petani Bugis (penduduk pendatang), dari petani tidak memiliki tanah menjadi petani pemilik yang tanahnya semakin luas. Sebaliknya, posisi petani Kaili (penduduk lokal) semakin melemah, dari petani pemilik menjadi petani tak bertanah. Lebih lanjut, perubahan struktur agraria tersebut mengakibatkan kondisi semakin melemahnya jaminan kesejahteraan bagi petani Kaili. Oleh sebab itu, mereka mencari alternatif jaminan kesejahteraan dengan menanam kakao di “kawa-san hutan”.

7 Sebagaimana dikutip Li (2007), Departemen Sosial mendefiniskan masyarakat terasing sebagai

masyarakat yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, punya komitmen yang kuat terhadap kebiasan dan kepercayaan lokal, kekuarangan (minim) fasilitas kesehatan; perumahan; pakaian; pendidikandan trasportasi. Kemudian definisi tersebut oleh Li dilengkapi sebagai berikut : mempunyai ciri-ciri budaya yang unik, sebagian besar menempati hutan, pegunungan.


(32)

Akan tetapi, di pihak lain, banyak hasil penelitian seperti Shanin dalam Hashim (1988) serta Hayami dan Kikuchi (1987) yang mengungkapkan bahwa proses perubahan stuktur agraria yang terjadi pada komunitas petani (peasant) tidak menghasilkan bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi tetapi menghasilkan bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi. Hal ini di antaranya terjadi karena laju perkembangan moda produksi kapitalis pa-da kaum tani ditahan oleh berbagai relaitas lingkungan atau kekuatan sosial spe-sifik yang sebelumnya sudah tumbuh berkembang pada komunitas petani (pada aras lokal).

Berkaitan dengan masih adanya dua kemungkinan realitas yang berbeda tersebut, maka tidak tertutup kemungkinan bentuk perubahan struktur agraria dan perubahan struktur sosial masyarakat agraris komunitas petani yang akan diteliti berbeda dengan hasil penelitian Sitorus maupun Li jika realitas lingkungan atau kekuatan sosial spesifiknya berbeda. Lebih lanjut hal ini juga sangat mungkin akan menyebabkan perbedaan dalam peta kesejahteraan keluarga/komunitas petani. Pemikiran tersebut sejalan dengan pemikiran Teori Kritis (Guba dalam Denzin dan Lincoln, 2000) yang mengemukakan bahwa realitas sosial merupakan “realisme historis” atau merupakan kenyataan yang dibentuk oleh lingkungan spesifiknya, maka sangat mungkin adanya suatu realitas sosial yang berbeda bila lingkungan spesifik tersebut berbeda.

Dalam penelitian yang dilaksanakan Sitorus (2002) lingkungan spesifik komunitas petani kakao yang diteliti adalah : 1) berada dekat kawasan hutan yang relatif luas sehingga para petani mempunyai peluang memperluas kebun kakao ke wilayah hutan, dan 2) pada komunitas tersebut tidak pernah ada campur tangan (fasilitasi) program pemerintah dalam pengembangan kebun kakao rakyat, 3) anggota komunitas yang diteliti mempunyai latarbelakang etnis berbeda tetapi mereka berada dalam wilayah desa yang sama. Sementara itu, dalam penelitian yang dilaksanakan Li (2002) lingkungan spesifik komunitas petani kakao adalah : 1) sumber daya agraria yang dikuasai petani hanya ditanami kakao, 2) komunitas petani berada di wilayah ekosistem dataran tinggi, dan 3) komunitas petani lokal yang diteliti termasuk kelompok masyarakat yang relatif tertinggal.


(33)

Sementara itu, lingkungan komunitas petani kakao yang akan diteliti ber-beda dengan lingkungan komunitas petani kakao yang diteliti Sitorus maupun Li terutama dalam dua hal berikut. Pertama, di tiga komunitas petani kakao yang akan diteliti (dua komunitas di Sulawesi Tengah, dan satu komunitas di NAD), pemerintah pernah melakukan campur tangan (fasilitasi) melalui program pe-ngembangan perkebunan kakao bagi para petani8. Kedua, setiap komunitas petani (desa) yang diteliti hampir seluruhnya merupakan warga yang berasal dari satu etnis, sehingga perbandingan realitas sosial antar etnis dilakukan dengan memban-ding antar komunitas yang berada di desa yang berbeda. Ketiga, komunitas etnis lokal yang berada di Sulawesi Tengah merupakan komunitas desa yang sudah la-ma melakukan sistem pertanian menetap, bukan la-masyarakat terasing atau la- masya-rakat terpencil (menurut konsep Departemen Sosial) yang menjalankan praktek pertanian berpindah.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Secara garis besar, pertanyaan utama yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah “bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria yang berlangsung di dalam komunitas petani kecil berbasis usahatani kakao berimplikasi terhadap diferensiasi sosial dan kesejahteraan dalam komu-nitas petani”. Kemudian secara lebih spesifik, dalam konteks adanya transformasi praktek moda produksi dari moda produksi non-kapitalis menuju moda produksi kapitalis (penuh) namun terhenti pada moda produksi transisi (moda produksi komersial) karena ditahan oleh realitas lingkungan/ kekuatan sosial spesifik, maka beberapa pertanyaan lebih rinci yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana dan sejauhmana moda produksi kapitalis masuk ke dalam komu-nitas petani kakao yang sebelumnya telah mempraktekkan moda produksi non-kapitalis ?

8

Menurut Soentoro (1980), perbedaan pemanfaatan pelayanan pemerintah menyebabkan perbe-daan kesempatan memperoleh pendapatan yang lebih baik sehingga semakin merenggangkan golongan kaya dan miskin di pedesaan.


(34)

2. Bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi yang terjadi dalam komunitas petani kakao tersebut memberi jalan berlangsungnya transfor-masi struktur agraria,

3. Bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agra-ria berimplikasi terhadap diferensiasi sosial masyarakat agraris : apakah struktur sosial masyarakat agraris semakin terpolarisasi atau semakin ter-stratifikasi ?

4. Bagaimana transformasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi kesejahteraan petani : apakah dalam komunitas petani terjadi beragam status kesejahteraan petani ?

5. Lingkungan/kekuatan sosial spesifik apa saja yang secara konstekstual ber-peran mendorong transformasi moda produksi dan struktur agraria serta mendorong diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan dalam komunitas petani ?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah “menganalisis bagaimana dan sejauh-mana transformasi moda produksi dan struktur agraria yang berlangsung di dalam komunitas petani kecil berbasis usahatani kakao berimplikasi terhadap diferensiasi sosial dan kesejahteraan dalam komunitas petani”. Adapaun tujuan penelitian yang lebih rinci dirumuskan sebagai berikut :

1. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana moda produksi kapitalis masuk ke dalam komunitas petani kakao yang sebelumnya telah mempraktekkan mo-da produksi non-kapitalis

2. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi yang terjadi dalam komunitas petani kakao tersebut memberi jalan bagi berlang-sungnya perubahan struktur agraria,


(35)

3. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana transformasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi sosial masyarakat agraris: apakah struktur sosial masyarakat agraris dimaksud semakin terpolarisasi atau semakin terstratifikasi ?

4. Menganalisis bagaimana dan sejauhmana diferensiasi moda produksi dan struktur agraria berimplikasi terhadap diferensiasi kesejahteraan dalam ko-munitas petani,

5. Menganalisis lingkungan/kekuatan sosial spesifik apa saja yang secara konstektual berperan mendorong transformasi moda produksi dan struktur agraria serta mendorong diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejah-teraan komunitas petani ?

1.5. Kegunaan Penelitian

Secara umum, hasil studi ini diharapkan akan memberikan kontribusi bagi pengembangan pengetahuan “sosial-ekonomi pertanian pedesaan”, terutama pe-ngetahuan sosiologi pedesaan tentang “proses pertemuan antara transformasi kapi-talisme yang tercakup dalam pengembangan tanaman komersial perkebunan di pedesaan dengan realitas lingkungan/kekuatan sosial spesifik lokal yang sebelum-nya sudah berkembang dalam masyarakat serta implikasisebelum-nya terhadap perubahan struktur agraria (struktur sosial petani) serta terhadap diferensiasi sosial dan kesejahteraan petani berbasis sumberdaya lahan atau berbasis perkebunan kecil.

Berlandaskan pengetahuan tersebut, diharapkan proses perumusan kebijakan pembangunan pertanian pedesaan yang lebih cermat menjadi semakin mungkin diwujudkan. Lebih lanjut, hal tersebut akan mendukung berlangungnya proses perencanaan dan implementasi program pembangunan pertanian pedesaan yang lebih efektif dan lebih tepat sasaran. Ketersediaan data dan informsi tentang moda produksi, struktur agraria, serta diferensiasi sosial dan kesejahteraan komunitas petani yang lebih mendalam dan lebih lengkap diharapkan dapat menjadi landasan bertolak bagi pihak-pihak yang akan menjalankan peranan sebagai fasilitator dalam perumusan atau pelaksanaan program pembangunan komunitas petani. Dengan rumusan dan implementasi program secara akurat, diharapkan program tersebut tidak berdampak pada meningkatnya “kesenjangan” kesejahteraan di


(36)

antara keluarga petani (dalam komunitas) maupun antara komunitas petani (aras lokal) dengan pihak terkait lain (aras supra lokal) 9.

Secara khusus, data dan informasi tersebut dapat dijadikan landasan ber-tolak dalam merumuskan program reforma agraria10 dan program revitalisasi per-kebunan yang sama-sama mulai digulirkan tahun 2007. Kedua program tersebut perlu diletakkan dalam sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan dimana reforma agraria menjadi pembuka jalan bagi pekebun (terutama pekebun miskin) untuk menguasai sumberdaya agraria dan revitalisasi perkebunan sebagai supporting system yang memberikan jalan kepada para pekebun untuk menguasai permodal-an; teknologi dan input pertanian lainnya11.

9

Modernisasi pertanian dalam program “Revolusi Hijau” hanya memperbaiki nasib petani lapisan atas di desa, sedangkan petani gurem dan buruh tani belum terangkat arus pembangunan tersebut sehingga mereka tetap tertinggal (Sajogyo, 2002)

10

Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono, menyampaikan bahwa sejak tahun 2007 pemerintah akan menggulirkan program reforma agraria, yakni pendistribusian tanah untuk rakyat Dialokasikannya tanah bagi rakyat termiskin (yang berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah terlantar, tanah milik negara yang Hak Guna Usahanya habis, maupun tanah swapraja) dimaknai Presiden sebagai prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat (Kompas, 12 Januari 2007).

11 Berbagai studi menyimpulkan bahwa peningkatan produktifitas atau investasi kedalam sektor

agribisnis dalam struktur ekonomi pertanian yang timpang tidak dapat menghapuskan kemiskinan (Morales, 2001). Dilain pihak, kebijakan pertanahan yang hanya berorientasi teknis administratif yang sempit dan terisolir dari proses pembangunan lebih luas tidak dapat memperbaiki nasib petani miskin. Misalnya penetapan hak formal terhadap tanah (sertifikat) tidak akan membantu tanpa diletakkan di dalam kerangka supporlting system yang memberikan jalan pada petani miskin untuk menguasai infrastruktur dan input pertanian (Deininger & Binswanger, 2001)


(37)

BAB II

PENDEKATAN TEORI

2.1. Perkembangan Moda Produksi dan Petani 2.1.1. Perkembangan Moda Produksi

Secara umum, moda produksi merepresentasikan “cara” yang ditempuh masyarakat dalam melakukan proses produksi (ways of production) guna menye-diakan produk untuk memenuhi kebutuhan material (Shanin, 1990). Dengan de-mikian, moda produksi akan mempengaruhi keseluruhan ciri hidup sebuah masya-rakat 12 (Shanin, 1990). Secara khusus, Shanin (1990) dan Russel (1989) menje-laskan bahwa moda produksi terdiri dari : 1) kekuatan/daya produksi (force of production) yang akan mempengaruhi “produktivitas”, dan 2) hubungan sosial produksi (relation of production) yang akan membentuk posisi superior dan posisi sub-ordinat sehingga hubungan sosial tersebut akan membentuk struktur sosial dalam penguasaan kekuatan produksi. Selain itu, Shanin (1990) juga men-jelaskan bahwa antara kekuatan produksi dan hubungan sosial produksi saling tergantung (interdependence) 13.

Lebih lanjut, Russel (1989) menjelaskan bahwa kekuatan produksi terdiri dari : kekuatan tenaga kerja manusia (human labour power), kreativitas, ide, pengetahuan, dan motivasi serta peralatan, perlengkapan, bangunan, teknologi, ta-nah, dan energi. Dengan kata lain, secara ringkas kekuatan produksi merupakan basis materil yang terdiri dari “keterampilan pekerja” dan “alat produksi” (means of production). Sementara itu, hubungan sosial produksi terdiri dari

12 Berkaitan dengan kekuatan produksi yang akan mempengaruhi ciri hidup masyarakat, Shanin

(1990) mengemukakan bahwa pendekatan pemahaman moda produksi merupakan pendekatan yang baik dalam upaya menyusun tipologi masyarakat Bahkan secara tegas dikemukakan juga bahwa penyusunan tipologi masyarakat berdasarkan pendekatan pemahaman teknologi (seperti teknik agronomi) dan/atau kebudayaan merupakan langkah yang salah arah (misleading).

13

Mosher (1976), Hayami dan Kikuchi (1987), serta Temple (1976) memberikan contoh bagai-mana hubungan antara kekuatan produksi yang diwakili oleh teknologi dengan perubahan hubungan produksi dalam proses produksi pertanian. Bila seorang petani merubah penggunaan teknologi dari teknologi padat kerja menjadi teknologi padat modal (misalnya penggunaan mesin-mesin pertanian), maka hubungan sosial dan ketergantungan petani dengan buruh semakin lemah sedangkan hubungan sosial dan ketergantungan petani dengan pihak yang menguasai mesin semakin kuat. Akibatnya, ketergantungan petani terhadap kekuatan ekonomi dari pihak luar komunitas (aras makro) semakin besar sedangkan keterikatan petani untuk memenuhi kewajiban tradisional dalam komunitas (aras mikro) semakin memudar.


(38)

bungan antara satu aktor dengan aktor lainnya. Hubungan sosial tersebut men-cakup : pemilikan (property), hubungan kekuasaan (power) dan pengawasan (control) dalam penguasaan aset produktif masyarakat, hubungan kerja bersama (cooperative work relation) serta hubungan antar kelas masyarakat

Dengan acuan utama pada hubungan sosial dalam produksi, Russel (1989) mengemukakan adanya tiga tipe moda produksi yang berbeda, yaitu : 1. tipe egalitarian, 2. tipe kelas, dan 3. tipe transisi (Tabel 2.1). Pada tipe egalitarian ciri utama yang menonjol adalah hubungan sosial produksi masih setara, sedangkan pada tipe kelas ciri utama yang menonjol adalah hubungan sosial produksi ber-sifat eksploitatif. Sementara itu, pada tipe transisi meskipun hubungan sosial pro-duksi mulai tidak setara tetapi belum menunjukkan sifat hubungan yang eks-ploitatif.

Tabel 2.1. Tipe-tipe Moda Produksi

1. Tipe Egalitarian (Egalitarian Types) 1.1. Komunal

(Communal)

Disusun oleh kekuatan yang masih dasar dan hubungan produksi egalitarian yang sederhana

1.2. Komunis (Communist)

Disusun oleh kekuatan yang maju dan hubungan produksi egalitarian yang komplek

2. Tipe Kelas (Class Types) 2.1. Negara

(State)

Didasarkan pada aturan negara yang menerapkan pajak secara eksploitatif dan upeti dari masyarakat (rest society)

2.2. Budak

(Slave)

Didasarkan pada pemilik budak yang mengeksploitasi tenaga kerja budak

2.3. Feodal

(Feudal)

Didasarkan pada tuan tanah yang mengeksploitasi sewa dari para petani (peasant)

2.4. Kapitalis

(Capitalist)

Didasarkan atas pemilik kapitalis yang mengeksploitasi nilai surplus dari pekerja

3. Tipe Transisi (Transitional Types) 3.1. Petani Bebas

(Independent peasant)

Berdasarkan rumahtangga yang otonom, terisolasi atau dikelompokkan di desa, memiliki lahan sendiri

3.2. Pemilikan

sederhana (Simple Property)

Berdasarkan atas rumahtangga dengan pemilikan alat produksi yang tidak setara (unequal means of production) dalam hal lahan dan ternak, tetapi hubungan sosial produksi tidak mempekerja kan atau mengeksploitasi aktor lain

3.3. Sosialist

(Socialist)

Berdsarkan pemilikan oleh negara atas alat-lat produksi penting dan bermaksud mengejar keadilan sosial Sumber : Russel (1989)


(39)

Moda produksi egalitarian (komunal) terutama berkembang dalam masa berburu dan meramu. Moda produksi tersebut mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Russel, 1989) : 1) kekusaan setara pada seluruh area produksi dalam komunitas, 2) anggota komunitas berperan sebagai tenaga kerja kooperatif dan mereka memi-liki posisi yang setara sehingga perbedaan dalam kerja hanya terjadi karena perbe-daan usia tenaga kerja, 3) penguasaan alat produksi sama untuk semua anggota komunitas, dan 4) anggota komunitas menerima pangan dan kebutuhan lain dengan jumlah yang sama.

Dalam perjalannya, penerapan moda produksi komunal kemudian semakin melemah. Hal ini terjadi karena tumbuhnya ”ketidaksetaraan”, terutama dalam : 1) partisipasi kerja, 2) kontrol terhadap alat produksi, dan 3) konsumsi. Namun demikian, adanya beragam ketidaksetaraan tersebut tidak merupakan kondisi yang cukup untuk melahirkan moda produksi kelas karena sebagaimana dikemukakan Russel (1989) perlu ditambah dengan berlangsungnya ”hubungan produksi yang eksploitatif” 14. Dengan kata lain, tumbuhnya ketidaksetaraan hanya dapat melahirkan moda produksi ”transisional”, yaitu moda produksi yang sudah meninggalkan moda produksi komunal tetapi belum sepenuhnya berlandaskan moda produksi kelas. Selain timbulnya ketidaksetaraan, tumbuhnya proses pro-duksi yang berorientasi pasar juga menumbuhkan kondisi yang membawa pada situasi semakin menurunnya moda produksi komunal (Russel, 1989).

Berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat yang menjalankan moda produksi komunal maupun transisi, pada masyarakat yang menjalankan moda produksi kelas ketidaksetaraan kekuasaan akan muncul pada seluruh aspek kehidupan (Russel, 1989). Pengembangan moda produksi kapital akan mendorong akumulasi kapital; rasionalisasi produksi; dan industri. Proses tersebut kemudian akan menyebabkan disintegrasi dan hilangnya usaha skala kecil karena kalah

14 Menurut Marx dalam Russel (1989), eksploitasi merupakan suatu proses dimana kelas dominan

menghisap surplus tenaga kerja yang berada pada posisi sub-ordinat untuk kepentingan kelas dominan. Penghisapan surplus pada petani seringkali dilakukan melalui penetapan harga output yang murah bersamaan dengan penetapan harga input dan harga kebutuhan sehari-hari yang mahal. Namun demikian, pada komunitas petani, sebagaimana dikemukakan Scott (1989), cara penentuan apakah suatu hubungan produksi termasuk eksploitatif atau tidak eksploitatif relatif sulit. Misalnya pungutan-pungutan yang jumlahnya relatif besar tetapi tidak mengganggu stabilitas subsistensi petani akan dianggap mereka sebagai “tidak eksploitatif”. Sebailknya, pungutan yang relatif kecil tetapi mengganggu stabilitas subsistensi petani akan dianggap mereka sebagai “eksploitatif”.


(40)

bersaing dengan usaha besar. Marx dalam Bendix dan Lipset (1966) menjelaskan bahwa tendensi yang muncul pada moda produksi kapitalis adalah terpisahnya alat produksi (means of production) dari tenaga kerja. Dalam situasi ini akan terjadi transformasi tenaga kerja menuju tenaga kerja upahan (wage-labor) dan trans-formasi alat produksi menuju modal (capital). Kemudian kecenderungan ini juga akan mendorong pemisahan tanah milik (land property) dari modal dan tenaga kerja. Selain itu, Marx dalam Russel (1989) menjelaskan bahwa dalam moda pro-duksi kelas, suatu kelas 15 (minoritas) yang memiliki hak-hak istimewa (privileged class) akan menguasi atau mengontrol alat produksi penting serta akan meng-eksploitasi tenaga kerja. Dalam hal ini meng-eksploitasi dilakukan para minoritas de-ngan cara membayar buruh kurang dari nilai murni barang-barang yang dipro-duksi sehingga mereka dapat memaksa kelas pekerja berada dalam posisi sub-ordinat dan tergantung.

Meskipun secara umum perkembangan moda produksi kapitalis atau kelas semakin menguat dan meluas, tetapi pada masyarakat kontemporer (khususnya pada belahan dunia bukan Barat) seringkali beroperasi lebih dari satu moda pro-duksi atau suatu moda propro-duksi yang merupakan kombinasi antara moda propro-duksi kapitalis dan non kapitalis (Taylor, 1979, dan Schuurman dalam Ray, 2002). Se-cara lebih rinci, ragam moda produksi yang berpotensi hadir pada masya-rakat kontemporer adalah seperti berikut (Russel, 1989): 1) hadir beberapa mo-da produksi secara bersamaan tetapi salah satu momo-da produksi mendominasi yang lainnya, 2) terdapat beberapa praktek moda produksi yang berbeda tetapi hadir secara berdampingan, 3) di antara bagian wilayah masyarakat terdapat praktek moda produksi yang berbeda, 4) terdapat moda produksi baru yang ciri-cirinya merupakan gabungan ciri-ciri dari lebih satu moda produksi.

Lebih lanjut Schuurman dalam Ray (2002), menjelaskan bahwa munculnya beragam moda produksi terjadi karena : 1) kehadiran moda produksi kelas (kapi-talis) tidak dapat dihalangi dan semakin kuat, dan 2) keberadaan moda produksi non kapitalis masih tetap diperlukan untuk mempertahankan keberlanjutan

15

Kelas sosial dalam terminologi Marx merupakan kumpulan (agregate) orang-orang yang melakukan fungsi sama dalam sebuah organisasi produksi. Kelas-kelas tersebut dibedakan antara yang satu dengan lainnya oleh perbedaan posisi ekonomi (Marx dalam Bendix dan Lipset, 1966).


(1)

290

C Total

Tukey HSD Tondo Jono Oge -801973,333 2310390,272 ,986 -5385964,21 3782017,54

Ulee Gunong -3065008,333 2310390,272 ,548 -7648999,21 1518982,54

Cot Baroh/Tunong -4818260,920(*) 2330222,312 ,170 -9441600,08 -194921,76

Jono Oge Tondo 801973,333 2310390,272 ,986 -3782017,54 5385964,21

Ulee Gunong -2263035,000 2310390,272 ,761 -6847025,88 2320955,88

Cot Baroh/Tunong -4016287,586 2330222,312 ,316 -8639626,75 607051,57

Ulee Gunong Tondo 3065008,333 2310390,272 ,548 -1518982,54 7648999,21

Jono Oge 2263035,000 2310390,272 ,761 -2320955,88 6847025,88

Cot Baroh/Tunong -1753252,586 2330222,312 ,875 -6376591,75 2870086,57

Cot Baroh/Tunong Tondo 4818260,920(*) 2330222,312 ,170 194921,76 9441600,08

Jono Oge 4016287,586 2330222,312 ,316 -607051,57 8639626,75

Ulee Gunong 1753252,586 2330222,312 ,875 -2870086,57 6376591,75

LSD Tondo Jono Oge -801973,333 2310390,272 ,729 -3779965,91 2176019,25

Ulee Gunong -3065008,333(*) 2310390,272 ,187 -6043000,91 -87015,75

Cot Baroh/Tunong -4818260,920(*) 2330222,312 ,041 -7821816,14 -1814705,70

Jono Oge Tondo 801973,333 2310390,272 ,729 -2176019,25 3779965,91

Ulee Gunong -2263035,000 2310390,272 ,329 -5241027,58 714957,58

Cot Baroh/Tunong -4016287,586(*) 2330222,312 ,087 -7019842,80 -1012732,37

Ulee Gunong Tondo 3065008,333(*) 2310390,272 ,187 87015,75 6043000,91

Jono Oge 2263035,000 2310390,272 ,329 -714957,58 5241027,58

Cot Baroh/Tunong -1753252,586 2330222,312 ,453 -4756807,80 1250302,63

Cot Baroh/Tunong Tondo 4818260,920(*) 2330222,312 ,041 1814705,70 7821816,14

Jono Oge 4016287,586(*) 2330222,312 ,087 1012732,37 7019842,80


(2)

Y per capita

Tukey HSD Tondo Jono Oge -3534949,786 2689659,761 ,556 -8871440,32 1801540,74

Ulee Gunong -1286690,225 2689659,761 ,964 -6623180,76 4049800,31

Cot Baroh/Tunong -1085922,986 2712747,392 ,978 -6468221,14 4296375,17

Jono Oge Tondo 3534949,786 2689659,761 ,556 -1801540,74 8871440,32

Ulee Gunong 2248259,561 2689659,761 ,837 -3088230,97 7584750,09

Cot Baroh/Tunong 2449026,800 2712747,392 ,803 -2933271,36 7831324,96

Ulee Gunong Tondo 1286690,225 2689659,761 ,964 -4049800,31 6623180,76

Jono Oge -2248259,561 2689659,761 ,837 -7584750,09 3088230,97

Cot Baroh/Tunong 200767,239 2712747,392 1,000 -5181530,92 5583065,40

Cot Baroh/Tunong Tondo 1085922,986 2712747,392 ,978 -4296375,17 6468221,14

Jono Oge -2449026,800 2712747,392 ,803 -7831324,96 2933271,36

Ulee Gunong -200767,239 2712747,392 1,000 -5583065,40 5181530,92

LSD Tondo Jono Oge -3534949,786(*) 2689659,761 ,191 -7001804,24 -68095,33

Ulee Gunong -1286690,225 2689659,761 ,633 -4753544,68 2180164,23

Cot Baroh/Tunong -1085922,986 2712747,392 ,690 -4582536,40 2410690,43

Jono Oge Tondo 3534949,786(*) 2689659,761 ,191 68095,33 7001804,24

Ulee Gunong 2248259,561 2689659,761 ,405 -1218594,90 5715114,02

Cot Baroh/Tunong 2449026,800 2712747,392 ,369 -1047586,61 5945640,21

Ulee Gunong Tondo 1286690,225 2689659,761 ,633 -2180164,23 4753544,68

Jono Oge -2248259,561 2689659,761 ,405 -5715114,02 1218594,90

Cot Baroh/Tunong 200767,239 2712747,392 ,941 -3295846,17 3697380,65

Cot Baroh/Tunong Tondo 1085922,986 2712747,392 ,690 -2410690,43 4582536,40

Jono Oge -2449026,800 2712747,392 ,369 -5945640,21 1047586,61


(3)

292

C per capita

Tukey HSD Tondo Jono Oge -7649,315 393620,061 1,000 -788621,60 773322,97

Ulee Gunong -413561,058 393620,061 ,720 -1194533,34 367411,23

Cot Baroh/Tunong -769721,505 396998,836 ,218 -1557397,54 17954,53

Jono Oge Tondo 7649,315 393620,061 1,000 -773322,97 788621,60

Ulee Gunong -405911,744 393620,061 ,732 -1186884,03 375060,54

Cot Baroh/Tunong -762072,190 396998,836 ,226 -1549748,22 25603,84

Ulee Gunong Tondo 413561,058 393620,061 ,720 -367411,23 1194533,34

Jono Oge 405911,744 393620,061 ,732 -375060,54 1186884,03

Cot Baroh/Tunong -356160,447 396998,836 ,806 -1143836,48 431515,59

Cot Baroh/Tunong Tondo 769721,505 396998,836 ,218 -17954,53 1557397,54

Jono Oge 762072,190 396998,836 ,226 -25603,84 1549748,22

Ulee Gunong 356160,447 396998,836 ,806 -431515,59 1143836,48

LSD Tondo Jono Oge -7649,315 393620,061 ,985 -515008,45 499709,83

Ulee Gunong -413561,058 393620,061 ,296 -920920,20 93798,08

Cot Baroh/Tunong -769721,505(*) 396998,836 ,055 -1281435,74 -258007,27

Jono Oge Tondo 7649,315 393620,061 ,985 -499709,83 515008,45

Ulee Gunong -405911,744 393620,061 ,305 -913270,88 101447,40

Cot Baroh/Tunong -762072,190(*) 396998,836 ,057 -1273786,42 -250357,96

Ulee Gunong Tondo 413561,058 393620,061 ,296 -93798,08 920920,20

Jono Oge 405911,744 393620,061 ,305 -101447,40 913270,88

Cot Baroh/Tunong -356160,447 396998,836 ,372 -867874,68 155553,79

Cot Baroh/Tunong Tondo 769721,505(*) 396998,836 ,055 258007,27 1281435,74

Jono Oge 762072,190(*) 396998,836 ,057 250357,96 1273786,42

Ulee Gunong 356160,447 396998,836 ,372 -155553,79 867874,68


(4)

Lampiran 8.4.

Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Pola Penguasaan

Sumberdaya Agraria dan Tingkat Kesejahteraan di Desa

Tondo

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

pemilik

pemilik+ pengga

rap pemi lik+pe ngga rap+B T pemilik+

BT peng

garap pengga

rap+B T BT

kaya sedang miskin

Lampiran 8.5.

Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Pola Penguasaan

Sumberdaya Agraria dan Tingkat Kesejahteraan di Desa Jono

Oge

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% pemilik pemilik+ pengga rap pemilik +peng garap+ BT pemilik +BT pengg arap pengg arap+B T BT kaya sedang miskin


(5)

294

Lampiran 8.6.

Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Pola Penguasaan

Sumberdaya Agraria dan Tingkat Kesejahteraan di Cot

Baroh/Tunong

0% 20% 40% 60% 80% 100%

pemilik

pemil ik+pe

ngga rap

pemilik+ pengga

rap+B T pemil ik+BT peng garap peng garap

+BT BT

kaya sedang miskin

Lampiran 8.7.

Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Pola Penguasaan

Sumberdaya Agraria dan Tingkat Kesejahteraan di Desa Ulee

Gunong

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% pemi lik pemi lik+pe

nggarap

pemilik+ peng garap +BT pemi lik+BT peng garap

+BT BT

kaya sedang miskin


(6)

ABSTRACT

UNDANG FAJAR. Agrarian Structure Transformation and Social Differentiation

on Peasant Community (Case Study on Four Cocoa Farmer Communities in

Central Sulawesi and Nangroe Aceh Darussalam). Supervised by M.T. FELIX

SITORUS, ARYA H. DHARMAWAN, SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO

This research analyses about how and how far the transformation of mode of

production and agrarian structure within cacao-base peasant community imply to social

differentiation and welfare status of the farmers”. The research uses a “multiple case

study” approach in four cacao peasant communities, i.e.: two communities in Central

Sulawesi and the other two in Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). The result shows that

capitalism enters the communities by ‘permeating’ (not eliminating) through various new

activities, and then produced a ‘transitional’ mode of production. In this case, farmers in

those four communities operate in several but different, yet simultanously, mode of

productions, i.e.: elements of non-capitalistic mode of production, elements of capitalistic

mode of production, and elements of a combination between capitalist and non-capitalist

mode of production. In addition, the farmers have been practicing those mode of

productions with an “amphibian” strategy. This

changing mode of production has paved

a way for a transformation process of agrarian structure, which is from collective

ownership to individual ownership. Nevertheless, a persistence of moral-traditional social

relation of production (particularly takes form as ‘temporary holding’), has resulted a

social differentiation in peasant community that is called as ‘unequal-stratification’ of an

agrarian social structure. This social structure is differentiated in many layers, from a

single status layer (land owner, tiller, and labor) to combination of layers (of those three

statuses). Moreover, this emerging social structure is also accompanied by a further

inequality in agrarian resource ownership. Along with such social differentiation, a

differentiation in farmers’ welfare also occurs, which is signified by the emerging layer of

wealthy, medium and poor farmers. This research also demonstrates that farmers with

different ethnicity background possess relatively equal capacity in resisting the influence

of capitalism. In this case, what happens is a formation of commodity - driven relation of

production, not ethnics - driven relation of production.

Key words: mode of production, agrarian structure, social structure, welfare, peasant,

cocoa.