Profil Dua Komunitas Petani di Kabupaten Donggala – Sulawesi Tengah

69

BAB IV PROFIL EMPAT KOMUNITAS PETANI KASUS

4.1. Profil Dua Komunitas Petani di Kabupaten Donggala – Sulawesi Tengah

4.1.1. Komunitas Petani di Desa Tondo : Kaili – Lokal

Wilayah Desa Tondo merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Sirenja. Sebelum Indonesia merdeka, wilayah yang sekarang bernama Kecamatan Sirenja merupakan bagian dari Kerjaan Tawaili yang ibu kotanya terletak di Palu Utara. Pada zaman penjajahan Belanda kerajaan Tawaili merupakan bagian dari wilayah kekuasaan seorang Gubernur Jenderal Belanda Dr. Andreas yang berkeduduk- an di Donggala. Di wilayah Donggala terdapat dua kerajaan, yaitu Tawaili dan Benawa. Kerajaan Tawaili mencakup wilayah Pantai Barat sampai dengan Toli- Toli. Sebelum menggunakan istilah kecamatan, wilayah Sirenja disebut distrik dan sebelum menggunakan istilah distrik sebelum merdekazaman kerajaan disebut swaprajamagan. Pada saat itu, distrik Sirenja merupakan bagian dari wilayah Kewedanaan Donggala. Berdasarkan pengetahuan para informan yang terdiri dari para tetua desa, Pada awal tahun 1900, Raja Tawaili mengutus seseorang yang bernama Madusila untuk mengembangkanmengatur masyarakat yang tinggal di wilayah Tawaili Utara yang dikenal dengan nama Sirenja. Beberapa kampung asli di wilayah ter- sebut adalah kampung Tondo, Tanjung Pandang, Boya, Sipi, Tompe, dan Lende. Sejak ditetapkannya Undang - Undang Pemerintahan Desa Nomor 5 Tahun 1979, wilayah kampung-kampung tersebut berubah menjadi wilayah sebuah desa, dan saat ini wilayah Sirenja telah berkembang menjadi 17 desa. Menurut masyarakat yang saat ini tinggal di Desa Tondo, masyarakat asli di Desa Tondo dan juga di desa-desa lain di wilayah Kecamatan Sirenja adalah masyarakat yang biasanya disebut sebagai Orang Kaili. Menurut Sabri 1992, suku ini merupakan suku terbesar di wilayah Kabupaten Donggala. Meskipun masyarakat yang disebut Orang Kaili merupakan masyarakat lokal bukan pendatang tetapi mereka tidak termasuk dalam kategori masyarakat atau suku 70 terasing 46 . Di wilayah Desa Tondo dahulunya terdapat suku terasing yang oleh masyarakat Kaili disebut sebagai “orang hutan” atau “orang liar” dan seringkali disebut sebagai orang ”To Lare ” atau orang “Tajio” Mengingat suku terasing tersebut sampai sekarang masih menerapkan sis- tem pertanian ladang berpindah, maka mereka terus berpindah semakin ke arah pedalaman pegunungan. Mereka tidak kembali ke lokasi awal karena terdesak oleh Orang Kaili dan para pendatang lainnya yang menerapkan pertanian mene- tap. Saat ini tempat tinggal suku Tajio berada di wilayah pegunungan yang bernama Sidunggo, Wenepuntu, dan Sibugabuga semakin jauh dari desa Tondo menuju arah hutan. Pada tahun 80 an mereka pindah dari kampung Welente ke kampung Pura karena di wilayah Welente akan dibangun perkebunan, kemudian pada tahun 2000 mereka meninggalkan Pura menuju lokasi sekarang karena di wilayah tersebut semakin banyak pendatang yang mengusahakan kebun coklat. Bahkan, pada saat penelitian berlangsung kampung Pura sedang dipersiapkan menjadi desa sendiri. Selain penduduk asli yang berlatar belakangbelakang etnis Kaili, di desa Tondo juga terdapat pendatang spontan yang tidak berlatarbelakang etnis Kaili. Para pendatang tersebut terutama berasal dari Gorontalo. Mereka sudah datang sejak di wilayah ini dikembangkan tanaman cengkeh, dan mereka umumnya merupakan perintis pengembangan tanaman cengkeh di desa ini, baik sebagai petani pemilik, penggarap, maupun buruh tani. Seluruh etnis Kaili yang tinggal di desa Tondo beragama Islam. Penyebar agama Islam di wilayah desa Tondo dan di seluruh wilayah kecamatan Sirenja bernama “Bula Ngisi” yang berasal dari Makasar. Pada awalnya, untuk seluruh wilayah Kecamatan Sirenja yang mempunyai lima kampung hanya terdapat sebu- ah mesjid, yaitu mesjid yang terletak di Desa Tompe. Akan tetapi, saat ini di selu- ruh desa di wilayah Kecamatan Sirenja sudah terdapat mesjid. Sebelum memeluk agama Islam, orang Kaili di wilayah Kecamatan Sirenja merupakan pemeluk animisme. 46 Sebagaimana dikutip Li 2007, Departemen Sosial mendefiniskan masyarakat terasing sebagai masyarakat yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, punya komitmen yang kuat terhadap kebiasan dan kepercayaan lokal, kekuarangan minim fasilitas kesehatan; perumahan; pakaian; pendidikandan transportasi. 71 Desa Tondo terus berkembang, sehingga pada tahun 1984 desa ini dimekar- kan menjadi dua desa, yaitu Desa Tondo dan Desa Ombo. Ditinjau dari jumlah rumah tangga, Desa Tondo tergolong desa yang relatif besar sehingga desa ter- sebut terbagi menjadi 3 tiga dusun, yaitu : Dusun I mempunyai warga sebanyak 315 KK, Dusun II mempunyai warga sebanyak 225 KK, dan Dusun III mem- punyai warga sebanyak 175 KK. Hamparan Dusun I dan Dusun II bersam- bungan, sedangkan Dusun III terpisah sekitar 1-2 km. Warga komunitas tinggal berdekatan tanpa halaman yang luas dan terkonsentrasi di setiap dusun. Dalam waktu dekat, desa ini akan dimekarkan menjadi 2 desa dimana Dusun I akan menjadi desa baru. Hasil sensus semua rumahtangga menunjukkan bahwa rata- rata anggota rumahtangga di dalam komunitas ini adalah 4,1 orang, sedangkan rata-rata usia kepala keluarga adalah 45 tahun. Pusat pemerintahan Desa Tondo berada di Dusun II yang dilalui jalan raya antar kabupaten dan merupakan lokasi pasar mingguan. Saat ini, Desa Tondo dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang berasal dan tinggal di Dusun III serta merupakan keturunan campuran Etnis Kaili dan Etnis Bugis. Kejadian tersebut meruapakan yang pertama kali, karena selama ini Kepala Desa Tondo selalu berasal dari Dusun I atau Dusun II dan selalu orang Kaili. Secara umum, Desa Tondo merupakan desa yang memiliki sarana trans- portasi cukup baik. Desa ini Dusun I dan Dusun II dilalui jalan raya beraspal yang menghubungkan kota Palu dengan kota-kota kecamatan di wilayah pesisir Barat Sulawesi Tengah. Oleh sebab itu, setiap hari tersedia kendaraan umum yang dapat membawa masyarakat menuju kot Palu. Namun demikian, lokasi Dusun III agak jauh ke dalam sekitar 2 km dari pusat desa atau jalan raya antar kabupaten. Oleh sebab itu, bila warga Dusun III akan naik kendaraan umum roda empat maka mereka terlebih dahulu harus berjalan atau naik ojek menuju Dusun II. Ditinjau dari sumber mata pencaharian penduduknya, terdapat perbedaan antara dusun yang satu dengan yang lainnya. Penduduk yang memiliki mata pen- caharian petani umumnya tinggal di Dusun III dan Dusun II. Kemudian, penduduk yang bermata pencaharian sebagai pegawai umumnya tinggal di Dusun II. Sementara itu, sebagian besar penduduk di Dusun I bermata pencaharian sebagai nelayan di laut. Untuk memperluas sumber mata pencaharian, sejak tahun 72 60 an sudah ada penduduk Desa Tondo yang bermigrasi ke luar pulau terutama Kalimantan atau ke negara lain Malaysia. Pada saat ini, penduduk Desa Tondo yang bermigrasi ke Malaysia TawaoSandakan sekitar 30 KK.

4.1.2. Komunitas Petani di Desa Jono Oge: Bugis – Pendatang

Sebagaimana halnya Desa Tondo, Desa Jono Oge berada di wilayah Keca- matan Sirenja. Desa Jono Oge berawal dari sebuah kampung yang dikembangkan oleh para pendatang dari Sulawesi Selatan orang Bugis. Kampung Jono Oge tumbuh berkembang diantara kampung lain yang dihuni penduduk lokal, yaitu kampung Tondo di sebelah utara dan kampung Sipi di sebelah selatan. Meskipun merupakan pemukiman para pendatang, namun sejak awal sampai saat ini masya- rakat Jono Oge dapat hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat kampungdesa lain yang penduduknya berlatarbelakang etnis lokal etnis Kaili. Para petani dari Sulawesi Selatan datang di wilayah kampung Jono Oge secara spontan tanpa bantuan program pemerintah 47 . Pada umumnya mereka datang dengan tujuan memperbaiki kesejahteraan keluarga dengan membangun sumber matapencaharian baru. Para pendatang miskin umumnya memulai kehi- dupan baru dengan bekerja pada petani lain, baik di sawah maupun di kebun. Kemudian mereka membangun kebun sendiri dengan cara mengganti rugi lahan milik petani lokal atau membuka hutan baru. Sementara itu, para petani sedang dan kaya umumnya langsung membangun kebun sendiri dengan cara mengganti rugi lahan petani lokal. Sebagaimana diakui warga Kaili baik oleh warga biasa maupun para elit desa, para pendatang Bugis mampu bekerja keras dan ulet 48 . Hal tersebut ditunjukkan dalam hal pengelolaan sawah dan kebun. Oleh sebab itu, umumnya orang Bugis lebih sejahtera dibanding orang Kaili. 47 Ruf dan Yoddang 2004 mengemukakan bahwa para migran Bugis dapat berkembang cepat karena mereka umumnya bermigrasi mengikuti ikatan komunal yang kuat, yaitu melalui jaringan kekerabatan danatau jaringan ketetanggaan di antara warga satu desa. Para kerabat atau para tetangga tersebut selain berperan sebagai sumber informasi juga berperan sebagai sumber pemberi bantuan ketika para migran spontan harus mengumpulkan modal finansial dan mencari lahan baru. Bahkan di antara para petani Bugis tersebut ada yang bertindak sebagai penyedia modal finansial dengan imbalan kebun kakao melalui mekanisme “sistem bagi kebun”. Ruf dan Yoddang juga mengemukakan bahwa migrasi besar-besaran orang Bugis ke Sabah antara 1960 – 1970, merupakan cikal bakal berkembangnya pengembangan kakao di Sulawesi karena terbentuk jalinan perdagangan antara Sabah dan Sulawesi. 48 Menurut Mattulada 2007 orang Bugis memahami bahwa untuk maju mereka harus bekerja keras dan hemat. 73 Secara garis besar, mereka datang dalam tiga gelombang besar. Masyarakat Bugis “gelombang pertama” datang di kampung Jono Oge sebelum Indonesia merdeka. Pada periode tersebut, orang Bugis yang pertama kali datang adalah Haji Pagaro dari daerah Wajo. Kedatangan Haji Pagaro di kampung Jono Oge karena mendapat perintah dari Raja Tawaili yang waktu itu membawahi wilayah Jono Oge untuk mengembangkan pertanian dan membagi tanah. Tanah di daerah tersebut sebelumnya merupakan lahan alang-alang. Pertanian yang pertama di- kembangkan oleh para perintis gelombang pertama adalah padi sawah. Untuk meningkatkan perkembangan padi sawah di wilayah tersebut, pada masa penjajah- an Belanda dibangun sebuah bendungan irigasi bendungan tersebut baru direha- bilitasi pada tahun 1973. Kedatangan masyarakat Bugis ”gelombang kedua” terjadi pada saat terjadi pemberontakan DITII di Sulawesi Selatan 49 , sekitar akhir tahun 50 an sampai dengan awal tahun 60 an. Pada saat itu, warga Bugis di Selatan tidak dapat bertani dengan tenang karena seringkali hasil taninya harus diserahkan kepada pemberontak. Kedatangan masyarakat Bugis ”gelombang ketiga” terjadi pada saat di lokasi ini banyak pembukaan hutan dan dilanjutkan dengan berkembangnya pertanian menetap, terutama tanaman komersial ”perke- bunan” berkembang pesat. Apalagi lahan kosong yang dapat digunakan para pendatang masih cukup tersedia. Gelombang kedatangan ketiga orang Bugis ini terjadi sekitar akhir tahun 70 an sampai dengan akhir 80 an. Pada saat ini, penduduk di desa Jono Oge terdiri dari etnis Bugis dan etnis Kaili dengan komposisi sebagai berikut : etnis Bugis mencapai 80 sedangkan etnis Kaili hanya 20 . Penduduk desa Jono Oge yang berlatar belakang etnis Bugis umumnya berasal dari : Pangkep, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Maros, dan Bulukumba di Sulawesi Selatan. Sementara itu, warga desa Jono Oge yang berlatarbelakang etnis Kaili umumnya merupakan pendatang lokal dari daerah Palu Utara. Mereka umumnya berdatangan di Desa Jono Oge sekitar tahun 70 an untuk melakukan pekerjaan membuka hutan “bakampak”. Sejak diberlakukan UU Pemerintahan Desa, kampung Jono Oge berubah menjadi sebuah desa dengan nama Desa Jono Oge dan dipimpin oleh seorang 49 Migrasi besar-besaran terakhir orang Bugis terjadi pada saat pemberontakan Kahar Muzakar terhadap negara Republik Indonesia Matulada, 2007. 74 Kepala Desa. Sampai saat ini Kepla Desa yang memimpin Desa ini selalu orang Bugis, dan Kepala Desa Jono Oge saat ini merupakan cucu dari H. Pagaro. Pada saat ini, Desa Jono Oge terdiri dari dua dusun, yaitu Dusun I dengan jumlah rumahtangga sebanyak 73 KK dan Dusun II dengan jumlah rumahtangga seba- nyak 116 KK. Meskipun nama dusunnya berbeda, tetapi hamparan pemukiman Dusun I dan Dusun II bersambungan. Warga komunitas tinggal berdekatan dan terkonsentrasi di masing-masing dusun. Adapun pusat pemerintahan Desa dan Mesjid berada di Dusun I. Hasil sensus semua rumahtangga menunjukkan bahwa ra-rata anggota rumahtangga di dalam komunitas ini lebih tinggi dibanding ang- gota rumahtangga komunitas Tondo, yaitu 4,7 orang. Sementara itu, rata-rata usia kepala keluarga di dalam komunitas Jono Oge sama dengan di komunitas Tondo, yaitu 45 tahun. Desa Jono Oge tidak dilalui jalan raya yang menghubungkan antar kota, tetapi hanya sekitar 2 km dari jalan tersebut. Oleh sebab itu, bila masyarakat desa ini akan bepergian dengan menggunakan kendaraan umum roda empat maka mereka terlebih dahulu harus berjalan kaki atau naik ojek menuju jalan raya ter- sebut. Walaupun demikian desa ini tidak terisolir karena mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua atau roda empat milik pribadi. Selain itu, satu kali dalam sehari pagi hari terdapat kendaraan umum menuju kota Palu yang secara khusus melewati desa ini. 4.2. Profil Dua Komunitas Petani di Kabupaten Pidie – Nangroe Aceh Darussalam NAD 4.2.1. Komunitas Petani di Desa Cot BarohTunong: Aceh Lokal Lokasi penelitian Cot BarohTunong terdiri dari dua desa yang lokasinya berdampingan, yaitu Desa Cot Baroh dan Desa Cot Tunong. Kedua desa tersebut mempunyai wilayah mukim 50 dan ketua mukim yang sama serta berada di wila- yah kecamatan yang sama, yaitu Kecamatan Gelumpang Tiga. Desa Cot Baroh dan Desa Cot Tunong berada dalam wilayah Mukim Aron bersama tujuh desa 50 Mukim adalah suatu gabungan dari gampong-gampong yang juga berarti desa dan merupakan kesatuan hukum bercorak agama. Ketua mukim disebut imam mukim. Pada awalnya imam mukim merupakan pemimpin masjid bererti pemimpin urusan agama tetapi lambat laun ia mempunyai kekuasaan dunawiah Sjamsuddin, 2007. . 75 lainnya. Meskipun secara administraif terpisah dalam dua wilayah desa, tetapi dalam hal mengembangkan usahatani sawah danatau kebun mereka bercampur di wilayah yang sama. Oleh sebab itu, kesatuan wilayah komunitas ini didekati bukan dari sisi wilayah adminitratif tetapi dari wilayah pengembangan usahatani. Ditinjau dari jumlah rumah tangga yang tinggal di desa, Desa Cot Baroh dan Cot Tunong tergolong suatu desa yang relatif kecil. Dalam hal ini, jumlah rumah tangga di Desa Cot Baroh hanya 104 KK dan jumlah rumahtangga di Desa Cot Tunong hanya 101 KK setara dengan jumlah rumahtangga pada sebuah dusun di desa Ulee Gunong. Oleh sebab itu, wilayah kedua desa tersebut tidak lagi terbagi menjadi beberapa wilayah dusun masing-masing desa hanya mempunyai satu buah dusun. Warga komunitas tinggal berdekatan dan terkonsentrasi di masing- masing dusun yang dalam bahasa lokal disebut gampong. Saat ini, masing-masing Desa dipimpin oleh seorang Keucik yang posisinya berdasarkan UU Pemerintahan Desa setara Kepala Desa. Hasil sensus semua rumahtangga menunjukkan bahwa ra-rata anggota rumahtangga di dalam komunitas ini adalah 3,81 orang, sedangkan rata-rata usia kepala keluarga adalah 49 tahun. Penduduk yang menghuni kedua desa ini umumnya mempunyai latar bela- kang etnis yang disebut masyarakat sebagai “orang Aceh”. Penduduk desa Cot BarohTunong umumnya lahir di desa ini. Adapaun para pendatang yang tinggal di desa ini jumlahnya relatif sedikit, yaitu kurang dari 20 persen. Mereka umum- nya datang dari sekitar desa tetangga sehingga para pendatang tersebut termasuk kategori pendatang lokal. Di desa ini hampir tidak ada pendatang yang memiliki latarbelakang etnis selain orang Aceh, kecuali mereka yang menikah dengan orang Aceh. Kedua desa tersebut mempunyai akses yang baik terhadap ibu kota kabu- paten kota Sigli, selain karena jaraknya relatif dekat hanya sekitar 20 km juga mempunyai kondisi jalan yang baik. Pusat Desa Cot Baroh berjarak sekitar tiga km dari jalan raya Banda Aceh Medan sedangkan pusat Desa Cot Tunong ber- jarak sekitar lima km. Kondisi jalan menuju kedua desa tersebut sebagian sudah beraspal sekitar dua km dan sisanya merupakan jalan batu. Sementara itu, jalan ke kebun masih merupakan jalan tanah, baik yang masih jalan setapak maupun yang sudah lebar dapat dilalui kendaraan roda empat di musim kemarau. 76

4.2.2. Komunitas Petani di Desa Ulee Gunong: Aceh – Pendatang

Desa ini bernama Ulee Gunong yang berarti kepala Gunong. Nama ini diberikan karena pusat desa Ulee Gunong berada di puncak Gunong. Desa Ulee Gunong merupakan salah satu desa yang termasuk wilayah Kecamatan Tangse. Desa ini berada dalam wilayah Mukim Tanjung Bungong bersama enam desa lainnya. Ditinjau dari jumlah rumah tangga, desa Ulee Gunong tergolong desa yang relatif besar sehingga desa tersebut terbagi menjadi tiga dusun. Dusun I Dusun Alue Geupay mempunyai warga sebanyak 82 KK, Dusun II atau Dusun Mesjid mempunyai warga sebanyak 104 KK, dan Dusun III Dusun Lombo mempunyai warga sebanyak 86 KK. Lokasi pemukiman dusun I dan Dusun II relatif bersambungan, sedangkan lokasi Dusun III relatif jauh dari dusun lainnya, yaitu berjarak sekitar 700 m dari dusun II. Walaupun demikian semua Dusun dilalui jalan raya antar kabupaten. Warga komunitas tinggal berdekatan dan ter- konsentrasi di masing-masing dusun yang dalam bahasa lokal disebut gampong. Hasil sensus semua rumahtangga menunjukkan bahwa rata-rata anggota rumah- tangga sebanyak 4,2 orang sedangkan rata-rata usia kepala keluarga 45 tahun. Berdasarkan latarbelakang etnis, seluruh penduduk desa Ulee Gunong meru- pakan warga yang nerlatarbelakang etnis Aceh. Walaupun demikian, sebagain besar dari mereka merupakan pendatang lokal dari kecamatan Mutiara dan Keca- matan Gelumpang Tiga, yang berjarak sekitar 40 km dari desa Ulee Gunong. Kedua kecamatan dimaksud berda di wilayah dataran rendah yang berpenduduk lebih padat dan lokasinya sekitar 10 - 15 km dari kota Sigli. Pada umumnya, mereka datang ke Desa Ulee Gunong dengan tujuan mencari sumber mata penca- harian, terutama sebagai pencari hasil hutan, penebang kayu danatau sebagai petani kebun kopi. Mereka sudah berdatangan di Desa Ulee Gunong sejak Indo- nesia belum merdeka, karena sejak saat itu mereka dapat mencontoh mengem- bangkan tanaman kopi dari kebun contoh yang dibangun Belanda di wilayah Dusun Lombo. Walaupun berada di puncak gunung, desa ini tidak terisolir karena dilewati jalan raya yang menghubungkan kota Sigli ibu kota Kabupaten Pidie dan kota Meulaboh ibu kota Kabupaten Aceh Barat. Selain itu, desa ini mempunyai akses yang baik terhadap ibu kota kabupaten kota Sigli, meskipun jaraknya relatif jauh 77 sekitar 50 km. Kendaraan umum terbanyak yang melewati Desa Ulee Gunong adalah kendaraan umum yang mempunyai trayek dari kota Tangse menuju kota Berenun tujuh km sebelum kota Sigli. Kendaraan tersebut sudah ada mulai jam 07 pagi dan baru berakhir jam lima sore. Ongkos trnsportasi untuk menempuh trayke tersebut dengan menggunakan L 300 hanya Rp. 10.000,-. Berenun meru- pakan kota kecamatan yang lokasinya di persimpangan antara Pidie menuju Medan dan Pidie menuju Tangse - Melaboh. Dari kota Berenun menuju kota Sigli yang berjarak tujuh km dapat menggunakan Labi-labi angkutan kota dengan ongkos Rp. 3.000,-.

4.3. Perbandingan dan