Transformasi Struktur Agraria 1. TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN

119

BAB VI TRANSFORMASI STRUKTUR AGRARIA DAN

DINAMIKA HUBUNGAN SOSIAL PRODUKSI DALAM KOMUNITAS PETANI 6.1. Transformasi Struktur Agraria 6.1.1. Transformasi Pola Pemilikan Sumberdaya Agraria : Dari Pemilikan Kolektif ke Pemilikan Perorangan Sejalan dengan berlangsungnya perubahan sistem pertanian : dari sistem pertanian ladang berpindah shifting cultivation ke sistem pertanian menetap saddentary cultivation - yang didominasi tanaman perkebunan - , maka dalam komunitas petani terjadi perubahan pola pemilikan sumberdaya agraria lahan : dari pemilikan kolektif collective ownership 66 ke ”pemilikan perorangan” individual ownership . Dalam hal, ini terjadi perubahan dari “hak setiap orang” menjadi “hanya sebagian orang” yang berhak memanfaatkan sepenuhnya sumber- daya agraria. Ternyata, perubahan tersebut terjadi di semua komunitas petani kasus 67 . Menurut pengalaman para petani, sistem perladangan berpindah yang mengusahakan tanaman utama padi ladang telah berakhir. Di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah sistem tersebut berakhir sekitar awal tahun 90 an dan di NAD sekitar pertengahan tahun 90 an setelah pesatnya penanaman kakao. Pada periode penguasaan kolektif, semua anggota komunitas dapat mengua- sai sumberdaya agraria dengan mudah 68 , yaitu dengan cara meminta izin kepada pemim-pin lokal 69 untuk membuka lahan yang belum ada penggarapnya umum- nya tanah hutan atau bekas hutan. Hak pengusahaan atas sumberdaya agraria tersebut hanya akan gugur bila seorang anggota komunitas yang telah membuka hutan tidak lagi mengusahakan lahan dimaksud selama kurun waktu yang ditetap- 66 Pelzer dalam Geertz 1976 mengemukakan bahwa dalam sistem perladangan tidak ada konsep pemilikan pribadi 67 Para petani yang berusia relatif tua generasi tua sangat memahami perubahan dimaksud karena sebagian dari mereka pernah menjalankan kedua sistem pertanian dan pola penguasaan sumber- daya agraria tersebut. 68 Menurut ketentuan hukum adat yang berlaku di Sulawesi Tengah, setiap anggota masyarakat mempunyai hak membuka tanah untuk dijadikan tanah pesawahan, ladang dan tempat tinggal Humairah Sabri dan Aminuddin, 1992. 69 Di Sulawesi Tengah permintaan idzin membuka lahan baru diajukan kepada Ketua Adat, sedangkan di NAD diajukan kepada Keucik danatau Peutua Seneubok bila berada dalam wilayah Gampong atau kepada kepala mukim bila berada dalam beberapa wilayah Gampong. 120 kan masyarakat adat umumnya sekitar 2 - 3 tahun. Kemudian lahan tersebut oleh para pemimpin lokal akan diserahkan kepada anggota lain yang berminat mengusahakannya. Dengan kata lain, pada periode penguasaan kolektif lahan yang tidak diusahakan oleh seorang warga komunitas dapat dipindahtangankan kepada warga lainnya yang berminat. Sebaliknya, pada periode penguasaan perorangan, anggota komunitas tidak dapat menguasai sumberdaya agraria dengan cara yang mudah karena harus mem- punyai modal finansial untuk membayar ganti rugimembeli lahan serta untuk membiayai pembangunan kebun atau mempunyai kedudukan sebagai penerima waris. Selain itu, peluang penguasaan lahan semakin sempit karena para petani yang sudah ditetapkan sebagai pemilik sumberdaya agraria dapat terus menguasai lahan miliknya walaupun lahan tersebut tidak diusahakan. Oleh sebab itu, pada periode ini, satu-satunya jalan bagi tunakisma untuk dapat menguasai lahan adalah melalui mekanisme pemilikan sementara, seperti bagi hasil dan sewa. Dengan kata lain, bersamaan dengan transformasi struktur agraria dari penguasaan kolektif ke perorangan terjadi perubahan akses petani terhadap penguasaan sumberdaya agraria, yaitu dari akses yang ”terbuka” ke akses yang ”semakin tertutup”. Dalam periode pemilikan kolektif, sebagaimana dikemukakan para petani, yang menjadi milik pribadi hanya tanaman yang diusahakan di atas sumberdaya agraria sedangkan sumberdaya agraria yang mereka gunakan untuk menguas- hakan suatu tanaman merupakan milik pihak lain yang bersifat umum masyarakat adat atau negara tanah swapraja 70 . Oleh sebab itu, pada saat seorang petani harus melepaskan hak atas sumberdaya agraria yang diusahakan kepada orang lain untuk diusahakan orang lain, maka konsep transaksi yang muncul bukan ”jual beli” tetapi ”ganti rugi”. Dalam konsep ganti rugi, yang menjadi kewajiban petani 70 Di Sulawesi Tengah, sistem pemilikan kolektif sejalan dengan sistem hukum adat lokal. Sistem ini menganut prinsip pemilikan secara terpisah, yaitu antara tanah dengan benda-benda di atas tanah tersebut, baik tanaman maupun bangunan. Jauh sebelum diberlakukan UUPA, pengaturan tanah di Sulawesi Tengah didasarkan pada hukum adat. Tanpa merubah prinsip pemilikan secara terpisah, pada zaman pemerintahan Hindia Belanda status tanah adat berubah menjadi tanah swapraja Humairah Sabri dan Aminuddin, 1992. Sementara itu, di NAD, pemilikan kolektif sejalan dengan pemahaman masyarakat bahwa tanah, sebagaimana juga isi dunia lainnya, merupakan hasil ciptaan Allah, sehingga disebut ” Tanoh Tuhan” atau ”Tanoh Kullah”. Oleh sebab itu, pemilikan tanah oleh seseorng bukanlah hak mutlak. Pada masyarakat Aceh dikenal tanah adat tanah masyarakat yang dapat diusahakan masyarakat dan tanah negara yang masih berupa hutan Dally RA dan Azwad R, 2002 121 yang menggantikan petani penerus adalah memberikan ganti rugi atas biaya pembukaan lahan yang sebelumnya telah dikeluarkan petani pertama. Sementara itu, pada sistem pemilikan perorangan, para petani memahami bahwa sumberdaya agraria yang menjadi miliknya tidak hanya tanaman yang diusahakan tetapi juga sumberdaya agraria yang dijadikan tempat tanaman. Keduanya dapat menjadi milik pribadi secara mutlak sehingga seorang petani dapat memindahtangankan sumberdaya agraria dimaksud kepada orang lain melalui mekanisme pewarisan atau transaksi jual beli. 20 40 60 80 100 Tondo Jono Ulee Cot Milik, Bukti Pajak Milik, Sertifikat Milik, AkteKuitansi Milk, Surat Desa Milik, Tanpa Surat Tanah Orang Lain Tanah Adat Gambar 6.1. Status Hukum Sumberdaya Agraria Milik Petani, 2007 Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden Pada saat penelitian berlangsung, hampir semua sumberdaya agraria di desa- desa kasus sudah dikuasai anggota komunitas dengan sistem pemilikan perorang- an, kecuali sumberdaya agraria yang masih berupa hutan dan sungai masih diakui masyarakat sebagai milik masyarakatadat atau milik negara 71 . Bahkan akhir- 71 Para informan kunci di desa penelitian di NAD mengemukakan bahwa tanah yang berada dalam radius sejauh lima km dari pemukiman merupakan tanah masyarakattanah adat, sedangkan tanah yang berada dalam radius lebih dari lima km dari pemukiman merupakan tanah negara. Namun demikian, menurut staf Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah NAD, ketentuan ini tidak tertulis dalam peraturan pemerintah pusat maupun daerah. 122 akhir ini, dalam menetapkan hak milik pribadinya berbagai tanda pengakuan formal tertulis menjadi acuan utama masyarakat Gambar 6.1, misalnya : sertifikat, surat keterangan desa, aktekuitansi jual beli lahan, dan tanda bukti bayar pajak PBB. Walaupun demikian, sebagian sumberdaya agraria yang diakui para petani sebagai milik pribadi dalam kenyataannya belum mempunyai kekuatan hukum formal tanpa surat. Di semua desa kasus, masih banyak petani yang hanya menggunakan tanaman tertentu sebagai tanda batas lahan miliknya. Sampai saat ini batas lahan dengan tanaman masih diakui masyarakat sehingga konflik batas lahan akibat tidak ada bukti tertulis hampir tidak terjadi. Bila pemilikan perorangan dengan “status formal” tertulis dibandingkan di antara empat desa kasus, ternyata fenomena tersebut muncul paling menonjol di Desa Jono Oge kemudian disusul di Desa Tondo, keduanya di Sulawesi Tengah. Sementara itu, di desa-desa kasus di NAD pemilikan perorang-an dengan status formal masih sangat kurang Gambar 6.1.. Pemilikan lahan dengan status formal “sertifikat” pada umumnya hanya terjadi pada para petani yang mempu- nyai sumber mata pencaharian utama sebagai pegawai. Sementara itu, penetapan surat pajak sebagai tanda milik perorangan atas sumberdaya lahan selama ini lebih banyak ditentukan oleh inisiatif aparat pemerintahan desa. Dalam hal petani membuka sumberdaya agraria lahan yang masih berupa hutan atau bekas hutan milik masyarakat adat danatau milik negara, pihak pem- beri izin mulai bergeser dari Ketua Adat kepada pejabat yang memimpin sebuah desa. Hal ini berlangsung terutama sejak diberlakukannya UU Pemerintahan Desa No. 5 Tahun 1975. Di Desa Jono Oge dan Desa Tondo di Sulawesi Tengah pemberian izin membuka sumberdaya agraria baru hutan sepenuhnya telah menjadi kewenangan Kepala Desa 72 . Sementara itu, di desa Ulee Gunong dan Desa Cot BarohTunong di NAD pemberi izin membuka hutan adalah Keuchik, Peteua Seneubok atau Imam Mukim 73 . Pemberian idzin oleh Keucik sangat 72 Permintaan izin kepada Kepala Desa untuk lahan yang luasnya hanya dua ha, bila luas lahan yang diminta lebih dari 2 ha – 5 ha permintaan izin harus diajukan kepada Camat, dan bila lebih dari lima ha permintaan idzin harus diajukan kepada Bupati 73 Keuchik adalah Kepala Gampong setara Kepala Desa yang dipilih secara langsung oleh masyarakat untuk masa jabatan enam tahun. Ketua Mukim adalah seorang pemimpin yang berperan sebagai koordinator beberapa desa. Peutua Seneubok adalah orang yang ditunjuk anggotanya dalam memimpin pembukaan hutan danatau pembangunan kebun. 123 dominan pada saat pembangunan kebun difasilitasi program pemerintah, sedang- kan permberian idzin oleh Peutua Seneubok sangat dominan pada saat seorang petani akan mengganti petani lain anggota seneubok atau akan membuka lahan baru sekitar lahan yang sudah dibuka kelompok yang dipimpin Peutua Seneubok. Kemudian, pemberian izin menjadi kewenangan Imam Mukim bila hutan yang akan dibuka berada pada wilayah beberapa desa.

6.1.2. Transformasi Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria : Dari Buka Baru

ke Transfer Sumberdaya Agraria Untuk mendapatkan mengakuisisi sumberdaya agraria yang diperlukan se- bagai tempat menjalankan usaha pertanian, para petani di empat komunitas petani kasus menempuhnya melalui dua mekanisme berikut : 1 membuka sumberdaya agraria baru lahan hutan, dan 2 melakukan transfer sumberdaya agraria. Terkait dengan proses pembukaan lahan baru, para petani melakukannya melalui dua mekanisme berikut : a pembangunan kebun dilakukan sendiri oleh calon petani pemilik tanpa kerjasama dengan petani lain, b pembangunan kebun dilakukan melalui meka-nisme kerjasama dengan petani lain yang disebut “berbagi” “bagi kebun” atau “bagi tanaman” 74 . Sementara itu, terkait dengan proses transfer lahan, para petani melakukannya melalui dua mekanisme berikut : a “transaksi jual-beliganti rugi” lahan kosong atau kebun, dan b “pewarisan” umumnya berlangsung dari orangtua kepada anak. Akhir-akhir ini, dengan semakin terbatasnya sumberdaya agraria hutan yang dapat dibuka, maka akuisisi sumberdaya agraria melalui proses “buka baru” sem- kin berkurang. Sebaliknya, akuisisi sumberdaya agraria melalui proses “transfer” semakin agresif dilakukan para petani. Hal ini terjadi baik melalui mekanisme “jual beliganti rugi” maupaun mekanisme “pewarisan” 75 . 74 Sistem ini berlangsung bila kebun dibangun oleh seorang petani penggarap pada lahan milik petani lain yang sudah dibuka. Petani pembagi mengerjakan seluruh rangkaian pembangunan kebun sampai dengan kebun siap dipanen selama tiga tahun. Sebagai imbalannya, petani pembagi akan mendapat sebagian kebun umumnya kebun dibagi dua. 75 Dalam penelitian ini, konsep pewarisan merujuk pada pemberian lahan yang diberikan orangtua kepada anaknya, baik setelah maupun sebelum orangtua meninggal. Para petani yang mempunyai status kaya seringkali memberikan lahan kepada anaknya sebagai upaya melepas landaskan anaknya agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan kemudian mampu mempunyai kebunsawah sendiri. Sementara itu, untuk tujuan yangsama, para petani dengan status “sedang” seringkali meminjamkan lahan sawahkebun kepada anaknya secara bergiliran. 124 5 10 15 20 25 30 52 - 57 58 - 62 63 - 67 68 - 72 73 - 77 78 - 82 83 - 87 88 - 92 93 - 97 98 - 02 03 - 07 Buka Baru Transfer Gambar 6.2. Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria di Desa Tondo, 2007 Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden 5 10 15 20 25 30 52 - 57 58 - 62 63 - 67 68 - 72 73 - 77 78 - 82 83 - 87 88 - 92 93 - 97 98 - 02 03 - 07 Buka Baru Transfer Gambar 6.3. Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria di Desa Jono Oge, 2007 Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden 125 5 10 15 20 25 30 52 - 57 58 - 62 63 - 67 68 - 72 73 - 77 78 - 82 83 - 87 88 - 92 93 - 97 98 - 02 03 - 07 Buka Baru Transfer Gambar 6.4. Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria di Desa Ule Gunong, 2007 Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden 5 10 15 20 25 30 52 - 57 58 - 62 63 - 67 68 - 72 73 - 77 78 - 82 83 - 87 88 - 92 93 - 97 98 - 02 03 - 07 Buka Baru Transfer Gambar 6.5. Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria di Desa Cot BarohTunong, 2007 Sumber data : Wawancara dengan Petani Responden Oleh sebab itu, kecuali di komunitas petani Desa Cot BarohTunong, secara kumulatif akuisisi sumberdaya agraria melalui mekanisme “transfer lahan” lebih menonjol dibanding buka baru Gambar 6.2, Gambar 6.3, Gambar 6.4, Gam- bar 6.5. dan Tabel 6.1.. Di komunitas petani Desa Cot BarohTunong akuisisi sumberdaya agraria melalui meknisme buka baru relatif seimbang dengan mekanisme transfer, masing-masing 51,7 dan 48,3 . Kemudian bila diamati secara lebih spesifik, akuisisi sumberdaya agraria melalui mekanisme pewarisan 126 berlangsung relatif merata di tiga komunitas petani kasus, yaitu di komunitas petani Desa Tondo 38,4 , Ule Gunong 35,0 dan Cot Baroh Tunong 26 . Sementara itu, akuisisi sumberdaya agraria melalui mekanisme ”jual-beli ganti rugi” sangat menonjol dilakukan oleh para petani di Desa Jono Oge, yaitu mencapai 72,3 . Bahkan untuk memperoleh sumberdaya agraria kosong pun para petani di Desa Jono Oge lebih memilih membelimengganti rugi dari pada harus membuka hutan sendiri. Awal kemunculan mekanisme jual beli sumber- daya agraria berlangsung sejak para petani mengusahakan tanaman “ko-mersial” perkebunan. Tabel 6.1. Pola Akuisisi Sumberdaya Agraria di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007 Pola Akuisisi Tondo Jono Oge Ulee Gunong Cot Baroh Tunong N N N N

A. Buka Baru 27

37.0 12 12.8 19 31.7 47 51.6 1. Buka Sendiri 19 26.0 11 11.7 17 28.3 39 42.9 2. Berbagi 8 11.0 1 1.1 2 3.3 8 8.8

B. Transfer 46

63.0 82

87.2 41 68.3