Marginalisasi Kualitas Sumberdaya Agraria

110 minimumkebutuhan pokok terutama makanan anggota keluarganya yang tidak dapat ditunda karena berkaitan dengan kelangsungan hidup keluarga mereka. ƒ Kebijakan pemerintah daerah yang tidak mengontrol penggunaan lahan baru hutan secara tidak langsung mendukung penerapan perluasan tanaman ko- mersial perkebunan yang dilakukan secara ekstensif. Dalam hal ini perluasan kebun dipandang mendukung pemerintah daerah untuk pengembangan perluasan wilayah 62 dan upaya perluasan kesempatan berusaha bagi warga pedesaan. Upaya perluasan peluang berusahabekerja dengan cara memper- luas kebun menjadi sangat penting manakala pemerintah daerah tidak mampu memberikan pilihan lain pada sektor non pertanian. ƒ Bagi keluarga petani, menambah luas sumberdaya agraria mempunyai mak- na sangat penting sebagai investasi untuk menyiapkan masa depan anak. Bila anak-anaknya juga menjadi petani, maka orang tua harus menyediakan lahan untuk dipinjamkan petani kaya, dibagihasilkan petani sedang, dan kemudian diwariskan. Kemudian bila masa depan anaknya diarahkan di luar sektor pertanian, maka para orang tua harus mempunyai cukup lahan untuk menyiapkan biaya sekolah dan untuk biaya mendapatkan pekerjaan.

5.4. Marginalisasi Kualitas Sumberdaya Agraria

Pada awalnya, para petani megembangkan tanaman kakao dan tanaman perkebunan lainnya pada lahan-lahan pilihan “terbaik”, yaitu lahan yang tidak terlalu miring dan menghadap ke timur sehingga mendapatkan sinar matahari pagi. Berdasarkan pengalaman pengetahuan lokal, para petani memahami bah- wa kondisi lahan yang demikian akan menyebabkan musim berbuah tanaman kakao lebih panjang, sehingga secara keseluruhan produksi buah kakao yang dita- 62 Di Sulawesi Tengah, Kabupaten Donggala dimekarkan menjadi Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi Montong. Wilayah Pura berada di perbatasan kedua kabupaten tersebut, tetapi batas tersebut belum ditetapkan secara resmi dengan pemasangan tapal batas misalnya pemasangan patok. Oleh sebab itu, pemerintah Kabupaten Donggal memfasilitasi wilayah Pura dan sekitarnya agar menjadi desa definitif sehingga kemudian dapat masuk menjadi wilayah Kabupaten Donggala. Walaupun hal ini menjadi perdebatan karena sebagian aparat pemerintah Dinas Kehutanan memiliki anggapan bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah hutan. Akan tetapi anggapan ini juga tidak kuat karena tidak didukung batas-batas resmi, hanya berdasarkan pembagian tataguna lahan warisan Belanda . 111 nam pada lahan tersebut akan lebih banyak dibanding pada lahan lainnya. Pada saat itu, sumberdaya agraria yang mempunyai kemiringan tinggi tetap dibiarkan sebagai hutan. 5 10 15 20 25 52 - 57 58 - 6 2 63 - 67 68 - 72 73 - 7 7 78 - 82 83 - 87 88 - 92 93 - 9 7 98 - 02 03 - 07 Hutan Bekas Hutan Lahan Tergarap Gambar 5.10 . Perkembangan Asal Sumberdaya Agraria untuk Sistem Pertanian Menetap di Desa Tondo, 2007. Sumber Datar : Wawancara dengan Petani Responden 5 10 15 20 25 52 - 57 58 - 6 2 63 - 6 7 68 - 72 73 - 77 78 - 82 83 - 87 88 - 92 93 - 9 7 98 - 0 2 03 - 07 Hutan Bekas Hutan Lahan Tergarap Gambar 5.11 . Perkembangan Asal Sumberdaya Agraria untuk Sistem Pertanian Menetap di Desa Jono Oge, 2007 Sumber Datar : Wawancara dengan Petani Responden 112 5 10 15 20 25 52 - 57 58 - 62 63 - 67 68 - 72 73 - 77 78 - 82 83 - 87 88 - 92 93 - 97 98 - 02 03 - 07 Hutan Bekas Hutan Lahan Tergarap Gambar 5.12 . Perkembangan Asal Sumberdaya Agraria untuk Sistem Pertanian Menetap di Desa Ulee Gunong, 2007 Sumber Datar : Wawancara dengan Petani Responden 5 10 15 20 25 52 - 5 7 58 - 62 63 - 67 68 - 7 2 73 - 77 78 - 82 83 - 87 88 - 9 2 93 - 9 7 98 - 02 03 - 7 Hutan Bekas Hutan Lahan Tergarap Gambar 5.13 . Perkembangan Asal Sumberdaya Agraria untuk Sistem Pertanian Menetap di Desa Jono Cot BarohTunong, 2007 Sumber Datar : Wawancara dengan Petani Responden Upaya penyediaan sumberdaya agraria untuk mendukung sistem pertanian menetap, di seluruh lokasi penelitian nampaknya mempunyai pola yang sama. Dalam hal ini, penggunaan “lahan tergarap” merupakan titik awal, kemudian dilanjutkan dengan penggunaan lahan bekas hutan, dan akhirnya untuk terus menambah luas lahan mereka juga membuka hutan Gambar 5.10, Gambar 5.11, Gambar 5.12, dan Gambar 5.13. Secara khsusus, di desa-desa kasus di Sula- 113 wesi Tengah penggunaan lahan bekas hutan relatif lebih menonjol dibanding lahan hutan. Sebaliknya, di desa-desa kasus di NAD penggunaan lahan hutan relatif lebih menonjol dibanding lahan bekas hutan. Secara keseluruhan, peng- gunaan lahan hutan dan bekas hutan paling menonjol terjadi di Desa Cot Baroh Tunong NAD. Penggunaan Lahan tergarap adalah lahan yang sebelumnya pernah diusaha- kan para petani, terutama lahan bekas ladang berpindah di semua desa kasus, lahan bekas kebun kelapa dan kebun cengkeh di Desa Tondo dan Desa Jono Oge, serta lahan bekas kebun kopi di Desa Ulee Gunong. Lahan bekas hutan adalah lahan-lahan bekas HPH yang sudah ditinggalkan perusahaan-perusahaan yang meng-ambil kayu 63 atau lahan bekas illegal logging. Sementara itu, lahan hutan adalah lahan negara yang masih mempunyai tanaman hutan tanaman kayu- kayuan. Walaupun sampai saat ini para petani masih ada yang menggunakan sum- berdaya agraria lahan hutan danatau lahan bekas hutan, tetapi para petani di semua desa kasus mengemukakan bahwa mereka sudah tidak lagi dapat mene- mukan lahan “terbaik” sebagaimana mereka gunakan pada awal pengembangan kakao karena lahan tersebut sudah tidak ada lagi sudah digunakan seluruhnya 64 . Bahkan pada saat ini, para petani sudah membangun pertanian menetap tanaman “komersial” kakao sampai ke wilayah dekat hutan lindung dan mereka sudah menggunakan lahan yang mempunyai kemiringan di atas 30 . Masyarakat di desa-desa kasus umumnya tidak memahami tentang adanya berbagai status kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah, sehingga pada saat memilih lahan untuk membuka kebun yang diperhatikan hanyalah : 1 lahan tersebut memiliki kualitas yang subur, dan 2 lahan tersebut belum diusahakan petani lain. Berdasarkan aturan pemerintah, sebenarnya pembukaan kebun hanya 63 Sebagaimana dijelaskan PPL Perkebunan, lahan baru di Pura Sulawesi Tengah yang kini ramai dijadikan lahan perkebunan oleh masyarakat Desa Tondo dan Jono Oge sebetulnya bekas lahan HPH PT Iradat Puri yang memanfaatkan kayu hitam. Pada masa sebelum krisis, warga desa sekitar tidak ada yang membuka kebundi Pura karena tidak ada jalan menuju ke sana. Hanya ada jalan melalui sungai dengan tikungan yang tajam. Karyawan PT Iradat Puri banyak yang berasal dari Masamba Sulsel dan merekalah yang merintis penanamana kakao di Pura. 64 Kejadian tersebut sama halnya dengan pendapat Ricardo dalam Hayami 1987 bahwa jika penduduk terus bertambah maka batas-batas tanah yang ditanami akan meluas ke daerah-daerah yang lebih marjinal. 114 boleh dilaksanakan di luar kawasan hutan 65 atau di Areal Peng-gunaan Lain APL. Namun demikian, menurut pengamatan aparat Sub Dinas Kehutanan di lokasi penelitian banyak petani membuka kebun sampai di walayah hutan, bahkan sampai ke wilayah hutan lindung. Hal ini terjadi karena : 1 aparat Dinas Kehutanan tidak mampu mengawasi kegiatan petani di lapangan karena jumlah tenaga yang ada terbatas Jumlah Polisi Hutan dan Penyuluh Hutan terbatas, 2 meskipun penetapan kawasan hutan sudah dilakukan lama, tetapi tanda batasnya tidak jelas karena belum dilakukan pematokan atau patok dipindahkan masya- rakat, 3 para petani mendapat dukungan dari aparat pemerintah lain instansi pemda terutama terkait dengan kepentingan mereka untuk melakukan pengem- bangan wilayah danatau perluasan lapangan berusaha masyarakat, 4 terdapat para pejabat negara pejabat eksekutif maupun legislatif yang juga ikut serta membuka kawasan hutan untuk membangun kebun, 5 adanya contoh perusahaan terutama HPH yang diperbolehkan membuka hutan. Dalam hal penggunaan lahan yang mempunyai tingkat kemiringan tinggi, pada umumnya para petani tidak menerapkan teknologi berwawasan lingkungan untuk mempertahankan kualitas sumberdaya agraria secara berkelanjutan, misal- nya dengan melakukan pembuatan teras. Bagi para petani, membuat teras masih dianggap pekerjaan yang berat karena memerlukan curahan tenaga kerja yang sangat besar. Padahal pada lahan yang mempunyai kemiringan diatas 30 , pembuatan teras diperlukan untuk mengendalikan erosi dan menyerap sumber air, sehingga dapat menciptakan kualitas sumberdaya agraria dimaksud maupun sumberdaya agraria di wilayah hilir lahan padi sawah. Nampaknya, sampai saat ini belum ada lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah termasuk lembaga lokal yang dapat secara efektif mengawal proses pelaksanaan sistem pertanian berkelanjutan. 65 Jenis-jenis areal hutan menurut definisi pemerintah adalah : Hutan Lindung HL, Hutan Suaka Alam HSA, Taman Nasional TM, Hutan Produksi Terbatas HPT, Hutan Produksi HP, Hutan Produksi Konversi HPK dan Areal Penggunaan Lain APL. 115

5.5. Ihtisar : Beragam “Kekuatan Produksi” dalam Komunitas Petani