9 menghasilkan produksi yang diharapkan. Luas lahan pertanian yang digunakan
ataupun dimiliki oleh petani sangat menentukan seberapa besar petani dapat berproduksi. Terutama dengan semakin tingginya tingkat industrialisasi,
perubahan wilayah menjadi pengkotaan, dan perluasan daerah pemukiman seperti sekarang ini menjadikan petani harus bersaing ketat untuk dapat mempertahankan
lahan pertaniannya. Terkait dengan struktur pemilikan lahan, Elizabeth 2007 menjelaskan perubahan struktur sosial petani sebagai akibat dari adanya pengaruh
pelaksanaan pembangunan menjadi dua lapisan petani, yaitu: 1.
Petani lapisan atas, merupakan petani yang akses pada sumber daya lahan, kapital, mampu merespon teknologi dan pasar dengan baik, serta memiliki
peluang berproduksi yang berorientasi keuntungan. 2.
Petani lapisan bawah, sebagai golongan mayoritas di pedesaan yang merupakan petani yang relatif miskin dari segi lahan dan kapital, serta hanya
memiliki faktor produksi tenaga kerja. Menurut Shanin 1971 dalam Subali 2005 mencirikan ada empat
karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga family farm. Kedua, sebagai usaha tani mereka
menggantungkan hidupnya kepada tanah. Bagi petani, lahan pertanian adalah segalanya yaitu sebagai sumber yang diandalkan untuk menghasilkan bahan
pangan keluarga, harta benda yang bernilai tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan
pemeliharaan tradisi dan konformitas, solidaritas sosial yang kental, dan bersifat meanistik. Keempat, cenderung sebagai pihak yang selalu kalah tertindas namun
tidak mudah ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya, dan politik eksternal yang mendominasi mereka.
2.3 Konversi Lahan
Konversi lahan atau disebut juga alih fungsi lahan merupakan suatu bentuk aktivitas yang menyebabkan adanya perubahan struktur penggunaan lahan dari
kondisi semula atau awalnya, misalnya dari penggunaan untuk lahan pertanian menjadi lahan industri atau pemukiman. Sumaryanto et al. 1995, menyatakan
bahwa pola konversi lahan dapat ditinjau dari dua aspek yaitu menurut pelaku
10 konversi dan menurut prosesnya. Berdasarkan pelaku konversinya dapat
dibedakan menjadi dua. Pertama, alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan dengan motif tindakan yang terdiri dari tiga bagian, yaitu; a
untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal, b dalam rangka meningkatkan pendapatan melalui alih usaha, dan c adalah kombinasi antara kedua hal motif
tersebut seperti pembangunan rumah tinggal yang sekaligus dijadikan sebagai tempat usaha.
Kedua, alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan. Dalam hal ini, pemilik menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non-
sawah atau kepada makelar. Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara tersebut terjadi dalam hamparan yang lebih luas, terkonsentrasi, dan umumnya
berkorelasi positif dengan proses urbanisasi pengkotaan. Sebaliknya, jika ditinjau menurut prosesnya, konversi lahan sawah dapat pula terjadi secara
gradual dan seketika instant. Alih fungsi secara gradual disebabkan fungsi sawah yang tidak optimal. Umumnya hal seperti ini terjadi akibat degradasi mutu
irigasi atau usaha tani padi di lokasi tersebut tidak dapat berkembang karena kurang menguntungkan. Alih fungsi secara instant pada umumnya berlangsung di
wilayah sekitar urban yakni berubah menjadi lokasi pemukiman atau kawasan industri.
Berdasarkan faktor penyebab terjadinya konversi lahan, Rusli 1995 dalam Munir 2008 mengungkapkan bahwa adanya keterkaitan antara hubungan
pertambahan jumlah penduduk dengan pengalihfungsian lahan. Menurutnya dengan meningkatnya jumlah penduduk, rasio manusia-lahan menjadi semakin
besar sekalipun pemanfaatan setiap jengkal lahan sangat dipengaruhi taraf perkembangan
kebudayaan suatu
masyarakat. Pertumbuhan
penduduk menyebabkan makin mengecilnya persediaan lahan rata-rata per orang. Sejalan
dengan pertumbuhan penduduk, mereka yang tidak memiliki lahan diperkirakan semakin bertambah. Keadaan tekanan penduduk yang berat ini memberikan
peluang bagi berkembangnya bentuk-bentuk hubungan penguasaan lahan yang kurang menguntungkan penggarap, sehingga persaingan antara sesama buruh tani
semakin sengit dalam mendapatkan kesempatan kerja.