1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perdagangan internasional telah berkembang pesat dan memberikan peranan penting dalam perekonomian global. Semakin terbuka sebuah negara
terhadap perdagangan internasional akan semakin meningkatkan jumlah ekspor yang berpengaruh terhadap pendapatan nasional negara. Pentingnya perdagangan
internasional untuk meningkatkan pendapatan mendorong sejumlah negara yang berada dalam suatu wilayah membentuk suatu kerjasama ekonomi regional, salah
satunya adalah ASEAN Association of South East Asian Nations. Pembentukan ASEAN bertujuan untuk memajukan ekonomi masyarakat bangsa-bangsa agar
tidak tertinggal dengan negara lain, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Memasuki era globalisasi, adanya liberalisasi telah memberikan banyak
perubahan pada bentuk kerjasama ekonomi negara-negara di ASEAN dengan tercetusnya perjanjian pembentukan suatu kawasan perdagangan bebas dengan
China. Karena hal tersebut membuat hambatan tarif dan non-tarif yang selama ini menjadi penghalang masuknya barang atau jasa ke suatu negara di ASEAN dan
China menjadi semakin berkurang. ASEAN-China Free Trade Agreement
ACFTA merupakan suatu bentuk kawasan perdagangan bebas yang berlaku antara negara-negara di ASEAN
dengan China. Perjanjian perdagangan ini diresmikan melalui penandatanganan The Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation
di Kamboja pada tahun 2002 yang telah dimulai pada tahun 2010 oleh Brunei
Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Singapura; dan diharapkan pada tahun 2015 dapat dicapai oleh Kamboja, Myanmar, Laos, dan
Vietnam CLMV. Tercatat saat diimplementasikan pada 1 Januari 2010, ACFTA merupakan kawasan perdagangan bebas terbesar di dunia dengan total luas
wilayah 14 juta km
2
, konsumen mencapai 2 milyar, Produk Domestik Bruto PDB sebesar US7.7 triliun, dan total perdagangan lebih dari US200 milyar
Sekretariat ASEAN dan World Bank 2011. Untuk mengukuhkan perjanjian ACFTA tersebut maka diberlakukan Early
Harvest Programme EHP sebagai bentuk liberalisasi dini untuk produk-produk
pertanian yang mulai diimplementasikan pada 1 Januari 2004, dengan cakupan produk-produk pertanian dan produk lain yang disepakati secara bilateral antara
negara-negara ASEAN dan China. Salah satu komoditas pertanian subsektor perkebunan yang termasuk dalam program EHP yaitu kopi.
Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan Indonesia, khususnya untuk ekspor. Komoditas ini memiliki peranan penting khususnya
sebagai sumber devisa, penyedia lapangan kerja, dan sebagai sumber pendapatan bagi petani ataupun pelaku ekonomi lainnya yang berhubungan dengan kopi.
Sebagai penyedia lapangan kerja, perkebunan kopi mampu menyediakan lapangan kerja bagi 2 juta petani kopi di Indonesia atau sekitar 1.7 persen dari total
angkatan kerja pada tahun 2011. Mayoritas petani kopi tersebut menggantungkan hidupnya pada kopi sebagai sumber pendapatan utama Ditjenbun 2012.
Pada tahun 2011 sumbangan dari sektor perkebunan terhadap Produk Domestik Bruto PDB Indonesia sebesar Rp154 triliun dengan neraca
perdagangan dari komoditas kopi sebesar Rp8.02 triliun BPS 2012. Begitu pentingnya komoditas ini dalam perekonomian Indonesia, maka tak heran bila
pengembangan produksi terus dilakukan guna meningkatkan nilai kopi. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Produksi dan Luas Areal Perkebunan Kopi Indonesia Periode Tahun 1999-2011
Tahun Produksi Ton
Luas Areal Ha 1999
531 687 1 127 277
2000 554 574
1 260 687 2001
569 234 1 313 383
2002 682 019
1 372 184 2003
671 255 1 291 910
2004 647 386
1 303 943 2005
640 365 1 255 272
2006 682 158
1 308 731 2007
676 476 1 295 911
2008 698 016
1 295 110 2009
682 590 1 266 235
2010 684 076
1 268 476 2011
709 000 1 308 000
Rata-rata per tahun 648 372
1 282 086
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan 2012.
Berdasarkan Tabel 1.1 dapat dilihat perkembangan luas areal perkebunan kopi Indonesia mengalami fluktuasi dengan rata-rata per tahun sebesar 1.28 juta
Ha selama periode tahun 1999 sampai 2011. Dari luas areal tersebut dihasilkan produksi kopi dengan trend meningkat dari 531.69 ribu ton pada tahun 1999
menjadi 709 ribu ton pada tahun 2011 dengan rata-rata produksi mencapai 648.37
ribu ton per tahunnya.
Trend positif produksi kopi Indonesia dikarenakan adanya dukungan
sumberdaya alam melimpah dan iklim yang kondusif. Letak Indonesia di sekitar garis khatulistiwa memungkinkan tanaman kopi selalu mendapat sinar matahari
sepanjang tahun dan curah hujan yang tinggi. Keadaan iklim tersebut sangat menunjang kesuburan lahan dan pertumbuhan tanaman. Dukungan produksi dan
limpahan alam sebesar itu sangat memungkinkan untuk Indonesia terus menunjukkan eksistensinya sebagai salah satu negara pengekspor besar kopi di
dunia. Terbukti saat ini Indonesia merupakan negara pengekspor kopi terbesar ke- 4 dunia setelah Brazil, Vietnam, dan Kolombia ICO 2012.
Tidak dapat dipungkiri, produksi kopi Indonesia sebagian besar untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri. Tercatat selama periode tahun 1999
sampai 2011 pasar kopi domestik hanya menyerap rata-rata 273.2 ribu ton per tahun atau sekitar 42 persennya saja dari rata-rata total produksi kopi Indonesia
per tahun Ditjenbun 2012. Dengan produksi yang melimpah tetapi daya serap pasar domestik rendah, kopi Indonesia sangat bergantung pada pasar
internasional. Periode tahun 1999 sampai 2011 rata-rata total volume ekspor kopi
Indonesia ke wilayah ASEAN dan China adalah sebesar 31.85 ribu ton per tahun dengan nilai ekspor US44.12 juta per tahun. Nilai ekspor kopi Indonesia sebelum
EHP mengalami trend yang menurun dengan titik terendah pada tahun 2001 sebesar US14.25 juta dikarenakan adanya krisis over supply di dunia akibat
terlalu banyak penawaran kopi di pasar internasional. Setelah diberlakukan EHP pada periode tahun 2004 sampai 2011 volume ekspor kopi Indonesia secara
keseluruhan masih terus berfluktuasi dengan trend yang meningkat dari tahun 2004 sebesar 19.99 ribu ton menjadi 41.69 ribu ton pada tahun 2011. Pada tahun
2008 sampai 2009 terjadi penurunan nilai ekspor kembali dari US70.79 juta
menjadi US69.90 juta dengan volume ekspor yang cenderung meningkat dari 36.25 ribu ton menjadi 49.29 ribu ton akibat pengaruh krisis global yang melanda
dunia seperti terlihat pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Total Ekspor Kopi Indonesia ke Wilayah ASEAN dan China Periode Tahun 1999-2011
Tahun Ekspor
Nilai 1000 USD Volume Ton
1999 38 430.36
27 754 866 2000
29 059.15 34 102 993
2001 14 248.76
20 434 779 2002
16 718.33 25 354 309
2003 14 928.54
18 715 274 2004
18 514.13 19 989 894
2005 34 897.02
28 232 684 2006
45 270.57 32 114 134
2007 63 738.49
35 944 902 2008
70 786.20 36 253 828
2009 69 897.97
49 288 965 2010
64 803.72 44 222 421
2011 92 296.52
41 691 223 Rata-rata per tahun
44 122.29 31 853 867
Sumber: World Integrated Trade Solution 2012.
Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor potensial di pasar dunia, termasuk di kawasan perdagangan bebas ASEAN-China. Indonesia sebagai
negara pengekspor besar kopi memandang pemberlakuan kebijakan EHP sebagai peluang untuk dapat meningkatkan penawaran ekspornya. Hal ini dipandang
sekaligus sebagai suatu tantangan untuk Indonesia dalam meningkatkan daya saing komoditas kopi yang lebih kompetitif di pasar ASEAN dan China, sehingga
dapat lebih meningkatkan pendapatan negara. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai penawaran ekspor kopi Indonesia ke
wilayah ASEAN dan China dalam skema Early Harvest Programme serta faktor- faktor yang memengaruhinya.
1.2 Perumusan Masalah