7.3. Keberlanjutan Program Pemberdayaan 7.3.1. Tolok Ukur Keberlanjutan
Keberlanjutan program pemberdayaan CECOM Foundation merupakan amanah sejarah dan cita-cita seluruh stakeholder di awal pembentukannya seperti
tertuang dalam visi, misi dan tujuan lembaga. Dilihat dari persepektif pengembangan organisasi dan kelembagaan seperti terlihat pada Gambar 10,
CECOM Foundation telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam pengelolaan tiga sistem manajemen menuju lembaga pengembang swadaya masyarakat
LPSM yang modern, efektif dan berkelanjutan yaitu : 1 Manajemen program; 2 Manajemen SDM Organisasi; dan 3 Manajemen keuangan.
Kemajuan pada manajemen program, ditunjukkan dari integrasi yang baik mulai dari proses penentuan arah program, proses pengembangan program
lembaga, sampai proses pelaksanaan proyek kegiatan program pada level komunitas. Kemajuan tersebut dapat dikonfirmasi dari beberapa aspek seperti : 1
Evaluasi dampak program pemberdayaan melalui metode VPA Survey yang menunjukkan bahwa CECOM Foundation mampu meningkatkan pola pikir dan
taraf hidup komunitas petani dampingan secara signifikan dibandingkan komunitas petani yang bukan dampingan; 2 Apresiasi dan pengakuan dari
berbagai stakeholder dari dalam maupun dari luar Propinsi Riau yang dibuktikan dengan berbagai bentuk kerjasama dan kemitraan CECOM Foundation dengan
institusi lain baik dari unsure pemerintah, LSM maupun perusahaan. Kemajuan pada manajemen SDM Organisasi, ditunjukkan dengan
kualitas SDM pengelola CECOM Foundation, khususnya kualitas para pendamping komunitas field officer yang telah mampu berperan sebagai
fasilitator dan Community Organizer yang efektif dan dalam waktu yang relatif singkat selama tiga tahun telah mampu mengembangkan partisipasi masyarakat
dalam program pemberdayaan sehingga posisi kelompok tani dampingan yang berada pada fase persiapan pada akhir tahun 2006 bergerak maju menuju fase
kemandirian pada akhir tahun 2008. Hasil petikan wawancara dengan SHM bin MK, Ketua Kelompok Tani
dan Nelayan Andalan KTNA Kabupaten Kampar yaitu :
“Perilaku dan kemampuan mengorganisir masyarakat yang ditunjukkan oleh para pendamping CECOM Foundation
mampu menumbuhkan hubungan batin yang kuat antara komunitas petani dampingan dengan pendamping field CD
officer CECOM sehingga menggerakkan komunitas lebih partisipatif dan bertindak secara kolektif seperti dalam
merumuskan aturan kelompok, bergotong royong, sampai dalam hal memecahkan masalah. Setelah lama diamati, saya
menyimpulkan bahwa pendamping komunitas CECOM Foundation selalu hadir ditengah komunitas tidak sekedar
bertugas, namun terlihat tanggung jawab moral yang besar untuk membantu komunitas petani agar mampu merubah
nasib secara mandiri. Hal yang sama tidak saya temukan pada diri penyuluh yang berada di dinas-dinas pemerintah”
Hasil wawancara diatas menunjukkan bahwa kemauan komunitas petani dampingan merubah pola pikir dan meningkatkan kolektivitas dalam program
pemberdayaan sangat dipengaruhi oleh peranan pendamping komunitas sebuah pemberdayaan masyarakat seperti yang dilakukan oleh CECOM Foundation.
Kemajuan pada manajemen keuangan, ditunjukkan bahwa CECOM Foundation mampu merencanakan, menggalang dan memanfaatkan sumber
pendanaan dari program CSR PT. RAPP maupun sumber pendanaan lain dari mitra kerja seperti dari pemerintah maupun perusahaan lainnya untuk menopang
kelangsungan program pemberdayaan. CECOM Foundation juga mampu menunjukkan akuntabilitas dan transparansi pencatatan keuangan yang dikelola.
Hal tersebut ditunjukkan dengan telah dilakukan audit keuangan secara regular oleh auditor independen yang ditunjuk oleh manajemen dengan hasil wajar tanpa
pengecualian. Ketiga kemajuan CECOM Foundation dalam mengelola program, SDM
Organisasi dan keuangan merupakan modal sosial yang penting bagi proses pengembangan organisasi dan program pemberdayaan secara berkelanjutan.
7.3.2. Ancaman bagi Keberlanjutan
Secara teoritis keberlanjutan program pemberdayaan masyarakat CECOM akan terancam apabila pengelolaan program, organisasi dan keuangan lembaga
tidak dijalankan sesuai rancangan pengembangan CECOM Foundation seperti ditunjukkan pada Gambar 10. Asumsi teoritis diatas ternyata tidak berlaku bagi
keberlanjutan CECOM Foundation karena meskipun kemajuan yang telah dicapai
dalam kurun waktu empat tahun 2006 - 2008 telah menunjukkan prospek keberlanjutan namun secara praktis CECOM Foundation telah mengalami
pembekuan secara mendadak sudden death pada bulan Desember 2008 oleh Dewan Pembina Yayasan.
Pembekuan CECOM Foundation diawali dengan ketetapan dewan pembina untuk menerima ide transformasi akuisisi asset dan program CECOM
Foundation oleh Tanoto Foundation yang diumumkan kepada seluruh staf pengelola pada tanggal 7 Nopember 2008 dalam rapat paripurna yang dihadiri
seluruh unsur pengurus yayasan. Namun dalam waktu sebulan sosialisasi ketetapan tersebut dianulir sendiri oleh dewan pembina.
Hasil petikan wawancara dengan , AMZ mantan pendamping komunitas CECOM Foundation yaitu :
“Pada tanggal 12 Desember 2008, seluruh staf CECOM Foundation dikumpulkan dalam Rapat bersama seluruh unsur
pengurus yayasan dan diumumkan beberapa ketetapan dewan pembina yang antara lain menyebutkan bahwa terhitung
tanggal tersebut transformasi CECOM Foundation menjadi Tanoto Foundation dibatalkan dan selanjutnya CECOM
Foundation dibekukan dengan alasan PT. RAPP sebagai donatur mengalami kesulitan cash flow serius sebagai akibat
adanya krisis keuangan global yang melanda Amerika pada tahun 2008 yang kemudian berimbas ke Indonesia. Namun
pada kesempatan lain, ketua tim likuidasi yang dibentuk pembina mengatakan bahwa alasan pembekuan CECOM
Foundation disebabkan yayasan belum terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Semua alasan itu terkesan
dibuat-buat untuk melegalkan pembekuan CECOM Foundation yang telah dilakukan secara paksa, sepihak, dan
arogan”
Hasil petikan wawancara dengan EL, pengamat dan praktisi senior dalam program pemberdayaan masyarakat yaitu :
“Dari pengamatan dan pengalaman panjang terkait program pemberdayaan masyarakat, saya simpulkan bahwa tidak ada
korporasi di Indonesia yang serius menjalankan CSR secara berkelanjutan. Penyebabnya ada dua, bahwa mereka : 1
Tidak mau karena takut uangnya habis untuk membiayai program CSR; atau 2 Tidak tahu cara menjalankan CSR
karena tidak serius mengembangkan
paradigma pemberdayaan masyarakat”
Hasil kedua wawancara diatas menyimpulkan bahwa ancaman utama bagi program pemberdayaan oleh CECOM Foundation yang dibentuk oleh korporasi
dengan atas nama program CSR bukan disebabkan alasan obyektif dalam pengelolaan program, organisasi dan keuangan lembaga namun lebih disebabkan
alasan subyektif dan kepentingan pribadi CEO korporasi yang membentuknya. Hal tersebut sesuai pendapat Wibowo 2006 yang menyatakan bahwa
kecenderungan pelaksanaan CSR di Indonesia yang sangat tergantung pada chief executive officer CEO korporasi. Artinya, kebijakan CSR tidak otomatis selaras
dengan visi dan misi korporasi. Jika CEO memiliki kesadaran moral bisnis berwajah manusiawi, besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan
kebijakan CSR yang layak. Sebaliknya, jika orientasi CEO-nya hanya pada kepentingan kepuasan pemegang saham produktivitas tinggi, profit besar, nilai
saham tinggi serta pencapaian prestasi pribadi, boleh jadi kebijakan CSR sekadar kosmetik.
Motivasi CEO korporasi semacam itu digambarkan oleh Menurut Hamann
dan Acutt 2003 dalam Wibowo 2006 sebagai Motivasi Akomodasi, yaitu
kebijakan bisnis yang hanya bersifat kosmetik, superficial, dan parsial. CSR dilakukan untuk memberi citra sebagai korporasi yang tanggap terhadap
kepentingan sosial. Singkatnya, realisasi CSR yang bersifat akomodatif tidak melibatkan perubahan mendasar dalam kebijakan bisnis korporasi sesungguhnya.
Jika motivasi akomodasi yang dijalankan korporasi untuk program CSR perusahaan maka sesuai tahapan business evolution toward sustainability yang
dirumuskan Fajar 2006 seperti pada gambar 7, maka jati diri dan perilaku korporasi tersebut berada dalam golongan antara “monyet” dengan “simpanse”
dimana korporasi hanya mementingkan mengejar profit semata dan hanya akan memberikan charity apabila korporasi tersebut ada perlunya atau mendapat
tekanan permintaan dari stakeholdernya.
VIII. PENUTUP
8.1. Kesimpulan