Perburuan Satwa Liar Suku Dayak

Oleh karena itulah pengetahuan tradisional menjadi akar dari konsep kearifan lokal. Dalam konteks konservasi sumberdaya hutan, kearifan lokal memiliki posisi yang terkait dengan upaya masyarakat lokal dalam memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari, walaupun sulit dijelaskan secara terpisah Aliadi 2002.

2.3 Perburuan Satwa Liar Suku Dayak

Kegiatan berburu menjadi aktivitas penting untuk pemenuhan kebutuhan protein di berbagai negara khususnya negara yang memiliki hutan tropis Redford 1993. Berburu menjadi kegiatan kesukaan bagi para laki-laki, begitu pula bagi Suku Dayak Ngindra 1999. Akan tetapi, berburu menjadi kegiatan sampingan setelah mata pencaharian bertani bagi masyarakat pedalaman Kalimantan karena ketika para kaum lelaki berjalan melintasi hutan selalu membekali diri dengan berbagai alat untuk menangkap binatang atau berburu Nieuwenhuis 1994. Satwa liar yang menjadi kesukaan Suku Dayak saat berburu antara lain Babi berjenggot Sus barbatus, Rusa sambar Cervus unicolor dan Kijang Muntiacus muntjac. Selain jenis-jenis diatas, jenis lain yang menjadi sumber protein bagi masyarakat lokal Suku Dayak adalah landak dan biawak. Sementara itu untuk karnivora maupun primata untuk konsumsi biasanya tertangkap karena tidak sengaja bertemu saat memburu satwa buruan penting Puri 1999. Berdasarkan Nieuwenhuis 1994 satwa yang menjadi buruan utama Suku Dayak dalam penelitiannya adalah babi hutan, jenis-jenis kucing hutan, dan binatang menyusui yang kecil. Ada beberapa teknik berburu yang biasa digunakan oleh Suku Dayak antara lain menunggu babi berenang atau dalam bahasa Dayak Kenyah disebut mabang satong. Teknik ini dilakukan dengan kawanan babi berjengggot pada saat menyeberangi sungai dalam rangka migrasi periodik. Penangkapan dilakukan dari atas perahu di tengah sungai. Teknik lain adalah menggunakan anjing untuk mencari dan menghalau babi dan binatang darat lainnya keluar dari persembunyiannya. Dalam bahasa Suku Dayak Kenyah berburu dengan cara ini disebut dengan ngaso. Selanjutnya, teknik yang digunakan adalah menirukan perilaku Beruk Macaca nemestrina untuk menarik perhatian babi berjenggot dan ungulata darat lainnya. Teknik ini dalam bahasa Dayak Kenyah disebut dengan nedok. Teknik berburu berikutnya adalah dengan menyumpit atau dalam bahasa Dayak Kenyah disebut dengan ngeleput. Berburu dengan teknik ini dilakukan dengan cara mengejar baik dari atas perahu ataupun berjalan kaki, serta pengintaian dan penyergapan dari tempat persembunyian di dekat sumber garam. Selain itu, masyarakat juga menggunakan senapan lantak dan senapan angin dalam teknik berburunya. Teknik berburu ini dilakukan dengan melacak atau mengintai satwa buruan dan kemudian ditembak. Teknik ini dalam bahasa dayak dikenal dengan istilah nyalapang. Nyalapang baru berkembang belakangan ini sebagai jenis teknik berburu yang khas. Teknik terakhir yang digunakan masyarakat Suku Dayak adalah dengan memasang jerat atau biasa dikenal dengan istilah nyaut Puri 1999. Masih menurut Puri 1999 dalam memilih teknik berburu, masyarakat mempertimbangkan berbagai faktor, diantaranya : Karakteristik umur : bagi pemburu tua maka akan lebih memilih berburu dengan teknik menunggu babi berenang, menyumpit dan menirukan perilaku beruk karena lebih membutuhkan kesabaran dan kemampuan menyelinap. Sementara itu kaum muda lebih memilih dengan menggunakan anjing yang membutuhkan kecepatan gerak, kekuatan dan ketahanan tubuh. Waktu berburu : saat berburu pada siang hari maka satwa buruan yang akan menjadi tujuan adalah babi berjenggot, kijang, monyet, biawak, ular, burung enggang. Sementara itu jika berburu saat malam hari maka satwa yang menjadi tujuan adalah rusa, pelanduk kancil, kucing hutan, dan beberapa jenis musang. Perilaku satwa buruan : dengan pengetahuan mengenai perilaku bermanfaat bagi pemburu untuk menentukan posisi saat berburu serta menghindari dari serangan satwa. Lokasi dan kuantitas makanan satwa buruan : saat buah-buahan sedang langka di dalam hutan maka besar kemungkinan satwa dapat dijumpai sedang makan di tanaman palem dan buah ara. Sementara itu ladang dengan tanaman padi yang masih muda akan banyak didatangi oleh beruk dan rusa, babi menggali tanah mencari cacing dan serangga kecil di tepi sungai, Topografi : akan mempengaruhi visibilitas satwa buruan dan predator serta mempengaruhi arah angin. Alat tradisional seperti sumpit, sekarang ini jarang digunakan dan digantikan oleh senjata. Akan tetapi berburu menggunakan anjing serta pemakaian jebakan masih dimanfaatkan oleh masyarakat Sutedja 2005. Dalam kegiatan berburu anjing dimanfaatkan untuk melacak dan mengurung binatang buruan Nieuwenhuis 1994. Dalam pembagian hasil berburu, Suku Dayak Kenyah menghadiahkan daging hasil buruan kepada tetangga serta kerabat dekat. Selain itu semua orang yang turut serta dalam kegiatan perburuan seperti orang-orang yang meminjamkan alat untuk berburu juga mendapat pembagian hasil buruan Puri 1999. Saat kegiatan berburu babi berenang, sistem pembagian hasil agak berbeda. Orang yang pertama kali menemukan babi berenang dan berhasil memburunya maka harus mengundang semua penduduk desa, paling tidak para kepala keluarga yang ada untuk makan bersama menikmati hasil buruan tersebut. Pada saat itu juga diumumkan bahwa musim babi berenang telah tiba dan bagi masyarakat yang ingin pergi menunggu babi berenang harus mematuhi aturan yang berlaku Devung 1998. Perburuan satwa liar juga diadakan oleh serombongan pemburu yang ditugaskan berburu pada saat-saat tertentu seperti saat diadakan pesta atau gotong royong nyamat. Untuk perburuan seperti ini juga memiliki aturan khusus dalam pembagian hasilnya. Bagi pemilik alat berburu seperti anjing, senapan, dan peluru mendapat bagian dari hasil buruan tersebut. Bagi pemilik anjing, senapan, dan peluru yang digunakan dalam kegiatan berburu tersebut mendapat bagian kepala dan ekor dari binatang hasil buruan, juga pembagian dari sisanya. Peserta berburu lainnya mendapat bagian jeroan dari binatang buruan. Sementara itu seluruh bagian lainnya diserahkan kepada penyelenggara pesta atau pelaksana kegiatan gotong royong Devung 1998.

2.4 Adaptasi Kebudayaan