Gejala alam dan penunjuk arah untuk berburu

beringin Ficus benjamina, aren Arenga undulatifolia, bertam Eugeissona utilis, rambutan hutan Nephelium lappaceum, la’dan, langsat, maritam, mata kucing, mbu nangau, kara’ , bangan, durian hutan Durio sp., dan laran babui Shorea spp.. Selain sumber pakan babi, sumber pakan kijang juga dijadikan lokasi perburuan. Buah yang biasa menjadi pakan kijang antara lain bangan dan beringin Ficus benjamina. Semua kegiatan perburuan, selalu memperhatikan arah angin saat berburu. Arah angin yang baik saat berburu adalah arah angin yang berlawanan dengan arah berjalan pemburu yang sedang mengejar atau mengintai satwa. Jika arah angin searah dengan arah berjalan pemburu yang sedang mengejar ataupun mengintai satwa maka satwa akan pergi karena mendeteksi aroma manusia dan begitu pula sebaliknya. Burung rangkong sering ditemukan mencari makan di pohon beringin sehingga pohon beringin yang sedang berbuah menjadi lokasi perburuan burung rangkong gading maupun rangkong badak. Dengan mengetahui perilaku burung rangkong yang mencari makan di pohon beringin ini, hal ini memudahkan masyarakat ketika akan berburu rangkong. Selain itu, masyarakat biasanya memasang jerat untuk burung-burung ini pada pohon beringin. Jerat tersebut dinamakan pulut. Pulut terbuat dari getah. Sebatang kayu kecil ujungnya dilengkapi pulut kemudian dipasang di pohon beringin. Saat burung datang dan salah hinggap maka bisa tertancap pada kayu tersebut sehingga burung dapat ditangkap dengan lebih mudah. Namun teknik ini juga sudah mulai jarang dipergunakan karena sudah digantikan dengan teknik berburu menggunakan senapan.

5.1.3.5 Gejala alam dan penunjuk arah untuk berburu

Dalam melakukan kegiatan perburuan, sampai saat ini masyarakat masih menggunakan beberapa tanda-tanda atau gejala alam tertentu untuk mengetahui musim berburu suatu satwa, khususnya babi. Gejala alam yang masih dimanfaatkan masyarakat adalah saat musim babi bermigrasi akan dimulai. Gejala alam ini diperoleh masyarakat dari nenek moyang mereka secara turun temurun. Berdasarkan hasil wawancara, musim babi berenang tidak bisa dipastikan waktunya. Kadang kala babi bermigrasi sampai beberapa kali dalam satu tahun. Namun pada waktu tertentu musim babi berenang tidak muncul sampai beberapa tahun. Menurut Puri 1999 migrasi babi di kawasan Pujungan-Lurah-Bahau berlangsung selama 4-8 minggu, dapat terjadi sebanyak tiga kali dalam satu tahun, atau satu kali dalam satu tahun. Babi bermigrasi menuju lokasi yang terdapat banyak sumber makanan. Menurut responden, secara perhitungan bulan, biasanya babi bermigrasi pada bulan Juni sampai Juli namun tidak dapat dipastikan periode tahunnya. Berikut ini adalah beberapa gejala alam dimulainya musim babi berenang :  Munculnya kelelawar atau tawon yang terbang ke arah tertentu. Arah terbang kelelawar ini menjadi patokan pula untuk babi berenang. Hal ini dikarenakan kelelawar sebagai satwa pemakan buah-buah akan terbang menuju lokasi yang sedang musim buah. Kejadian ini diikuti oleh babi untuk bermigrasi dengan menyeberang sungai ke lokasi yang sedang musim buah,  Munculnya kupu-kupu berwarna putih di pinggir sungai. Sekitar satu minggu hingga satu bulan setelah ditemui kupu-kupu putih banyak hinggap di pinggir sungai maka musim babi bermigrasi akan segera dimulai. Jika kupu-kupu putih yang banyak hinggap di pinggir sungai maka babi yang bermigrasi berbadan gemuk. Jika kupu-kupu yang hinggap di pinggir sungai memiliki corak loreng biasanya babi yang bermigrasi berbadan kurus,  Munculnya akar tumbuhan di bebatuan di pinggir sungai,  Munculnya awan berbentuk lurus dan panjang,  Jika berburu babi maka hati dari babi tersebut memiliki bentuk yang panjang,  Anjing peliharaan akan mulai sakit-sakitan bahkan sampai mati,  Angin berhembus ke arah barat secara terus menerus kurang lebih selama 2-3 minggu. Gejala alam lain yang membantu masyarakat lokal dalam kegiatan berburu adalah bulan. Saat bulan sabit biasanya pelanduk kancil yang ditangkap tidak memiliki empedu. Tapi saat bulan purnama pelanduk kancil yang ditangkap memiliki empedu. Ketika berjalan menelusuri hutan baik untuk berburu maupun kegiatan lain di dalam hutan, masyarakat lokal terbiasa dengan menghafal lokasi sungai dan bukit yang dilalui. Cara tersebut merupakan cara yang sering dipergunakan masyarakat agar tidak tersesat saat berjalan di dalam hutan. Bagi para pemburu pemula yang belum terlalu hafal lokasi sungai dan bukit, mereka membuat tanda menggunakan patahan ranting sebagai penunjuk arah. Selain bagi penunjuk jalan bagi pemburu pemula, tanda patahan ranting ini dipergunakan sebagai tanda bahwa arah tersebut sedang ada masyarakat yang berburu. Dengan mengetahui bahwa di lokasi tersebut sedang ada orang maka pemburu lain tidak akan pergi lokasi tersebut dan dapat lebih berhati-hati saat berburu agar alat berburu tidak salah sasaran.

5.1.3.6 Pemilihan satwa buruan dan cara pengangkutan satwa buruan