Kearifan Lokal Pengetahuan Berburu

yang telah turun temurun dan terus dipraktikkan sampai saat ini. Satwa liar yang dilarang dibunuh dan diburu berdasarkan aturan adat adalah buaya Crocodylus porosus dan ular kobra Ophiophagus hannah. Satwa ini dilarang dibunuh karena berdasarkan mitos satwa ini merupakan jelmaan dari nenek moyang sehingga masyarakat dilarang mengganggu dan bahkan membunuhnya. Untuk burung rangkong badak dan rangkong gading, perburuan satwa ini mulai dibatasi jumlahnya karena kekhawatiran akan kepunahan.

5.1.5 Kearifan Lokal Pengetahuan Berburu

Ketersediaan, kelestarian dan keberlanjutan sumber daya alam ditentukan oleh adanya faktor kearifan sebagai manifestasi akal masyarakat lokal yang tersembunyi dan diyakini sebagai sesuatu yang benar, dirasakan bersama serta merupakan sesuatu yang baik dan berguna bagi kehidupan Tukan 2000 dalam Sirait 2005. Dalam praktik perburuan satwa bentuk-bentuk kearifan lokal merupakan hasil akumulasi dari pengamatan dan pengalaman masyarakat dalam proses interaksi yang terus menerus dengan lingkungan dan beradaptasi terhadap waktu dan tekanan. Beberapa bentuk kearifan lokal dalam kegiatan berburu yang dilakukan oleh masyarakat antara lain larangan membunuh satwa liar di dalam hutan tanpa tujuan yang jelas, larangan berburu di daerah asal babi akan bermigrasi, pemilihan satwa buruan dan pemanfaatan beberapa gejala alam untuk berburu satwa liar. Larangan membunuh satwa dengan tujuan yang jelas memiliki arti penting sebagai pemanfaatan satwa liar secara berkelanjutan atau jangka panjang. Responden menyampaikan bahwa memang ada aturan adat yang mengatur hal ini dan dengan berjalannya waktu masyarakat memiliki kesadaran untuk melaksanankannya. Sebagai suatu bentuk kearifan lokal, larangan ini merupakan hasil pengalaman generasi sebelumnya yang kemungkinan melakukan perburuan melebihi kebutuhan sehingga dikhawatirkan satwa liar buruan mereka akan berkurang. Terbentuknya larangan ini, baik disadari ataupun tidak telah menjadi upaya untuk membatasi perburuan satwa dalam kehidupan masyarakat. Pemilihan satwa buruan utama yaitu babi berjenggot, rusa sambar, kijang dan pelanduk kancil, yang sampai sekarang diburu dan dikonsumsi masyarakat juga melalui proses yang panjang berdasarkan pengalaman nenek moyang mereka. Proses ini memilih satwa-satwa dengan daging yang banyak dan rasa yang enak. Babi berjenggot sebagai satwa buruan utama memiliki rasa yang paling enak jika dibandingkan dengan Ungulata lain yang menjadi satwa buruan utama. Memburu satwa apapun yang dijumpai di dalam hutan hanya dilakukan jika memang kondisi mendesak untuk segera pulang dan pemburu belum mendapat hasil. Jika tidak berada pada kondisi seperti ini maka satwa buruan utama mereka tetap babi berjenggot, rusa sambar, kijang dan pelanduk kancil. Berdasarkan pengalaman masyarakat pun dari keempat satwa buruan utama tersebut masyarakat masih memilih lagi satwa dengan daging yang mudah dikonsumsi. Kijang memiliki tekstur daging yang agak keras sehingga satwa ini menjadi alternatif terakhir dari empat satwa buruan utama. Kearifan lokal tentu saja diajarkan atau diwariskan kepada generasi muda disamping juga diparaktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula dengan kegiatan berburu pada masyarakat Dayak Kenyah yang telah ada sejak zaman dahulu. Kegiatan berburu sebagai suatu bentuk penyesuaian diri manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karena itu pengetahuan berburu ini selalu diwariskan kepada generasi muda. Sebagai satu-satunya cara pemenuhan kebutuhan protein hewani maka pengetahuan berburu ini menjadi penting untuk dipertahankan dan diwariskan meskipun teknik berburu mulai menyesuaikan dengan teknologi yang lebih moderen sesuai dengan perkembangan zaman. Agar pengetahuan mengenai berburu ini tidak hilang, masyarakat selalu mewariskan teknik dan pengetahuan tentang berburu kepada anggota keluarganya. Setiap orang tua khususnya seorang ayah, selalu mewariskan dan mengajarkan teknik berburu serta pengetahuan tentang perjalanan di dalam hutan. Ketika anak laki-laki berumur 12-15 tahun, para orang tua khususnya ayah, sudah mulai menyertakan anak laki-laki mereka saat melakukan perjalanan ke dalam hutan. Sejak umur tersebut para anak laki-laki mulai diajarkan cara berburu dengan melihat orang tuanya yang sedang berburu. Dengan semakin seringnya anak laki- laki diajak orang tua untuk masuk hutan dan berburu maka mereka akan semakin paham mengenai teknik berburu dan hafal daerah-daerah di sekitar desa mereka. Pewarisan pengetahuan berburu dan perjalanan di dalam hutan tidak hanya dilakukan dari orang tua ke anak tetapi juga dilakukan dari paman kepada keponakan bahkan kepada tetangga terdekat. Hal ini sesuai dengan pendapat Keraf 2002 bahwa kearifan lokal adalah milik komunitas yang dimiliki dan disebarluaskan secara kolektif bagi semua anggota komunitas yang diketahui dan bahkan wajib diajarkan secara terbuka kepada semua anggota komunitas. Sampai saat ini belum ada upaya untuk mendokumentasikan pengetahuan secara tertulis tentang perburuan di desa ini. Pewarisan pengetahuan kepada generasi muda dilakukan secara lisan dan praktik secara langsung di dalam hutan.

5.2 Perkembangan Teknologi dan Adaptasi Budaya

Kebudayaan memiliki sifat yang dinamis dan adaptif karena menyesuaikan dengan kebutuhan fisik, geografis maupun lingkungan sosialnya. Tindakan manusia sebagai bagian dari kebudayaan juga selalu dinamis dan beradaptasi terhadap kebutuhan dan lingkungannya. Dalam penelitian ini salah satu tindakan manusia yang dinamis dan beradaptasi dengan lingkungan yang lebih moderen adalah dengan memanfaatkan senapan untuk kegiatan berburu. Perkembangan teknologi tanpa bisa dielakkan terus terjadi belakangan ini. Teknologi membantu manusia untuk memudahkan pekerjaan agar lebih efektif dan efisien dalam melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Masyarakat Dayak Kenyah mulai memanfaatkan senapan sejak tahun 1980-an. Dahulu kepemilikan senapan hanya terbatas pada petinggi adat dan senapan dimanfaatkan untuk pertahanan diri saat berperang melawan penjajah. Namun seiring berjalannya waktu, masuknya pengetahuan baru dari masyarakat yang berkunjung ke kota serta masuknya informasi melalui media elektronik menjadi beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat mulai memanfaatkan senapan untuk kepentingan berburu. Dengan menggunakan senapan maka berburu lebih praktis karena masyarakat tidak perlu lagi mencari dan membuat racun untuk tombak maupun sumpit. Interaksi masyarakat desa ini dengan masyarakat kota ataupun masyarakat desa bepergian ke kota menyebabkan mereka mengetahui pekembangan teknologi. Interaksi inilah yang menjadi salah satu cara transfer pengetahuan