atau minuman beralkohol khas Dayak Kenyah. Membawa minuman ini saat berburu dianggap tidak baik karena dapat mengganggu kegiatan berburu sehingga
pemburu tidak dapat fokus dalam melakukan kegiatan perburuan.
5.1.3.3 Lokasi dan alat transportasi berburu
Dalam melakukan kegiatan berburu, masyarakat diperbolehkan untuk berburu di semua lokasi, akan tetapi terdapat beberapa aturan adat mengenai
berburu di luar desa Long Alango itu sendiri. Untuk pemenuhan kebutuhan sendiri masyarakat disarankan untuk tidak berburu di desa lain. Namun jika dipergunakan
untuk kepentingan bersama maka boleh berburu sampai desa lain dan meminta izin kepada masyarakat desa tersebut. Selain itu, berburu di
tana’ ulen juga memiliki batasan, yaitu untuk konsumsi sendiri dan bukan untuk kepentingan
bersama. Tana’ ulen merupakan hutan yang dilindungi secara adat dan
pemanfaatannya sangat terbatas dan diatur dengan aturan adat. Pada zaman dahulu, di
tana’ ulen bahkan dilarang digunakan untuk berburu. Namun dengan berjalannya waktu demi pemenuhan kebutuhan masyarakat maka sekarang
diperbolehkan berburu di tana’ ulen tetapi tetap dengan peraturan adat yang telah
disepakati. Secara umum, lokasi yang sering dimanfaatkan masyarakat untuk berburu
adalah di dalam hutan, di sekitar sungai dan di bekas ladang jekkau. Jekkau merupakan sistem ladang gilir balik dengan periode waktu gilir baliknya setelah
enam sampai tujuh tahun. Daerah sekitar sungai yang menjadi lokasi berburu antara lain Sungai Alango Kanan dan Kiri, Sungai Pande, Sungai Enggeng,
Sungai Bahau, Sungai Melua, Sungai Arai, Sungai Batu Baya, dan sungai Polong. Selain di sekitar sungai, masyarakat juga berburu di jekkau yang mulai ditumbuhi
rumput sehingga menjadi semacam padang alang-alang. Lokasi berburu yang digunakan masyarakat, baik di sekitar hutan, sekitar
sungai dan sekitar jekkau, berada di dalam zona tradisional dan di luar kawasan taman nasional. Sebagai contoh daerah di sekitar Sungai Enggeng dan Sungai
Pande merupakan daerah yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang. Lokasi-lokasi tersebut masuk dalam
Tana’ Ulen desa. Selain di dalam zona tradisional, masyarakat juga melakukan perburuan di luar kawasan taman
nasional yaitu di hutan sekitar desa. Sementara itu lokasi jekkau yang digunakan untuk berburu biasanya terletak di sekitar sungai dan tidak masuk ke dalam
kawasan taman nasional. Lokasi yang dilarang digunakan untuk berburu adalah daerah asal babi
akan berenang atau migrasi. Peraturan lokasi larangan ini muncul hanya saat musim babi berenang. Ketika babi akan berenang dan ada manusia di daerah asal
babi akan berenang maka kemungkinan besar babi akan batal untuk berenang bahkan babi tersebut akan menjauh dari pinggir sungai dan semakin masuk ke
dalam hutan. Apabila babi batal berenang maka kesempatan masyarakat untuk memperoleh daging dengan lebih mudah akan batal. Saat musim babi berenang
seperti ini maka hasil buruan akan melimpah. Bahkan orang yang tidak sempat atau tidak mampu berburu pun akan mendapatkan daging dari orang-orang di
sekitarnya. Larangan ini diberlakukan karena mempertimbangkan kepentingan bersama dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Keegoisan satu orang yang
berburu di daerah asal babi berenang akan merugikan banyak orang. Oleh karena itu, larangan ini diberlakukan. Masyarakat yang melanggar aturan ini dikenai
denda berupa parang. Begitu pula jika ditemukan perahu motor ketinting di lokasi asal babi akan berenang maka perahu ini akan dirusak oleh masyarakat dan
pemilik ketinting masih akan terkena denda sebuah parang. Ketika para pemburu berburu hingga menyeberang sungai atau ke desa
lain, maka ketinting merupakan alat transportasi yang selalu dipergunakan. Akan tetapi jika kegiatan berburu dilakukan di sekitar desa tanpa harus menyeberang
sungai, para pemburu menuju lokasi berburu dengan jalan kaki. Sama halnya dengan perbekalan, jika kegiatan berburu dilakukan oleh beberapa orang maka
penggunaan ketinting yang digunakan sesuai dengan kesepakatan antar pemburu yang akan berangkat berburu.
5.1.3.4 Teknik berburu