Ketika berjalan menelusuri hutan baik untuk berburu maupun kegiatan lain di dalam hutan, masyarakat lokal terbiasa dengan menghafal lokasi sungai dan
bukit yang dilalui. Cara tersebut merupakan cara yang sering dipergunakan masyarakat agar tidak tersesat saat berjalan di dalam hutan. Bagi para pemburu
pemula yang belum terlalu hafal lokasi sungai dan bukit, mereka membuat tanda menggunakan patahan ranting sebagai penunjuk arah. Selain bagi penunjuk jalan
bagi pemburu pemula, tanda patahan ranting ini dipergunakan sebagai tanda bahwa arah tersebut sedang ada masyarakat yang berburu. Dengan mengetahui
bahwa di lokasi tersebut sedang ada orang maka pemburu lain tidak akan pergi lokasi tersebut dan dapat lebih berhati-hati saat berburu agar alat berburu tidak
salah sasaran.
5.1.3.6 Pemilihan satwa buruan dan cara pengangkutan satwa buruan
Kegiatan berburu merupakan cara utama yang dilakukan masyarakat lokal suku Dayak Kenyah untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Oleh karena itu
satwa buruan merupakan satwa yang memiliki daging banyak atau satwa yang berbadan gemuk.
Saat berburu masyarakat mengutamakan memburu binatang yang berbadan gemuk dan diutamakan memburu induknya dan tidak membunuh
anakannya. Jika menemui satwa berbadan kurus maka tidak ditangkap dan dibiarkan pergi. Demikian pula jika bertemu dengan satwa yang sedang bersama
anaknya maka yang ditangkap induknya saja dan membiarkan pergi anakannya. Hal ini bertujuan agar anakannya dapat berkembang biak lebih banyak lagi
sehingga satwa liar di dalam hutan masih bisa dimanfaatkan untuk jangka panjang.
Dalam melakukan kegiatan perburuan, masyarakat hanya memburu satwa sesuai kebutuhan mereka dan tidak memburu binatang secara berlebihan. Ketika
pemburu membutuhkan daging suatu satwa tertentu maka apabila bertemu satwa yang bukan tujuanya, satwa tersebut tidak akan dibunuh dan dibiarkan pergi.
Secara detail di dalam aturan adat tidak ada pembatasan jumlah satwa yang diburu. Akan tetapi masyarakat dengan kesadaran sendiri dan berdasarkan
kebiasaan yang telah turun temurun, hanya memburu satwa sesuai kebutuhan dan sesuai kemampuan mengangkut ke rumah. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Sutedja 2005 bahwa masyarakat hanya menangkap satwa buruan sesuai kemampuan angkut mereka.
Namun demikian terdapat larangan-larangan saat memburu satwa terkait dengan jumlah satwa yang dibunuh. Larangan tersebut adalah tidak boleh
membunuh satwa jika akhirnya tidak dibawa pulang. Dilarang bagi pemburu hanya membunuh satwa dan meninggalkan begitu saja di dalam hutan. Jika
memang membunuh satwa lebih dari satu atau lebih dari kemampuan pemburu untuk membawa pulang, maka pemburu harus memberitahu orang lain untuk
mengambilnya di dalam hutan. Tujuan utama dari larangan tersebut adalah masyarakat tidak boleh membunuh satwa tanpa tujuan yang jelas dan
menyebabkan satwa liar mati dengan sia-sia. Hal ini merupakan suatu bentuk nilai penting sebagai upaya pemanfaatan satwa liar secara berkelanjutan.
Setelah mendapatkan satwa buruan yang ditargetkan kemudian pemburu membawa pulang hasil buruan dengan cara digendong menggunakan
ki’ba. Selain menggunakan
ki’ba, pemburu biasanya mengangkut hasil buruan menggunakan kulit kayu kidau Pterospermum sp.
, ti’ban maupun daun sang Licuala valida. Namun ada pula pemburu yang langsung menggendong hasil buruannya setelah
terlebih dahulu dibersihkan. Apabila lokasi berburu cukup jauh dari rumah dan ukuran satwa cukup
besar, maka pemburu hanya akan membawa pulang bagian-bagian tubuh satwa yang biasa dimanfaatkan, terutama daging. Hal ini dilakukan untuk efisiensi
dalam pengangkutan hasil buruan dengan mempertimbangkan jarak yang jauh dari rumah. Sementara itu bagian-bagian yang tidak dipergunakan akan ditinggalkan di
dalam hutan. Tetapi apabila jarak lokasi berburu tidak terlalu jauh dari rumah maka pemburu akan membawa satwa tersebut dalam keadaan utuh. Apabila saat
berburu pemburu menggunakan ketinting maka kemudian satwa diangkut ke ketinting menuju desa dan kemudian digendong kembali sampai ke rumah.
Ketika pemburu melakukan kegiatan berburu sampai menginap di dalam hutan selama beberapa hari maka biasanya pemburu memanggang hasil
buruannya agar awet hingga pulang. Penyimpanan secara tradisional dengan pemanggangan masih terus dimanfaatkan oleh masyarakat sampai saat ini baik
saat berburu di dalam hutan maupun penyimpanan di rumah untuk jangka
panjang. Cara ini masih dipergunakan karena kebutuhan akan listrik belum dapat terpenuhi sepanjang hari sehingga masyarakat belum memanfaatkan teknologi
lemari pendingin untuk penyimpanan jangka panjang.
5.1.3.7 Pembagian hasil buruan