nasional yaitu di hutan sekitar desa. Sementara itu lokasi jekkau yang digunakan untuk berburu biasanya terletak di sekitar sungai dan tidak masuk ke dalam
kawasan taman nasional. Lokasi yang dilarang digunakan untuk berburu adalah daerah asal babi
akan berenang atau migrasi. Peraturan lokasi larangan ini muncul hanya saat musim babi berenang. Ketika babi akan berenang dan ada manusia di daerah asal
babi akan berenang maka kemungkinan besar babi akan batal untuk berenang bahkan babi tersebut akan menjauh dari pinggir sungai dan semakin masuk ke
dalam hutan. Apabila babi batal berenang maka kesempatan masyarakat untuk memperoleh daging dengan lebih mudah akan batal. Saat musim babi berenang
seperti ini maka hasil buruan akan melimpah. Bahkan orang yang tidak sempat atau tidak mampu berburu pun akan mendapatkan daging dari orang-orang di
sekitarnya. Larangan ini diberlakukan karena mempertimbangkan kepentingan bersama dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Keegoisan satu orang yang
berburu di daerah asal babi berenang akan merugikan banyak orang. Oleh karena itu, larangan ini diberlakukan. Masyarakat yang melanggar aturan ini dikenai
denda berupa parang. Begitu pula jika ditemukan perahu motor ketinting di lokasi asal babi akan berenang maka perahu ini akan dirusak oleh masyarakat dan
pemilik ketinting masih akan terkena denda sebuah parang. Ketika para pemburu berburu hingga menyeberang sungai atau ke desa
lain, maka ketinting merupakan alat transportasi yang selalu dipergunakan. Akan tetapi jika kegiatan berburu dilakukan di sekitar desa tanpa harus menyeberang
sungai, para pemburu menuju lokasi berburu dengan jalan kaki. Sama halnya dengan perbekalan, jika kegiatan berburu dilakukan oleh beberapa orang maka
penggunaan ketinting yang digunakan sesuai dengan kesepakatan antar pemburu yang akan berangkat berburu.
5.1.3.4 Teknik berburu
Berdasarkan hasil wawancara, teknik berburu yang digunakan oleh masyarakat suku Dayak Kenyah dibedakan menjadi dua yaitu tradisional dan
moderen. Berburu secara tradisional dilakukan masyarakat dengan menggunakan anjing, tombak, sumpit, membuat jebakan, penyamaran serta memanggil satwa.
Sementara itu berburu secara modern dilakukan masyarakat dengan menggunakan senapan. Pada dasarnya dalam melakukan kegiatan berburu, masyarakat tidak
hanya menggunakan satu teknik akan tetapi memadukan beberapa teknik berburu dalam satu waktu. Sesuai pernyataan Puri 1999 bahwa setiap berburu merupakan
suatu kombinasi unik dari berbagai keterampilan dan teknik dengan fungsi-fungsi mencari, mengejar dan membunuh.
Berburu secara tradisional menggunakan anjing merupakan teknik yang masih sering digunakan sampai sekarang meskipun penggunaan senjata sudah
mulai dominan pada masyarakat Dayak Kenyah. Berburu menggunakan anjing ini pada dasarnya anjing yang melakukan kegiatan perburuan dengan mengejar
satwa. Saat mendeteksi keberadaan satwa liar, anjing akan segera mengejar dan membunuh satwa dengan menggigit satwa tersebut. Jika satwa tersebut tidak
terlalu besar maka biasanya anjing akan membawa satwa buruan tersebut kepada pemburu. Namun jika satwa buruan relatif besar maka saat anjing mengejar
satwa, pemburu akan mengikuti arah lari anjing. Jika satwa buruan telah mati kemudian pemburu akan datang ke lokasi tersebut. Teknik menggunakan anjing
ini kadang dipadukan dengan penggunaan tombak atau dalam bahasa lokal disebut bujak. Saat anjing telah berhasil melumpuhkan satwa buruan, pemburu akan
membunuh satwa tersebut menggunakan tombak. Dapat dikatakan berburu dengan teknik ini tidak membutuhkan tenaga yang besar untuk pemburu karena anjinglah
yang memburu satwa dan pemburu menunggu hingga anjingnya berhasil melumpuhkan satwa buruan atau bahkan membunuh satwa tersebut.
Ketika melakukan kegiatan berburu menggunakan anjing terdapat beberapa pantangan. Pantangan tersebut antara lain menghindari menangkap atau
mendapat macan dahan, beruang madu, banteng, ular sawah dengan anjing yang biasa dibawa berburu. Menurut penuturan responden yang menggunakan anjing
untuk berburu, hal ini menyebabkan anjing tidak akan bisa berburu dengan baik atau dapat dikatakan kemampuan berburunya berkurang bahkan hilang. Hal ini
akan berlangsung sekitar satu minggu. Makanan anjing yang dibawa berburu tidak boleh dicampur dengan bekkai karena akan mengurangi kemampuan anjing ini
untuk berburu. Selain itu dilarang memukul anjing dengan semang merah karena akan mengurangi kemampuan anjing untuk berburu. Saat berburu menggunakan
anjing, pemburu juga dilarang mengambil rotan sega Calamus caesius. Jika pemburu ingin mengambil rotan sega maka sebaiknya tidak berburu dan begitu
pula sebaliknya. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa penggunaan tombak sebagai teknik
berburu merupakan pelengkap saat berburu menggunakan anjing. Namun saat tidak membawa anjing, tombak menjadi senjata utama saat berburu Gambar 9.
Pada beberapa tombak kadang dilengkapi dengan sumpit Gambar 10. Dengan penggabungan dua alat berburu seperti ini maka kegiatan berburu menjadi lebih
efektif karena dengan membawa satu alat tetapi memiliki dua fungsi. Bahan pembuat tombak biasanya dari pohon
tema’ Memecylon garcindes, lapang, dan kayu ulas.
a b
Gambar 9 a Tombak b ujung tombak.
a b
Gambar 10 a Ujung tombak dilengkapi sumpit b pangkal sumpit. Teknik lain yang digunakan dalam berburu adalah menggunakan sumpit
Gambar 11. Alat ini digunakan dengan cara meniup pangkal sumpit dengan anak sumpit di ujungnya. Penggunaan tombak dan sumpit ini juga dilengkapi dengan
penggunaan racun dalam pemakaiannya. Penggunaan racun ini dengan tujuan agar satwa buruan cepat mati.
Penggunaan sumpit sudah mulai jarang belakangan ini karena masyarakat enggan untuk mencari bahan racun. Bahan pembuat racun ini adalah dari getah
pohon Salu’ Antiaris toxicaria, seperti pada Gambar 12. Getah ini diperoleh
Gambar 11 Sumpit
dengan cara menyayat pohon Salu ’ hingga keluar getahnya. Getah ini ditampung
ke dalam bambu. Selanjutnya getah yang telah terkumpul dibungkus dengan daun Sang Licuala valida dan bungkusan ini digantung di atas perapian memasak.
Untuk cara memasak atau membuat racun adalah getah yang telah kering dikerok secukupunya sesuai kebutuhan kemudian diencerkan kembali dengan air hingga
kering. Racun sumpit tidak boleh terkena garam, bawang, dan penyedap rasa saat memasaknya. Saat digunakan racun tersebut juga tidak boleh terkena pada ular
sawah karena racun tersebut akan tawar atau tidak berfungsi. Beberapa orang memiliki cara memasak yang berbeda yaitu dengan menambahkan perasan air
tembakau ataupun menambahkan air accu. Kemampuan atau kecepatan membunuh satwa dari racun ini berbeda-beda tergantung dari getah yang diambil.
Setiap pohon Salu ’ memiliki getah dengan kemampuan membunuh yang berbeda-
beda. Kemampuan getah Pohon Salu’ tidak bisa diidentifikasi hanya melihat
morfologi pohon sehingga masyarakat lokal mengetahui kemampuan getah racun tersebut melalui proses uji coba.
Gambar 12 Getah Kayu Salu’.
Teknik berburu secara tradisional lain yang saat praktiknya dipadukan dengan teknik menombak adalah melakukan penyamaran. Teknik menyamar
dilakukan pemburu dengan cara telanjang badan kemudian melumuri badannya dengan lumpur dari kubangan babi. Hal ini bertujuan untuk meghilangkan aroma
manusia sehingga tidak terdeteksi oleh satwa. Selanjutnya pemburu dapat mendekati satwa dengan jarak yang cukup dekat dan saat satwa lengah satwa
tersebut ditombak. Teknik ini biasanya dilakukan untuk memburu babi berjenggot. Selain teknik tersebut, pemburu biasanya memanggail satwa buruan
dengan cara meniup daun. Satwa yang sering datang dengan menggunakan teknik ini adalah kijang dan rusa.
Teknik tradisional lainnya adalah dengan memasang jebakan. Teknik ini mulai jarang digunakan karena membutuhkan waktu yang relatif lama untuk
memperoleh satwa buruan. Salah satu jebakan yang digunakan adalah belatek. Jebakan ini terbuat dari bambu yang dibuat menyerupai tombak dan berfungsi
mirip dengan tombak. Belatek dipasang pada jalur lintasan satwa. Pemasangan jebakan ini harus ditunggu oleh pemasang karena jebakan dapat membahayakan
orang lain yang melintas pada tempat ini. Teknik berburu lebih moderen menggunakan senapan saat ini lebih
dominan digunakan oleh masyarakat lokal Gambar 13. Penggunaan senapan untuk berburu mulai banyak digunakan pada awal tahun 1980-an. Awalnya
senapan hanya dimiliki oleh kepala adat besar, namun seiring berjalannya waktu dan masuknya pengaruh dari kota maka masyarakat mulai memiliki senapan atau
membuat sendiri senapan tersebut. Pada zaman dulu dan bahkan sampai sekarang beberapa masyarakat masih ada yang merakit sendiri senapan dan membuat
sendiri peluru yang digunakan untuk berburu. Senapan hasil rakitan masyarakat dapat terlihat pada Gambar 14.
Gambar 13 Senapan angin untuk berburu.
Gambar 14 Senapan rakitan untuk berburu. Saat musim kemarau, masyarakat sering berburu dengan teknik menunggu
satwa di sumber air asin atau dalam bahasa lokal disebut dengan sungan. Teknik ini hanya dilakukan saat musim kemarau karena jika musim hujan sumber air asin
ini tidak terasa asin sehingga tidak didatangi oleh satwa. Sumber air asin ini merupakan sumber mineral bagi satwa liar. Satwa yang sering datang minum di
sumber air asin ini antara lain kijang Muntiacus muntjak, rusa sambar Cervus unicolor, dan kadang juga babi berjenggot Sus barbatus maupun beberapa
primata. Sementara itu saat tiba musim buah, biasanya masyarakat berburu dengan
menunggu di sumber pakan satwa buruan. Teknik ini dilakukan dengan melakukan pengintaian satwa buruan dari jarak tertentu kemudian menembak
ataupun menombak satwa tersebut untuk melumpuhkannya. Lokasi sumber pakan yang sering dipergunakan untuk lokasi perburuan adalah di sekitar pohon sumber
pakan babi berjenggot dan sumber pakan kijang. Pohon-pohon yang buahnya dimakan oleh babi berjenggot antara lain
palan Lithocarpus sundaicus, tekalet, binjai, nanga Eugeissona utilis, kapur Dryobalanops aromatica, nyelewai,
beringin Ficus benjamina, aren Arenga undulatifolia, bertam Eugeissona utilis, rambutan hutan Nephelium lappaceum,
la’dan, langsat, maritam, mata
kucing, mbu nangau, kara’
,
bangan, durian hutan Durio sp., dan laran babui Shorea spp.. Selain sumber pakan babi, sumber pakan kijang juga dijadikan
lokasi perburuan. Buah yang biasa menjadi pakan kijang antara lain bangan dan beringin Ficus benjamina.
Semua kegiatan perburuan, selalu memperhatikan arah angin saat berburu. Arah angin yang baik saat berburu adalah arah angin yang berlawanan dengan
arah berjalan pemburu yang sedang mengejar atau mengintai satwa. Jika arah angin searah dengan arah berjalan pemburu yang sedang mengejar ataupun
mengintai satwa maka satwa akan pergi karena mendeteksi aroma manusia dan begitu pula sebaliknya.
Burung rangkong sering ditemukan mencari makan di pohon beringin sehingga pohon beringin yang sedang berbuah menjadi lokasi perburuan burung
rangkong gading maupun rangkong badak. Dengan mengetahui perilaku burung rangkong yang mencari makan di pohon beringin ini, hal ini memudahkan
masyarakat ketika akan berburu rangkong. Selain itu, masyarakat biasanya memasang jerat untuk burung-burung ini pada pohon beringin. Jerat tersebut
dinamakan pulut. Pulut terbuat dari getah. Sebatang kayu kecil ujungnya dilengkapi pulut kemudian dipasang di pohon beringin. Saat burung datang dan
salah hinggap maka bisa tertancap pada kayu tersebut sehingga burung dapat ditangkap dengan lebih mudah. Namun teknik ini juga sudah mulai jarang
dipergunakan karena sudah digantikan dengan teknik berburu menggunakan senapan.
5.1.3.5 Gejala alam dan penunjuk arah untuk berburu