dari nilai-nilai kekuatan agama, moral, ekonomi, kultur, kebiasaan, dan kepatutan.
5
d. Asas Equality
Pengertian asas equality adalah persamaan hak. Jika asas equality dikaitkan dengan fungsi peradilan, berarti setiap orang yang datang berhadapan di
sidang pengadilan adalah “sama hak dan kedudukannya”.
6
Tujuan asas equality dalam praktek Peradilan Agama diantaranya terdapat tiga hal yang paling fundamentum.
1 Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan
pengadilan atau equal before the law, 2
Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau equal protection on the law,
3 Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau equal justice
under the law atau equal treatment uder the law. Ketiga hal inilah pedoman dalam menerapkan persamaan hak dan
kedudukan dalam proses peradilan. Serta sekaligus ketiga hal itulah makna yang terkandung dalam pasal 58 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 yang kini telah dirubah
menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua menjadi UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
7
5
Ibid, h. 83.
6
Ibid, h. 85.
7
Ibid, h. 86.
e. Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan
Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan diatur dalam pasal 57 ayat 3 UU No. 7 Tahun 1989 kini dirubah menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan
perubahan kedua menjadi UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Makna yang dicita-citakan adalah pertama, suatu proses pemeriksaan yang relatif
tidak memakan jangka waktu lama sampai bertahun-tahun sesuai dengan kesederhanaan hukum acara itu sendiri. Apa yang memang sudah sederhana
jangan sengaja dipersulit oleh hakim ke arah proses pemeriksaan yang berbelit- belit dan tersendat-
sendat. Jangan sampai jalannya pemeriksaan “mundur terus”, untuk kesekian puluh kali atas berbagai alasan yang tidak sah menurut hukum.
Kedua, penerapan asas ini tid ak boleh mengurangi “ketepatan”
pemeriksaan dan penilaian menurut hukum dan keadilan. Kesedehanaan, kecepatan pemeriksaan, jangan dimanipulasi untuk membelokkan hukum,
kebenaran, dan keadilan.
8
Dalam suatu putusan yang cepat dan tepat terkandung keadilan yang “bernilai lebih”. Ketepatan putusan sesuai hukum, kebenaran dan keadilan itu saja
sudah mengandung nilai keadilan tersendiri, dan dengan kecepatan
penyelesaiannya pun mengandung nilai keadilan tersendiri, sehingga dalam
8
Lihat M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Jakarta: Sinar Garafika, 2007, h. 70-71.
putusan yang cepat dan tepat terdapat penjumlahan rasa nilai keadilan yang saling mengisi dalam penegakkan hukum.
9
f. Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum
Secara harfiah, makna pemeriksaan sidang terbuka untuk umum, berarti setiap pemeriksaan berlangsung di sidang pengadilan, siapa saja yang ingin
berkunjung menghadiri, menyaksikan, dan mendengar, jalannya pemeriksaan, tidak boleh dihalangi dan dilarang. Selain dari pihak-pihak yang berperkara dan
saksi, masyarakat umum tanpa kecuali boleh menghadiri pemeriksaan persidangan tanpa mempersoalkan apakah dia berkepentingan atau tidak. Maka
untuk memenuhi syarat formal atas ini, sebelum hakim mulai melakukan pemeriksaan, lebih dulu menya
takan dan mengumumkan: “persidangan terbuka untuk umum”. Kelalaian memenuhi syarat formal tersebut dapat dianggap
melanggar tata tertib pemeriksaan. Tujuan utama yang terkandung dalam asas persidangan terbuka, agar
jangan sampai terjadi pemeriksaan gelap dan bisik-bisik. Agar jalannya sidang pemeriksaan berlangsung tidak memihak, dan tidak berat sebelah, Undang-
Undang merasa perlu mempesilakan masyarakat untuk menyaksikannya. Segi lain, asas ini juga berdampak “edukasi” dan “prevensi”.
10
Penerapan asas persidangan terbuka untuk umum dikecualikan dalam pemeriksaan perkara perceraian. Mengenai pengecualian ini, pasal 59 ayat 1 UU
9
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, h. 72.
10
Ibid, h. 73.
No. 7 Tahun 1989 telah dirubah menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua menjadi UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama sendiri sudah
membuka kemungkinan itu dalam rumusan : “kecuali apabila Undang-Undang
menentukan lain ”. Hal ini sesuai dengan doktrin hukum yang mengajarkan “lex
specialis drogat lex generalis ”. Ketentuan khusus menyampingkan ketentuan
umum. Keadaan inilah yang diatur dalam pasal 80 ayat ayat 2 UU No. 7 Tahun 1989 jo PP No. 9 Tahun
1975 pasal 33 yang berbunyi “pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup
”.
11
Pemeriksaan sidang tertutup dalam perkara perceraian, hanya menjangkau selama proses pemeriksaan saja. Penerapannya, hanya meliputi proses
pemeriksaaan, dan tidak meliputi pengucapan putusan. Sebagaimana tercantum dalam pasal 81 ayat 1 UU No. 7 tahun 1989 jo pasal 34 ayat 1 PP No. 9 Tahun
1975 yang berbunyi, “putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum”. Ketentuan ini bersifat “imperative” dan bernilai sebagai aturan “ketertiban umum” yang tidak bisa
dikesampingkan dengan alasan apa pun. Pelanggaran atas ketentuan ini mengakibatkan putusan “batal demi hukum”.
12
g. Asas kebebasan
Pada dasarnya, asas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, merujuk dan bersumber kepada ketentuan
yang diatur dalam pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 1 ayat 1 dan
11
Ibid, h. 74.
12
Ibid, h. 76-77.
pasal 3 ayat 2 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Maksud asas kebebasan ini terbatas dan relative dengan acuan berikut.
1 Bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya.
2 Bebas dari paksaan, direktiva, atau rekomnedasi yang dating dari pihak
extra judicial. 3
Kebebasan melaksanakan wewenang judicial peradilan. Sifat kebebasannya “tidak mutlak”, tapi kebebasan hakim terbatas dan
relatif dengan acuan: Menetapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan
yang tepat dan benar dalam menyelesaikan kasus perkara yang sedang diperiksanya, sesuai dengan asas dan statute law must prevail ketentuan Undang-
Undang harus diunggulkan; Menafsirkan hukum yang tepat melalui cara-cara pendekatan penafsiran
yang dibenarkan penafsiran sistematik, sosiologis, bahasa, anologis, dan a contrario, atau mengutamakan keadilan dari pada peraturan perundang-undangan,
apabila ketentuan Undang-Undang tidak potensial melindung kepentingan umum. Penerapan yang demikian sesuai dengan doktrin equity must prevail keadilan
harus diunggulkan. Kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum rechts vinding, dasar-
dasar dan asas-asas hukum melalui doktrin ilmu hukum, norma hukum tidak tertulis hukum adat, yurispudensi maupun melalui pendekatan “realisme” yakni
mencari dan menemukan hukum yang terdapat pada nilai ekonomi, moral, agama, kepatuhan, dan kelaziman.
13
h. Asas Wajib Mendamaikan
Asas kewajiban hakim mendamaikan pihak-pihak yang berperkara sangat sejalan dengan tuntunan dan tuntutan ajaran moral Islam. Islam selalu menyuruh
menyelesaikan setiap perselisihan dan persengketaan melaui pendekatan ishlah. karena itu, layak sekali hakim Peradilan Agama menyadari dan mengemban
fungsi “mendamaikan”. Sebab bagaimanapun adilnya putusan, namun akan lebih baik dan lebih adil hasil perdamaian.
14
Asas kewajiban mendamaikan diatur dalam UU No. 7 tahun 1989. Asas tersebut tercantum dalam pasal 65 dan pasal 82. Jika rumusan kedua pasal ini
diteliti, bunyi rumusan dan maknanya sama dengan apa yang tercantum dalam pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975, yang
berbunyi: 1
Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
2 Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan
pada setiap sidang pemeriksaan.
15
13
Lihat M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Jakarta: Sinar Garafika, 2007, h. 61-62.
14
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, h. 65.
15
Ibid, h. 67.
Rumusan pasal-pasal tersebut sejajar dengan prinsip hukum acara perdata yang diatur dlam pasal 130 HIR atau pasal 154 RBG, yang mengatur tata tertib
prosese pemeriksaan perkara.
16
Ketentuan dari asas ini berimplikasi pada lahirnya PERMA RI tentang mediasi. Dalam rumusannya menekankan agar hakim selama masa persidangan
selalu berusaha untuk mendamaikan pihak yang berperkara, karena seadil apapun sebuah putusan, tidak akan dapat mengalahkan keadilan yang terkadung dalam
perdamaian. 2.
Asas-Asas Eksekusi
Putusan hakim dapat dilaksanakan Secara sukrela, atau Secara paksa dengan menggunakan alat Negara, apabila pihak terhukum tidak mau
melaksanakan secara sukarela.
17
Ketika putusan tersebut tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan, maka terhadap putusan tersebut dapat dimintakan pelaksanaan
eksekusi. Ekesekusi merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu pekara, yang merupakan aturan
dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, eksekusi
16
Ibid, h. 68.
17
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, h. 313.
tiada lain daripada tindakan berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.
18
Berbicara mengenai eksekusi putusan berarti berbicara mengenai tindakan yang perlu dilakukan untuk memenuhi tuntutan penggugat kepada tergugat.
19
Cara-cara menjalankan putusan pengadilan yang disebut eksekusi tadi diatur mulai Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 258 R.Bg.
20
Pada prinsipnya, hanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap inkracht van gewjisde
yang dapat “dijalankan”.
21
Asas-asas yang terkandung dalam eksekusi adalah:
a. Eksekusi Pelakasanaan Putusan Dijalankan Terhadap Putusan yang
Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap
Inilah salah satu asas atau prinsip yang mesti diperhatikan pada saat hendak melakukan eksekusi. Dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha
Negara dijelaskan, hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan pasal 115 UU No. 586.
22
Karena hanya dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap terkandung wujud hubungan
hukum yang tetap fixed dan pasti antara pihak yang berperkara.
23
18
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, edisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h. 1.
19
Ibid, h. 7.
20
Ibid, h. 2.
21
Ibid, h. 7.
22
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Hukum Acara Perdata, Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2004, h. 214.
23
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, h. 7.
Akan tetapi pada asas tersebut terdapat pengecualian. Dalam kasus-kasus tertentu, Undang-Undang memperbolehkan eksekusi terhadap putusan yang
belum memperoleh kekuatan hukum tetap.
24
b. Eksekusi Atas Perintah dan Dibawah Pimpinan Ketua Pengadilan
25
Pelaksanaan eksekusi hanya dapat dilakukan atas perintah ketua Pengadilan. Jadi ketika pihak yang menang ingin melakukan tindakan eksekusi
harus mendapat persetujuan Ketua Pengadilan yang bersangkutan, kemudian barulah tindakan eksekusi bisa dilaksanakan. Tahap pertama sebelum eksekusi
dilaksanakan adalah pemberian peringatan kepada pihak yang kalah agar melaksanakan isi putusan.
c. Putusan yang Dapat Dieksekusi Adalah Putusan yang Bersifat
Condemnatoir
Artinya mengandung suatu penghukuman. Putusan-putusan yang amar atau diktumnya adalah declaratoir atau konstitutif tidak perlu dieksekusi, karena
begitu putusan-putusan yang demikian itu diucapkan, maka keadaan yang dinyatakan sah oleh putusan declaratoir mulai berlaku pada saat itu juga, atau
dalam halnya putusan konstitutif, keadaan baru sudah tercipta pada detik itu pula. Putusan condemnatoir bisa berupa penghukuman untuk:
a Menyerahkan suatu barang;
b Mengosongkan sebidang tanah;
c Melakukan suatu perubahan tertentu;
24
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Hukum Acara Perdata, h. 214.
25
Elfrida R Gultom, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Literata, 2010, h. 119.
d Menghentikan suatu perbuatankeadaan;
e Membayar sejumlah uang.
Dari kelima bentuk putusan condemnatoir, dari poin a sampai dengan poin d adalah penghukuman yang berbentuk ekesekusi rill, sedangkan e adalah
eksekusi pembayaran sejumlah uang. Pada umumnya eksekusi rill sangat sederhana dan hanya meliputi barang tertentu, misalnya barang yang menjadi
sengketa adalah sebidang tanah, maka eksekusi rillnya terbatas pada pengosongan dan penyerahan tanah yang menjadi sengketa. Eksekusi rill tidak dapat
berkembang terhadap harta tergugat yang lain. Berbeda dengan eksekusi pembayaran sejumlah uang, berlaku asas obyek
eksekusi meliputi semua harta debitur, dengan kata lain sampai semua hutang tagihan terlunasi. Ini sesuai dengan prinsip hukum perdata yang menentukan
semua harta kekayaan debitur memikul beban untuk melunasi hutang kepada kreditur sampai terpenuhi seluruh pembayaran hutang.
26
d. Eksekusi Dijalankan Terhadap Putusan yang Tidak Dijalankan
Secara Sukarela
Dalam menyikapi putusan, adakalanya pihak yang kalah melakukannya secara sukarela dan ada juga yang tidak ingin melakukannya. Ketika pihak yang
kalah melakukan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap secara sukarela sesuai dengan putusan yang ada, maka tindakan eksekusi tidak dibutuhkan lagi.
26
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Hukum Acara Perdata, h. 216.
Pada prinsipnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan hukum
apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela. Jika pihak yang kalah bersedia mentaati dan memenuhi putusan
secara sukarela, tindakan eksekusi harus disingkirkan. Oleh karena itu harus dibedakan antara menjalankan putusan secara sukarela dengan menjalankan
putusan secara eksekusi.
27
e. Eksekusi Harus Sesuai dengan Amar Putusan
28
Pelaksanaan eksekusi harus sesuai dengan amar dalam putusan. Eksekusi tidak bisa dilaksanakan terhadap sesuatu yang tidak diputuskan dalam putusan
hakim. Pelaksanaan eksekusi terhadap sesuatu yang tidak terdapat dalam putusan tidak dibenarkan dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
B. Deskripsi Perkara Cerai Talak di Pengadilan Agama Batusangkar Tahun
2014
Dalam pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dijelaskan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu. Perkara perdata tertentu yang dimaksud pasal
2 di atas dijelaskan dalam pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama secara rinci.
27
Ibid, h. 215-216.
28
Elfrida R Gultom, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Literata, 2010, h. 119.
Wewenang Absolute Peradilan Agama berdasarkan pasal 49 tersebut adalah dalam bidang Perkawinan, Warisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq,
Shadaqah, Ekonomi Syariah. Pengadilan Agama Batusangkar merupakan salah satu lembaga Peradilan tingkat pertama yang berada di Batusangkar. Sebagai
lembaga Peradilan Agama, Pengadilan Agama Batusangkar juga berkewajiban terhadap perkara-perkara yang disebut dalam pasal 49 Undang-Undang No. 3
tahun 2006 di atas, yang telah mengalami perubahan menjadi UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
Selama tahun 2014 Pengadilan Agama Batusangkar sebagai salah satu Pengadilan Agama di Indonesia telah menangani sejumlah kasus dari berbagai
kategori, hal ini dapat dilihat dalam table sebagai berikut: Table 1. Statistik Perkara Pada Tahun 2014
No JENIS PERKARA
Sisa Tahun
lalu Tahun 2014 Masuk
Jmlh 1
2 3
4 5
6 7
8 9
10 11
12
A PERKAWINAN
1 Izin poligami
2 Pencegahan Perkawinan
3 Penolakan Perkawinan oleh
PPN 4
Pembatalan Perkawinan 1
1
5 Kelalaian atas kewajiban suami
istri 6
Cerai Talak 20
13 13 14 4
14 11 12 21 10 15 8
1
156
7 Cerai Gugat
46 38 47 25 26 34 29
9 50 45 28
31 4
412
8 Harta Bersama
1
1
9 Penguasaan anakpengangkatan
anak 1
1 1
3
10 Nafkah anak oleh ibu
11 Hak-hak bekas istri
12 Pengesahan anak
13 Pencabutan kekuasaan orang tua
14 Perwalian
15 Pencabutan Kekuasaan Wali
16 Penunjukkan orang lain sebagai
waliadopsi 17
Ganti rugi terhadap wali 18
Asal usul anak 19
Penetapan kawin campur 20
Isbat nikah 5
3 13 19 13
4 10
3 10
8 9
6 5
108
21 Izin kawin
22 Dispensasi kawin
3 2
2 1
1 1
3 1
14
23 wali adhol
1 1
1 1
1 5
B EKONOMI SYARIAH
C KEWARISAN
D WASIAT
E WAKAF
F ZAKATINFAQSHADAQOH
G P3HPPENETAPAN AHLI
WARIS 1
1 H
LAIN-LAIN JUMLAH JUMLAH
72 55 77 62 46 54 51 24 83 68 53
46 10
701
Dari table di atas terlihat jumlah perkara yang diterima Pengadilan Agama Batusangkar pada tahun 2014 sekitar 629 perkara. Jika ditambahkan dengan
jumlah perkara yang bersisa pada tahun sebelumnya, maka jumlah perkara yang ditangani Pengadilan Agama Batusangkar pada tahun 2014 adalah 701 perkara.
Dari table di atas terlihat perkara yang paling banyak ditangani Pengadilan Agama Batusangkar pada tahun 2014 adalah perkara cerai gugat, dan cerai talak.
Urutan ketiga perkara isbat nikah dan diikuti perkara dispensasi kawin. Gambaran yang lebih jelas mengenai perkara cerai talak pada tahun 2014 dapat dilihat dari
grafik berikut.
Gambar 1. Grafik Perkara Cerai Talak Tahun 2014 Perbulan
Dari grafik di atas, terlihat perkara masuk cerai talak yang paling banyak terjadi pada bulan Agustus, dan yang paling sedikit terjadi pada bulan Desember.
Berdasarkan grafik perkara cerai talak ini, dapat disimpulkan bahwa perkara cerai talak yang masuk pada tahun 2014 di Pengadilan Agama Batusangkar sebanyak
136 perkara. Hal ini bisa dilihat dari penjumlahan perkara masuk warna biru perbulan. Jika ditambahkan dengan sisa dari perkara cerai talak tahun lalu maka
perkara cerai talak yang ditangani Pengadilan Agama pada tahun 2014 adalah 156 perkara.
Pada setiap bulan terdapat perkara yang masuk warna biru, dan terdapat perkara yang putus warna merah. Pada bulan Januari perkara yang masuk adalah
13 perkara ditambah dengan sisa perkara tahun lalu maka perkara cerai talak yang ditangani pada bulan Januari adalah 33 perkara. Pada bulan Januari perkara yang
putus sekitar 9 perkara, sehingga jumlah perkara cerai talak yang bersisa pada bulan januari adalah 24 perkara warna hijau. Sisa 24 perkara ini kemudian
ditambahkan dengan jumlah perkara yang masuk pada bulan Februari untuk
5 10
15 20
25 30
35
Masuk Putus
Sisa