Mut’ah itu hukumnya sunnah menurut pandangan Mazhab Hanafiyah dalam keadaan thalak yang terjadi setelah dukhul, dan juga dalam keadaan thalak
sebelum dukhul dalam pernikahan yang didalamnya telah ditentukan maharnya. Karena sesungguhnya mut’ah itu diwajibkan sebagai pengganti dari setengah
bagian mahar. Maka jika mahar musamma atau mahar mitsil telah didapatkan setelah dukhul maka tidak perlu lagi mut’ah.
41
b. Mazhab Maliki
Menurut Mazhab Maliki , sesungguhnya mut’ah disunnahkan untuk setiap
perempuan yang ditalak.
42
Mereka berpendapat, ada tiga jenis perempuan yang ditalak;
1 perempuan yang ditalak sebelum digauli dan sebelum disebutkan mahar
perempuan mufawwidhah memil iki hak mut’ah, dan tidak memliki hak
sedikit pun pada mahar.
2 Perempuan yang ditalak sebelum digauli, dan setelah disebutkan maharnya
tidak memiliki hak mut’ah.
3 Perempuan yang ditalak setelah digauli, baik sebelum disebutkan mahar
maupun setelahnya, memil
iki hak mut’ah.
Tidak ada hak mut’ah pada setiap perpisahan yang di pilih oleh perempuan, seperti perempuan yang terkena penyakit gila, kusta dan lepra juga
pada perpisahan akibat pembatalan, ataupun akibat khulu’, ataupun li’an.
43
41
Ibid, h. 6831.
42
Ibid, h. 6831.
43
Ibid, h. 6831.
c. Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi ’I mereka berpendapat, mut’ah wajib untuk setiap
perempuan yang diceraikan, baik perceraian tersebut sebelum terjadi persetubuhan maupun setelahnya. Kecuali perempuan yang sebelum digauli yang
telah ditentukan mahar untuknya, maka dia hanya cukup mendapatkan setengah bagian mahar.
Mut’ah harus diberikan kepada perempuan yang diceraikan sebelum digauli jika dia tidak wajib mendapatkan setengah mahar. Menurut pendapat yang
paling zahir juga wajib diberikan bagi perempuan yang telah digauli dan pada setiap perpisahan yang bukan disebabkan oleh si istri. Perpisahan ini terjadi akibat
disebabkan si suami, seperti kemurtadan, li’an, dan keislamannya. Sedangkan perempuan yang mesti mendapatkan setengah bagian mahar, dia mesti
mendapatkannya. Sedangkan perempuan mufawwidhah yang tidak ditetapkan sedikitpun mahar untuknya, berhak untuk mendapatkan mut’ah.
44
Sedangkan jika ditetapkan sesuatu bagi si perempuan dalam nikah tafwidh maka tidak ada mut’ah untuknya karena suami tidak mendapatkan manfaat
sebagiannya, maka cukup dengan setengah bagian maharnya akibat rasa kesendirian, dan kehinaan yang dirasakan yang disebabkan perceraian.
45
44
Ibid, h. 6831-6832.
45
Ibid, h. 6832.
d. Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali sependapat dengan Mazhab Hanafi secara general, yaitu mut’ah wajib bagi setiap suami yang merdeka dan budak, orang muslim dan ahli
dzimmah untuk setiap istri mufawwidhah yang ditalak sebelum digauli, dan sebelum ditetapkan mahar untuknya.
46
Menurut mereka mut’ah disunnahkan bagi setiap perempuan yang diceraikan yang selain mufawwidhah yang tidak ditetapkan mahar untuknya,
berdasarkan QS Al- Baqarah 241. Mut’ah diwajibkan untuk perempuan yang tidak
ditetapkan mahar untuk mereka, dan bagi perempuan yang diberikan setengah mahar musamma.
Tidak ada mut’ah bagi perempuan yang ditinggal mati karena nash Al- Qur’an tidak menyebutkannya, dan yang disebutkan hanyalah perempuan yang
ditalak. Mut’ah gugur pada setiap objek yang membuat mahar gugur didalamnya, seperti tindakan kemurtadan dan penyusuan yang membuat batal pernikahannya.
47
Orang yang diwajibkan memberikan setengah bagian mahar kepada si isteri, tidak wajib memberikan mut’ah untuknya. Apakah itu adalah perempuan
yang ditentukan mahar untuknya ataupun tidak ditentukan mahar untuknya tetapi ditetapkan setelah akad. Ini sependapat dengan pendapat jumhur selain Abu
hanifah dan Muhammad.
46
Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 6832.
47
Ibid, h. 6832-6833.
Tidak ada mut’ah bagi perempuan yang maharnya telah ditentukan setelah terjadi persetubuhan, atau perempuan mufawwidhah setelah terjadi persetubuhan.
Akan tetapi, disunnahkan mut’ah untuknya.
48
4. Kadar Pemberian Mut’ah
Tidak ada nash yang menen tukan kadar dan jenis mut’ah, sehingga para
fuqaha melakukan ijtihad dalam menentukan kadarnya. Mazhab Hanafi menentukan kadar
mut’ah adalah tiga buah baju, rompi pakaian yang dikenakan orang perempuan diatas baju, kerudung, jubah yang dipergunakan orang
perempuan untuk menutupi tubuhnya dari bagian kepala sampai kaki,
49
berdasarkan firman Allah SWT,
…
Artinya: “…yaitu pemberian yang patut. “Yang demikian itu merupakan
ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan ” QS Al-Baqarah 236.
Ketiga buah pakaian ini tidak melebihi setengah bagian mahar mitsil jika suami adalah orang kaya, karena pakaian ini adalah pengganti mahar mitsil juga
tidak kurang dari lima dirham jika suami adalah orang miskin. Yang difatwakan adalah bahwa sesungguhnya mut’ah dianggap sesuai
dengan kondisi suami-istri seperti nafkah. Jadi jika keduanya adalah orang kaya, si istri berhak mendapat sesuatu yang lebih tinggi dari pakaian. Jika keduanya
48
Ibid, h. 6833.
49
Ibid, h. 6834.
adalah orang miskin, maka sesuatu yang lebih rendah. Jika kondisi keduanya berbeda, maka yang pertengahan.
50
Mazhab Syafi ’I berpendapat, Mut’ah sebaiknya tidak kurang dari 30
dirham atau barang lain yang senilai, dan ini adalah yang paling rendah . Mut’ah
tertinggi adalah memberikan pembantu, dan yang tengah-tengah adalah memberikan pakaian; dan sunahnya ialah mut’ah itu tidak melebihi separuh nilai
mahar mitsil. Namun, Jika sampai setengah atau melebihi mahar boleh,
51
dengan kemutlakan Surat al-Baqarah ayat 236,
…
…
Artinya: “… dan hendaklah kamu berikan suatu mutah pemberian kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin
menurut kemampuannya pula,…”. Qs. Al-Baqarah [2]: 236
Jika suami-istri saling bersengketa mengenai kadarnya, qadhi menilai dengan hasil ijtihadnya sesuai dengan kelayakan kondisi dengan memperhatikan
kondisi kedua suami-istri, sebagaimana dikatakan oleh Mazhab Hanafi, yang berupa kaya, miskin, nasab, dan sifat.
52
Dasar hukum yang digunakan kalangan Mazhab Syafi’I ini berdasarkan firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah 236.
…
…
50
Ibid, h. 6834.
51
Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 6834.
52
Ibid, h. 6834.
Artinya: “… dan hendaklah kamu berikan suatu mutah pemberian kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin
menurut kemampuannya pula,…”. Qs. Al-Baqarah [2]: 236
Mazhab Maliki dan Hanbali berpe ndapat, mut’ah dilihat dari kondisi kaya
dan miskinnya suami. Orang yang kaya sesuai dengan kadarnya dan orang miskin juga sesuai dengan kadarnya. Berdasakan ayat 233 surat Al-Baqarah di atas.
Tingkatan yang paling tingginya adalah pembantu, maksudnya nilai pembantu pada zaman mereka jika si suami adalah orang kaya. Yang paling
rendah adalah jika si suami adalah orang miskin adalah pakaian lengkap yang dapat digunakan untuk shalat, atau pakaian yang paling rendah, yang berupa
rompi dan kerudung, atau yang sejenisnya. Maksudnya yang paling rendahnya adalah tiga buah pakaian sebagaimana yang dikatakan oleh Mazhab Hanafi, yang
terdiri rompi baju, kerudung yang menutupi kepalanya, dan jubah. Berdasarkan perkatan ibnu Abbas, “mut’ah yang paling tinggi adalah pembantu, kemudian
yang setelahnya adalah nafkah, dan kemudian yang paling rendah adalah pakaian”. Secara zahir, yang paling rajah adalah pendapat ini.
53
C. Nafkah Iddah dan Mut’ah dalam Hukum Positif di Indonesia
1. Nafkah Iddah dalam Hukum Positif
Nafkah Iddah adalah salah satu kewajiban yang timbul ketika terjadi perceraian karena talak. Dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 41 ayat
c dijelaskan bahwa ketika terjadi perceraian maka pengadilan dapat mewajibkan
53
Ibid, h. 6834-6835.
kepada suami untuk memberikan biaya penghidupan danatau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan isteri.
Secara lebih rinci dalam KHI dijelaskan dalam pasal 149 bahwa apabila perkawinan putus karena talak maka bekas suami dapat diwajibkan beberapa hal.
Dalam poin b disebutkan salah satu kewajiban suami tersebut adalah untuk memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah
kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
Dari potongan pasal ini dapat dipahami bahwa mantan suami berkewajiban untuk memberikan sejumlah nafkah kepada mantan istrinya selama
dalam masa iddah. Permohonan untuk meminta hak berupa nafkah iddah tersebut dapat dilakukan bersama-sama permohonan ikrar talak dan bisa juga ketika ikrar
talak telah dilakukan, sebagaimana hal ini telah dijelaskan dalam UU No 7 Tahun 1989 pasal 66 ayat 5.
54
Kalau dicermati, suami mempunyai kewajiban ini karena perkawinan mereka putus karena talak dalam hal ini talak raj’I,
55
yang mana dalam talak raj’I suami tersebut masih mempunyai hak untuk rujuk. Hal ini karena sesungguhnya
antara mereka masih menjadi pasangan suami istri sampai iddah istrinya habis.
54
Permohonan ini dapat dilakukan oleh pihak pemohon maupun termohon, lihat PP No 9 Tahun 1975 pasal 24 ayat b.
55
kecuali dalam talak ba’in yang istrinya sedang hamil, maka mantan suaminya berkewajiban juga memberikan nafkah kepada mantan istrinya sampai ia melahirkan lihat pasal
149 b KHI.
Ketentuan tentang rujuk ini terlihat dari pasal 151 KHI yang menjelaskan bahwa
mantan isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Pasal ini mengisyaratkan bahwa
yang paling berhak terhadap diri mantan istri tersebut adalah mantan suaminya, ketika mantan suaminya ingin rujuk maka mereka diperbolehkan rujuk, dan
mantan istri tidak boleh menerima pinangan dari lelaki lain selama masa iddah ini. Masa iddah ini selain untuk melihat rahim, juga berguna sebagai masa
pertimbangan bagi mantan suami apakah akan kembali, atau tetap bercerai. Maka dari itu menurut penulis suami diwajibkan membayar nafkah pada masa iddah
karena istri tersebut tertahan dan tidak bisa menerima pinangan pria lain disebabkan hak ruju’ yang dimiliki suami, namun kewajiban suami memberikan
nafkah iddah akan gugur ketika mantan istri nusyuz.
56
Mengenai ukuran nafkah iddah dalam peraturan di indonesia, penulis tidak menemukan jumlahnya secara pasti. Namun dalam PP No. 9 Tahun 1975 dan
dalam UU Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 dijelaskan bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian berdasarkan permohonan pemohon ataupun
termohon, pengadilan dapat menentukan jumlah nafkah yang harus ditanggung oleh suami.
57
Dari peraturan tentang Nafkah iddah ini, tidak terdapat pedoman khusus tentang jumlah nafkah yang akan ditanggung suami. Hakim dalam hal ini akan
56
Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz lihat pasal 152 KHI.
57
Lihat PP No 9 Tahun 1975 Pasal 24 2 dan UU Peradilan Agama No 7 Tahun 1989 Pasal 78.
mencari jalan tengah agar nafkah yang akan dibebankan kepada suami tersebut dapat membantu kebutuhan mantan istrinya, dan tidak terlalu memberatkan
mantan suami tersebut.
2.
Mut’ah dalam Hukum Positif
Ketentu
an mut ’ah ini telah diatur dalam hukum positif yang ada di
Indonesia. Sebagaimana dalam pasal 41 c UU No 1 Tahun 1974. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa suami dapat dibebankan suatu kewajiban setelah
perceraian. Mengenai kewajiban tersebut dijelaskan lebih rinci dalam KHI. Pada pasal 149 KHI dijelaskan mengenai kewajiban-kewajiban yang dapat dibebankan
kepada mantan suami. Pada poin a dijelaskan bahwa ketika terjadi perceraian karena talak mantan suami berkewajiban untuk memberikan mut`ah yang layak
kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul.
Dalam KHI dijelaskan pada pasal 158 bahwa suami menjadi wajib memberikan mut’ah jika:
a. Belum ditetapkan mahar bagi isteri ba`da al dukhul;
b. Perceraian itu atas kehendak suami.
Berdasarkan pasal 158 ayat b ini, jika perceraian tersebut berasal dari kehendak istri
yaitu dengan jalan khulu’, maka suami tidak wajib untuk membayarkan mut’ah kepada mantan istrinya. Suami berkewajiban memberikan
mut’ah apabila syarat yang terdapat dalam KHI pasal 158 tersebut ada. Apabila tidak terdapat ketentuan yang disebutkan dalam pasal 158 KHI ini, maka suami
tidak wajib untuk memberikan mut’ah kepada mantan istrinya. Hukum suami