Wanita Dithalak Ketika Sedang Hamil

Selanjutnya pendapat dari Mazhab Maliki dan Syafi ’I menurutnya hanya diwajibkan untuknya tempat tinggal saja, 19 berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. At-Thalaq [65] ayat 6                      .… Artinya: “Tempatkanlah mereka para istri dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu, dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. dan jika mereka isteri-isteri yang sudah ditalaq itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, …”. Dia diwajibkan untuk si istri tempat tinggal saja tanpa memedulikan apakah si istri dalam keadaan hamil ataupun tidak. Tidak diwajibkan untuknya nafkah makanan dan pakaian berdasarkan pemahaman firman Allah SWT, “jika mereka istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah nafkahnya kepada mereka hingga mereka bersalin”. Pemahaman ayat ini menunjukkan bagi ketidakwajiban pemberian nafkah bagi istri yang tidak hamil. 20

d. Istri yang Ber’iddah karena Kematian Suami

Mengenai hak nafkah iddah mantan istri dalam keadaan ‘iddah akibat suaminya meninggal dunia menurut sebagian ulama tidak mempunyai hak nafkah 19 Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 7203. 20 Ibid, h. 7203. maupun tempat tinggal, mengingat bahwa harta peninggalan suaminya kini telah menjadi hak ahli waris, termasuk ia dan anak-anaknya. 21 Akan tetapi, Mazhab Maliki mewajibkan tempat tinggal untuknya selama masa iddah, jika tempat tinggal tersebut dimiliki oleh si suami. Atau rumah sewaan, dan dia telah bayar sewanya sebelum datang kematian. Jika tidak seperti itu, maka si suami tidak diwajibkan untuk membayar sewanya. 22 Selanjutnya Syafi ’I mengatakan bahwa, apabila seorang wanita ditalak ba’in, sedang dia dalam keadaan hamil, kemudian suaminya meninggal dunia ketika si istri masih dalam ‘iddah, maka nafkah atas istri tidak terputus. 23 Hanafi mengatakan: Apabila wanita yang ber- ‘iddah tersebut dalam keadaan talak raj’I dan suami yang menceraikannya itu meninggal dunia ketika dia menjalani ‘iddah- nya, maka ‘iddah-nya beralih ke ‘iddah wafat, dan kewajiban atas nafkah menjadi terputus, kecuali bila si wanita itu diminta untuk menjadikan nafkahnya sebagai hutang atas suaminya yang betul-betul dilaksanakannya. Dalam kondisi serupa ini nafkahnya tidak gugur . 24

e. Istri yang Ber’iddah Akibat Perkawinan yang Syubhat

Dalam hal jika dia tengah menjalani masa iddah akibat perkawinan yang rusak atau yang mengandung syubhat, maka tidak ada nafkah untuknya menurut 21 Muhammad baqir Al-Habsy, Fikih Praktis Menurut Al- Qur’an dan Hadits, Bandung: Mizan, 2002, h. 221-222. 22 Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 7204. 23 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Ahwal as- Syakhshiyyah ‘Ala al-Mazahib al- Khamsah Ja’fari-Hanafi-Maliki-Syafi’I-Hanbali, h. 100-101. 24 Ibid, h. 101.