Mazhab Syafi’i Mazhab Hanbali

adalah orang miskin, maka sesuatu yang lebih rendah. Jika kondisi keduanya berbeda, maka yang pertengahan. 50 Mazhab Syafi ’I berpendapat, Mut’ah sebaiknya tidak kurang dari 30 dirham atau barang lain yang senilai, dan ini adalah yang paling rendah . Mut’ah tertinggi adalah memberikan pembantu, dan yang tengah-tengah adalah memberikan pakaian; dan sunahnya ialah mut’ah itu tidak melebihi separuh nilai mahar mitsil. Namun, Jika sampai setengah atau melebihi mahar boleh, 51 dengan kemutlakan Surat al-Baqarah ayat 236, …       …  Artinya: “… dan hendaklah kamu berikan suatu mutah pemberian kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula,…”. Qs. Al-Baqarah [2]: 236 Jika suami-istri saling bersengketa mengenai kadarnya, qadhi menilai dengan hasil ijtihadnya sesuai dengan kelayakan kondisi dengan memperhatikan kondisi kedua suami-istri, sebagaimana dikatakan oleh Mazhab Hanafi, yang berupa kaya, miskin, nasab, dan sifat. 52 Dasar hukum yang digunakan kalangan Mazhab Syafi’I ini berdasarkan firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah 236. …       …  50 Ibid, h. 6834. 51 Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 6834. 52 Ibid, h. 6834. Artinya: “… dan hendaklah kamu berikan suatu mutah pemberian kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula,…”. Qs. Al-Baqarah [2]: 236 Mazhab Maliki dan Hanbali berpe ndapat, mut’ah dilihat dari kondisi kaya dan miskinnya suami. Orang yang kaya sesuai dengan kadarnya dan orang miskin juga sesuai dengan kadarnya. Berdasakan ayat 233 surat Al-Baqarah di atas. Tingkatan yang paling tingginya adalah pembantu, maksudnya nilai pembantu pada zaman mereka jika si suami adalah orang kaya. Yang paling rendah adalah jika si suami adalah orang miskin adalah pakaian lengkap yang dapat digunakan untuk shalat, atau pakaian yang paling rendah, yang berupa rompi dan kerudung, atau yang sejenisnya. Maksudnya yang paling rendahnya adalah tiga buah pakaian sebagaimana yang dikatakan oleh Mazhab Hanafi, yang terdiri rompi baju, kerudung yang menutupi kepalanya, dan jubah. Berdasarkan perkatan ibnu Abbas, “mut’ah yang paling tinggi adalah pembantu, kemudian yang setelahnya adalah nafkah, dan kemudian yang paling rendah adalah pakaian”. Secara zahir, yang paling rajah adalah pendapat ini. 53

C. Nafkah Iddah dan Mut’ah dalam Hukum Positif di Indonesia

1. Nafkah Iddah dalam Hukum Positif

Nafkah Iddah adalah salah satu kewajiban yang timbul ketika terjadi perceraian karena talak. Dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 41 ayat c dijelaskan bahwa ketika terjadi perceraian maka pengadilan dapat mewajibkan 53 Ibid, h. 6834-6835. kepada suami untuk memberikan biaya penghidupan danatau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan isteri. Secara lebih rinci dalam KHI dijelaskan dalam pasal 149 bahwa apabila perkawinan putus karena talak maka bekas suami dapat diwajibkan beberapa hal. Dalam poin b disebutkan salah satu kewajiban suami tersebut adalah untuk memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Dari potongan pasal ini dapat dipahami bahwa mantan suami berkewajiban untuk memberikan sejumlah nafkah kepada mantan istrinya selama dalam masa iddah. Permohonan untuk meminta hak berupa nafkah iddah tersebut dapat dilakukan bersama-sama permohonan ikrar talak dan bisa juga ketika ikrar talak telah dilakukan, sebagaimana hal ini telah dijelaskan dalam UU No 7 Tahun 1989 pasal 66 ayat 5. 54 Kalau dicermati, suami mempunyai kewajiban ini karena perkawinan mereka putus karena talak dalam hal ini talak raj’I, 55 yang mana dalam talak raj’I suami tersebut masih mempunyai hak untuk rujuk. Hal ini karena sesungguhnya antara mereka masih menjadi pasangan suami istri sampai iddah istrinya habis. 54 Permohonan ini dapat dilakukan oleh pihak pemohon maupun termohon, lihat PP No 9 Tahun 1975 pasal 24 ayat b. 55 kecuali dalam talak ba’in yang istrinya sedang hamil, maka mantan suaminya berkewajiban juga memberikan nafkah kepada mantan istrinya sampai ia melahirkan lihat pasal 149 b KHI.