c. Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi ’I mereka berpendapat, mut’ah wajib untuk setiap
perempuan yang diceraikan, baik perceraian tersebut sebelum terjadi persetubuhan maupun setelahnya. Kecuali perempuan yang sebelum digauli yang
telah ditentukan mahar untuknya, maka dia hanya cukup mendapatkan setengah bagian mahar.
Mut’ah harus diberikan kepada perempuan yang diceraikan sebelum digauli jika dia tidak wajib mendapatkan setengah mahar. Menurut pendapat yang
paling zahir juga wajib diberikan bagi perempuan yang telah digauli dan pada setiap perpisahan yang bukan disebabkan oleh si istri. Perpisahan ini terjadi akibat
disebabkan si suami, seperti kemurtadan, li’an, dan keislamannya. Sedangkan perempuan yang mesti mendapatkan setengah bagian mahar, dia mesti
mendapatkannya. Sedangkan perempuan mufawwidhah yang tidak ditetapkan sedikitpun mahar untuknya, berhak untuk mendapatkan mut’ah.
44
Sedangkan jika ditetapkan sesuatu bagi si perempuan dalam nikah tafwidh maka tidak ada mut’ah untuknya karena suami tidak mendapatkan manfaat
sebagiannya, maka cukup dengan setengah bagian maharnya akibat rasa kesendirian, dan kehinaan yang dirasakan yang disebabkan perceraian.
45
44
Ibid, h. 6831-6832.
45
Ibid, h. 6832.
d. Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali sependapat dengan Mazhab Hanafi secara general, yaitu mut’ah wajib bagi setiap suami yang merdeka dan budak, orang muslim dan ahli
dzimmah untuk setiap istri mufawwidhah yang ditalak sebelum digauli, dan sebelum ditetapkan mahar untuknya.
46
Menurut mereka mut’ah disunnahkan bagi setiap perempuan yang diceraikan yang selain mufawwidhah yang tidak ditetapkan mahar untuknya,
berdasarkan QS Al- Baqarah 241. Mut’ah diwajibkan untuk perempuan yang tidak
ditetapkan mahar untuk mereka, dan bagi perempuan yang diberikan setengah mahar musamma.
Tidak ada mut’ah bagi perempuan yang ditinggal mati karena nash Al- Qur’an tidak menyebutkannya, dan yang disebutkan hanyalah perempuan yang
ditalak. Mut’ah gugur pada setiap objek yang membuat mahar gugur didalamnya, seperti tindakan kemurtadan dan penyusuan yang membuat batal pernikahannya.
47
Orang yang diwajibkan memberikan setengah bagian mahar kepada si isteri, tidak wajib memberikan mut’ah untuknya. Apakah itu adalah perempuan
yang ditentukan mahar untuknya ataupun tidak ditentukan mahar untuknya tetapi ditetapkan setelah akad. Ini sependapat dengan pendapat jumhur selain Abu
hanifah dan Muhammad.
46
Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 6832.
47
Ibid, h. 6832-6833.
Tidak ada mut’ah bagi perempuan yang maharnya telah ditentukan setelah terjadi persetubuhan, atau perempuan mufawwidhah setelah terjadi persetubuhan.
Akan tetapi, disunnahkan mut’ah untuknya.
48
4. Kadar Pemberian Mut’ah
Tidak ada nash yang menen tukan kadar dan jenis mut’ah, sehingga para
fuqaha melakukan ijtihad dalam menentukan kadarnya. Mazhab Hanafi menentukan kadar
mut’ah adalah tiga buah baju, rompi pakaian yang dikenakan orang perempuan diatas baju, kerudung, jubah yang dipergunakan orang
perempuan untuk menutupi tubuhnya dari bagian kepala sampai kaki,
49
berdasarkan firman Allah SWT,
…
Artinya: “…yaitu pemberian yang patut. “Yang demikian itu merupakan
ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan ” QS Al-Baqarah 236.
Ketiga buah pakaian ini tidak melebihi setengah bagian mahar mitsil jika suami adalah orang kaya, karena pakaian ini adalah pengganti mahar mitsil juga
tidak kurang dari lima dirham jika suami adalah orang miskin. Yang difatwakan adalah bahwa sesungguhnya mut’ah dianggap sesuai
dengan kondisi suami-istri seperti nafkah. Jadi jika keduanya adalah orang kaya, si istri berhak mendapat sesuatu yang lebih tinggi dari pakaian. Jika keduanya
48
Ibid, h. 6833.
49
Ibid, h. 6834.