Review Studi Terdahulu PENDAHULUAN

15

BAB II NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH

A. Nafkah Iddah Menurut Fiqih

1. Pengertian Nafkah Iddah

Nafkah iddah terdiri dari dua kata Nafkah dan ‘Iddah. Secara bahasa kata Nafkah dan ‘Iddah berasal dari bahasa Arab. Kalau dikutip dari kamus al- Munawwir kata Nafkah berasal dari kata ق َنلا yang bermakna ا ْناْا فْ رْصملا yaitu biaya, belanja, pengeluaran uang. 1 Dalam sebuah perkawinan nafqah merupakan hak istri dan anak-anak dalam hal makanan, pakaian, dan kediaman, serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan pengobatan, bahkan sekalipun si istri adalah seorang wanita yang kaya. Nafkah dalam hal ini wajib hukumnya berdasarkan Al- Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ ulama. 2 Pengertian kata ‘Iddah dikutip dari kamus Al Munawwir berasal dari kata َ دع – َ دعي yang berarti َ نظ yaitu menduga. Kata - ُ َ دع ُ juga dapat diartikan sebagai ىص ْحاَ وَ بسح yang berarti menghitung. 3 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kata iddah juga diartikan sebagai masa tunggu belum boleh menikah 1 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia, Yogyakarta: 1984, h. 1548. 2 Abdur Rahman I Doi, Perkawinan dalam Syariat Islam, Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1992, h. 121 3 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia, h. 968. bagi wanita yang berpisah dengan suami, baik karena ditalak maupun bercerai mati. 4 Selanjutnya dikutip dari kitab Fikih Sunnah, kata Iddah berasal dari kata al- ‘add dan al-ihsa’, yang berarti hari-hari dan masa haid yang dihitung oleh perempuan. 5 Dalam ta’rif lain yang bunyinya: د عتلل أ ا محر ئارب فرعتل أرملا ا يف صبرتت دم Artinya: Masa tunggu yang harus dilalui oleh seorang perempuan untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan itu atau untuk beribadah. 6 Dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa Nafkah Iddah merupakan sejumlah harta atau benda uang, yang bernilai yang dapat dipergunakan untuk biaya hidup dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari selama dalam masa Iddah bagi wanita yang baru diceraikan.

2. Dasar Hukum Nafkah Iddah

Praktek Nafkah Iddah ini telah berlangsung sejak zaman Nabi. Praktek ini didasarkan pada Al- Qur’an. Berikut dasar hukum tentang praktek Nafkah iddah.                               4 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia pusat bahasa edisi keempat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2008, h. 516. 5 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 2, Beirut: Darul Fikri, 1983, h. 277. 6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2009, h. 304. Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan ”. Qs. At-Thalaq [65]:7 Ayat ini menjelaskan, hendaklah suami memberi nafkah kepada istri dan anaknya yang masih kecil sesuai dengan kemampuannya, hingga dia memberikan kelapangan kepada mereka, jika dia orang yang berkelapangan. 7 Imam Syafi ’I dan para sahabatnya berkata, “Nafkah itu harus ditentukan dan dibatasi. Hakim dan mufti tidak perlu melakukan ijtihad dalam hal ini. Yang menjadi pertimbangan dalam hal ini adalah kondisi suami seorang, apakah dia itu kaya atau miskin. Kondisi istri dan kecukupanny a tidak perlu dipertimbangkan”. 8 Perceraian atau talak raj’I talak 1 dan 2 belumlah memutuskan perkawinan dalam makna yang sesungguhnya. Oleh karena itu, wanita yang telah di talak raj’i suaminya, selama berada dalam masa ‘iddah tetap dipandang sebagai istri dari suaminya yang memiliki hak dan kewajiban kendatipun tidak penuh lagi. 9 7 Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al- Jami’ al-Ahkam al- Qur’an, juz 18, jilid 9, Beirut: 1995, h. 158. 8 Ibid, h. 158. 9 Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 11974 sampai KHI, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 245.