mencari jalan tengah agar nafkah yang akan dibebankan kepada suami tersebut dapat membantu kebutuhan mantan istrinya, dan tidak terlalu memberatkan
mantan suami tersebut.
2.
Mut’ah dalam Hukum Positif
Ketentu
an mut ’ah ini telah diatur dalam hukum positif yang ada di
Indonesia. Sebagaimana dalam pasal 41 c UU No 1 Tahun 1974. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa suami dapat dibebankan suatu kewajiban setelah
perceraian. Mengenai kewajiban tersebut dijelaskan lebih rinci dalam KHI. Pada pasal 149 KHI dijelaskan mengenai kewajiban-kewajiban yang dapat dibebankan
kepada mantan suami. Pada poin a dijelaskan bahwa ketika terjadi perceraian karena talak mantan suami berkewajiban untuk memberikan mut`ah yang layak
kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul.
Dalam KHI dijelaskan pada pasal 158 bahwa suami menjadi wajib memberikan mut’ah jika:
a. Belum ditetapkan mahar bagi isteri ba`da al dukhul;
b. Perceraian itu atas kehendak suami.
Berdasarkan pasal 158 ayat b ini, jika perceraian tersebut berasal dari kehendak istri
yaitu dengan jalan khulu’, maka suami tidak wajib untuk membayarkan mut’ah kepada mantan istrinya. Suami berkewajiban memberikan
mut’ah apabila syarat yang terdapat dalam KHI pasal 158 tersebut ada. Apabila tidak terdapat ketentuan yang disebutkan dalam pasal 158 KHI ini, maka suami
tidak wajib untuk memberikan mut’ah kepada mantan istrinya. Hukum suami
membe rikan mut’ah ketika tidak terpenuhinya ketentuan pasal 158 KHI ini
menjadi sunnah, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 159 KHI “Mut`ah
sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158”. Mengenai ukuran mut’ah yang dibebankan kepada mantan suami, tidak
terdapat pedoman khusus dalam peraturan perundangan. Namun dalam pasal 160 KHI dijelaskan bahwa ukuran mut’ah ditentukan berdasarkan kemampuan suami.
Sehingga besarkecilnya mut’ah tergantung kemampuan suami. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Syafi
’I dan para sahabatnya, mereka berpendapat bahwa,
“Nafkah itu harus ditentukan dan dibatasi. Hakim dan mufti tidak perlu melakukan ijtihad dalam hal ini. Yang menjadi pertimbangan dalam
hal ini adalah kondisi suami seorang, apakah dia itu kaya atau miskin.
58
58
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al- Jami’ al-Ahkam al-
Qur’an, juz 18, jilid 9, Beirut: 1995, h. 158.
40
BAB III ASAS PERADILAN DAN GAMBARAN PRAKTEK IKRAR TALAK
A. Asas–Asas Peradilan
1.
Asas-Asas Peradilan Agama
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan yang berlaku pada lingkungan peradilan umum,
kecuali hal-hal yang telah disebut secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut
1
Kini UU No. 7 Tahun 1989 telah mengalami dua kali perubahan, perubahan pertama UU. No 3 Tahun 2006, Perubahan kedua UU No. 50 Tahun 2009.
Dalam Peradilan Agama dikenal adanya beberapa asas sebagai berikut.
a. Asas Personalita keIslaman
Asas personalita keIslaman berarti, mereka yang tunduk dan dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama hanya mereka yang
mengaku pemeluk Agama Islam. Penganut agama lain di luar Islam atau non muslim tidak tunduk dan tidak dapat dipaksa tunduk kepada kekuasaan
lingkungan Peradilan Agama.
2
Asas personalita keIslaman ini diatur dalam pasal 1, pasal 2, serta pasal 49 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 yang telah dirubah
1
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000, h. 5.
2
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Jakarta: Sinar Garafika, 2007, h. 56.
menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua menjadi UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
Berdasarkan ketentuan di atas, ketika Pengadilan Agama memutus perkara antara orang yang tidak beragama Islam, maka terhadap putusan Pengadilan
Agama tersebut dapat dilakukan upaya hukum banding ataupun PK. Selama proses persidangan masih berlangsung para pihak juga bisa melakukan eksepsi,
karena dalam hal ini perkara tersebut tidak termasuk wewenang Pengadilan Agama.
b. Asas Tidak Boleh Menolak Perkara dengan Alasan Hukum Tidak
Jelas
Asas tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak jelas diatur di dalam pasal 10 ayat 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman. Pengadilan merupakan lembaga yang bertugas memeriksa, menyelesaikan
dan memutus perkara. Dalam hal hakim tidak menemukan hukum tertulis peraturan perundang-undangan, hakim wajib berijtihad dan menggali hukum
yang tidak tertulis untuk memutuskan hukum sebagai orang yang bijaksana, dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat,
bangsa dan Negara.
Badan peradilan yang dalam hal ini hakim harus tanggap atas kebutuhan pencari keadilan. Selain itu hakim juga harus menggali, mengikuti, dan
memahami niali-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
3
c. Asas Legalitas
Asas legalitas tercantum dalam pasal 58 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 telah dirubah menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua menjadi UU
No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang berbunyi: pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang”.
Pengertian makna legalitas pada prinsipnya sama dengan pengertian rule of law pengadilan mengadili menurut hukum sama maknanya dengan pengadilan
mengadili berdasar rule of law. Ini berarti hakim yang berfungsi dan berwenang menggerakkan jalannya roda peradilan melalui badan pengadilan, tidak boleh
bertindak di luar hukum.
4
Semua nilai normatif yang berkembang dari komponen sumber nilai seperti agama, moral, ekonomi, kultur, kebiasaan, dan kepatutan merupakan rule
of law dari suatu masyarakat bangsa. Sehingga hukum yang hendak ditegakkan para hakim melalui fungsi dan kewenangan peradilan ialah semua nilai normatif
yang terdapat dalam peraturan dan perundang-undangan serta yang bersumber
3
Taufiq Hamami, Peradilan Agama dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Jakarta: PT. Tatanusa, 2013, h. 165.
4
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, h. 82.
dari nilai-nilai kekuatan agama, moral, ekonomi, kultur, kebiasaan, dan kepatutan.
5
d. Asas Equality
Pengertian asas equality adalah persamaan hak. Jika asas equality dikaitkan dengan fungsi peradilan, berarti setiap orang yang datang berhadapan di
sidang pengadilan adalah “sama hak dan kedudukannya”.
6
Tujuan asas equality dalam praktek Peradilan Agama diantaranya terdapat tiga hal yang paling fundamentum.
1 Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan
pengadilan atau equal before the law, 2
Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau equal protection on the law,
3 Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau equal justice
under the law atau equal treatment uder the law. Ketiga hal inilah pedoman dalam menerapkan persamaan hak dan
kedudukan dalam proses peradilan. Serta sekaligus ketiga hal itulah makna yang terkandung dalam pasal 58 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 yang kini telah dirubah
menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua menjadi UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
7
5
Ibid, h. 83.
6
Ibid, h. 85.
7
Ibid, h. 86.