Waria dan Laki-laki suka lelaki “Cleopatra“ dengan jumlah komunitas sebanyak 120 orang 80 orang waria dan 40 orang gay dan LSL, namun gay dan LSL masih lebih
tertutup dibandingkan dengan waria. Berdasarkan penjajakan di lapangan didapatkan data yang yang berasal dari
klinik IMSVCT Bahari Puskesmas Pantai Cermin bersama SP2S dan Cleopatra bahwa jumlah Waria yang terkena HIVAIDS ada 3 orang dan semuanya telah
meninggal dunia serta hasil bulan Januari 2013 yang ikut dalam pemeriksaan dan penapisan sebanyak 17 orang dengan hasil semuanya terkena penyakit infeksi
menular seksual jenis condiloma. Selama Tahun 2013 data penderita yang berkunjung ke klinik IMSVCT Bahari Puskesmas Pantai Cermin didapatkan sebanyak 27 orang
terkena Gonorrhea GO, 6 orang terkena Sipilis, dan sebanyak 283 orang yang ikut test HIV dan 4 orang yang hasilnya positif menderita HIV. Pada bulan Juli 2013
dilakukan pemeriksaan terhadap 6 orang waria dan seluruhya menderita IMS yang terdiri dari 5 orang yang terkena GO dan 1 orang terkena sifilis.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka permasalahan penelitian adalah:
1. Mengapa masih tinggi angka kesakitan penyakit infeksi menular seksual di
komunitas waria padahal tiap bulan mendapat suplai kondom dari SP2S dan ada penyuluhan dari Dinas Kesehatan Serdang Bedagai?
Universitas Sumatera Utara
2. Bagaimana cara-cara pencegahan penyakit infeksi menular seksual yang
dilakukan waria di komunitasnya? 3.
Apa saja yang dilakukan seorang waria apabila dia telah terkena penyakit infeksi menular seksual?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui cara-cara pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual IMS pada komunitas Waria di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai dalam
menentukan kebijakan untuk pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual IMS dan HIVAIDS.
2. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Serdang Bedagai dan lintas sektor
dalam perencanaan program upaya pencegahan penyakit Infeksi menular Seksual IMS dan HIVAIDS. Sebagai bahan pembelajaran pengetahuan, sikap dan
tindakan bagi Waria untuk pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual IMS dan HIVAIDS.
3. Sebagai wahana dan kesempatan yang berharga bagi peneliti untuk
mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah khususnya bidang Kesehatan Reproduksi.
4. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat dipakai sebagai bahan
pustaka untuk penelitian lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Menular Seksual 2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Infeksi Menular Seksual
Penyakit kelamin veneral diseases sudah lama dikenal dan beberapa diantaranya sangat populer di Indonesia yaitu sifilis dan gonore. Dengan semakin
majunya ilmu pengetahuan, seiring dengan perkembangan peradaban masyarakat, banyak ditemukan penyakit-penyakit baru, sehingga istilah tersebut tidak sesuai lagi
dan diubah menjadi Sexually Transmitted Disease STD atau Penyakit Menular Seksual PMS Hakim, 2009; Daili, 2009.
Perubahan istilah tersebut memberi dampak terhadap spektrum PMS yang semakin luas karena selain penyakit-penyakit yang termasuk dalam kelompok
penyakit kelamin VD yaitu sifilis, gonore, ulkus mole, limfogranuloma venerum dan granuloma inguinale juga termasuk Uretritis Non Gonore UNG, kondiloma
akuminata, herpes genitalis, kandidosis, trikomoniasis, bakterial vaginosis, hepatitis, moluskum kontagiosum, skabies, pedikulosis dan lain-lain.
Sejak tahun 1998, istilah STD mulai berubah menjadi STI Sexually Transmitted Infection, agar dapat menjangkau penderita asimtomatik Hakim, 2009;
Daili, 2009. Peningkatan insidens IMS dan penyebarannya di seluruh dunia tidak dapat diperkirakan secara tepat.
Universitas Sumatera Utara
Di beberapa negara disebutkan bahwa pelaksanaan program penyuluhan yang intensif akan menurunkan insiden IMS atau paling tidak insidennya relatif tetap.
Namun demikian, di sebagian besar negara, insiden IMS relatif masih tinggi dan setiap tahun beberapa juta kasus baru beserta komplikasi medisnya antara lain
kemandulan, kecacatan, gangguan kehamilan, gangguan pertumbuhan, kanker bahkan juga kematian memerlukan penanggulangan, sehingga hal ini akan meningkatkan
biaya kesehatan. Selain itu pola infeksi juga mengalami perubahan, misalnya infeksi klamidia,
herpes genital dan kondiloma akuminata di beberapa negara cenderung meningkat dibanding uretritis, gonore dan sifilis. Beberapa penyakit infeksi sudah resisten
terhadap antibiotik, misalnya munculnya galur multiresisten Neisseria gonorrhoeae, Haemophylus ducreyi dan Trichomonas vaginalis yang resisten terhadap
metronidazole. Perubahan pola infeksi maupun resistensi tidak terlepas dari faktor-faktor
yang mempengaruhinya Hakim, 2009; Daili, 2009. Menurut Hakim 2009, dalam Daili 2009, perubahan pola distribusi maupun pola perilaku penyakit tersebut di atas
tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu: 1. Faktor dasar: adanya penularan penyakit, berganti-ganti pasangan seksual.
2. Faktor medis: gejala klinis pada wanita dan homoseksual yang asimtomatis, pengobatan modern, pengobatan yang mudah, murah, cepat dan efektif, sehingga
risiko resistensi tinggi dan bila disalahgunakan akan meningkatkan risiko penyebaran infeksi.
Universitas Sumatera Utara
3. Alat kontrasepsi dalam rahim AKDR dan pil KB hanya bermanfaat bagi pencegahan kehamilan saja, berbeda dengan kondom yang juga dapat digunakan
sebagai alat pencegahan terhadap penularan IMS. 4. Faktor sosial: mobilitas penduduk, prostitusi, waktu yang santai, kebebasan
individu, ketidaktahuan. Peningkatan insidens tidak terlepas dari kaitannya dengan perilaku risiko
tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa penderita sifilis melakukan hubungan seks rata-rata sebanyak 5 lima pasangan seksual yang tidak diketahui asal-usulnya,
sedangkan penderita gonore melakukan hubungan seksual dengan rata-rata 4 empat pasangan seksual Daili, 2009.
Menurut Hakim 2009 dalam Daili 2009, yang tergolong kelompok risiko tinggi adalah:
1. Usia: 20-34 tahun pada laki-laki, 16-24 tahun pada wanita, 20-24 tahun pada
kedua jenis kelamin. 2.
Pelancong. 3.
Pekerja seksual komersial atau wanita tuna susila. 4.
Pecandu narkotik. 5.
Homoseksual.
2.1.2 Penyebab Infeksi Menular Seksual
Menurut Handsfield 2001, infeksi menular seksual dapat diklasifikasikan menurut agen penyebabnya, yakni:
Universitas Sumatera Utara
1. Dari golongan bakteri, yakni Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum,
Chlamydia trachomatis, Haemophilus ducreyi, Calymmatobacterium granulomatis, Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis, Gardnerella
vaginalis, Salmonella sp., Shigella sp., Campylobacter sp., Streptococcus grup B., Mobiluncus sp.
2. Dari golongan protozoa, yakni Trichomonas vaginalis, Entamoeba histolytica,
Giardia lamblia, dan protozoa enterik lainnya. 3.
Dari golongan virus, yakni Human Immunodeficiency Virus tipe 1 dan2, Herpes Simplex Virus tipe 1 dan 2, Human Papiloma Virus banyak tipe,
Cytomegalovirus, Epstein-Barr Virus, Molluscum Contagiosum virus, Hepatitis B, dan virus-virus enterik lainnya.
4. Dari golongan ekoparasit, yakni Pthirus pubis, Sarcoptes scabei.
Sedangkan menurut Daili 2009, selain disebabkan oleh agen-agen di atas, infeksi menular seksual juga dapat disebabkan oleh jamur, yakni jamur Candida
albicans.
2.1.3 Cara Penularan Infeksi Menular Seksual
Cara penularan IMS adalah dengan cara kontak langsung yaitu kontak dengan eksudat infeksius dari lesi kulit atau selaput lendir pada saat melakukan hubungan
seksual dengan pasangan yang telah tertular. Lesi bisa terlihat jelas ataupun tidak terlihat dengan jelas. Pemajanan hampir seluruhnya terjadi karena hubungan seksual
vaginal, oral, anal.
Universitas Sumatera Utara
Penularan IMS juga dapat terjadi melalui darah dengan cara antara lain: 1.
Transfusi darah dengan darah yang sudah terinfeksi HIV. 2.
Saling bertukar jarum suntik pada pemakaian narkoba. 3.
Tertusuk jarum suntik yang tidak steril secara sengajatidak sengaja. 4.
Menindik telinga atau tato dengan jarum yang tidak steril. 5.
Penggunaan alat pisau cukur secara bersama-sama khususnya jika terluka dan 6.
Menyisakan darah pada alat. 7.
Dari ibu kepada bayi: saat hamil, saat melahirkan, dan saat menyusui. Menurut Depkes RI 2006, penularan infeksi menular seksual dapat melalui
beberapa cara, yakni bisa melalui hubungan seksual, berkaitan dengan prosedur medis iatrogenik, dan bisa juga berasal dari infeksi endogen. Infeksi endogen adalah
infeksi yang berasal dari pertumbuhan organisme yang berlebihan secara normal hidup di vagina dan juga ditularkan melalui hubungan seksual. Sedangkan infeksi
menular seksual akibat iatrogenik disebabkan oleh prosedur-prosedur medis seperti pemasangan IUD Intra Uterine Device, aborsi dan proses kelahiran bayi.
2.1.4 Gejala Klinis dan Diagnosa Infeksi Menular Seksual
Terkadang infeksi menular seksual tidak memberikan gejala, baik pria maupun wanita. Beberapa infeksi menular seksual baru menunjukkan gejalanya
setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, maupun bertahun-tahun setelah terinfeksi Lestari, 2008. Mayoritas infeksi menular seksual tidak memberikan gejala
asimtomatik pada perempuan 60-70 dari infeksi gonore dan klamidia. Pada
Universitas Sumatera Utara
perempuan, konsekuensi infeksi menular seksual sangat serius dan kadang-kadang bersifat fatal misalnya kanker serviks, kehamilan ektopik dan sepsis.
Konsekuensi juga terjadi pada bayi yang dikandungnya, jika perempuan tersebut terinfeksi pada saat hamil bayi lahir mati, kebutaan Kesrepro, 2007.
Gejala infeksi menular seksual bisa berupa gatal dan adanya sekret disekitar alat kelamin, benjolan atau lecet disekitar alat kelamin, bengkak disekitar alat kelamin,
buang air kecil yang lebih sering dari bisaanya, demam, lemah, kulit menguning dan rasa nyeri disekujur tubuh, kehilangan berat badan, diare, keringat malam, pada
wanita bisa keluar darah diluar masa menstruasi, rasa panas seperti terbakar atau sakit saat buang air kecil, kemerahan disekitar alat kelamin, rasa sakit pada perut bagian
bawah pada wanita diluar masa menstruasi, dan adanya bercak darah setelah berhubungan seksual WHO, 2001. Diagnosis infeksi menular seksual dilakukan
melalui proses anamnesa, diikuti pemeriksaan fisik dan pengambilan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium Daili, 2009.
2.1.5 Komplikasi Infeksi Menular Seksual
Infeksi menular seksual yang tidak ditangani dapat menyebabkan kemandulan, merusak penglihatan, otak dan hati, menyebabkan kanker leher rahim,
menular pada bayi, rentan terhadap HIV dan beberapa infeksi menular seksual dapat menyebabkan kematian Dinkes Surabaya, 2009.
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yaitu sel darah putih dan kemudian
menimbulkan AIDS Depkes 2005. Virus ini merupakan kelompok retrovirus yaitu
Universitas Sumatera Utara
kelompok virus yang mempunyai kemampuan untuk mengkopi cetak komponen genetika diri di dalam komponen genetika sel-sel yang ditumpanginya Dep.Kes. RI,
2005. AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome merupakan kumpulan gejala penyakit spesifik yang disebabkan oleh rusaknya sistem kekebalan tubuh oleh
virus HIV. Gejala yang ditimbulkan pada penyakit HIV pada fase yang pertama adalah disebut window period dengan ciri belum ada gejala sama sekali, belum
terdeteksi melalui tes dan sudah dapat menularkan HIV. Window period 3 bulan setelah terinfeksi HIV, pada masa ini virus HIV masih belum terdeteksi.
Kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIVAIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan
perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan antiretroviral ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIVAIDS yang bertujuan untuk
perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat dan lebih aman disebut konseling dalam VCT. Kegiatan yang dilakukan pada VCT antara lain konseling
pre testing HIV,
testing HIV, dan konseling post testing HIV. Tujuan adanya konseling VCT adalah mencegah penularan HIV, mengubah perilaku ODHA, pemberian dukungan
yang dapat menumbuhkan motivasi dan meningkatkan kualitas hidup ODHA.
2.1.6 Pencegahan Infeksi Menular Seksual
Menurut WHO 2006, pencegahan infeksi menular seksual terdiri dari dua bagian, yakni pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer
terdiri dari penerapan perilaku seksual yang aman dan penggunaan kondom. Sedangkan pencegahan sekunder dilakukan dengan menyediakan pengobatan dan
Universitas Sumatera Utara
perawatan pada pasien yang sudah terinfeksi oleh infeksi menular seksual. Pencegahan sekunder bisa dicapai melalui promosi perilaku pencarian pengobatan
untuk infeksi menular seksual, pengobatan yang cepat dan tepat pada pasien serta pemberian dukungan dan konseling tentang infeksi menular seksual dan HIVAIDS.
Depkes RI 2006, langkah terbaik untuk mencegah infeksi menular seksual adalah menghindari kontak langsung dengan cara berikut:
1. Menunda kegiatan seks bagi remaja abstinensia.
2. Menghindari bergonta-ganti pasangan seksual.
3. Memakai kondom dengan benar dan konsisten.
Selain pencegahan diatas, pencegahan infeksi menular seksual juga dapat dilakukan dengan mencegah masuknya transfusi darah yang belum diperiksa
kebersihannya dari mikroorganisme penyebab infeksi menular seksual, berhati-hati dalam menangani segala sesuatu yang berhubungan dengan darah segar, mencegah
pemakaian alat-alat yang tembus kulit jarum suntik, alat tindik yang tidak steril, dan menjaga kebersihan alat reproduksi sehingga meminimalisir penularan Dinkes
Surabaya, 2009.
2.2 Bahaya dan Dampak Sosial terhadap Penderita Infeksi Menular Seksual
Sepuluh tahun terakhir, IMS terutama HIVAIDS meningkat jumlahnya dan sangat mempengaruhi kehidupan berjuta-juta orang di seluruh dunia. Pada beberapa
orang dan rumah tangga, efek dari HIVAIDS menjadi berlipat ganda. Selain meningkatkan ketidaknormalan dan kematian, juga mengakibatkan kelumpuhan total
Universitas Sumatera Utara
yang dapat mengancam produktivitas disektor ekonomi keluarga maupun secara makro.
Secara garis besar, dampak sosial terhadap penderita IMS Infeksi Menular Seksual terutama HIVAIDS terbagi beberapa kategori, yaitu: ekonomi dan
demografi, produktivitas pembangunan dan produksi pertanian, penekanan pada sektor kesehatan, rumah tangga dan keluarga, anak-anak, wanita, diskriminasi
HIVAIDS serta dampak HIVAIDS terhadap seseorang Kader Karang Taruna Jatim, 2001.
1. Ekonomi dan Demografi Dampak ekonomi dari IMS dan HIV AIDS dapat memberikan kerugian, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian secara langsung melalui kegiatan pencegahan, pengobatan dan penelitian. Sedangkan kerugian secara tidak langsung
antara lain kehilangan harapan hidup yang diakibatkan oleh IMSAIDS itu sendiri. Upaya untuk menilai kerugian yang ditimbulkan oleh IMS serta HIVAIDS sangat
luar bisaa, dimana hal ini perlu dilakukan seiring dengan kebutuhan akan pengukuran “value of person’s life” terhadap pendapatan seseorang. Jadi dapat dikatakan bahwa
dampak dari IMS serta HIV AIDS adalah kehilangan pendapatan. 2. Produktivitas
Dampak dari IMS, HIVAIDS terhadap tingkat produktivitas tidak hanya meningkatkan ketidaknormalan dan kematian, tetapi juga meningkatkan
ketidakhadiran pekerja karena kesakitan. Pada beberapa kasus AIDS mengakibatkan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan dan otomatis menjadi
Universitas Sumatera Utara
memberi atau langganan dari pusat pelayanan kesehatan tersebut. Selain itu IMSAIDS dapat menurunkan produktivitas. Adanya pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja yang terinfeksi HIV, tidak hanya akan meniadakan pendapatan pekerja tersebut, tetapi juga kesempatan berkontribusi di sektor ekonomi,
diskriminasi di tempat kerja. Hal ini dilaporkan hampir terjadi di semua bagian. 3. Pembangunan dan Produksi Pertanian
Seperti juga disektor-sektor lain di atas, perusahaan dan sumber mata pencaharian di bidang pertanian juga terkena dampak dari terjadinya penyakit
menular seksual seperti HIVAIDS, antara lain dapat mengakibatkan kemiskinan seseorang maupun masyarakat pertanian di seluruh sistem ekologi yang ada serta
kerugian sosial yang tidak terukur dengan nilai.
2.3 Upaya Pengendalian Infeksi Menular Seksual