Upaya Pengendalian Infeksi Menular Seksual Jenis Penelitian

memberi atau langganan dari pusat pelayanan kesehatan tersebut. Selain itu IMSAIDS dapat menurunkan produktivitas. Adanya pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja yang terinfeksi HIV, tidak hanya akan meniadakan pendapatan pekerja tersebut, tetapi juga kesempatan berkontribusi di sektor ekonomi, diskriminasi di tempat kerja. Hal ini dilaporkan hampir terjadi di semua bagian. 3. Pembangunan dan Produksi Pertanian Seperti juga disektor-sektor lain di atas, perusahaan dan sumber mata pencaharian di bidang pertanian juga terkena dampak dari terjadinya penyakit menular seksual seperti HIVAIDS, antara lain dapat mengakibatkan kemiskinan seseorang maupun masyarakat pertanian di seluruh sistem ekologi yang ada serta kerugian sosial yang tidak terukur dengan nilai.

2.3 Upaya Pengendalian Infeksi Menular Seksual

IMS merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting untuk dikendalikan secara cepat dan tepat, karena mempunyai dampak selain pada aspek kesehatan juga politik dan sosial ekonomi. Kegagalan diagnosa dan terapi pada tahap dini mengakibatkan terjadinya komplikasi serius seperti infertilitas, kehamilan ektopik, disfungsi seksual, kematian janin, infeksi neonatus, bayi BBLR Berat Badan Lahir Rendah, kecacatan bahkan kematian. Prinsip umum pengendalian IMS adalah bertujuan untuk memutus rantai penularan infeksi IMS dan mencegah berkembangnya IMS dan komplikasinya. Tujuan tersebut dapat dicapai bila ada Universitas Sumatera Utara penyatuan semua sumber daya dan dana untuk kegiatan pengendalian IMS, termasuk HIVAIDS Kader Karang Taruna Jatim, 2001. Upaya tersebut meliputi: 1. Upaya Promotif a. Pendidikan seks yang tepat untuk mengikis ketidaktahuan tentang seksualitas dan IMS. b. Meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama untuk tidak berhubungan seks selain pasangannya. c. Menjaga keharmonisan hubungan suami istri tidak menyeleweng untuk meningkatkan ketahanan keluarga. 2. Upaya Preventif a. Hindari hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan atau dengan pekerja seks komersial PSK. b. Bila merasa terkena IMS, hindari melakukan hubungan seksual. c. Bila tidak terhindarkan, untuk mencegah penularan pergunakan kondom. d. Memberikan penyuluhan dan pemeriksaan rutin pada kelompok risiko tinggi. e. Penyuluhan dan pemeriksaan terhadap partner seksual penderita IMS. 3. Upaya Kuratif a. Peningkatan kemampuan diagnosis dan pengobatan IMS yang tepat. b. Membatasi komplikasi dengan melakukan pengobatan dini dan efektif baik simtomatik maupun asimtomatik. Universitas Sumatera Utara 4. Upaya Rehabilitatif Memberikan perlakuan yang wajar terhadap penderita IMS, tidak mengucilkannya, terutama oleh keluarga dan partnernya, untuk mendukung kesembuhannya. 2.4 Waria 2.4.1 Pengertian Waria Waria adalah seorang laki-laki yang memiliki fisik dan penampilan seperti wanita. Salviana 2005, menjelaskan waria adalah orang yang secara jasmaniah laki- laki, namun berpenampilan dan bertingkah laku menyerupai perempuan sedangkan orientasi seksnya homoseks menyukai sesama jenis. Secara fisik waria, baik yang berperan sebagai laki-laki maupun perempuan adalah bagian dari homoseksual. Namun demikian, ada suatu hal yang membatasi secara jelas antara kaum homoseks dan kaum waria. Misalnya saja dalam berpakaian, seorang homoseks tidak merasa perlu berpenampilan sebagaimana perempuan. Sebaliknya, seorang waria merasa bahwa dirinya adalah perempuan, sehingga harus berpenampilan sebagaimana seorang perempuan. Chaplin dalam Roan, 1974, memberi defenisi homoseksual sebagai suatu hubungan antara dua jenis kelamin yang sama dan ketertarikan seksual pada jenis kelamin yang sama yang ditandai dengan adanya perilaku seksual yang overt, seperti masturbasi bersama cunilikasi, fellatio dan senggama seks. Cara yang bisaanya Universitas Sumatera Utara dilakukan berhubungan seks adalah dengan secara oral, anal dan kontak tubuh body contact. Secara umum sifat- sifat homoseks dapat dibedakan atas: a. Homoseks Ego-Distonik Homoseks jenis ego-distonik selalu merasa dirinya tidak serasi dengan gangguan yang dialaminya, sehingga selalu merasa risau dan menderita karenanya. b. Homoseks Ego-Sintonik Homoseks jenis ini merasa dirinya serasi dengan kelainan yang dialaminya, sehingga ia tidak bersedia merubah dirinya dan tetap mempertahankan dengan gigih kecenderungannya, merasa wajar saja dalam berkencan dengan sesama jenisnya. c. Homo-Hetero-Seksual Homoseks jenis ini tidak secara penuh bersifat pria atau wanita, diantara keduanya terdapat suatu daerah yang disebut daerah abu-abu grey area. Jadi ada yang 100 bersifat pria dan kecenderungannya hanya pada wanita, ada pula yang 80 bersifat pria dan 20 bersifat wanita atau sebaliknya, bahkan ada yang 50 bersifat pria dan 50 bersifat wanita yang disebut dengan istilah biseksual d. Maskulinitas-Femininitas Diantara sifat-sifat homoseksual terdapat juga sifat kepriaan dan sifat kewanitaan. Homoseks yang berfungsi sebagai laki-laki akan aktif serta Universitas Sumatera Utara pengambil inisiatif dan segala perilaku yang dilakukan oleh pria dalam berhubungan seksual. Sebaliknya, homoseks yang berfungsi sebagai wanita akan lebih bersifat feminism, mereka menerima keadaan, kurang berinisiatif dalam berhubungan seks dan mengambil peran sebagai wanita. Perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki adalah perumpamaan yang bisa digunakan oleh para waria untuk menggambarkan bagaimana keadaan mereka sesungguhnya Buletin Kesehatan, 1999.

2.4.2 Pembagian Waria

Menurut Benny D. Setianto yang dikutip Salviana 2005, ada 4 empat kategori kewariaan: 1. Pria menyukai pria. 2. Kelompok yang secara permanen mendandani dirinya sebagai seorang perempuan. 3. Kelompok yang karena desakan ekonomi harus mencari nafkah dengan berdandan dan beraktifitas sebagai perempuan. 4. Kelompok coba-coba atau memanfaatkan keberadaan kelompok sebagai bagian dari kehidupan seksual mereka.

2.4.3 Faktor-faktor Pendukung Terjadinya Waria

Puspitosari 2005, mengatakan bahwa faktor-faktor terjadinya waria adalah disebabkan oleh faktor biologis yang dipengaruhi oleh hormon seksual dan genetik Universitas Sumatera Utara seseorang. Hermaya Nadia, 2005 berpendapat bahwa peta kelainan seksual dari lensa biologis dapat dibagi dalam keadaan 2 dua penggolongan besar yaitu : 1. Kelainan seksual akibat kromosom Dari kelompok ini, seseorang ada yang berfenotip pria dan yang berfenotip wanita. Dimana pria dapat kelebihan kromosom X. Bisa XXY, XXYY atau bahkan XXXYY. Diduga penyebab kelainan ini karena tidak berpisahnya kromosom seks pada saat miosis pembelahan sel yang pertama dan kedua. Hal ini dikarenakan usia seorang ibu berpengaruh terhadap proses reproduksi. Artinya semakin tua seorang ibu mengandung, maka akan semakin tidak baik proses pembelahan sel tersebut dan akibatnya semakin besar kemungkinan menimbulkan kelainan kromosom seks pada anaknya. 2. Kelainan seksual yang bukan karena kromosom. Menurut Moertiko Nadia, 2005, mengatakan bahwa dalam tinjauan medis, secara garis besar kelainan: a. Pseudomale atau disebut sebagai pria tersamar. Ia mempunyai sel wanita tetapi secara fisik ia adalah pria. Testisnya mengandung sedikit sperma atau sama sekali mandul. Menginjak dewasa, payudaranya membesar sedangkan kumis dan jenggotnya berkurang. b. Pseudofemale atau disebut juga sebagai wanita tersamar. Tubuhnya mengandung sel pria. Tetapi, pada pemeriksaan gonad alat yang mengeluarkan hormon dalam embrio alat seks yang dimiliki adalah Universitas Sumatera Utara wanita. Ketika menginjak dewasa, kemaluan dan payudaranya tetap kecil dan sering tidak bisa mengalami haid. c. Female-pseudohermaprodite. Penderita ini pada dasarnya memiliki kromosom sebagai wanita XX tetapi perkembangan fisiknya cenderung menjadi pria. d. Male-pseudohermaprodite. Penderita ini pada dasarnya memiliki kromosom pria XY namun perkembangan fisiknya cenderung wanita. Nadia 2005, menyatakan bahwa secara umum faktor-faktor terjadinya waria transsexual disebabkan karena: 1. Susunan kepribadian seseorang dan perkembangan kepribadiannya, sejak ia berada dalam kandungan hingga mereka dianggap menyimpang. 2. Menetapnya kebisaaan perilaku yang dianggap menyimpang. 3. Sikap, pandangan dan persepsi seseorang terhadap gejala penyimpangan perilaku. 4. Seberapa kuat perilaku menyimpang itu berada dalam dirinya dan dipertahankan. 5. Kehadiran perilaku menyimpang lainnya yang bisaanya ada secara paralel. Menurut Tjahjono 1995, mengatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya transsexual yaitu: 1. Anak laki-laki yang dibesarkan tanpa ayah atau dibesarkan tanpa kehadiran ayah selama periode waktu yang panjang menunjukkan minat-minat, sikap- sikap dan perilaku feminin. Universitas Sumatera Utara 2. Hubungan yang terlalu dekat antara anak dengan orangtua yang berlawanan dengan jenis kelaminnya. Anak dan orangtua cenderung memiliki kontak yang sangat intim baik secara fisik maupun secara psikis, dan orangtua sering melaporkan adanya suatu hubungan “yang tidak dapat dipisahkan”. Dengan demikian anak hanya mempunyai sedikit kesempatan untuk mengidentifikasi orangtua yang sama dengan jenis kelaminnya dan kurang mengembangkan perilaku-perilaku sesuai dengan peran jenisnya. 3. Beberapa orangtua, menginginkan anak dengan jenis kelamin yang lain, sehingga berusaha menjadikan anak perempuan bersikap seperti laki-laki yang tidak pernah dimilikinya atau sebaliknya. 4. Seorang ibu yang membenci dan iri terhadap kejantanan bisa membentuk perilaku yang kurang jantan pada anak laki-lakinya. Ibu mungkin mengasosiasikan maskulinitas dengan kekerasan fisik dan agresifitas, penyalahgunaan seksual dan kekasaran. Ia lebih suka anak laki-lakinya lembut. 5. Pengaruh-pengaruh genetik atau hormonal. Dari perspektif medis, pada waria ini terdapat kemungkinan disebabkan oleh presdisposisi hormonal, hormon faktor-faktor endokrin kelenjar konstitusi pembawaan dan beberapa diantaranya basis biologis pada masa prenatal atau masa didalam kandungan Nadia, 2005. Crooks 1983, mengatakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya transsexual antara lain yaitu: Universitas Sumatera Utara 1. Faktor biologis, faktor biologis merupakan peran yang dapat menentukan identitas seseorang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Goy tahun 1970 menyatakan bahwa tingkah laku maskulin dapat bertambah pada perempuan 2. Pengalaman pengetahuan sosial, seorang anak dapat terbuka dengan bermacam-macam pengalaman yang mendorong tingkah laku dalam sebuah pola secara tradisional yang berhubungan dengan jenis kelamin. Anak dapat mengembangkan sebuah keakraban, memperkenalkan hubungan dengan orang tua pada jenis kelamin yang berbeda sehingga dapat diperkuat oleh reaksi anak pada masa dewasa. http:digilib.unnes.ac.idgsdlcollectskripsi.1import2875.pdf. Diakses tanggal 06 Oktober 2009, 23:22:42.

2.4.4 Ciri-ciri Waria

Waria dianggap memiliki Gangguan Identitas Jender Gender Identity Disorder, transeksual, memiliki krakteristik sebagai berikut: 1. Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap lawan jenis. 2. Pada anak-anak, terdapat empat atau labih dari cirri, yaitu: a. Berulang kali menyatakan keinginan atau memaksakan diri untuk menjadi lawan jenis. b. Lebih suka memakai pakaian lawan jenis. Universitas Sumatera Utara c. Lebih suka berperan sebagai lawan jenis dalam bermain atau berfantasi menjadi lawan jenis terus-menerus. d. Lebih suka melakukan permainan lawan jenis. e. Lebih suka bermain dengan teman-teman dari lawan jenis. 3. Pada remaja dan orang dewasa, simton-simtom seperti keinginan untuk menjadi lawan jenis, berpindah ke kelompok lawan jenis, ingin diperlakukan sebagai lawan jenis, kayakinan bahwa emosinya adalah tipikal lawan jenis. 4. Rasa tidak nyaman yang terus menerus denganjenis kelamin biologisnya atau rasa terasing dari peran jender jenis kelamin tersebut. a. Pada anak-anak, terwujud dalam salah satu hal diantaranya, pada laki- laki, merasa jijik dengan penisnya dan yakin bahwa penisnya akan hilang seiring berjalannya wakti, tidak menyukai permainan sterotip anak laki- laki. Pada anak perempuan, menolak untuk buang air kecil dengan cara duduk, yakni bahwa penis akan tumbuh, merasa tidak suka dengan payudara yang besar dan mentruasi, merasa benci dan tidak suka terhadap perempuan yang konvensional. b. Pada anak remaja dan orang dewasa, terwujud dalam salah satu hal diantaranya, keinginan kuat untuk menghilangkan karakteristik jenis kelamin sekunder melalui pemberian hormone atau operasi, yakni bahwa dia dilahirkan dengan jenis kelamin yang salah. 5. Tidak sama dengan kondisi fisik antas jenis kelamin. Universitas Sumatera Utara 6. Menyebabkan distress dalam fungsi sosial dan pekerjaan Davidson, Neale, Kring, 2010. Menurut Maslim 2002, seseorang dapat dikatakan sebagai seorang waria jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Identitas transeksual harus sudah menetap selama minimal 2 dua tahun dan harus bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain seperti skizofrenis, atau berkaitan dengan kelainan interseks, genetik atau kromosom. 2. Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan jenis, biasanya disertai perasaan risih atau tidak serasi dengan anatomi seksualnya. 3. Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan. Tanda-tanda untuk mengetahui adanya masalah identitas dan peran jenis, menurut Tjahjono 1995, yaitu: 1. Individu enampilkan identitas lawan jenis secara berkelanjutan. 2. Memiliki keinginan yang kuat berpakaian sesuai dengan lawan jenis. 3. Minat-minat dan perilaku yang berlawanan dengan lawan jenis. 4. Penampilan fisik hampir menyerupai lawan jenis kelaminnya. 5. Perilaku individu yang terganggu peran jenisnya seringkali menyebabkan ia ditolak di lingkungannya. 6. Bahasa tubuh dan nada suara seperti lawan jenisnya. Universitas Sumatera Utara

2.4.5 Budaya Waria

Agak sulit mencari titik pangkal kapan dan dimana kebudayaan waria mulai muncul, sejarah belum pernah mencatat secara pasti. Jika dewasa ini mulai ada perhatian pada diri kaum waria, kemungkinan besar adalah bahwa ada keuntungan yang didapat dari eksploitas penampilannya, misalnya dalam dunia perfilman, baik dilayar kaca maupun peran. Waria yang atraktif ternyata mampu mendatangkan hiburan yang agak berbeda. Ini adalah komoditi ekonomi, demikian juga adanya ekshibisi sepak bola waria yang sering diadakan dalam rangka peristiwa-peristiwa tertentu. Semuanya tidak lebih dari sekedar memanfaatkan kelucuan-kelucuan mereka Mastura, 2000. Dalam sejarah bangsa Yunani memang tercatat adanya kaum waria, seperti yang direkam oleh Hipocrates, telah muncul beberapa waria kelas elite seperti Raja Henry III dari Prancis, Abbe de Choisy Duta Besar Prancis di Siam serta Gubernur New York pada tahun 1702 Lord Combuny. Mereka berdandan sebagaimana wanita. Karena beberapa diantaranya adalah orang-orang terpandang, atribut mereka tidak ditampakkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut catatan ini, mereka laki-laki yang berjiwa perempuan, dengan pakaian perempuan dan lebih senang dianggap perempuan Mastura, 2000. Pada bangsa Turco-Mongol di gurun Siberia, dukun pria pada umumnya berpakaian wanita. Lain halnya di Oman, di sana dikenal adanya Xanith. Di Oman pelacur wanita dikenal amat jarang dan mahal harganya. Xanith kemudian banyak beralih fungsi menjadi pelacur dengan harga yang amat rendah, pelacur-pelacur Universitas Sumatera Utara Xanith ini justru mendapat perlindungan dari norma masyarakat yang berlaku disana. Dengan demikian, busana wanita yang dipakai oleh pria di Oman yang disebut Xanith mengandung dua fungsi. Pertama merupakan fenomena budaya dan kedua menjadi daya tarik seksual ketika mereka berfungsi sebagai pelacur. Dari berbagai catatan tersebut, tidak jelas benar apakah mereka benar-benar kaum waria yang fenomena psikologisnya sebagaimana gejala transeksual atau sekedar gejala transvestet Koeswinarno, 1996. Di Indonesia, budaya waria dapat kita temukan pada masyarakat Jawa Timur dengan kesenian Ludruk dan Reog di Ponorogo. Pada warok dikenal amat sakti. Warok yang memainkan reog akan kehilangan kesaktianya bila berhubungan seks dengan perempuan dan bila dia memerlukan gemblakan yaitu laki-laki muda berusia 9-17 tahun yang memiliki fungsi multidimensional bagi sang warok. Tugas para gemblakan ini dimulai dari pekerjaan membantu berbagai pekerjaan rumah tangga sang warok dan memberikan kebutuhan seksual bagi sang Warok. Jenis kegunaan yang terakhir ini membuat para warok selalu memilih gemnlakan lelaki muda yang berwajah cantik dan berkulit halus. Keadaan tersebut merupakan jalan keluar bagi setiap perguruan warok yang mematangkan murid- muridnya menggauli wanita, termasuk istri-istri sah mereka. Baru kemudian setelah ilmu mereka mencapai tingkat kematangan, mereka diperbolehkan kembali berhubungan seks dengan wanita ataupun istrinya. Perlakuan warok terhadap para gemblak inilah yang dapat menjuruskan perilaku seksual remaja tersebut menjadi seorang waria. Si warok seringkali Universitas Sumatera Utara memperlakukan gemblakannya sebagai wanita, baik dalam perilaku maupun cara berdandan. Budaya waria lain yang terdapat di Jawa Timur adalah yang ada dalam kesenian tradisional ludruk, yakni sebuah drama tradisional dari Jawa Timur, yang semua pemain panggungnya adalah laki-laki. Jika sebuah peran menuntut hadirnya seorang perempuan, kaum laki-laki itulah yang harus memerankan perempuan. Pelakon ini relatif menetap. Artinya, sekali mereka memerankan peran wanita, maka selamanya dalam permainan panggung ia berperan sebagai wanita Mastura, 2000.

2.4.6 Penyakit Infeksi Menular Seksual di Kalangan Waria

Dibandingkan dengan kelompok Gay, kelompok Wanita Penjaja Seks WPS dan kelompok Waria lebih berisiko terjangkit penyakit Infeksi Menular Seksual IMS dikarenakan pelanggannya adalah pria yang berkeluarga, sehingga dua kelompok ini harus lebih dipantau. Ada sekitar 3,3 juta laki-laki di Indonesia saat ini menjadi pembeli seks, padahal sebagian besar dari mereka sudah berkeluarga Kompas, 2013. Umumnya waria sangat menyukai anak laki-laki yang ganteng dan masih sangat muda. Menjadi kebanggaan tersendiri apabila waria dapat menggaet pria muda dan melakukan relasi seks Koeswinarno, 1996. Disamping itu pelacuran waria adalah sebuah mitos yang diwariskan oleh para pendahulu mereka. Dunia pelacuran juga merupakan wadah seorang waria untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungan setelah mereka merasa terbuang, sekaligus memperoleh pengalaman kewariaan yang sesungguhnya Kemala, 1987. Universitas Sumatera Utara Menurut Koeswinarno 1996, dalam kegiatan pelacuran ada 4 empat cara atau teknik hubungan seks yang dipakai oleh kaum waria adalah sebagai berikut: 1. Fellatio atau oral seks. Teknik ini paling banyak dilakukan oleh waria. Dengan teknik ini biasanya air mani tidak ditelan begitu saja setelah seorang waria melakukan penyedotan hingga benar-benar tuntas. Ketika terjadi ejakulasi dini, maka dengan segera mereka memuntahkan air mani yang ada dimulutnya. Cara ini banyak dilakukan dalam praktek-praktek seksual disekitar pelacuran, karena lebih praktis dan tidak membutuhkan tempat khusus seperti kamar. 2. Jepit. Yaitu pangkal paha waria berfungsi sebagaimana umumnya vagina pada kaum wanita. Penis pasangan waria dijepit diantara dua pangkal paha dan kemudian digosok-gosokkan hingga mencapai orgasme. Ketika penis pasangan waria dijepit diantara pangkal paha, maka sebaliknya penis waria berada diantara perut waria dan pasangannya. Sehingga ketika terjadi proses saling menggerakkan, maka kedua alat kelamin dapat mengalami ereksi dan terjadi ejakulasi. Untuk mencegah lecet, penis pasangan waria dan penis waria diolesi telebih dahulu dengan cream. Teknik ini merupakan cara teraman dari kemungkinan tertularnya penyakit kelamin. 3. Sodomi atau anal. Konon kata sodomi sebagaimana yang ada dalam Kitab Injil sebagai seks yang pernah dilakukan Sodom dan Gomorah. Hampir semua waria Universitas Sumatera Utara menggemari teknik sodomi sebagai cara pemuasan nafsu seks. Pada teknik ini pihak yang aktif harus terlebih dahulu diolesi penisnya dengan cream untuk mencegah lecet pada alat kelamin. 4. Onani. Merupakan pemuasan seks yang tidak berdiri sendiri. Artinya onani dilakukan bersamaan dengan prilaku seks lainnya, seperti fellatio. Ketika seorang waria melakukan teknik fellatio kepada pasangannya, maka kadang-kadang lawan seks mengonanikan kelamin waria sehingga masing-masing pihak akan sama- sama mencapai orgasme. Berdasarkan hasil sebuah studi yang dilakukan di Mojo Wetan dan Mojo Kulon, lebih lanjut Koeswinarno 1996, menyatakan bahwa tidak semua konsumen seks kaum waria mau menerima semua perlakuan seks yang dilakukan waria Misalnya seks anal, tidak sembarang laki-laki mau melakukannya. Pada dasamya ada perasaan tidak enak atau jijik bagi orang awam untuk melakukan seks anal. Ini membuktikan bahwa rata-rata konsumen waria adalah pria normal, bukan seperti perkiraan bahwa konsumen waria adalah mereka yang juga mengalami penyimpangan seks. Laki-laki yang bersedia melakukan hubungan seks anal biasanya adalah kaum homoseksual dan suami-suami waria. Seks bagi waria bukan semata-mata dunia pelacuran seperti halnya WPS Wanita Penjaja Seks yang sebagian dari mereka menjadi pelacur karena himpitan ekonomi. Nyebong bagi waria merupakan nafas yang melekat dengan kehidupannya. Universitas Sumatera Utara Tidak sedikit dari mereka yang tidak dapat melepaskan dunia pelacuran cebongan atau seks bebas lainnya Koeswinarno, 1996.

2.4.7 Konsumen Seks Kaum Waria

Buddy Ibrahim 2000, memberi definisi pelanggan yaitu setiap orang dalam suatu mata rantai proses dianggap konsumen pelanggan oleh proses sebelumnya. Konsumen ini dibagi atas konsumen internal dan konsumen eksternal. Konsumen internal adalah pemakai produkjasa internal atau proses berikutnya dalam suatu mata rantai proses produksi. Didalam dunia waria yang menjadi konsumen internal adalah suami si waria itu laki-laki yang menjadi pacar si waria. Sedangkan konsumen eksternal adalah para pembeli produk atau pemakai jasa yang memberikan hasil dan laba. Konsumen eksternal didalam dunia waria adalah pelanggan atau tamu yang menggunakan atau memeli jasa atau produk waria dalam bentuk pelayanan seksual dimana para tamu ini akan memberikan hasil dan laba atas pelayanan seksual yang diberikan waria dalam bentuk uang. Universitas Sumatera Utara BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan paradigma interpretatif yaitu penilaian yang bertujuan untuk memperoleh informasi yang spesifik mengenai perilaku dan konteks sosial menurut keterangan informan. Creswell, 2002. Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui cara-cara pencegahan penyakit infeksi menular seksual IMS di komunitas waria dengan cara berinteraksi lebih dalam melalui wawancara, observasi dan adanya dokumentasi.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian