Hidup Sebagai Waria Dra. Syahrifah, M.S

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Hidup Sebagai Waria

Sebagai sebuah kepribadian, menjadi seorang waria merupakan proses yang panjang, baik secara individual maupun sosial. Lahirnya perilaku waria merupakan bentuk dorongan yang kuat dalam dirinya dimana fisik mereka tidak sesuai dengan kondisi psikis. Hal ini yang menimbulkan konflik psikologis dalam dirinya. Mereka mempresentasikan perilaku yang jauh berbeda dengan laki-laki normal, tetapi bukan sebagai wanita yang normal juga. Dari informasi yang diperoleh, awal menjadi waria merupakan keinginan yang ada dalam diri seorang laki-laki untuk menjadi seorang perempuan dimana keinginan itu tidak bisa terbendung lagi sehingga mereka mengambil keputusan menjadi seorang waria. Bagi mereka waria adalah seorang wanita yang tersampul pada diri laki-laki, tetapi mereka tak pernah menyesal dengan keputusan yang diambilnya karena menurutnya mereka lebih nyaman dengan keadaan yang seperti sekarang ini. Nevi, Ratus dan Greence dalam Kurniawati 2006, menyatakan faktor penyebab timbulnya waria dapat ditinjau dari beberapa perspektif, yaitu biologis, berkaitan dengan masalah hormonal, behavioristik berkaitan dengan penguatan yang diberikan oleh keluarga atau orang lain ketika anak laki-laki berperilaku berpenampilan seperti perempuan, sedangkan perspektif sosiokultural berkaitan Universitas Sumatera Utara dengan faktor budaya yang diduga mempengaruhi perubahan perilaku dari laki-laki menjadi perempuan. Sedangkan Kurniawati 2003, menyatakan bahwa faktor utama penyebab laki-laki menjadi waria adalah kesalahan dalam proses pendidikan pembentukan identitas jenis kelamin dan kesalahan imitasi yang ditunjang dengan penguatan. Penguatan mulai didapat dari masa kanak-kanak dan terus berlanjut sampai ia menyadari bahwa dirinya adalah waria, penguatan terjadi dalam keluarga berupa pujian saat ia berpakaian atau berperilaku seperti perempuan. Dunia waria atau banci bagi banyak orang adalah sesuatu yang tidak wajar. Secara fisik mereka adalah laki-laki normal, memiliki kelamin normal, namun secara psikis mereka merasa dirinya perempuan, tidak ubahnya seperti kaum perempuan lainnya. Akibatnya perilaku mereka sehari-hari sering tampak kaku, fisik mereka laki-laki, namun cara berjalan, berbicara dan dandanan mereka mirip perempuan. Dengan cara yang sama dapat dikatakan bahwa jiwa mereka terperangkap pada tubuh yang salah. Waria merupakan individu yang secara fisik laki-laki namun lebih secara psikologis perempuan. Menurut Koeswinarno 2004, waria merupakan penyandang masalah kesejahteraan sosial di Indonesia, baik ditinjau dari segi psikologis, sosial, norma, maupun secara fisik. Keberadaan waria menciptakan keterasingan secara sosial, baik oleh keluarga maupun lingkungan. Dengan bekal keahlian yang minim, umumnya mereka menyatu dengan teman senasib, melacur dan terbentuklah sub- kultur waria dengan berbagai atributnya: bahasa, tata nilai, gaya hidup dan solidaritas. Posisi ini mengakibatkan kaum waria tidak memiliki bargaining position posisi Universitas Sumatera Utara tawar menawar sosial, sehingga penerimaan sosial waria sangat terbatas pada kelompok masyarakat yang permisif dengan nilai-nilai pelacuran. Waria lekat dengan dunia prostitusi, waria menggantungkan hidup pada dunia prostitusi. Waria terjun kedalam dunia prostitusi akibat belum diakuinya status waria oleh pemerintah serta rendahnya tingkat pendidikan waria. Hasil penelitian ini didapatkan hampir semua waria memiliki pekerjaan sebagai pekerja seksual, sebagian dari mereka sudah tidak lagi turun kejalan untuk menawarkan jasanya karena usianya yang sudah cukup tua. Bekerja sebagai pekerja seksual tidak hanya melulu mengenai uang, tetapi juga untuk memenuhi hasrat biologis mereka. Selain bekerja sebagai pekerja seks komersial, waria dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari juga melakukan pekerjaan tambahan seperti biduan, maupun tata rias wanita. Pekerjaan tambahan yang dilakukan waria bertujuan untuk menambah penghasilan waria dan merupakan strategi eksistensi waria di dalam kehidupan sosial. Kehidupan sosial waria yang tinggi seperti penggunaan alat-alat elektronik yang mahal dan juga membiayai pacar mereka menuntut mereka untuk bekerja lebih keras lagi. Dalam menjalankan profesinya sebagai pekerja seksual seorang waria tidak jauh dari perlakuan yang buruk dari kliennya seperti dirampok, pencurian HP dan terkadang diperlakukan seperti binatang. Hal ini yang terkadang membuat waria menjadi resah dan terkadang merasa sedih karena merasa diperlakukan berbeda dengan orang lain, apalagi ditambah dengan perlakuan masyarakat yang masih belum menerima keberadaan mereka. Universitas Sumatera Utara Didalam struktur masyarakat waria masih dianggap sebagai kelompok yang menimbulkan masalah ketertiban umum dan perilaku mereka yang menyimpang dianggap sebagai keresahan yang ada di masyarakat lingkungan sekitar. Oleh karena itu sering dilakukan penertiban waria dan tidak jarang masyarakat mengusir waria dari lokasi tempat biasa mereka menawarkan jasanya. Hal ini juga terjadi dalam penelitian ini dimana waria sering di usir oleh masyarakat dari lapangan Segitiga Perbaungan dan kini mereka beroperasi di sekitar pekuburan di Perbaungan. Waria di usir oleh masyarakat, karena masyarakat merasa sangat terganggu dengan perilaku menyimpang mereka sebagai pekerja seksual.

5.2 Perilaku Seksual yang Beresiko pada Waria