2.4.5 Budaya Waria
Agak sulit mencari titik pangkal kapan dan dimana kebudayaan waria mulai muncul, sejarah belum pernah mencatat secara pasti. Jika dewasa ini mulai ada
perhatian pada diri kaum waria, kemungkinan besar adalah bahwa ada keuntungan yang didapat dari eksploitas penampilannya, misalnya dalam dunia perfilman, baik
dilayar kaca maupun peran. Waria yang atraktif ternyata mampu mendatangkan hiburan yang agak berbeda. Ini adalah komoditi ekonomi, demikian juga adanya
ekshibisi sepak bola waria yang sering diadakan dalam rangka peristiwa-peristiwa tertentu. Semuanya tidak lebih dari sekedar memanfaatkan kelucuan-kelucuan mereka
Mastura, 2000. Dalam sejarah bangsa Yunani memang tercatat adanya kaum waria, seperti
yang direkam oleh Hipocrates, telah muncul beberapa waria kelas elite seperti Raja Henry III dari Prancis, Abbe de Choisy Duta Besar Prancis di Siam serta Gubernur
New York pada tahun 1702 Lord Combuny. Mereka berdandan sebagaimana wanita. Karena beberapa diantaranya adalah orang-orang terpandang, atribut mereka tidak
ditampakkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut catatan ini, mereka laki-laki yang berjiwa perempuan, dengan pakaian perempuan dan lebih senang dianggap
perempuan Mastura, 2000. Pada bangsa Turco-Mongol di gurun Siberia, dukun pria pada umumnya
berpakaian wanita. Lain halnya di Oman, di sana dikenal adanya Xanith. Di Oman pelacur wanita dikenal amat jarang dan mahal harganya. Xanith kemudian banyak
beralih fungsi menjadi pelacur dengan harga yang amat rendah, pelacur-pelacur
Universitas Sumatera Utara
Xanith ini justru mendapat perlindungan dari norma masyarakat yang berlaku disana. Dengan demikian, busana wanita yang dipakai oleh pria di Oman yang disebut
Xanith mengandung dua fungsi. Pertama merupakan fenomena budaya dan kedua menjadi daya tarik seksual ketika mereka berfungsi sebagai pelacur. Dari berbagai
catatan tersebut, tidak jelas benar apakah mereka benar-benar kaum waria yang fenomena psikologisnya sebagaimana gejala transeksual atau sekedar gejala
transvestet Koeswinarno, 1996. Di Indonesia, budaya waria dapat kita temukan pada masyarakat Jawa Timur
dengan kesenian Ludruk dan Reog di Ponorogo. Pada warok dikenal amat sakti. Warok yang memainkan reog akan kehilangan kesaktianya bila berhubungan seks
dengan perempuan dan bila dia memerlukan gemblakan yaitu laki-laki muda berusia 9-17 tahun yang memiliki fungsi multidimensional bagi sang warok.
Tugas para gemblakan ini dimulai dari pekerjaan membantu berbagai pekerjaan rumah tangga sang warok dan memberikan kebutuhan seksual bagi sang
Warok. Jenis kegunaan yang terakhir ini membuat para warok selalu memilih gemnlakan lelaki muda yang berwajah cantik dan berkulit halus. Keadaan tersebut
merupakan jalan keluar bagi setiap perguruan warok yang mematangkan murid- muridnya menggauli wanita, termasuk istri-istri sah mereka. Baru kemudian setelah
ilmu mereka mencapai tingkat kematangan, mereka diperbolehkan kembali berhubungan seks dengan wanita ataupun istrinya.
Perlakuan warok terhadap para gemblak inilah yang dapat menjuruskan perilaku seksual remaja tersebut menjadi seorang waria. Si warok seringkali
Universitas Sumatera Utara
memperlakukan gemblakannya sebagai wanita, baik dalam perilaku maupun cara berdandan.
Budaya waria lain yang terdapat di Jawa Timur adalah yang ada dalam kesenian tradisional ludruk, yakni sebuah drama tradisional dari Jawa Timur, yang
semua pemain panggungnya adalah laki-laki. Jika sebuah peran menuntut hadirnya seorang perempuan, kaum laki-laki itulah yang harus memerankan perempuan.
Pelakon ini relatif menetap. Artinya, sekali mereka memerankan peran wanita, maka selamanya dalam permainan panggung ia berperan sebagai wanita Mastura, 2000.
2.4.6 Penyakit Infeksi Menular Seksual di Kalangan Waria