Perkembangbiakan dan mekanisme pembentukan rumpun

tidak mendapat penyinaran surya yang cukup atau tidak mendapat penyinaran surya secara langsung. Hal ini berarti bahwa untuk mematahkan dormansi biji sagu diperlukan intensitas sinaran surya yang cukup. Apabila intensitas sinaran surya tidak terpenuhi, maka biji sagu akan tetap mengalami dormansi atau gagal berkecambah. Gambar 20. Pertumbuhan anakan sagu melalui biji Kueh 1977 dalam Flach 1983 melaporkan hasil penelitian perkecambahan biji sagu yang berasal dari Serawak, sebagian besar biji tidak dapat berkecambah, terdapat beberapa biji yang berkecambah namun memiliki mutu yang rendah. Disebutkan bahwa kegagalan perkecambahan itu kemungkinan karena biji-biji sagu tersebut tidak mendapatkan cahaya yang cukup atau cadangan makanan telah berkurang karena tersimpan dalam waktu yang cukup lama. Cara perkembangbiakan sagu yang kedua adalah melalui organ vegetatif berupa anakan, stolon, atau rhyzome yang muncul dari bagian pangkal batang. Anakan sagu biasanya muncul dari pangkal batang di bagian bawah permukaan tanah, sejajar permukaan tanah, atau tidak menyentuh permukaan tanah. Tipe anakan yang disebut terakhir pada umumnya gagal untuk tumbuh menjadi individu baru ke fase pertumbuhan berikutnya. Agen penyebaran sagu dengan organ ini yang paling banyak terjadi melalui perantaraan manusia terutama dalam praktek budidaya. Dalam perkembangbiakan secara vegetatif ini, apabila anakan sagu tumbuh berdekatan dengan pohon induk, maka rumpun terbentuk memiliki jumlah individu yang relatif banyak. Di lapangan ditemukan rumpun sagu spesies tertentu seperti M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. dapat terdiri dari 15-20 individu. Rumpun sagu dengan jumlah individu sebanyak itu memiliki kemampuan penguasaan ruang dapat mencapai 10 m 2 . Pertumbuhan rhyzome percabangan basal yang memanjang menjauh dari pohon induk, terpisah dari rumpunnya pada jarak antara 1,5 – 2,0 m dapat tumbuh dan berkembang membentuk rumpun sendiri Gambar 21. Dalam mekansime pembentukan rumpun ini, percabangan basal tumbuh membesar, setelah mencapai fase sapihan mulai diikuti dengan terbentuknya tunas. Tunas-tunas ini selanjutnya tumbuh membesar, secara bersama-sama dengan pohon induk membentuk rumpun baru. Gambar 21. Percabangan basal yang menjauh dari pohon induk Percabangan basal akan mengalami pemanjangan, menjauh dari pohon induk atau rumpun apabila terdapat hambatan dalam pertumbuhannya, atau ±2,5 m terdapat kondisi yang tidak memungkinkan untuk segera tumbuh vertikal membentuk individu baru. Hambatan yang dapat menyebabkan percabangan basal memanjang jauh dari pohon induk antara lain adalah adanya tumpukan tangkai daun kering yang jatuh berserakan. Tumpukan ini memunculkan hambatan sinaran surya yang dapat memacu pergerakan tunas ke arah vertikal sebagai bagian dari mekansime fototropisme. Dengan kata lain terjadi hambatan terhadap sinaran surya sehingga pemunculan tunas ke arah vertikal terhambat, sehingga pada periode tertentu tumbuh secara horizontal, setelah cahaya cukup kemudian tumbuh secara vertikal. Dalam perkembangan selanjutnya diikuti dengan pertumbuhan tunas-tunas baru membentuk suatu rumpun lagi.

4.2.4. Sifat morfologi sagu

Sagu Metroxylon spp. merupakan jenis tumbuhan palem tropika basah, apabila diamati secara morfologi memiliki bentuk arsitektur pohon model Tomlinson. Model arsitektur ini dicirikan oleh adanya beberapa sumbu yang terbentuk dari percabangan basal, yaitu percabangan yang berkembang dari munculnya mata tunas di bagian pangkal batang, kemudian memanjang atau menjalar ke arah samping menyerupai akar rhyzome seterusnya membentuk individu baru caulomere. Masing-masing kaulomer pada awalnya dihasilkan dari dasar batang yang semula jumlahnya hanya satu, terus bertambah muncul dari permukaan tanah Halle Oldeman 1975. Tumbuhan sagu memiliki sistem perakaran yang serupa dengan perakaran jenis tumbuhan palem pada umumnya yaitu sistem akar serabut. Akar keluar dari hampir seluruh permukaan pangkal batang di bawah permukaan tanah, bahkan sampai beberapa sentimeter di atas permukaan tanah. Akar keluar secara padat menyebar memanjang ke arah horizontal dan vertikal. Perakaran tumbuhan sagu menyebar horizontal sampai radius 3-4 meter dari pangkal batang. Sedangkan jangkauan jelajah ke dalam tanah dapat lebih dari satu meter, namun akumulasi perakaran paling banyak terdapat pada kedalaman tanah sekitar 60 cm. Diameter akar rata-rata sekitar satu centimeter, berwarna coklat muda sampai coklat tua. Sepanjang akar terdapat bagian menyerupai buku, dengan jarak yang bervariasi antara 3-5 cm. Ujung akar pada umumnya berwarna putih kekuningan atau kemerahan. Hampir pada seluruh permukaan akar tumbuh bulu-bulu akar dengan panjang antara 3-5 cm dan diameter 1,5-2,0 mm. Batang sagu berbentuk bulat, ukuran diameter bervariasi, tergantung spesies. Spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. memiliki ukuran diameter batang berkisar antara 55-75 cm, M. longispinum Mart. dan M. microcanthum Mart. memiliki diameter sekitar 40-55 cm. Sedangkan spesies M. sagu Rottb. pada umumnya memiliki ukuran diameter sekitar 50-65 cm. Tinggi batang sagu bebas daun juga bervariasi tergantung spesies. Spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. memiliki ukuran tinggi batang antara 15-20 meter, M. longispinum Mart. sekitar 10-12 meter, M. microcanthum Mart. 7-10 meter, dan M. sagu Rottb. berkisar antara 12-15 meter. Susunan penampang batang dari bagian luar ke dalam terdiri dari kulit luar yang tipis, kulit keras, serat kasar, dan empulur. Pada sisi bagian luar batang terdapat tanda bekas pelepah daun. Jarak antara bekas pelepah yang satu dengan yang lain secara vertikal berkisar antara 10-15 cm. Warna empulur bervariasi tergantung jenis sagu mulai dari putih sampai kemerahan. Spesies M. rumphii Mart. mempunyai empulur berwarna putih agak kemerahan, M. sylvestre Mart. kemerahan, M. longispinum Mart. merah muda, M. microcanthum Mart. berwarna merah muda, dan M. sagu Rottb. berwarna putih. Menurut Haryanto dan Pangloli 1992 dikemukakan bahwa bahwa berat kulit batang sagu berkisar antara 17-25 dari berat batang, sisanya berupa berat empulur sekitar 75-83 dan perbandingan antara berat kulit batang dan empulur selama masa pertumbuhan sagu relatif tetap. Daun tumbuhan sagu terdiri dari pelepah tangkai daun, anak daun, tulang daun, dan spesies M. rumphii Mart. terdapat duri spine yang menempel pada hampir seluruh bagian pangkal pelepah. Duri-duri tersebut juga terdapat pada bagian belakang tangkai daun. Duri juga terdapat pada sisi pinggir anak daun berupa duri-duri halus. Pangkal pelepah daun sagu menempel mengitari batang. Di sepanjang tangkai daun tumbuh anak daun menyirip berhadapan atau agak berhadapan. Jarak tata letak anak daun pada tangkainya berkisar antara 5-10 cm. Pelapah atau tangkai daun berjumlah antara 12-16 tangkai dan memiliki ukuran panjang sekitar 5-7 m. Pada spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. ukuran tangkai daun dapat mencapai delapan meter bahkan lebih. Setiap tangkai daun dewasa terdapat sekitar 50-80 pasang anak daun. Anak daun memiliki ukuran panjang antara 100-180 cm, dan lebar 10-15 cm. Flach 1983 mengemukakan bahwa tanaman sagu memiliki tangkai mencapai 18 tangkai dengan ukuran antara 5-7 m. Setiap bulan terbentuk satu tangkai daun, dan umur rata-rata tangkai daun diperkirakan sekitar 12-18 bulan. Tangkai daun berwarna hijau muda, kemudian berubah warna menjadi hijau kekuningan dan selanjutnya tangkai dan anak-anak daun menguning, mengering dan gugur. Daun sagu yang masih muda pada umumnya berwarna hijau muda, kadang-kadang berwarna hijau keunguan. Dengan bertambah umur secara berangsur-angsur berubah warna menjadi hijau tua, kuning, dan coklat apabila telah mengering. Tumbuhan sagu diperkirakan mulai berbunga pada umur sekitar 10-12 tahun, diikuti dengan pembentukan buah. Masa pembungaan diawali dengan munculnya tanda-tanda seperti tangkai daun dan anak-anak daun memendek, ukuran lebar menyempit dan pelepah tangkai daun menunjukkan perubahan warna menjadi hijau kekuningan. Tomlinson 1990 dalam Flach 1997 melakukan deskripsi pembungaan Metroxylon spp. dilaporkan bahwa palem ini melengkapi proses pertumbuhan dengan membentuk pembungaan, merupakan indikasi akan berakhirnya masa pertumbuhan yang diakhiri dengan kematian. Bunga sagu merupakan bunga majemuk yang keluar dari ujung atau pucuk batang, berwarna merah kecoklatan. Bunga bercabang banyak seperti tanduk rusa yang terdiri dari cabang primer, sekunder, dan tersier. Pada cabang tersier terdapat sepasang bunga jantan dan bunga betina. Diduga penyerbukan tumbuhan sagu berlangsung secara silang Flach 1977 dalam Haryanto dan Pangloli 1992. Buah sagu berbentuk bulat menyerupai buah salak. Kulit buah berupa sisik yang tersusun secara diagonal. Di dalam buah terdapat biji yang sifatnya fertil. Dikemukakan juga bahwa waktu antara bunga mulai muncul sampai fase pembentukan buah, berlangsung sekitar dua tahun.

4.2.5. Preferensi habitat dan adaptasi tumbuhan sagu

Secara umum tipe habitat sagu dapat dipisahkan menjadi dua kategori yaitu 1 tipe habitat lahan kering dan 2 tipe habitat lahan tergenang, berupa rawa- rawa yang tergenang secara temporer maupun permanen. Tipe habitat kedua atas dasar karakteristiknya dapat dipisahkan lebih lanjut menjadi beberapa tipe habitat yaitu : 1 tipe habitat tergenang air payau yaitu tipe habitat yang dicirikan oleh adanya pasang-surut sehingga genangannya bersifat temporer, merupakan habitat yang berdekatan atau berbatasan dengan vegetasi nipah mangrove. Pada umumnya terdapat di bagian belakang nipah, dari bagian pesisir ke arah daratan. Tumbuhan sagu pada tipe habitat ini biasanya mengalami perendaman atau tergenang apabila terjadi air pasang, dan kondisi habitatnya mengering jika terjadi air surut, 2 tipe habitat tergenang sementara oleh air hujan yaitu tipe habitat dimana genangannya sangat ditentukan oleh ada-tidaknya hujan. Apabila terjadi hujan habitat sagu mengalami genangan selama beberapa waktu, pada umumnya sekitar satu sampai dua minggu atau paling lama satu bulan. Apabila tidak terjadi hujan maka kondisi habitatnya mengering, 3 tipe habitat tergenang permanen, yaitu tipe habitat sagu yang mengalami genangan pada periode waktu relatif cukup lama, biasanya lebih dari satu bulan. Air genangan bisa berasal dari air hujan atau air sungai, dan 4 tipe habitat lahan kering, artinya kondisi habitat sagu tidak pernah mengalami genangan air, apakah dari air hujan, sungai atau air laut. Kondisi lahan pada tipe habitat ini pada umumnya kemiringan lahan agak datar, sehingga tidak memungkinkan air sungai, air laut ataupun air hujan yang jatuh tidak menyebabkan genangan tetapi mengalami run off masuk ke sungai atau kolam yang dapat menampung sejumlah air, seringkali masuk ke tipe habitat tergenang tidak permanen air tawar atau ke tipe habitat permanen Lampiran 8. Di dalam wilayah P. Seram terdapat lima spesies sagu yaitu : 1 M. rumphii Mart., 2 M. sylvestre Mart., 3 M. longispinum Mart., 4 M. microcanthum Mart., dan 5 M. sagu Rottb. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua spesies sagu dapat tumbuh pada setiap tipe habitat. Dari lima spesies tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang dalam wilayah P. Seram, hanya tiga spesies sagu yang ditemukan tumbuh pada semua tipe habitat yaitu M. rumphii Mart., M. sylvestre Mart. dan M. longispinum Mart. Tabel 16. Dua spesies tumbuhan sagu yang lain yakni M. microcanthum Mart. dan M. sagu Rottb. ditemukan pada tipe habitat terbatas. Spesies M. microcanthum Mart. hanya ditemukan tumbuh pada tipe habitat lahan kering TTG, sedangkan spesies M. sagu Rottb. hanya ditemukan pada dua tipe habitat yaitu tergenang temporer air tawar T2AT dan tergenang permanen TPN. Hal ini menunjukkan bahwa tiga spesies tumbuhan sagu yang disebutkan pada bagian awal memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan berbagai tipe habitat, sedangan dua spesies yang lain memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan tipe habitat yang relatif terbatas. Tabel 16. Populasi rumpun dan fase pertumbuhan sagu pada tipe habitat berbeda di P. Seram, Maluku tahun 2009 No Spesies sagu Tipe Habitat Rataan TTG T2AT T2AP TPN indha indha indha indha indha Populasi rumpun 1. M. rumphii 103,26 58,9 124,33 50,1 62,08 64,2 61,20 37,3 87,72 52.6 2. M. longisp. 28,37 15,8 26,01 10,5 20,00 20,7 36,04 22,0 27,60 17.2 3. M.sylvestre 37,95 22,9 85,10 34,3 14,58 15,1 11,58 7,1 37,30 19.8 4. M. microc. 4,27 2,5 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 1,07 0.6 5. M. sagu 0,00 0,0 12,50 5,0 0,00 0,0 55,19 33,7 16,92 9.7 Jumlah 173.85 100,0 247,94 100,0 96,67 100,0 164,0 100,0 170,6 100,0 Populasi semai 1. M. rumphii 186,35 54,00 195,56 46,9 159,38 65,6 90,69 34,3 158,0 50.2 2. M. longisp. 53,4 15,5 49,74 11,9 40,00 16,5 77,24 29,2 55,1 18.3 3. M.sylvestre 96,46 27,9 157,71 37,8 43,75 18,0 41,24 15,6 84,79 24.8 4. M. microc. 9,06 2,6 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 2,27 0.7 5. M. sagu 0,00 0,0 13,89 3,3 0,00 0,0 55,63 21,0 17,38 6.1 Jumlah 345.28 100,0 416,90 100,0 162,08 100,0 264,8 100,0 317,5 100,0 Populasi sapihan 1. M. rumphii 25,97 57,0 25,64 45,1 24,38 73,6 16,77 27,6 23,19 50.8 2. M. longisp. 6,46 14,2 7,68 13,5 7,50 22,6 17,48 28,8 9,78 19.8 3. M.sylvestre 11,01 24,2 18,88 33,2 1,25 3,8 3,30 5,4 8,61 16.7 4. M. microc. 2,12 4,7 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,53 1.2 5. M. sagu 0,00 0,0 4,63 8,2 0,00 0,0 23,16 38,2 6,95 11.6 Jumlah 45.56 100,0 56,83 100,0 33,13 100,0 60,71 100,0 49,06 100,0 Populasi tiang 1. M. rumphii 10,66 58,8 11,04 47,4 2,50 60,0 8,50 33,8 8,17 50.0 2. M. longisp. 1,11 6,1 3,57 15,3 1,67 40,0 8,06 32,1 3,60 23.4 3. M.sylvestre 5,80 32,0 6,39 27,4 0,00 0,0 0,00 0,00 3,05 14.9 4. M. microc. 0,56 3,1 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,00 0,14 0.8 5. M. sagu 0,00 0,0 2,31 9,9 0,00 0,0 8,55 34,0 2,72 11.0 Jumlah 18.13 99,9 23,32 99,9 4,17 99,9 25,11 99,9 17,68 99,9 Populasi pohon 1. M. rumphii 57,36 55,7 41,55 43,0 15,00 72,0 24,95 26,6 34,71 49.3 2. M. longisp. 12,95 12,6 14,73 15,3 5,83 28,0 22,84 25,3 14,09 20.3 3. M.sylvestre 29,10 28,2 33,38 34,6 0,00 0,0 4,92 6,9 16,85 17.4 4. M. microc. 3,65 3,5 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,91 0.9 5. M. sagu 0,00 0,0 6,94 7,2 0,00 0,0 29,44 41,3 9,1 12.1 Jumlah 103,06 100,0 96,60 100,0 20,83 100,0 82,14 100,0 75,66 100,0 … lanjutan Populasi pohon masak panen 1. M. rumphii 8,65 50,4 8,09 32,6 0,83 33,3 7,3 26,2 6,22 35.6 2. M. longisp. 5,42 28,1 6,62 26,7 1,67 66,7 9,73 34,9 5,86 39.1 3. M.sylvestre 3,89 21,5 7,48 30,1 0,00 0,0 0,00 0,0 2,84 12.9 4. M. microc. 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0.0 5. M. sagu 0,00 0,0 2,63 10,6 0,00 0,0 10,82 38,9 3,36 12.4 Jumlah 17,95 100,0 24,82 100,0 2,50 100,0 27,85 100,0 18,28 100,0 Populasi pohon veteran 1. M. rumphii 1,63 30,1 0,44 6,9 0,00 0,0 4,44 24,3 1,63 15.3 2. M. longisp. 3,23 59,6 2,83 44,7 0,50 100 8,46 46,2 3,76 62.6 3. M.sylvestre 0,56 10,3 0,44 6,9 0,00 0,0 0,76 4,1 0,44 5.3 4. M. microc. 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0.0 5. M. sagu 0,00 0,0 2,63 41,5 0,00 0,0 4,65 25,4 1,82 16.7 Jumlah 5,42 100,0 6,34 100,0 0,50 100,0 18,32 100,0 7,64 100,0 Keterangan : M. longisp = M. longispinum, M. micrc = M. microcanthum, ind = individu, ha = hektar, TTG = lahan kering, T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang temporer air payau, TPN = tergenang permanen. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009. Dalam kaitan dengan habitat tergenang, Levitt 1980 mengemukakan bahwa penggenangan dapat memunculkan tiga macam cekaman secara berurutan yaitu : 1 cekaman tekanan turgor sebagai akibat potensi air meningkat, 2 cekaman defisit oksigen, dan 3 cekaman ionik oleh unsur mangan Mn 2+ dan besi Fe 2+ . Jika terjadi penggenangan, mula-mula memunculkan cekaman air yakni peningkatan cekaman turgor, diikuti dengan cekaman sekunder berupa kekurangan oksigen dalam air, implikasi berikut adalah terjadi cekaman ionik. Ketika oksigen di dalam air berkurang, maka potensial oksidasi-reduksi menurun, implikasi selanjutnya adalah terjadi akumulasi Mn 2+ dan Fe 2+ yang bersifat meracun toxic. Tumbuh-tumbuhan pada kondisi cekaman karena genangan, maka akan menciptakan resistensi katahanan melalui penghindaran avoidance dan toleransi tolerance. Penghindaran terhadap cekaman defisit oksigen terjadi melalui pembesaran ruang antar sel intercellular space misalnya dengan meningkatkan volume perakaran yang dapat mencapai 70 . Sedangkan toleransi terhadap cekaman berlangsung melalui penghindaran terhadap akumulasi senyawa yang bersifat toxic atau toleransi terhadap akumulasi senyawa itu. Skema adaptasi tumbuhan pada kondisi tergenang yang menyebabkan cekaman terhadap defisit oksigen tersaji pada gambar berikut Gambar 22. Apabila interaksi tumbuhan sagu dengan tipe habitat ini dijadikan ukuran atau acuan untuk menjelaskan kemampuan adaptasi tumbuhan sagu terhadap tipe habitatnya, tampak bahwa kemampuan adaptasi diantara spesies sagu dengan tipe habitat relatif berbeda. M. rumphii Mart. secara keseluruhan mempunyai kemampuan adaptasi yang kuat pada semua tipe habitat, yang ditunjukkan melalui jumlah rumpun dan jumlah populasi semua fase pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan spesies sagu lain. Gambar 22. Diagram ketahanan tumbuhan terhadap kondisi defisit oksigen Levitt 1980 Selain spesies M. rumphii Mart., dua spesies sagu yang juga mempunyai kemampuan adaptasi yang kuat dengan tipe habitatnya adalah spesies M. sylvestre Mart. dan M. longispinum Mart. Spesies M. sylvestre Mart. mempunyai kemampuan adaptasi yang kuat pada tipe habitat lahan kering TTG dan tergenang temporer air tawar T2AT, yang ditunjukkan oleh jumlah populasi rumpun dan fase pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan spesies M. longispinum Mart. Sedangkan pada tipe habitat tergenang temporer air payau T2AP dan tergenang permanen TPN populasi spesies M. sylvestre Mart. tidak lebih tinggi daripada M. microcanthum Mart. Dengan kata lain pada dua tipe habitat yang disebut terakhir ini, spesies M. longispinum Mart. mempunyai kemampuan adaptasi yang lebih baik dibandingkan dengan spesies M. sylvestre Mart. Spesies M. sagu Rottb. hanya ditemukan tumbuh pada tipe habitat T2AT dan TPN. Hal ini menunjukkan bahwa spesies tumbuhan sagu ini memiliki daya adaptasi yang cukup baik pada kondisi habitat tergenang, tetapi tidak pada air payau karena pada tipe habitat tergenang tidak permanen air payau spesies sagu ini tidak ditemukan. Fakta ini memberikan petunjuk bahwa spesies M. Ketahanan defisit oksigen Penghindaran cekaman Toleransi cekaman Perbanyak akar, menambah ruang antar sel, meningkatkan transport gas dari tajuk Toleransi terhadap akumulasi senyawa beracun Penghindaran terhadap akumulasi senyawa beracun microcanthum Mart. memiliki daya adaptasi yang sangat terbatas atau sempit terhadap berbagai tipe habitat. Berdasarkan jumlah populasi tumbuhan sagu, tampak bahwa spesies sagu yang memiliki daya adaptasi yang tinggi sampai sempit terhadap berbagai kondisi habitat secara berurutan sebagai berikut M. rumphii Mart. M. longispinum Mart. M. sylvestre Mart. M. sagu Rottb. M. microcanthum Mart. Dalam hubungan ini, maka spesies M. rumphii Mart. dapat dikategorikan sebagai spesies sagu yang memiliki tingkat toleransi yang luaslebar eury tolerance terhadap kondisi habitatnya. spesies tumbuhan sagu M. Longispinum Mart., M. Sylvestre Mart., dan M. sagu Rottb. dikategorikan sebagai jenis sagu dengan tingkat toleransi sedang meso tolerance. Sedangkan spesies M. microcanthum Mart. dikategorikan sebagai spesis sagu yang memiliki tingkat toleransi sempit steno tolerance. Indikator untuk menjelaskan lebar atau sempitnya tingkat toleransi masing-masing jenis ini didasarkan pada adaatau tidak-adanya suatu spesies pada setiap habitat dan banyak atau sedikitnya jumlah populasi pada masing-masing habitat. Dalam kaitan itu maka dapat dikemukakan bahwa spesies M. rumphii merupakan spesies tumbuhan sagu yang memiliki kemampuan pertumbuhan dan daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai tipe habitat. Spesies M. sylvestre Mart., M. longispinum Mart., dan M. sagu Rottb. merupakan spesies sagu yang dapat dikategorikan sebagai spesies yang memiliki kemampuan tumbuh tinggi tetapi daya adaptasi yang terbatas. Sedangkan spesies M. microcanthum Mart. merupakan spesies tumbuhan sagu yang memiliki kemampuan pertumbuhan dan daya adaptasi yang lebih terbatas lagi. Apabila tipe habitat ini diurutkan ke dalam tingkat marjinalisasi habitat, terkait dengan jumlah populasi rumpun masing-masing spesies sagu pada setiap tipe habitat, maka akan didapatkan urutan marjinalisasi habitat sebagai berikut : tergenang temporer air payau T2AP tergenang permanen TPN lahan kering TTG tergenang temporen air tawar T2AT. Artinya tipe habitat tergenang temporer air payau T2AP memiliki tingkat marjinal yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat marjinal tipe habitat tergenang permanen TPN, dan tipe habitat ini lebih marjinal dibandingkan dengan tipe habitat lahan kering TTG. Kondisi habitat yang sangat rendah tingkat marjinalnya adalah tipe habitat tergenang temporer air tawar T2AT. Ukuran untuk menjelaskan tinggi atau rendahnya tingkat marjinalisasi ini didasarkan pada banyak atau sedikitnya jumlah populasi rumpun sagu yang tumbuh pada setiap tipe habitat. Pada tipe habitat tergenang temporer air payau, jumlah populasi rumpun sagu hanya mencapai 96,67 indha, tipe habitat tergenang permanen 164,02 indha, tipe habitat lahan kering 173,85 indha, sedangkan tipe habitat tergenang temporer air tawar jumlah populasinya mencapai 247,94 indha. Diagram ringkasan adaptasi sagu pada berbagai tipe habitat disajikan pada Gambar 23. Keterangan : TTG = lahan kering; T2AT = tergenang temporer air tawar; T2AP = tergenang temporer air payau; TPN = tergenang permanen; secara horizontal tidak terdapat jenis yang sama. Gambar 23. Diagram ringkasan adaptasi spesies sagu pada berbagai tipe habitat

4.2.6. Mekanisme adaptasi sagu

Sebagian besar tumbuhan sagu tumbuh pada lahan yang terendam, baik sifatnya temporer maupun permanen. Pada kondisi habitat yang senantiasa tergenang tersebut memungkinkan kondisi tanah menjadi masam dan miskin oksigen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH tanah di areal lahan sagu Habitat TTG TPN T2AT T2AP M. rumphii M. microcanthum M. Sylvestre M. longispinum M. rumphii M. Sylvestre M. longispinum akanaro M. rumphii M. Sylvestre M. longispinum o M. rumphii M. Sylvestre M. longispinum M. sagu M. sagu berkisar antara 4,47 – 5,63 pH H 2 O, dan berpotensi turun lebih rendah lagi mencapai 4,13 pH KCl. pH masam pada umumnya bersifat melisis suatu zat sehingga dapat merusak didinding sel. Tanah-tanah masam dengan kandungan logam tinggi seperti Fe dan Al dapat berpengaruh buruk terhadap kehidupan tumbuhan. Syekhfani 1997 mengemukakan logam memiliki kemampuan untuk melisis air sehingga pH tanah dapat semakin masam. Pada saat pH dalam kondisi masam Fe dan Al akan larut sehingga konsentrasinya meningkat. Konsentrasi Fe dan Al yang tinggi dapat meracun perakaran, walaupun Fe merupakan unsur hara esensial, namun termasuk dalam kategori unsur hara mikro, sehingga kelebihannya tidak menguntungkan bagi perakaran. Separoh atau sebagian besar habitat tumbuhan sagu adalah berupa rawa- rawa yaitu berupa tipe habitat tergenang, baik temporer atau permanen. Pada kondisi habitat seperti itu biasanya sistem perakaran sagu mengalami modifikasi bentuk untuk dapat beradaptasi dengan kondisi habitat tereduksi. Kondisi habitat tergenang atau berupa rawa-rawa, identik dengan kondisi tereduksi. Artinya keadaan dimana terjadi keterbatasan oksigen di dalam tanah karena oksigen atau udara terdesak oleh partikel air H 2 O. Pada sisi yang lain untuk menjamin pertumbuhan diperlukan oksigen untuk proses respirasi akar. Dalam kaitan dengan kondisi yang tereduksi ini, maka sistem perakaran tumbuhan sagu mengalami modifikasi bentuk dan arah. Biasanya pergerakan akar senantiasa tumbuh ke samping secara horizontal dan vertikal ke lapisan tanah bagian dalam. Namun ketika kondisi tanah tergenang air, maka terdapat sebagian arah pertumbuhan akar sagu berbalik ke atmosfer keluar menembus permukaan air sehingga terjadi kontak langsung dengan udara bebas. Disamping itu jumlah atau volume akar rambut meningkat sehingga luas permukaan kontak bertambah besar. Mekanisme adaptasi sistem perakaran sagu seperti inilah yang ditemukan terjadi untuk memenuhi penyerapan aksigen melalui perluasan kontak permukaan akar dengan udara luar, sehingga kebutuhan oksigen sagu dapat terpenuhi selama terjadi genangan Gambar 24. Gambar 24. Modifikasi pertumbuhan akar sagu pada kondisi tergenang Modifikasi sistem perakaran ke arah permukaan air, atau melewati tinggi genangan ini, diduga agar supaya penyerapan oksigen oleh perakaran tumbuhan sagu dapat berlangsung dengan baik, yang dimaksudkan untuk dapat memenuhi kebutuhan oksigen. Mekanisme pergerakan ini selanjutnya disebut sebagai oxytropisme, yaitu pergerakan akar sagu menuju tempat yang cukup tersedia oksigen. Menurut Levitt 1980 dikemukakan bahwa lahan yang tergenang dalam tempo cukup lama memunculkan cekaman. Kondisi cekaman tidak menguntungkan bagi banyak jenis tumbuhan. Beberapa tumbuhan dalam menghadapi kondisi cekaman, secara alamiah terjadi pembentukan organ dalam jumlah banyak seperti rhyzome dan memperbanyak jumlah akar. Mekanisme inilah yang terjadi pada tumbuhan sagu untuk mempertahankan kehidupan pada kondisi tergenang. Daubenmire 1974 mengemukakan pula bahwa banyak tumbuhan untuk dapat beradaptasi dengan kondisi lahan yang memiliki aerase jelek, terjadi melalui dua mekanisme adaptasi yaitu : 1 melalui adaptasi morfologi seperti membentuk sistem perakaran dangkal, membentuk jaringan aerase khusus atau organ aerase tertentu, misalnya membentuk sistem ruang udara interseluler yang menghubungkan stomata dengan sistem parakaran, yang disebut pneumatophora, dan 2 melalui adaptasi fisiologi seperti pemenuhan kebutuhan oksigen rendah dan kemampuan respirasi anaerobik secara spesifik.

4.2.7. Karakteristik habitat sagu di P. Seram

a. Karakteristik iklim

Intensitas sinaran surya Hasil penelitian intensitas sinaran surya dalam areal pertumbuhan sagu pada tiga wilayah sampel di P. Seram menunjukkan bahwa hanya sebagian dari intensitas sinaran surya yang masuk sampai ke lantai rumpun sagu. Dari jumlah intensitas sinaran surya yang mencapai 2000 lux lumenm 2 yang diukur pada ruang terbuka, hanya sekitar 29,69 yang sampai ke bagian bawah rumpun tumbuhan sagu Tabel 17. Jumlah intensitas sinaran surya yang sampai di bagian bawah rumpun sagu di antara rumpun mencapai 46,97 , sedangkan intensitas yang sampai di bagian bawah dekat pohon hanya mencapai 12,40 . Hal ini berarti bahwa lebih dari 50 intensitas sinaran surya tidak dapat masuk ke bagian bawah rumpun atau tegakan tumbuhan sagu. Rata-rata jumlah intensitas sinaran surya yang terukur di dekat rumpun tumbuhan sagu sekitar 206,53 lux, di antara rumpun sagu yang satu dengan yang lain sekitar 781,48 lux. Sedangkan intensitas sinaran surya rata-rata yang terukur pada ruang terbuka mencapai 1675,29 lux Lampiran 9. Rendahnya intensitas sinaran surya yang masuk ke bagian bawah rumpun atau tegakan pohon tumbuhan sagu dikarenakan adanya hambatan dari tajuk. tajuk terbentuk dari tangkai dan anak-anak daun yang tumbuh merapat. Selain itu pada suatu rumpun terdiri dari beberapa individu. Individu dimaksud meliputi beberapa fase berupa pohon, tiang, sapihan, dan semai. Walaupun tidak semua rumpun ditemukan stadia pertumbuhan yang lengkap, namun pada setiap rumpun bisa terdapat lebih dari 10 individu tumbuhan sagu. Setiap individu tumbuhan sagu dapat memiliki 8-14 tangkai daun dengan anak daun dapat mencapai 150 helai. Tabel 17. Intensitas sinaran surya rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Wilayah Sampel Lokasi Pengamatan Rg Terbuka Bwh Tgkn Antara Tgkn Rataan WS I Luhu-SBB lux lumenm 2 April 250,38 882,91 566,64 1779,56 Mei 233,10 803,45 518,28 1676,85 Juni 225,78 789,58 507,68 1641,30 Juli 204,06 793,24 498,65 1542,22 Rataan 228,33 817,30 522,81 1659,98 WS II Sawai-MT April 186,70 837,48 512,09 1872,89 Mei 206,91 825,95 516,43 1781,93 Juni 199,34 796,05 497,69 1788,26 Juli 181,24 796,23 488,74 1644,47 Rataan 193,55 813,93 503,74 1771,89 WS III Werinama-SBT April 252,68 960,28 606,48 2019,48 Mei 246,39 749,79 498,09 1852,71 Juni 182,48 762,36 472,42 1653,03 Juli 109,34 380,47 244,91 850,80 Rataan 197,72 713,22 455,47 1594,00 Rataan umum 177,07 670,56 423,82 1427,56 Persen thdp Rtb 12,40 46,97 29,69 Keterangan : WS = wilayah sampel, Bwh Tgkn = bawah tegakan, Rg = ruang, Rtb = ruang terbuka. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009. Temperatur udara Hasil penelitian menunjukkan bahwa temperatur udara rata-rata di bawah tegakan sagu P. Seram Maluku selama periode waktu pengamatan antara bulan April sampai Juli 2009 berkisar antara 22,69 – 23,94 C Tabel 18. Fakta ini menunjukkan bahwa fluktuasi temperatur udara di bawah tegakan sagu relatif sempit, lebih rendah dibandingkan dengan temperatur di lahan terbuka. Berdasarkan data yang diperoleh dari dua stasiun Klimatologi yang terdapat di P. Seram menunjukkan bahwa temperatur udara rata-rata berkisar antara 24,67 – 26,31 o C Lampiran 10.