Studi Autekologi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku 1. Struktur populasi
makin bertambah pada fase reproduktif, dan makin bertambah lagi pada fase pre- reproduktif. Struktur populasi yang berikut adalah struktur populasi muda, yaitu
struktur populasi yang dicirikan oleh jumlah individu rendah pada fase post- reproduktif, sedang pada fase produktif, dan sangat banyak pada fase pre-
reproduktif. Struktur populasi sagu yang ditemukan di P. Seram Maluku secara
umum menyerupai struktur populasi muda yaitu populasi yang memiliki jumlah individu paling banyak pada fase semai, kemudian berkurang secara drastis pada
fase sapihan, tiang, dan sedikit meningkat pada fase pohon Gambar 15. Terjadinya peningkatan populasi pada fase pohon diduga karena tiga alasan yaitu
: 1 fase pohon menghambat pertumbuhan sagu pada fase dibawahnya sehingga terjadi gap antara sagu fase tiang dan pohon belum panen. Hambatan ini
berlangsung sampai dengan tumbuhan sagu fase pohon tersebut berbunga. Ketika tumbuhan sagu sampai pada fase berbunga, maka ukuran daun mengecil atau
tangkai dan anak-anak daun memendek. Pada masa itu tidak lagi terjadi penambahan daun yang kemudian mengarah ke kematian. Hambatan tersebut
dapat pula berakhir apabila tumbuhan sagu fase pohon telah dipanen, 2 sejak akhir fase tiang sampai dengan awal fase pohon panen diperlukan periode waktu
sekitar 5-7 tahun, dengan asumsi masak panen sagu sekitar 15 tahun, 2 kriteria ukuran tinggi sekitar dua meter bagi pertumbuhan sagu selama fase tiang patut
dikoreksi menjadi tiga meter atau memerlukan periode waktu sekitar empat tahun, dan Apabila tiga aspek sebagaimana tersebut di atas dimasukkan dalam
pembangunan struktur populasi tumbuhan sagu, kemudian ditarik garis pola pertumbuhan trend line maka akan membentuk huruf
‘J’ terbalik. Hasil ini mirip dengan temuan Rostiwati et al. 2008 yang memperoleh trend line yang
sama dengan struktur populasi sagu berdasarkan data rumpun sagu alam di Papua dan Maluku.
Dalam struktur populasi sagu di P. Seram secara umum, dimana jumlah individu rata-rata fase semai mencapai 83,04 indha, apabila dibandingkan dengan
jumlah individu rata-rata fase sapihan sebanyak 21,59 indha, terlihat bahwa terjadi pengurangan jumlah individu sagu mencapai 76,18 . Dengan kata lain
hanya sebanyak 23,82 individu semai sagu yang sukses tumbuh mencapai fase
sapihan. Tingginya tingkat kematian atau gagalnya individu sagu fase semai tumbuh masuk ke fase sapihan dan seterusnya karena beberapa aspek yaitu :1
sifat pertumbuhan tunas, 2 banyaknya jumlah tunas, 3 kondisi kemasaman tanah, dan 4 intensitas sinaran surya yang terbatas.
Keterangan : PBP = pohon belum panen, PP = pohon panen, PV = pohon veteran. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
Gambar 15. Struktur populasi sagu di P. Seram, Maluku Dalam pertumbuhan tunas anakan sagu, terdapat sebagian yang muncul
dari pangkal batang tidak bersentuhan dengan permukaan tanah anakan menggantung Gambar 16 dan selama beberapa periode waktu tertentu sistem
perakarannya tidak dapat mencapai permukaan tanah untuk masuk ke dalam tanah melakukan fungsi penyerapan unsur hara dan air. Pada masa tertentu suplai
168,9
42,53 15,31
36,73 6,29
0,7
20 40
60 80
100 120
140 160
180
Semai Sapihan Tiang PBP
PP PV
P o
pul as
i sa
gu in
d ha
Fase Pertumbuhan a. Struktur populasi M. rumphii Mart.
65,12
20,76 6,49
18,60 3,67
0,53
10 20
30 40
50 60
70
Semai Sapihan Tiang PBP
PP PV
P o
pul as
i sa
gu in
d ha
Fase Pertumbuhan b. Struktur populasi sagu M. sylvestre Mart.
79,27
15,22 5,26
15,14 5,73
3,21
10 20
30 40
50 60
70 80
90
Semai Sapihan Tiang PBP
PP PV
P o
pul as
i sa
gu in
d ha
Fase Pertumbuhan c. Struktur populasi sagu M. longispinum Mart.
18,87
7,82 3,03
8,93 3,39
3,39
2 4
6 8
10 12
14 16
18 20
Semai Sapihan Tiang PBP
PP PV
Po p
u la
si sa
g u
in d
h a
Fase Pertumbuhan d. Struktur populasi M. sagu Rottb.
makanan dari pohon induk ke tunas anakan tersebut terhenti. Dengan terhentinya suplai makanan ini, maka kebutuhannya tidak mencukupi untuk melangsungkan
pertumbuhannya, selanjutnya menyebabkan kematian tunas anakan.
Gambar 16. Anakan sagu M. rumphii Mart. yang tumbuh menggantung Tumbuhan sagu senantiasa menghasilkan jumlah tunas anakan dalam
jumlah relatif banyak, sehingga memungkinkan terjadinya persaingan. Persaingan dapat terjadi diantara sesama tunas anakan maupun persaingan dengan individu
yang tumbuh lebih awal. Dalam rumpun sagu sangat mungkin terjadi kompetisi atau persaingan diantara sesama individu semai itu sendiri dan fase di atasnya.
Persaingan yang dimaksud berkaitan dengan komponen di atas tanah atmosfer seperti udara, cahaya, ruang, dan komponen di dalam tanah seperti air, oksigen,
dan unsur hara. Hasil pengukuran intensitas sinaran surya di dekat rumpun sagu
menunjukkan bahwa hanya sekitar 12,40 setara 206,53 lux sinaran surya yang masuk sampai di dekat rumpun sagu. Pada ruang terbuka mencapai 1675,29 lux.
Hal ini karena terdapat hambatan masuknya cahaya matahari oleh tajuk rumpun ±50 cm
tumbuhan sagu itu sendiri. Keterbatasan intensitas sinaran ini dapat berdampak terhadap pertumbuhan anakan sagu dan dapat berakhir dengan kematian. Sinaran
surya merupakan sumber energi utama bagi kehidupan, dan berperan dalam proses fotosintesis. Apabila intensitas sinaran surya terbatas maka proses
fotosintesis tidak dapat berlangsung secara maksimal. Implikasi berikutnya adalah hasil fotosintesis fotosintat akan berkurang. Dengan demikian kebutuhan
tunas anakan tidak dapat terpenuhi, selanjutnya dapat menyebabkan kematian anakan sagu.
Tumbuhan sagu selain tumbuh pada lahan kering, sebagian besar tumbuh pada kondisi habitat tergenang, baik temporer maupun permanen. Lahan yang
tergenang memungkinkan kondisinya menjadi tereduksi. Artinya terjadi kekurangan oksigen di dalam air dan tanah, karena diserap oleh akar dan
organisme yang hidup di air maupun dalam tanah melalui proses respirasi. Dalam proses respirasi terjadi pembebasan molekul karbondioksida CO
2
. Dengan pertambahan waktu akan terjadi akumulasi CO
2
dalam air dan dalam tanah. Akumulasi ini memungkinkan terjadi reaksi dengan molekul air H
2
O menghasilkan senyawa asam karbonat H
2
CO
3
. Senyawa ini memberikan akses masam ke dalam tanah maupun air, sehingga tingkat kemasaman akan meningkat
pH turun. Hasil analisis pH KCl tanah atau kemasaman potensial dapat mencapai
4,3. Artinya apabila kondisi tanah terendam air dalam periode waktu cukup lama, kemasaman tanah berpotensi turun mencapai angka tersebut. Dalam kaitan
dengan kematian tunas anakan sagu, diduga sebagian tunas anakan yang baru muncul tidak dapat bertahan hidup pada kondisi kemasaman yang rendah, dapat
pula terjadi melalui pengaruh kemasaman rendah terhadap sistem perakaran tunas anakan yang masih muda. Kemasaman dapat bersifat mengikis sehingga dapat
merusak sel-sel akar terutama yang masih muda. Akar tunas anakan yang mengalami kerusakan, berdampak terhadap pertumbuhan secara keseluruhan dan
dapat menyebabkan kematian anakan. Kematian anakan sagu dapat pula disebabkan karena keracunan Fe dan
Al. Hasil pengukuran Fe dan Al di dalam tanah mencapai 3,08 dan 4,99 , termasuk kategori sangat tinggi menurut kriteria BPT Bogor 2005. Brady 1990
mengemukakan bahwa konsentrasi unsur mikro seperti Fe yang terlalu tinggi dalam tanah dapat bersifat toxic. Fakta penelitian mengenai kematian semai pada
kondisi habitat tergenang atau tereduksi menunjukkan bahwa jumlah populasi semai pada kondisi habitat tergenang temporer air payau dan tergenang permanen
hanya mencapai 162 indha dan 264 indha. Jumlah populasi ini hanya separoh dibandingkan dengan populasi semai pada habitat lahan kering dan tergenang
temporer air tawar masing-masing sebesar 345,28 indha dan 416,90 indha. Hasil penelitian jumlah populasi rumpun sagu di P. Seram ditemukan
sebanyak 176,55 rumpunha Gambar 17 dan Lampiran 6. Pada setiap rumpun sagu tidak selalu dapat ditemukan rumpun yang memiliki semua fase
pertumbuhan berupa pohon, tiang, sapihan, dan semai. Komposisi fase pertumbuhan yang sering dijumpai pada suatu rumpun sagu di lapangan dalam
komunitas sagu alami adalah sebagai berikut : semai, sapihan, pohon; semai, pohon; semai, tiang; semai, sapihan; danatau hanya semai saja. Pada sejumlah
rumpun sagu yang mencapai 176,55 rumpunha, ditemukan fase pohon sebanyak 106,06 indha. Jumlah populasi pohon ini termasuk tumbuhan sagu fase masak
panen dan yang telah melampaui fase masak panen pohon veteran. Hal ini berarti bahwa sekitar 60 rumpun sagu yang memiliki fase pohon. Dengan kata
lain bahwa sekitar 40 rumpun tumbuhan sagu di P. Seram tidak terdapat fase pohon.
Terlihat pada Gambar 17 bahwa dalam struktur populasi tumbuhan sagu, fase tiang memiliki jumlah populasi paling sedikit hanya sekitar 30,3 indha, atau
hanya 17,2 dari jumlah populasi rumpun yang terbentuk. Sedangkan fase sapihan mencapai 49,3 , dan pada fase semai jumlah populasinya paling tinggi
yakni mencapai dua kali lipat dari jumlah rumpun. Hal ini menunjukkan bahwa pada setiap rumpun tumbuhan sagu dapat ditemukan lebih dari satu individu fase
semai, bahkan di lapangan untuk jenis tanaman sagu tuni dan sylvestre ditemukan ada yang dapat mencapai lebih dari 10 individu semai rata-rata 6-8, tetapi pada
fase yang lain tidak selalu terdapat pada setiap rumpun.
Keterangan : PBP = pohon belum panen, PP = pohon panen, PV = pohon veteran. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
Gambar 17. Populasi sagu menurut jumlah rumpun dan fase pertumbuhan