Potensi produksi pati sagu di P. Seram

Mart. dan M. sagu Rottb. Apabila potensi produksi sagu ini ditinjau dari tipe habitat, maka produksi pati sagu pada tipe lahan kering dan tergenang temporer air tawar T2AT diperoleh produksi pati sagu yang paling tinggi pada semua jenis sagu, dibandingkan dengan dua tipe habitat yang lain yakni tipe habitat tergenang temporer air payau T2AP dan tergenang permanen TPN. Tabel 34. Potensi produksi sagu di P. Seram pada tipe habitat berbeda No. Spesies sagu Tipe Habitat Rataan TTG T2AT T2AP TPN kgbatang 1. M. rumphii 685,50 721,50 479,17 378,00 566,04 2. M. longispinum 324,50 287,11 186,00 183,22 245,21 3. M. sylvestre 726,22 708,00 460,50 348,00 560,68 4. M. sagu - 348,44 - 126,00 237,22 Rataan 578,74 516,26 353,06 258,81 393,13 Keterangan : TTG = lahan kering, T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang temporer air payau, TPN = tergenang permanen. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009. Pada tipe habitat tergenang terjadi cekaman defisit oksigen, dan cekaman ionik oleh unsur Fe dan Al. Levitt 1980 mengemukakan bahwa defisit oksigen menyebabkan penyerapan air water uptake berkurang karena aerase jelek. Pada tumbuh-tumbuhan yang tergenang daun-daunnya mengalami klorosis, dan ketika taraf oksigen berkurang, maka terjadi hambatan dalam proses sintesis polisakarida. Dalam kaitan dengan produksi pati sagu, dengan berkurangnya water uptake, maka penyerapan unsur hara ikut terhambat antara lain seperti nitrogen, magnesium, dan besi. Fenomena inilah yang menyebabkan daun tampak klorosis, dengan demikian proses fotosintesis terhambat, dampaknya adalah penimbunan fotosintat dalam bentuk pati sedikit. Selain itu apabila serapan unsur hara kalium menurun, karena water uptake bekurang maka proses metabolisme karbohidrat terhambat. Cekaman defisit oksigen karena penggenangan yang menyebabkan sintesis polisakarida menurun berpengaruh terhadap produksi sagu adalah dikarenakan produksi sagu tersimpan dalam bentuk pati polisakarida, sehingga jika fotosintat tersimpan dalam bentuk karbohidrat sederhana, akan mudah larut dan terbuang dalam proses pengolahan. Tipe habitat tergenang temporer air payau T2AP dan tergenang permanen TPN merupakan tipe habitat yang kurang baik bagi pertumbuhan dan produksi pati sagu. Hal ini tampak dari potensi produksi sagu yang relatif rendah apabila dibandingkan dengan potensi produksi pati sagu pada tipe habitat lahan kering dan tergenang temporer air tawar. Potensi produksi pati sagu tuni dan sylvestre pada tipe habitat yang kurang baik tersebut sama baiknya dengan potensi produksi pati sagu makanaro dan molat pada tipe habitat yang dianggap baik bagi pertumbuhan sagu yakni habitat lahan kering dan tergenang temporer air tawar T2AT. Berdasarkan potensi produksi pati sagu yang dimiliki masing-masing spesies sagu, maka dapat dikatakan bahwa spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. merupakan jenis sagu yang berpotensi untuk dikembangkan dimasa yang akan datang. Sedangkan tipe habitat yang paling baik untuk pengembangan sagu adalah tipe habitat lahan kering TTG dan tergenang temporer air tawar T2AT. Untuk keperluan pengembangan pada tipe habitat tergenang temporer air payau T2AP dan tergenang permanen TPN, selain diperlukan pertimbangan pemilihan jenis sagu yang memiliki potensi produksi tinggi, juga diperlukan usaha-usaha pengelolaan berupa pengembangan saluran drainase sehingga tidak memungkinkan air tergenang dalam tempo yang relatif lama.

4.3. Studi Biodiversitas tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku

Berdasarkan tingkatannya, biodiversitas atau keanekaragaman hayati terdiri dari tiga tingkatan yaitu keanekaragaman tingkat komunitas, keanekaragaman tingkat spesies, dan keanekaragaman tingkat genetik Kartono 2006. Dalam penelitian ini keanekaragaman tumbuhan sagu dikelompokkan menurut tiga tingkatan tersebut.

4.3.1. Biodiversitas tingkat komunitas

Keanekaragaman sagu tingkat komunitas dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan keanekaragaman tumbuhan sagu menurut wilayah sampel, meliputi wilayah sampel I Luhu-SBB, wilayah sampel II Sawai-MT, dan wilayah sampel III Werinama-SBT. Keanekaragaman komunitas sagu antar wilayah sampel didekati dengan menggunakan analisis kemiripan komunitas Smith 1980 dalam Setiadi et al. 1989. Hasil analisis indeks kemiripan komunitas sagu antara wilayah sampel I Luhu-SBB dan wilayah sampel II Sawai-MT, wilayah sampel I Luhu-SBB dan wilayah sampel III Werinama-SBT, dan wilayah sampel II Sawai-MT dan wilayah sampel III Werinama-SBT menunjukkan bahwa komunitas sagu di P. Seram memiliki kemiripan komunitas yang termasuk dalam kategori tinggi dengan nilai indeks kemiripan komunitas berkisar antara 60,66 – 80,92 . rata- rata 65,76 Tabel 35. Tabel 35. Indeks kemiripan komunitas sagu di P. Seram, Maluku No. Fase Pertumbuhan Indeks Kemiripan Komunitas I x II I x III II x III Rataan 1. Pohon 60,95 60,95 80,92 67,61 2. Tiang 57,14 57,52 61,42 58,69 3. Sapihan 74,91 71,60 76,47 74,33 4. Semai 65,92 60,66 60,66 62,41 Rataan 64,73 62,68 69,87 65,76 Keterangan : Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009. Berdasarkan fase pertumbuhan, tampak bahwa kemiripan komunitas paling tinggi terdapat pada fase sapihan mencapai 74,33 dan kemiripan komunitas yang lebih rendah secara berurutan, fase tiang 58,69 , semai 62,41 , dan fase pohon 67,61 . Indeks kemiripan komunitas antara wilayah sampel yang satu dengan yang lain pada semua fase pertumbuhan sagu menunjukkan bahwa kemiripan komunitas tumbuhan sagu di P. Seram termasuk dalam kategori tinggi dengan nilai indeks rata-rata sebesar 65,76 . Hal ini berarti bahwa terdapat kesamaan komunitas sagu alami di dalam wilayah P. Seram. Kesamaan yang tinggi ini dikarenakan pada semua wilayah sampel tumbuhan sagu tumbuh dan berkembang membentuk klaster secara masif melalui pertumbuhan rhyzome yang memanjang membentuk individu baru. Dalam perkembangan lebih lanjut individu baru ini kemudian membentuk rumpun sendiri, demikian seterusnya