sampel, meliputi wilayah sampel I Luhu-SBB, wilayah sampel II Sawai-MT, dan wilayah sampel III Werinama-SBT. Keanekaragaman komunitas sagu antar
wilayah sampel didekati dengan menggunakan analisis kemiripan komunitas Smith 1980 dalam Setiadi et al. 1989.
Hasil analisis indeks kemiripan komunitas sagu antara wilayah sampel I Luhu-SBB dan wilayah sampel II Sawai-MT, wilayah sampel I Luhu-SBB dan
wilayah sampel III Werinama-SBT, dan wilayah sampel II Sawai-MT dan wilayah sampel III Werinama-SBT menunjukkan bahwa komunitas sagu di P.
Seram memiliki kemiripan komunitas yang termasuk dalam kategori tinggi dengan nilai indeks kemiripan komunitas berkisar antara 60,66
– 80,92 . rata- rata 65,76 Tabel 35.
Tabel 35. Indeks kemiripan komunitas sagu di P. Seram, Maluku No.
Fase Pertumbuhan
Indeks Kemiripan Komunitas I x II
I x III II x III
Rataan 1.
Pohon 60,95
60,95 80,92
67,61 2.
Tiang 57,14
57,52 61,42
58,69 3.
Sapihan 74,91
71,60 76,47
74,33 4.
Semai 65,92
60,66 60,66
62,41 Rataan
64,73 62,68
69,87 65,76
Keterangan : Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
Berdasarkan fase pertumbuhan, tampak bahwa kemiripan komunitas paling tinggi terdapat pada fase sapihan mencapai 74,33 dan kemiripan
komunitas yang lebih rendah secara berurutan, fase tiang 58,69 , semai 62,41 , dan fase pohon 67,61 . Indeks kemiripan komunitas antara wilayah sampel yang
satu dengan yang lain pada semua fase pertumbuhan sagu menunjukkan bahwa kemiripan komunitas tumbuhan sagu di P. Seram termasuk dalam kategori tinggi
dengan nilai indeks rata-rata sebesar 65,76 . Hal ini berarti bahwa terdapat kesamaan komunitas sagu alami di dalam wilayah P. Seram. Kesamaan yang
tinggi ini dikarenakan pada semua wilayah sampel tumbuhan sagu tumbuh dan berkembang membentuk klaster secara masif melalui pertumbuhan rhyzome yang
memanjang membentuk individu baru. Dalam perkembangan lebih lanjut individu baru ini kemudian membentuk rumpun sendiri, demikian seterusnya
dengan pertambahan waktu sehingga menguasai seluruh areal lahan yang sesuai untuk pertumbuhannya. Sagu merupakan jenis tumbuhan yang memiliki daya
adaptasi yang tinggi sehingga mampu tumbuh dan berkembang pada lahan-lahan marjinal yaitu lahan dimana jenis tumbuhan atau kebanyakan tanaman
perkebunan tidak dapat bertahan hidup Suryana 2007. Secara ekologi wilayah pengamatan yang mempunyai indeks kemiripan
komunitas yang tinggi memberikan indikasi bahwa komposisi spesies yang menyusun komunitas tersebut relatif memiliki kesamaan. Berdasarkan nilai IS
yang diperoleh diketahui bahwa seluruh wilayah pertumbuhan sagu alami di P. Seram Maluku memiliki kemiripan komunitas yang tinggi. Hal ini dikarenakan
adanya kesamaan kondisi habitat atau lingkungan pertumbuhan, baik secara fisik, kimia, maupun interaksi antar spesies yang hidup pada seluruh wilayah penelitian,
sehingga spesies sagu dan vegetasi lain yang tumbuh relatif sama. Akibatnya tingkat kemiripan komunitas vegetasi di seluruh wilayah penelitian termasuk
dalam kategori tinggi. Barbour et al. 1987 mengemukakan bahwa kondisi mikrositus yang relatif homogen akan ditempati oleh individu dari jenis yang
sama, karena spesies tersebut secara alami telah mengembangkan mekanisme adaptasi dan toleransi terhadap habitatnya.
Kemiripan atau kesamaan komunitas vegetasi dalam areal pertumbuhan sagu di P. Seram ini didorong pula oleh adanya aktivitas masyarakat yang
melakukan penanaman tumbuhan sagu, walaupun secara sporadis sejak masa lampau berpuluh bahkan beratus tahun yang lalu. Hal ini sejalan dengan pendapat
Loveless 1983 dalam Setiadi 2005 yang mengemukakan bahwa faktor lain yang menentukan kehadiran suatu spesies tumbuhan atau komunitas tumbuhan
tidak hanya sebagai akibat dari pengaruh faktor fisik dan kimia, tetapi hewan dan manusia juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan
tumbuhan. 4.3.2.
Biodiversitas tingkat spesies
Penentuan indeks keanekaragaman spesies dilakukan dengan menghitung indeks keaneka
ragaman Shannon H’. Indeks ini mengggambarkan banyaknya jumlah individu suatu spesies atau kelimpahan jenis dan jumlah jenis spesies
tertentu atau kekayaan jenis Muhdi 2005. Hasil analisis indeks keanekaragaman spesies menurut indeks
Shannon H’ pada semua fase pertumbuhan di seluruh wilayah sampel menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman spesies termasuk
dalam kategori sangat rendah dengan nilai H’ berkisar antara 0,61 – 0,90, kecuali pada stadia semai dalam wilayah sampel I Luhu-SBB termasuk dalam kategori
rendah dengan nilai H’ sebesar 1,18 Tabel 36.
Tabel 36. Indeks keanekaragaman spesies dalam komunitas sagu di P. Seram No.
Fase Tumbuh
Indeks Shannon H’
Wil.Sampel I Luhu-SBB
Wil. Sampel II Sawai-MT
Wil. Sampel III Werinama-SBT
Rataan 1.
Pohon 0,61
0,61 0,65
0,62 2.
Tiang 0,64
0,68 0,89
0,74 3.
Sapihan 0,75
0,71 0,90
0,79 4.
Semai 1,18
0,92 0,95
1,02 Rataan
0,79 0,73
0,85 0,79
Keterangan : Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
Nilai indeks keanekaragaman spesies pada sebagian besar fase pertumbuhan kurang dari satu 1, mengandung makna bahwa indeks
keanekaragaman spesies fase sapihan sampai fase pohon di P. Seram Maluku termasuk dalam kategori sangat rendah, sedangkan pada fase semai termasuk
dalam kategori rendah. Walaupun demikian apabila diperhitungkan secara keseluruhan, nilai indeks keanekaragaman spesies tidak mencapai satu rataan
0,79. Dengan demikian maka secara umum dapat dikatakan bahwa indeks keaneragaman spesies dalam wilayah P. Seram termasuk dalam kategori sangat
rendah. Hal ini berarti bahwa dalam komunitas tumbuhan sagu pada seluruh wilayah sampel tidak terdapat perbedaan indeks keanekaragaman spesies.
Fenomena ini memberikan petunjuk bahwa dalam komunitas tumbuhan sagu yang tumbuh secara alami di P. Seram telah mencapai suatu komunitas klimaks dan
stabil. Barbour et al. 1987 mengemukakan bahwa keanekaragaman spesies
merupakan informasi penting tentang suatu komunitas. Semakin luas areal sampel dan semakin banyak spesies yang dijumpai, maka nilai indeks
keanekaragaman spesies cenderung akan lebih tinggi. Nilai indeks keanekaragaman spesies yang rendah pada umumnya dijumpai pada komunitas
yang telah mencapai klimaks. Untuk mempertahankan keanekaragaman spesies yang tinggi, suatu komunitas memerlukan gangguan secara teratur dan acak.
Komunitas yang sangat stabil, meluas secara regional dan homogen, mempunyai indeks keanekaragaman spesies lebih rendah dibandingkan bentuk hutan mosaik
atau secara regional diganggu secara periodik oleh api, angin, banjir, hama, dan intervensi manusia. Biasanya setelah terjadi gangguan akan terjadi peningkatan
keanekaragaman spesies sampai pada suatu titik dimana komunitas mencapai klimaks. Selanjutnya setelah klimaks ada kecendurungan indeks keanekaragaman
menurun lagi. Di dalam komunitas tumbuhan sagu alami di P. Seram seringkali terjadi
gangguan melalui kegiatan pemanenan oleh masyarakat, akan tetapi gangguan yang ditimbulkan oleh aktivitas itu belum menyebabkan kerusakan berarti yang
memungkinkan munculnya spesies lain atau vegetasi baru secara menyolok sehingga mampu meningkatkan keanekaragaman spesies dalam komunitas
tumbuhan sagu. Disisi lain pemanenan sagu pada fase pohon tidak menyebabkan gangguan berarti terhadap eksistensi rumpun sagu, dalam arti rumpun sagu masih
relatif kokoh dan fase tumbuh sagu di bawah fase pohon seperti tiang, sapihan, danatau semai masih tetap mendominasi habitat tumbuhnya.
Hasil analisis yang tersaji dalam Tabel 18, sangat relevan dengan pendapat Barbour et al. 1987 dimana pada seluruh wilayah sampel dan fase pertumbuhan
diperoleh nilai indeks keanekaragaman spesies yang tergolong rendah dan termasuk dalam kategori relatif sama. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi
habitat pada seluruh wilayah sampel relatif homogen, apabila terjadi gangguan tidak secara drastis yang menyebabkan kerusakan berarti.
4.3.3. Biodiversitas tingkat genetik
Analisis genetik dimaksudkan untuk melakukan klarifikasi spesies sagu karena ditengarai terdapat perbedaan pandangan mengenai jumlah spesies
tumbuhan sagu yang terdapat di P. Seram pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Analisis untuk menjelaskan hal ini dilakukan dengan menggunakan
metode elektroforesis gel pati atau disebut pula dengan istilah metode isozim atau isoenzim Hartana 2003. Untuk menjelaskan hal ini dilakukan dengan
menggunakan empat jenis pewarna enzim yaitu 1 enzim Aspartat Aminotransferase AAT, 2 enzim Asam Phosphatase ACP, 3 enzim
Peroksidase PER, dan 4 enzim Esterase EST. Hasil analisis enzim atau isolasi enzim menunjukkan bahwa dari empat jenis pewarna enzim, tiga jenis enzim
memberikan hasil pewarnaan yang dapat dilakukan interpretasi yaitu enzim AAT, ACP, dan PER. Sedangkan pewarnaan dengan menggunakan enzim Esterase
EST memberikan pewarnaan yang tidak sempurna. Tiga jenis enzim yang memberikan pewarnaan yang baik dan dapat dilakukan interpretasi disajikan
berturut-turut dalam Gambar 32 berikut. Berdasarkan hasil analisis isozim sebagaimana terlihat pada gambar
tersebut tampak bahwa pola pita isozim lima spesies sagu yang dianalisis memperlihatkan dua pola pita isozim. Spesies M. rumphii Mart., M. sylvestre
Mart., M. longispinum Mart., dan M. micrtocanthum Mart. membentuk pola pita isozim dalam satu kelompok tersendiri, sedangkan M. sagu Rottb. terpisah
membentuk pola pita tersendiri pula. Empat spesies sagu yang membentuk pola pita isozim pertama merupakan spesies sagu yang memiliki duri sedangkan
spesies sagu dengan pola pita isozim kedua berupa M. sagu Rottb. merupakan jenis tumbuhan sagu yang tidak berduri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
lima spesies tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang di P. Seram hanya terdiri dari dua spesies. Kedua spesies ini oleh Beccari 1918 dalam Flach 1997
dikelompokkan ke dalam spesies Metroxylon rumphii Mart. untuk spesies sagu yang memiliki duri, sedangkan spesies Metroxylon sagu Rottb. untuk tumbuhan
sagu yang tidak berduri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Beccari 1918 dalam Flach
1997.
Keterangan : 1 = M. rumphii Mart.; 2 = M. sylvestre Mart.; 3 = M. longispinum Mart.; 4 = M. microcanthum Mart.; 5 = M. sagu Rottb.
Gambar 32. Zimogram isozim a Aspartat Aminotransferase AAT, b Asam Phosphatase ACP, dan c Peroksidase PER
a
b
c
Berdasarkan hasil penelitian Sarkar 1970 dalam Flach 1997 dikemukakan bahwa jumlah kromosom tumbuhan sagu sebanyak 16 2n = 32.
Hasil penelitian ini kemudian terkoreksi berdasarkan hasil penelitian Verhaar 1976 dalam Flach 1997 yang menemukan bahwa jumlah kromosom spesies
sagu tidak berduri M. sagu Rottb. memiliki jumlah kromosom sebanyak 13 2n = 26. Dengan demikian, maka spesies sagu yang berduri M. rumphii Mart.
memiliki jumlah kromosom sebanyak 16 dan spesies M. sagu Rottb. jumlah kromosomnya sebanyak 13.
Dua spesies tumbuhan sagu yang terdapat di P. Seram Provinsi Maluku yaitu M. rumphii Mart. dan M. sagus Rottb., yang meliputi lima spesies sagu
sebelumnya, oleh Beccari 1918 dalam Flach 1997 dilakukan pengelompokkan menjadi empat varietas yaitu M. rumphii Mart. terdiri dari tiga varietas yaitu : 1
varietas microcanthum Becc., 2 varietas sylvestre Becc., dan 3 varietas rotang Becc. Sedangkan spesies M. sagu Rottb. hanya memiliki satu varietas yakni
varietas molat Becc. Selanjutnya varietas microcanthum dibagi menjadi dua subvarietas yaitu subvarietas tuni dan subvarietas makanaro. Hasil analisis
genetik menggunakan isozim ini semakin mempertegas atau memperjelas uraian yang dikemukakan oleh Beccari ini. Sistem klasifikasi atau cara penamaan ini
menganut prinsip penamaan menurut istilah spesies biologis. Spesies biologi ini mengandung makna sebagai individu-individu organisme yang dapat melakukan
pertukaran gen atau dapat kawin dan membentuk individu baru yang bersifat fertil.
Selain pembagian spesies tumbuhan sagu sebagaimana yang dikemukakan di atas, ditemukan pula cara penulisan atau pemahaman bahwa di P. Seram
Maluku khususnya dan Indonesia pada umumnya terdapat lima spesies sagu. Pertama kali penulis mengetahui bahwa tumbuhan sagu di Maluku berjumlah lima
spesies berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Heyne 1950 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993, yaitu : 1 M. rumphii Mart., 2 M.
longispinum Mart., 3 M. microcanthum Mart., dan M. sylvestre Mart., dan 5 M. Sagu Rottb.
Penamaan ini oleh Louhenapessy 1993 dan 2006 disertakan dengan nama lokal sebagai berikut : 1 Metroxylon rumpii Mart. sagu tuni, 2 M. sagu
Rottb. sagu molat, 3 M. sylvester Mart. sagu ihur, 4 M. longispinum Mart. sagu makanaru, dan 5 M. microcanthum Mart. sagu duri rotan. Cara
penamaan ini dianut pula oleh para ahli yang lain, misalnya Bintoro 2008 dan Rostiwati et al. 2008.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka faham yang menganut lima spesies sagu di Maluku terutama di P. Seram terkoreksi. Dapat dikemukakan pula
bahwa dalam Botanica Sistematica yang dikeluarkan FAO 2007 dari delapan spesies sagu yang terdapat di dunia, tidak terdapat spesies sagu seperti M.
longispinum Mart., M. microcanthum Mart, dan M. sylvestre Mart. Kemudian di dalam klasifikasi sagu yang dibuat Martius 1838 dalam FAO 2007 hanya
terdapat dua spesies yaitu spesies M. rumphii Mart. dan M. elatum Mart. Ringkasan jumlah spesies sagu menurut Beccari 1918 dalam Flach 1997 dan
beberapa ahli yang lain disajikan pada Gambar 33 dan Tabel 37.
Gambar 33. Jumlah spesies sagu di P. Seram, Maluku menurut Beccari 1918
dalam Flach 1997 Tabel 37. Jumlah spesies sagu di P. Seram, Maluku menurut beberapa ahli
No. Nama spesies sagu
Referensi 1.
Metroxylon rumphii Mart.
Hayne 1950 dalam Notohadiprawiro Louhenapessy
1993.
Louhenapessy 1993 2006.
Bintoro 2008
Rostiwati et al. 2008. 2.
Metroxylon sylvestre Mart. 3.
Metroxylon longispinum Mart. 4.
Metroxylon microcanthum Mart. 5.
Metroxylon sagu Rottb. Sagu
Tuni M. rumphii
Mart.
Microcanthum Makanaro
M. sagu Rottb.
Spesies Varietas
Sylvestre Rotang
Subvarietas
Molat
Khusus varietas molat dari spesies M. sagu Rottb. seperti yang dikemukakan oleh Beccari 19181 dalam Flach 1997. Sejalan dengan hasil
penelitian genetik sagu di PNG oleh Kjaer et al. 2004, dengan menggunakan metode AFLP disimpulkan bahwa secara taxonomy spesies M. sagu hanya terdiri
dari satu spesies. Dikemukakan lebih lanjut bahwa pola distribusi morfologi secara geografi tidak mencerminkan pola variasi secara genetik. Hal ini
mengandung pengertian bahwa terdapat variasi secara morfologi pada spesies M. sagu Rottb., keragaman morfologi di berbagai daerah di PNG tidak berkaitan
dengan perbedaan secara genetik.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Tumbuhan sagu di P. Seram Maluku terdistribusi secara spasial secara tidak
merata pada seluruh wilayah, membentuk patch atau klaster pada kondisi lahan datar di dataran rendah,
ketinggian ≤250 m dpl, kemiringan datar-curam, wilayah dekat pesisir pantai atau berdekatan dengan sungai, pada tanah-tanah
aluvium endapan sebagian besar pada jenis tanah Entisols dan Inceptisols, dengan total luas areal mencapai 18.239,8 ha.
2. Struktur populasi tumbuhan sagu dalam komunitas alami di P. Seram mengikuti pola pertumbuhan muda, didominasi oleh fase semai dengan tingkat kegagalan
untuk tumbuh ke fase berikutnya sangat tinggi mencapai 76,82 . 3.
Dalam komunitas sagu alami di P. Seram, spesies sagu telah berkembang mendominasi sebagian besar habitatnya, tumbuh dan berkembang mengarah
kepada kondisi vegetasi yang bersifat stabil. Dalam komunitas tersebut terjadi asosiasi diantara spesies yang bersifat negatif, baik secara kolektif maupun
antara spesies berpasangan, dengan tingkat asosiasi secara umum rendah JI 0,2.
4. Tumbuhan sagu spesies M. rumphii Mart. merupakan spesies yang memiliki daya adaptasi paling luas eury tolerance, sedangkan M. microcanthum Mart.
merupakan spesies sagu dengan daya adaptasi sempit steno tolerance. Tiga spesies sagu yang lain yaitu M. longispinum Mart., M. sylvestre Mart., dan M.
sagu Rottb. dikategorikkan sebagai spesies sagu yang memiliki daya adaptasi sedang meso tolerance.
5. Dalam interaksi antara tumbuhan dengan komponen abiotis, terdapat pengaruh
faktor iklim, tanah, dan kualitas air rawa terhadap jumlah populasi pertumbuhan dan produksi pati sagu. Faktor tanah merupakan komponen
abiotis yang paling bepengaruh terhadap tumbuhan sagu, ditunjukkan melalui pengaruhnya terhadap produksi pati sagu mencapai 60,9 . Sedangkan
terhadap jumlah populasi rumpun, pengaruh yang paling besar oleh faktor kualitas air rawa 10,0 . Parameter iklim, tanah, dan kualitas air rawa yang
paling berpengaruh terhadap tumbuhan sagu masing-masing temperatur dan kelembaban mikro, bulk density, kemasaman tanah, dan salinitas.
6. M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. merupakan spesies sagu yang
memiliki kapasitas produksi tinggi, masing-masing mencapai 566,04 dan 560,68 kgbatang, sedangkan kapasistas produksi spesies M. longispinum Mart.
dan M. sagu Rottb. masing-masing hanya sekitar 245,21 dan 237,22 kgbatang. 7.
Tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang dalam wilayah P. Seram Maluku menurut spesies biologi hanya terdiri dari dua spesies yaitu 1
Metroxylon rumphii Mart., dan 2 Metroxylon sagu Rottb. Spesies sagu M. rumphii Mart. terdiri dari tiga varietas yaitu 1 varietas microcanthum Becc.,
2 varietas sylvestre Becc., dan 3 varietas rotang Becc. Sedangkan spesies M. sagu Rottb. hanya tediri dari varietas molat. Varietas microcanthum terdiri
dari dua subvarietas, yaitu subvarietas tuni Becc. dan subvarietas makanaro Becc.
5.2. Saran
1. Berkenaan dengan pemanfaatan sagu di P. Seram, terdapat luas lahan sagu
sekitar 18.239 ha, dengan jumlah populasi rumpun mencapai 3,22 juta rumpun, pohon 1,47 juta individu, dan pohon panen sekitar 350 ribu individu
yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan atau bahan baku industri. 2.
Dalam rangka budidaya dan pengembangan sagu dimasa yang akan datang, dapat dilakukan dengan mengembangkan subvarietas tuni Becc. Pada tipe
habitat lahan kering dan tergenang temporer air tawar dapat pula dikembangkan varietas sylvestre Becc. Sedangkan pada kondisi habitat yang
tergenang permanen dapat diusahakan varietas molat Becc. Varietas sagu ini selain memiliki daya adaptasi yang baik pada lahan tersebut, juga memiliki
kandungan pati yang berwarna putih, sangat disukai masyarakat Maluku dan Papua sebagai bahan pangan.
3. Varietas atau subvarietas sagu yang kurang produktif seperti subvarietas