Keadaan umum fauna dalam komunitas sagu

oleh babi hutan mempunyai andil dalam perbaikan struktur tanah karena terjadi penghancuran struktur sekaligus percampuran tanah dengan bahan organik yang terdapat di bagian permukaan tanah. Pada tangkai daun sagu fase semai yang tumbuh melengkung dan berada pada posisi agak datar dijumpai burung raja udang Halcyon sp sedang berada di tangkai daun sagu terutama yang berada pada tipe habitat tergenang atau tangkai daun sagu yang melengkung ke atas permukaan sungai. Selain berteduh, pada waktu tertentu burung raja udang Halcyon sp menceburkan tubuhnya ke dalam air atau sungai. Tindakan atau perilaku tersebut tidak diketahui maksudnya. mungkin sekedar membasahi badannya atau untuk keperluan menemukan mangsa sebagai pakannya. Pada pohon sagu yang telah dipanen atau ditebang, beberapa saat kemudian dapat ditemukan kumbang sagu berwana hitam yang biasanya menempel pada bagian empulur batang yang telah dipotong dan dibelah atau dibuka. Sebelum batang dibuka, kumbang sagu dapat ditemukan pada bagian empulur tuas dan pangkal batang bekas tebangan. Selain itu kumbang sagu ini ditemukan juga pada bagian pelepah tangkai daun sagu yang telah dipanen. Diduga kumbang sagu ini mengkonsumsi atau menghisap cairan glukosa atau fruktosa dari pati sagu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kumbang sagu ini dapat ditemukan beberapa individu atau cukup banyak pada pagi dan sore hari. Kumbang Oryctes rhinoceros L ternyata diketahui merupakan salah satu jenis hama sagu. Kumbang ini biasanya menyerang tanaman palm seperti kelapa, kelapa sawit, dan sagu Bintoro 2008. Menurut Rostiwati et al. 2008 kumbang Oryctes merupakan serangga hama yang menyerang pucuk daun tanaman sagu. Biasanya sekitar dua meter bagian ujung batang sagu tidak diolah atau diproses, karena memiliki kandungan pati yang rendah. Bagian ujung yang ditinggalkan ini, dalam tempo kurang lebih 3 bulan telah membusuk. Pada bagian dalam batang semula berupa empulur dapat ditemukan larva ulat sagu dalam jumlah banyak Gambar 28. Oleh sebagian masyarakat petani di Maluku dan Papua ulat sagu ini dipanen dan dijadikan menu untuk dikonsumsi. Bustaman 2008 mengemukakan bahwa u lat sagu selama ini belum dimanfaatkan secara komersial. Namun, masyarakat Papua dan Maluku yang mengusahakan pengolahan sagu sebagai sumber pendapatan, memanfaatkan ulat sagu untuk dikonsumsi. Pada daerah-daerah dengan sumber protein hewani sulit didapat, ulat sagu dapat menjadi alternatif sumber makanan berprotein tinggi. Gambar 28. Ulat sagu hidup pada bagian empulur batang sagu tidak diolah

4.2.9. Interaksi dengan komponen abiotis

a. Interaksi dengan parameter iklim Hasil analisis komponen utama Principal Component Analysis PCA faktor iklim menunjukkan bahwa dua komponen utama telah mampu menerangkan keragaman total data iklim sebesar 100 . Dua komponen utama tersebut PC1 dan PC2 memberikan kontribusi keragaman atau penciri sifat iklim masing-masing sebesar 55,5 dan 44,5 Tabel 24. Tabel 24. Eigenvalues matriks korelasi faktor iklim Komponen Eigenvalue Proportion Cumulative PC1 2,777 0,555 0,555 PC2 2,223 0,445 1,000 Sumber :http:www.google.co.idimglanding Pada PC1 terdapat dua variabel sebagai penciri utama faktor iklim yaitu sinaran surya mikro dan curah hujan. Sementara pada PC2 secara dominan dicirikan oleh tiga variabel yaitu temperatur mikro, kelembaban mikro, dan sinaran surya lokal Tabel 25. Tabel 25. Eigenvector komponen utama variabel iklim Variable PC1 PC2 Temperatur mikro 0,351 -0,544 Kelembaban mikro -0,090 0,663 Sinaran surya lokal 0,406 0,494 Sinaran surya mikro 0,598 -0,050 Curah hujan -0,588 -0,136 Hasil analisis PCA untuk menjelaskan interaksi variabel iklim menggunakan loading plot menunjukkan bahwa terjadi korelasi positif antara variabel sinaran surya lokal dan sinaran surya mikro. Hal ini ditunjukkan dengan sudut lancip oleh garis yang dibentuk dari plot kedua variabel itu Gambar 29. Korelasi positif ini mengandung pengertian bahwa apabila sinaran surya lokal meningkat, maka dengan sendirinya akan terjadi peningkatan sinaran surya mikro. Korelasi yang sama terjadi pula antara variabel sinaran surya dengan temperatur mikro, dan kelembaban mikro. Artinya apabila sinaran surya meningkat, maka temperatur mikro dan kelembaban mikro akan bertambah. Meningkatnya sinaran surya yang diikuti dengan peningkatan temperatur mikro, dikarenakan sinaran surya sesungguhnya adalah merupakan pancaran radiasi gelombang elektromagnetik yang dapat menimbulkan efek panas. Efek ini kemudian diukur sebagai derajat panas yang dikenal sebagai temperatur. Dalam konteks ini temperatur yang dimaksud adalah temperatur mikro. Sedangkan dalam kaitan dengan korelasi positif antara sinaran surya dengan kelembaban mikro, dikarenakan temperatur yang ditimbulkan oleh sinaran surya dapat menyebabkan terjadinya evaporasi penguapan air rawa pada habitat sagu. Uap air ini kemudian terperangkap dalam tajuk rumpun sagu karena tutupan lahan oleh tajuk sagu mencapai 50 . Jumlah kandungan uap air yang terukur di bawah tajuk sagu tersebut yang dikenal sebagai kelembaban mikro. Argumen 0,75 0,50 0,25 0,00 -0,25 -0,50 0,75 0,50 0,25 0,00 -0,25 -0,50 First Component S e c o n d C o m p o n e n t CH Sry_mikro Sry_lokal RH_mikro T_mikro Loading Plot of T_mikro; ...; CH yang dipakai untuk menjelaskan bahwa terjadi tutupan lahan yang cukup tinggi didasarkan pada jumlah intensitas sinaran surya yang masuk di antara rumpun sagu hanya sekitar 46,97 . Gambar 29. Interaksi variabel iklim dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku Pada Gambar 29 tampak pula bahwa variabel curah hujan memiliki korelasi negatif dengan sinaran surya lokal, sinaran surya mikro, dan temperatur mikro. Hal ini ditunjukkan dengan sudut tumpul yang dibentuk oleh plot curah hujan dengan ketiga variabel yang disebutkan di atas membentuk sudut tumpul. Korelasi yang besifat negatif ini mengandung pengertian bahwa dengan semakin bertambah curah hujan, maka sinaran surya lokal maupun mikro, dan temperatur mikro akan menurun. Sinaran surya yang berkurang ini dikarenakan pada umumnya bila terjadi hujan senantiasa terdapat keawanan atau diawali dengan munculnya awan yang menghalangi sinaran surya tembus ke permukaan bumi. Kemudian dengan adanya hujan, maka dengan sendirinya dapat menurunkan temperatur udara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat interaksi antara variabel iklim yang satu dengan yang lain, baik interaksi yang bersifat positif maupun negatif. Dengan mempertimbangkan akar ciri eigenvalues sebagai skor komponen utama skor PC dan vektor ciri eigenvector terbesar, maka dapat ditentukan besarnya kontribusi bobot relatif masing-masing variabel terhadap habitat sagu. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah kontribusi faktor iklim terhadap habitat sagu di P. Seram sebesar 6,69 Tabel 26. Variabel iklim yang memiliki kontribusi tertinggi adalah sinaran surya mikro, dengan besarnya kontribusi sekitar 1,66 . Sedangkan variabel dengan kontribusi paling rendah adalah temperatur mikro sebesar 0,78 . Tabel 26. Kontribusi variabel iklim terhadap habitat sagu di P. Seram, Maluku Variabel Skor PC Eigenvector Kontribusi Temperatur mikro Kelembaban mikro Sinaran surya lokal Sinaran surya mikro Curah hujan 2,223 2,223 2,223 2,777 2,777 0,351 0,663 0,494 0,598 0,588 0,78 1,47 1,10 1,66 1,63 Jumlah 3,38 Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana tertera dalam Tabel 24 di atas, dapat disusun model indeks habitat sagu terkait dengan peran faktor iklim di P. Seram sebagai berikut : HS F-iklim = 0,78 T-mikro + 1,47 RH-mikro + 1,10 Sry-lokal + 1,66 Sry-mikro + 1,63 C-hujan …………………………………………… 25 dimana : HS = habitat sagu terkait dengan faktor iklim T-mikro = temperatur mikro RH-mikro = kelembaban mikro Syr-lokal = sinaran surya lokal Sry-mikro = sinaran surya mikro C-hujan = curan hujan Pada model indeks habitat sagu sebagaimana tersaji dalam persamaan-25 di atas, tampak bahwa habitat sagu di P. Seram atas dasar sifat iklim sangat ditentukan oleh variabel intensitas sinaran surya mikro, selain itu ditentukan pula oleh sinaran surya lokal. Hal ini berarti bahwa tumbuhan sagu memiliki penyinaran yang cukup untuk dapat tumbuh dengan baik. Fakta ini menunjukkan bahwa sagu merupakan jenis tumbuhan yang memerlukan penyinaran langsung. Apabila terjadi hambatan penyinaran akan mempengaruhi pertumbuhannya. Fakta ini juga semakin memperkuat argumen bahwa kematian tunas anakan sagu antara lain dipengaruhi oleh banyaknya intensitas sinaran surya yang masuk sampai ke bagian bawah tajuk rumpun sagu. Banyak tunas anakan sagu mengalami kematian karena terjadi kompetisi yang kuat diantara individu setiap rumpun dalam mendapatkan sinaran surya. Sinaran surya yang masuk sampai dekat rumpun sagu hanya sekitar 423,82 lux setara 12,40 , dibandingkan dengan rata- rata intensitas sinaran surya terukur sebesar 1427,56 lux. Kontribusi variabel curah hujan dan kelembaban mikro terhadap habitat sagu, tertinggi kedua dan ketiga setelah sinaran surya mikro. Hal ini mengandung makna bahwa curah hujan dan kelembaban mikro memiliki peran cukup besar dalam menentukan habitat sagu di P. Seram. Peran yang sama juga terjadi pada variabel iklim yang lain seperti temperatur mikro. Peran curah hujan terhadap habitat sagu berkaitan dengan jumlah curah hujan atau tipe iklim. Dalam konteks itu, maka terdapat kecenderungan bahwa bahwa habitat sagu di P. Seram banyak tumbuh pada jumlah curah hujan berkisar antara 1.672,44 – 5.898,32 mmtahun, termasuk tipe hujan A dan B menurut Schmidt-Ferguson 1951 dalam BPPT 1982 dan BPKH 2006. Dalam rangka menjelaskan pengaruh faktor iklim terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu, dilakukan analisis regresi komponen utama. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa kontribusi pengaruh faktor iklim terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu di P. Seram masing-masing sebesar 7,1 dan 5,3 Lampiran 18. Persamaan regresi komponen utamanya secara berurutan sebagai berikut : Y1 = 15,74 - 1,321 X1 + 0,4645 X2 - 0,0021 X3 - 0,0049 X4 + 0,0247 X5 … 26 Y2 = -1897,31 + 2814,27 X1 - 5672,75 X2 + 293,69 X3 + 62,42 X4 + 2,99 X5 ……………………………………………………………………….. 27 dimana : Y1 = jumlah populasi rumpun sagu indha, Y2 = produksi pati sagu kgbatang, X1 = temperatur mikro, X2 = kelembaban mikro, X3 = sinaran surya lokal, X4 = sinaran surya mikro, X5 = curah hujan. Pada persamaan regresi di atas tampak bahwa variabel temperatur mikro memiliki pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengaruh variabel iklim yang lain, baik terhadap jumlah populasi rumpun maupun produksi pati sagu. Kondisi temperatur mikro memberikan pengaruh yang bersifat negatif atau kurang menguntungkan bagi pertambahan jumlah rumpun sagu. Namun terhadap produksi pati bersifat positif, mengandung makna bahwa kondisi temperatur mikro cukup baik terhadap penambahan produksi pati sagu. Fakta ini memberikan petunjuk bahwa pengaruh faktor iklim terhadap jumlah populasi rumpun sagu yang bersifat positif tidak selalu diikuti dengan pengaruh positif terhadap produksi pati sagu, demikian sebaliknya pengaruh negatif faktor iklim terhadap jumlah rumpun sagu tidak selalu diikuti dengan pengaruh negatif terhadap produksi. Variabel iklim berikut yang berpengaruh cukup kuat terhadap jumlah populasi rumpun sagu adalah kelembaban mikro. Variabel ini memberikan pengaruh yang bersifat positif, artinya kondisi kelembaban mikro berperan dalam penambahan jumlah rumpun, tetapi tidak menguntungkan bagi peningkatan produksi pati. Hal ini berarti bahwa kondisi kelembaban mikro yang baik bagi penambahan jumlah rumpun dicapai pada taraf yang tidak bersamaan dengan tingkat kelembaban mikro yang baik bagi peningkatan produksi pati. Demikian pula dengan variabel iklim yang lain seperti sinaran surya lokal dan sinaran surya mikro. Curah hujan merupakan variabel iklim yang memberikan pengaruh sepadan terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu. Artinya variabel ini memberikan pengaruh yang bersifat positif terhadap jumlah populasi rumpun dan juga terhadap produksi pati sagu. Dalam kaitan dengan pembentukan rumpun dan produksi pati sagu, maka diperlukan curah hujan dalam jumlah yang memadai. Jika curah hujan berkurang dapat menghambat pembentukan rumpun baru, demikian pula untuk produksi pati sagu. Intensitas sinaran surya mikro memberikan pengaruh yang bersifat negatif terhadap jumlah populasi rumpun sagu. Hal ini mengandung makna bahwa sinaran surya mikro tidak memberikan andil dalam penambahan jumlah rumpun sagu. Dengan kata lain apabila sinaran surya mikro cukup tidak akan membentuk rumpun baru, karena apabila sinaran surya terpenuhi maka percabangan basal tumbuh menjadi individu baru tidak jauh dari pohon induk. Dengan kata lain individu baru yang terbentuk berdekatan dengan pohon induk. Apabila sinaran surya berkurang, maka dapat menambah jumlah rumpun yang terbentuk. Fenomena ini memperkuat argumen tentang mekanisme pembentukan rumpun yang terbentuk pada kondisi sinaran surya berkurang. Dengan berkurangnya sinaran surya percabangan basal akan memanjang keluar menjauh dari pohon induk atau rumpun mencari ruang dengan sinaran surya memadai untuk tumbuh menjadi individu baru. Dalam perkembangan selanjutnya dari individu ini kemudian muncul percabangan basal baru atau anakan secara bersama-sama menjadi rumpun sendiri. Pengaruh faktor iklim terhadap tumbuhan sagu diawali oleh pengaruh sinaran surya sebagai sumber energi utama dalam kehidupan. Sinaran surya lokal memainkan peranan penting dalam mengendalikan variabel iklim yang lain seperti sinaran surya mikro, temperatur mikro, dan kelembaban mikro. Apabila sinaran surya lokal meningkat maka sinaran surya mikro ikut pula bertambah dan senantiasa terjadi fluktuasi dari waktu ke waktu. Sinaran surya merupakan sumber energi utama bagi kehidupan. Energi surya dalam bentuk radiasi ditangkap tumbuhan melalui daun oleh klorofil. Kemudian melalui proses fotosintesis dirubah menjadi energi kimia, selanjutnya energi ini dipergunakan untuk pertumbuhan dan tersimpan pada tempat penyimpanan zink yakni pada bagian batang. Sinaran surya terkait pula dengan temperatur mikro dan kelembaban mikro. Sinaran surya senantiasa memancarkan radiasi yang dapat menimbulkan efek panas. Efek panas ini selanjutnya meningkatkan termperatur udara. Pada umumnya dengan meningkatnya temperatur udara akan menurunkan tingkat kelembaban relatif. Dengan adanya perubahan temperatur dan kelembaban relatif, maka akan mempengaruhi jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu. Secara teoritis dengan meningkatnya temperatur maka proses reaksi dalam tubuh tumbuhan akan meningkat, tetapi pada kondisi temperatur yang sangat tinggi dapat menghambat pertumbuhan. Dengan meningkatnya kondisi temperatur mikro dapat meningkatkan produksi pati sagu. Kelembaban relatif dan temperatur udara selain berkaitan dengan sinaran surya, juga berkaitan dengan curah hujan. Apabila curah hujan meningkat maka kelembaban relatif akan bertambah, sedangkan temperatur udara akan menurun. Peran curah hujan dalam pertumbuhan sagu bukan saja berkaitan dengan naik- turunnya kelembaban dan temperatur, tetapi curah hujan juga mempengaruhi tumbuhan sagu melalui ketersediaan air. Dengan meningkatnya curah hujan, maka ketersediaan air ikut meningkat, selanjutnya kebutuhan air tumbuhan akan terpenuhi, dan sebaliknya jika curah hujan berkurang atau tidak terjadi hujan, terutama pada tipe habitat lahan kering.

b. Interaksi dengan parameter tanah

Hasil analisis PCA faktor tanah menunjukkan bahwa tiga komponen utama telah mampu menerangkan keragaman total data sifat tanah sebesar 85,4 . Tiga komponen utama tersebut PC1, PC2, dan PC3 memberikan kontribusi keragaman atau penciri sifat tanah masing-masing sebesar 42,8 , 25,4 , dan 17,2 Tabel 27. Tabel 27. Eigenvalues matriks korelasi faktor tanah Komponen Eigenvalue Proportion Cumulative PC1 3,848 0,428 0,428 PC2 2,289 0,254 0,682 PC3 1,547 0,172 0,854 Pada PC1 terdapat tiga variabel sebagai penciri utama faktor tanah yaitu pH KCl, KTK, dan kalsium. Pada PC2 secara dominan dicirikan oleh empat variabel yaitu C-organik, kalium, bulk density dan partikel liat. Sementara PC3 penciri dominannya adalah magnesium dan ferrum Tabel 28. Hasil analisis PCA untuk menjelaskan interaksi variabel tanah menggunakan loading plot menunjukkan bahwa C-organik berkorelasi positif dengan pH KCl, kalsium, KTK, magnesium, dan kalium. Partikel liat memiliki korelasi positif dengan BD bulk density Gambar 30. Hal ini ditunjukkan dengan sudut lancip yang dibentuk oleh pasangan variabel-variabel tersebut. Korelasi yang bersifat positif ini mengandung pengertian bahwa jika terjadi 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 -0,1 -0,2 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 -0,1 -0,2 -0,3 -0,4 -0,5 First Component S e c o n d C o m p o n e n t C_organik Liat BD Fe Magnesium Kalsium Kalium KTK pH KCl Loading Plot of pH KCl; ...; C_organik 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 -0,1 -0,2 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 -0,1 -0,2 -0,3 -0,4 -0,5 First Component S e c o n d C o m p o n e n t Liat BD Fe Magnesium Kalsium Kalium KTK C_organik pH KCl Loading Plot of pH KCl; ...; Liat peningkatan C-organik maka akan terjadi peningkatan pula pada variabel lain yang menjadi pasangannya. C-organik merupakan indikator yang menjelaskan tentang banyak-sedikitnya kandungan bahan organik tanah. Dalam kaitan dengan korelasi positif dengan pH KCl, dikarenakan bahan organik dapat berparan dalam meningkatkan kemasaman tanah Syekhfani 1997. Tabel 28. Eigenvector komponen utama variabel tanah Variable PC1 PC2 PC3 pH KCl 0,416 0,187 -0,156 C_organik 0,348 0,363 -0,193 KTK 0,494 0,098 -0,023 Kalium 0,305 -0,421 0,156 Kalsium 0,425 0,163 0,142 Magnesium 0,348 -0,100 0,546 Fe -0,142 0,192 0,694 BD 0,031 -0,532 0,171 Liat 0,213 -0,539 -0,290 Gambar 30. Interaksi variabel tanah dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku