Tinjauan Empiris Usahatani dan Tataniaga Jamur Tiram Putih

mengukur efisiensi tataniaga harus mempertimbangkan pengaruh variabel- variabel tersebut terhadap harga di tingkat konsumen. Penyediaan fasilitas untuk pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan dianggap dapat digunakan untuk melihat efisiensi tataniaga. Kurangnya ketersediaan fasilitas fisik terutama pengangkutan diidentikkan dengan ketidakefisienan proses tataniaga.

2.3. Tinjauan Empiris Usahatani dan Tataniaga Jamur Tiram Putih

Berdasarkan peneletian terdahulu, menunjukkan bahwa usahatani jamur tiram putih berada pada skala usaha yang menaik increasing return to scale, ditunjukkan oleh jumlah nilai elastisitas faktor produksi 1 yaitu 1,2 Restuwati 2000. Berdasarkan analisis titik impas diperoleh nilai sebesar 1.065,72 kg per bulan. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani jamur tiram putih telah memperoleh keuntungan karena produksi yang dihasilkan melebihi produksi pada saat titik impas. Dengan melakukan pengolahan jamur tiram putih menjadi sayur instan dapat memberikan nilai tambah sebesar Rp 9.497.35 sehingga dapat meningkatkan pendapatan Winda, 2001. Berdasarkan penelitian Nugraha 2006, Analisis Efisiensi Saluran Tataniaga Jamur Tiram Segar di Bogor, Propinsi Jawa Barat. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa saluran tataniaga jamur tiram segar di Bogor melibatkan 6 lembaga yaitu produsen, pengumpul, pedagang besar, pedagang menengah, pengecer, dan suplier. Saluran tataniaga yang terjadi adalah :1 produsen, konsumen ; 2 produsen, pengumpul, dan konsumen; 3 produsen, pedagang besar, konsumen; 4 produsen, pengumpul, pedagang besar, pedagang menengah, dan konsumen; 5 produsen, pengumpul, pedagang besar, pedagang menengah, pengecer, dan konsumen; 6 produsen, pengecer, konsumen. Hasil analisis menunjukkan bahwa saluran produsen langsung kepada konsumen memiliki indikasi tingkat efisiensi terbaik. Farmer’s Share pada saluran ini mencapai 100 persen, menunjukkan nilai Farmer’ Share maksimal. Faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi jamur tiram putih adalah tenaga kerja, bibit, serbuk kayu, bekatul, gips, dan kapur. Hasil penelitian lain menyatakan bahwa faktor produksi yang berpengaruh adalah serbuk gergaji, dedak, SP 36, gips, dan tenaga kerja Windyastuti, 2000 dan Restuwati, 2000. Sementara itu, penelitian Ruillah 2006, menganalisis pendapatan usahatani dan faktor – faktor produksi yang berpengaruh terhadap usahatani jamur tiram putih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa elastisitas produksi yang terbesar adalah bibit yaitu sebesar 0,22 persen. Adapun variabel dummy yaitu lahan luas kumbung tidak berpengaruh terhadap produksi, tetapi lebih ditentukan oleh jumlah log yang diproduksi petani. Apabila dilihat dari imbangan penerimaan dan biaya RC rasio diketahui bahwa RC atas biaya tunai untuk petani skala III sebih besar dibandingkan skala I dan skala II yaitu sebesar 3,75. Hal ini berarti bahwa setiap rupiah biaya yang dikeluarkan oleh petani skala III akan memberikan penerimaan sebesar Rp 3,75 sehingga usahatani jamur tiram putih yang lebih efisien adalah petani skala III. Penelitian yang dilakukan oleh Reynold Pandapotan Sitompul 2007 mengenai Analisis usahatani dan tataniaga ikan hias maskoki oranda di Desa Parigi Mekar, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa saluran tataniaga melibatkan petani, pedagang pengumpul, supplier, dan konsumen akhirhobis. Harga jual anakan Ikan Maskoki Oranda di tingkat petani pembenihan ke petani pembesaran berkisar antara Rp 130 sampai dengan Rp 150 per ekor. Harga jual Ikan Maskoki Oranda di tingkat petani pembesaran ke pedagang pengumpul berkisar antara Rp 800 sampai dengan Rp 950 per ekor. Harga yang berlaku di tingkat supplier ke pedagang pengecer berkisar anatara Rp 1.400 sampai dengan Rp 1.500 per ekor, sedangkan di tingkat pedagang pengecer ke konsumen akhir berkisar antara Rp 2.000 sampai dengan Rp 2.500 per ekor. Farmer’s share yang diterima petani pada pola 1 dan 2 yaitu masing-masing sebesar 39,5 persen. Pada pola 3, rata-rata harga jual petani adalah sebesar Rp 1.116,7 per ekor, sedangkan rata-rata harga yang dibayar oleh konsumen akhir sebesar 1.250,00 per ekor. Farmer’s share yang diterima petani pada pola 3 adalah sebesar 89,3 persen, merupakan saluran tataniaga yang paling menguntungkan bagi petani, karena saluran tataniaga Ikan Hias Maskoki yang paling pendek dan efisien Petani → pedagang pengecer → konsumenhobis. Farmer’s share yang tinggi dapat dicapai jika petani mampu mengefisienkan saluran tataniaga dan meningkatkan kualitas produknya. Penelitian yang dilakukan oleh Andri 2008 mengenai Analisis Pendapatan Usahatani dan Saluran Tataniaga Pepaya California di Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pendapatan usahatani pepaya california dikelompokkan berdasarkan skala usaha yaitu skala kecil, skala menengah, dan skala besar. Dari analisis RC yang dilakukan, diketahui bahwa petani responden skala menengah memiliki nilai RC yang lebih besar untuk RC atas biaya tunai dan RC atas total biaya.

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Teori Usahatani

Menurut Soeharjo dan Patong 1973, usahatani adalah kombinasi yang tersusun organisasi dari alam, kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Ketatalaksanaan organisasi itu sendiri diusahakan oleh seorang atau sekumpulan orang. Mosher 1966 memberikan defenisi farm yang diterjemahkan oleh Krisnadi menjadi usahatani sebagai suatu tempat atau bagian dari permukaan bumi dimana pertanian diselenggarakan oleh seorang petani tertentu apakah ia seorang pemilik, penyakap, atau manajer yang digaji. Dalam suatu usahatani, tanaman yang diusahakan tidaklah terbatas pada suatu macam tanaman tertentu, tetapi dapat terdiri atas berbagai macam tanaman, ternak dan ikan. Berdasarkan dua defenisi di atas, maka terdapat empat unsur pokok dalam suatu usahatani yang saling terkait satu sama lain di dalam pelaksanannya. Unsur pokok tersebut adalah tanah atau tempat, tenaga kerja, modal dan pengelolaan atau manajemen. Tanah Menurut Hernanto 1991, tanah atau lahan merupakan faktor yang relatif langka bila dibandingkan dengan faktor produksi lainnya dan distribusi penguasaannya tidak merata. Perbedaan golongan petani berdasarkan luas tanah atau lahan tersebut akan berpengaruh terhadap sumber dan distribusi pendapatan. Adapun tanah itu sendiri memiliki beberapa sifat antara lain: luas relatif tetap atau dianggap tetap, tidak dapat dipindah-pindahkan, dan dapat dipindahtangankan.