Analisis Sistem Tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Petani di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat)

(1)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki peluang besar dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang melimpah untuk memajukan sektor pertanian. Salah satu subsektor dari sektor pertanian adalah hortikultura. Hortikultura merupakan suatu cabang dari ilmu pertanian yang mempelajari tentang budidaya buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan biofarmaka. Pembangunan subsektor hortikultura telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pembangunan sektor pertanian dan perekonomian nasional, salah satunya dapat dilihat dari kontribusi subsektor hortikultura terhadap nilai Produk Domestik Bruto (PDB). PDB adalah salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu negara dalam suatu periode tertentu. Kontribusi subsektor hortikultura terhadap PDB pertanian dan PDB nasional dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Produk Domestik Bruto Hortikultura, Pertanian dan Nasional Tahun 2010

Sektor/Subsektor Tahun 2010

Nilai PDB (Milyar Rp.)

Hortikultura 86.565,46

Pertanian 737.874,10

Total PDB Nasional 6.422.918,20

Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

Subsektor hortikultura memberikan kontribusi sebesar 11,73 persen terhadap PDB sektor pertanian dan sebesar 1,35 persen terhadap PDB Nasional pada tahun 2010. Prospek pengembangan agribisnis hortikultura saat ini sangat besar mengingat ketersediaan sumberdaya alam, keanekaragaman agroekosistem, sumberdaya manusia, ketersediaan teknologi, keanekaragaman komoditas, serta serapan pasar di dalam negeri dan pasar internasional yang terus meningkat.


(2)

Salah satu komoditas dari subsektor hortikultura adalah tanaman sayuran. Sayuran memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap total PBD Hortikultura tahun 2010, yaitu sebesar Rp 31.244,16 Milyar atau 36,09 persen (Direktorat Jenderal Hortikultura 2011).

Salah satu komoditas sayuran yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah jamur konsumsi (edible mushroom). Jamur konsumsi saat ini menjadi salah satu sayuran yang cukup diminati, baik sebagai bahan konsumsi maupun komoditas perdagangan dalam dan luar negeri. Produk jamur konsumsi memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, kandungan gizi tinggi, bercitarasa lezat dan disamping itu berkhasiat pula sebagai obat. Hal ini didukung dengan adanya proses budidaya jamur konsumsi yang sebagian besar tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia yang dapat membahayakan kesehatan, sehingga jamur aman untuk dikonsumsi. Proses budidaya jamur konsumsi pun tergolong mudah, waktu budidaya yang relatif singkat, dan dapat dilakukan di sebagian besar tempat di Indonesia yang umumnya bersuhu hangat. Hal tersebut ditunjang pula oleh mudahnya pengadaan bibit dan media tanamnya. Budidaya jamur konsumsi tidak memerlukan lahan yang luas dan memiliki tingkat produktivitas tertinggi bila dibandingakan dengan tanaman sayuran lain yang dibudidayakan di Indonesia (Lampiran 1). Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki tersebut menjadikan jamur konsumsi semakin diminati untuk dibudidayakan dari tahun ke tahun, baik sebagai usaha sampingan berskala rumah tangga hingga usaha berskala besar. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 yang menunjukan tingkat perkembangan produksi jamur di Indonesia.

Tabel 2. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jamur di Indonesia Tahun 2005-2010

Tahun Luas Panen

(Ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Ton/Ha)

2005 254 30.854 121,47

2006 298 23.559 79,06

2007 377 48.247 127,98

2008 637 43.047 67,58

2009 700 38.465 54,93


(3)

Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

Berdasarkan data pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa produksi jamur di Indonesia mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, sedangkan luas panen jamur dari tahun 2005 hingga tahun 2009 terus mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2008 mengalami peningkatan paling pesat, yakni sebesar 68,97 persen dari total luas panen tahun 2007. Namun, pada tahun 2010 luas panen jamur justru mengalami penurunan sebesar 2,32 persen. Keadaan tersebut mengindikasikan bahwa peningkatan luas panen ternyata tidak diiringi oleh peningkatan hasil produksi jamur. Selama tiga tahun berturut-turut (tahun 2007, 2008, dan 2009) produksi jamur nasional terus mengalami penurunan jumlah produksi, rata-rata sebesar 10 persen per tahunnya. Namun, pada tahun 2010 produksi jamur nasional kembali meningkat dimana hal ini terlihat dengan adanya peningkatan produksi sebesar 59,56 persen dari tahun sebelumnya.

Menurut data dari Masyarakat Agribisnis Jamur Indonesia (MAJI), pada tahun 2004 tingkat konsumsi jamur di Indonesia baru mencapai 0,05 kilogram per kapita per tahun (Chazali dan Pratiwi 2010). Kebutuhan konsumsi jamur di dunia, termasuk Indonesia, terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan pertambahan pendapatan serta perubahan pola konsumsi makanan penduduk dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha pembudidayaan jamur konsumsi dapat menjadi salah satu peluang usaha yang memiliki potensi untuk berkembang.

Pada awalnya, pemenuhan kebutuhan manusia terhadap jamur konsumsi hanya mengandalkan alam. Dengan cara seperti ini, jumlah jamur yang didapat sangat terbatas dan hanya pada musim tertentu bisa diperoleh. Di Indonesia, jamur hanya tumbuh secara alami pada musim hujan karena tingkat kelembaban udara yang cukup tinggi. Inisiatif membudidayakan jamur konsumsi dilakukan karena adanya kebutuhan yang terus meningkat, sedangkan persediaan di alam semakin menipis. Tabel 3 menunjukkan tingkat kebutuhan konsumsi masyarakat per harinya akan jamur di beberapa kota besar di Indonesia pada tahun 2007.


(4)

Tabel 3. Kebutuhan Masyarakat Terhadap Jamur di Beberapa Kota di Indonesia

No. Kota Kebutuhan (kg/per hari)

1. Bekasi 3.000

2. Bogor 150

3. Semarang 350

4. Tangerang 3.000

5. Tasikmalaya 300

6. Yogyakarta 200

Sumber : Parjimo dan Andoko (2007)

Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa kebutuhan masyarakat akan jamur konsumsi di beberapa kota besar di Pulau Jawa pada tahun 2007 cukup tinggi. Dengan tingginya kebutuhan akan jamur konsumsi tersebut maka menjadikan budidaya jamur konsumsi di Indonesia sebagai peluang usaha yang memiliki potensi yang besar. Di berbagai daerah di Indonesia, kegiatan pembudidayaan/ produksi jamur konsumsi sebagai mata pencaharian sudah cukup banyak dilakukan, namun kegiatan produksi jamur konsumsi tersebut masih terkonsentrasi di Pulau Jawa (Lampiran 2).

Menurut MAJI(2007), jenis jamur yang diminati konsumen adalah jamur merang (Volvariella volvaceae), jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), jamur kuping (Auricularia polytricha), jamur champignon (Agaricus bisporus), dan jamur shiitake (Lentinus edodes). Jamur merang mendominasi 55–60 persen dari total produksi jamur nasional. Peringkat berikutnya adalah jamur tiram putih atau dikenal pula dengan nama Shimeji White. Produksi jamur tiram putih mulai dirintis pengembangannya sejak tahun 1997 dan kini mengisi sekitar 30 persen dari total produksi jamur Indonesia. Jamur kayu yang banyak dibudidayakan di daerah berketinggian 800-1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl) mempunyai siklus hidup lima bulan dengan masa panen empat bulan1.

Berdasarkan data MAJI, Jawa Barat memproduksi sepuluh ton jamur tiram per hari. Sebagian besar produksi jamur dipasarkan dalam bentuk segar. Pasar jamur tiram untuk Jakarta dipasok dari Karawang, Bandung, Bogor, Cianjur, dan

1


(5)

http://www.agrina-Sukabumi. DariCisarua Kabupaten Bandung, setiap hari tidak kurang dari tiga ton jamur tiram masuk ke Jakarta2.

Salah satu sentra penghasil komoditas jamur konsumsi di Jawa Barat adalah Kabupaten Bandung Barat. Menurut data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat (2010), pada tahun 2009 Kabupaten Bandung Barat memiliki total produksi jamur konsumsi sebanyak 1.735.033 kwintal. Jamur yang diproduksi di Kabupaten Bandung Barat adalah komoditas jamur tiram putih. Namun, tidak seluruh kecamatan di Kabupaten Bandung Barat memproduksi jamur tiram putih, hanya kecamatan yang terletak di dataran tinggi saja. Tabel 4, menunjukkan kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bandung Barat yang memproduksi jamur beserta jumlah produksinya.

Tabel 4. Luas Kumbung dan Jumlah Produksi Jamur per Tahun Menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Barat, 2010

No. Kecamatan Luas Kumbung

(m2)

Produksi (Kg/Tahun)

1. Rongga - -

2. Gununghalu - -

3. Sindangkerta - -

4. Cililin 60 1.223

5. Cihampelas - -

6. Cipongkor - -

7. Batujajar - -

8. Cipatat - -

9. Padalarang - -

10. Ngamprah 20.000 108.100

11. Parongpong 2.210 98.381

12. Lembang 35.200 195.380

13. Cisarua 347.000 4.015.200

14. Cikalongwetan - -

15. Cipeundeuy - -

Jumlah/ Total 404.470 4.418.284

Sumber : BPS Kabupaten Bandung Barat (2011)

2

berbisnisjamur.com. 2011. Bisnis Jamur! Peluang Bisnis Rumahan yang Gak Murahan!. http://berbisnisjamur.com/ [30 November 2011]


(6)

Kecamatan Cisarua merupakan salah satu sentra penghasil komoditas jamur tiram putih yang memiliki luas lahan produksi jamur tiram terluas, yaitu 347.000 m2. Dengan jumlah hasil produksi jamur tiram yang mencapai 4.015.200 kilogram per tahun, artinya pada tahun 2010 setiap harinya Kecamatan Cisarua mampu menghasilkan kurang lebih 11 ton jamur tiram putih. Bila dibandingkan dengan kecamatan lain, Kecamatan Cisarua merupakan daerah terbesar penghasil jamur tiram putih di Kabupaten Bandung karena letaknya di dataran tinggi yang memiliki iklim sejuk yang cocok untuk lokasi pembudidayaan jamur tiram putih, oleh karena itu sebagian besar penduduknya membudidayakan jamur tiram putih baik sebagai mata pencaharian utama maupun hanya sekedar usaha sampingan.

1.2. Perumusan Masalah

Jamur tiram merupakan komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Salah satu jenis jamur tiram yang banyak dibudidayakan adalah jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Jamur tiram putih merupakan produk hortikultura yang dijual dalam bentuk segar. Seperti sifat umum pada produk hortikultura lainnya, jamur pun bersifat mudah rusak (perishable) sehingga diperlukan penanganan pascapanen yang tepat dan cepat. Proses tataniaga yang dilakukan pun harus cepat agar produk tidak rusak dan layu saat sampai ke tangan konsumen, karena produk yang rusak akan menurunkan harga jual atau bahkan tidak akan laku dijual. Oleh karena itu, diperlukan peran lembaga tataniaga yang berfungsi memasarkan hasil-hasil produksi dengan cepat dari produsen hingga ke tangan konsumen.

Salah satu desa di Kecamatan Cisarua yang merupakan sentra jamur tiram putih adalah Desa Kertawangi. Petani di Desa Kertawangi memiliki karakteristik yang cenderung homogen, yaitu menghasilkan jamur tiram putih segar sebagai produk utama. Petani jamur tiram putih di Desa Kertawangi sangat bergantung pada lembaga tataniaga untuk memasarkan produknya karena keterbatasan informasi dan akses pasar. Petani jamur tiram putih di Desa Kertawangi sebagian besar adalah petani kecil yang menjual produknya secara individual. Tidak adanya organisasi seperti koperasi yang membantu petani, khususnya dalam hal memasarkan produknya menjadi sebuah kendala dan kelemahan bagi petani dalam


(7)

proses pemasaran jamur tiram putih di Desa Kertawangi. Oleh karena itu, petani tidak memiliki kekuatan tawar terhadap pedagang ketika menjual produknya. Petani jamur tiram putih hanya mampu berperan sebagai penerima harga (price taker) terhadap harga yang ditawarkan oleh pedagang. Padahal dengan adanya organisasi seperti koperasi akan memberikan keuntungan bagi petani terutama untuk memasarkan produknya.

Saat penelitian berlangsung, harga jamur tiram putih di tingkat petani berkisar antara Rp 6.800 hingga Rp 7.000 per kilogram, sedangkan harga jamur tiram putih di tingkat konsumen akhir yaitu sekitar Rp 12.000 per kilogram. Terdapat selisih harga jual yang cukup tinggi antara harga yang diterima petani dengan harga eceran di tingkat konsumen akhir, yaitu sebesar Rp 5.000. Besarnya selisih harga atau disebut marjin tataniaga tidak selalu mengindikasikan keuntungan yang tinggi, tergantung berapa besar biaya yang harus dikeluarkan oleh lembaga tataniaga untuk melakukan fungsi tataniaga (Sudiyono 2002). Marjin tataniaga jamur tiram putih ini dianggap cukup tinggi karena dalam proses tataniaga ini tidak terdapat penanganan khusus yang dilakukan oleh lembaga tataniaga dan juga tidak terjadi penambahan nilai (value added) terhadap produk. Selisih harga tersebut diindikasikan murni sebagai penggantian atas biaya tataniaga yang telah dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tataniaga tanpa adanya fungsi pengolahan dan ditambah dengan imbalan (keuntungan) yang diambil oleh lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses tataniaga jamur tiram putih. Semakin besar nilai marjin tataniaga maka akan semakin besar pula harga yang ditanggung oleh konsumen akhir untuk membeli jamur tiram putih segar ini. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1) Bagaimanakah sistem tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi? 2) Berapa farmer’s share dan rasio keuntungan biaya yang diperoleh petani

jamur tiram putih dari hasil penjualan jamur tiram putih segar?

3) Apakah saluran tataniaga tersebut sudah efisien dilihat dari nilai marjin tataniaga dan nilai rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga?


(8)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan: 1) Mengidentifikasi dan menganalisis sistem tataniaga jamur tiram putih di Desa

Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat.

2) Menganalisis bagian pendapatan yang diperoleh petani dari keseluruhan harga yang dibayarkan oleh konsumen (farmer’s share).

3) Menganalisis efisiensi saluran tataniaga jamur tiram putih melalui besarnya marjin tataniaga dan nilai rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga di setiap lembaga tataniaga yang terkait dalam proses tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi:

1) Seluruh pihak yang terlibat dalam saluran tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi, terutama untuk petani produsen jamur tiram putih agar terjadi peningkatan pendapatan.

2) Dinas Pertanian, terutama bidang hortikultura, sebagai bahan informasi dan kajian ilmiah dalam melakukan pembinaan dan penyuluhan terhadap petani jamur tiram tentang prosedur budidaya jamur tiram yang benar.

3) Dinas Koperasi dan UKM, sebagai bahan informasi dalam melakukan pembinaan tentang pentingnya berkoperasi terhadap petani jamur tiram agar mereka memiliki posisi tawar yang kuat dan tidak lagi bergantung pada pengumpul dan bandar dalam memasarkan hasil produksinya serta adanya bantuan dalam pembentukan koperasi.

4) Pembaca hasil penelitian ini, sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya sekaligus memberikan gambaran tentang usaha serta tataniaga jamur tiram putih di lokasi penelitian.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang saluran tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi melalui analisis lembaga dan fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar,


(9)

dan perilaku pasar yang dilakukan oleh lembaga tataniaga jamur tiram putih, serta menganalisis efisiensinya menggunakan marjin tataniaga, biaya tataniaga, farmer’s share, dan volume penjualan. Ruang lingkup lokasi penelitian meliputi Desa Kertawangi sebagai daerah penghasil jamur tiram putih, Pasar Induk Caringin Bandung sebagai tujuan utama pemasaran jamur tiram putih dari Desa Kertawangi untuk Kota Bandung, dan beberapa pasar kecil di Kota Bandung. Dalam hasil analisis tersebut dapat diidentifikasi bagaimana efisiensi tataniaga komoditas jamur tiram putih yang terjadi dan kemudian dapat memberikan gambaran secara umum mengenai kegiatan tataniaga jamur tiram putih di lokasi penelitian.


(10)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Jamur Tiram Putih

Jamur merupakan tanaman yang berinti, berspora, dan tidak memiliki klorofil sehingga tidak bisa melakukan proses fotosintesis untuk menghasilkan makanan sendiri. Jamur hidup dengan cara mengambil zat-zat makanan, seperti selulosa, glukosa, lignin, protein, dan senyawa pati dari organisme lain. Dengan bantuan enzim yang diproduksi oleh hifa (bagian jamur yang bentuknya seperti benang halus, panjang, bercabang-cabang, dan dapat berkembang secara vegetatif), bahan makanan tersebut diuraikan menjadi senyawa yang dapat diserap untuk pertumbuhan. Oleh karena itu, jamur digolongkan sebagai tanaman heterotrofik, yaitu tanaman yang kehidupannya tergantung pada organisme lain (Parjimo dan Andoko 2007).

Jamur konsumsi yang dibudidayakan umumnya dari Subclassis Basidiomycetes. Ukuran tubuh buahnya cukup besar dan banyak bagian yang dapat dimakan. Di lapangan hanya dikenal dua kelompok besar jamur yang dapat dikonsumsi (edible mushroom) dan dibudidayakan, yaitu jamur merang dan jamur kayu. Sebutan ini lebih didasarkan atas media tumbuhnya daripada ciri morfologinya. Disebut jamur merang karena media tumbuhnya berupa merang, meskipun sebenarnya tidak mutlak memerlukan merang. Jamur kayu biasa tumbuh pada batang kayu lapuk atau serbuk gergaji sehingga disebut jamur kayu. Jenis jamur yang termasuk jamur kayu, diantaranya adalah jamur kuping, jamur payung/ jamur shiitake, dan jamur tiram3.

Jamur tiram terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu jamur tiram putih, tiram pink, tiram abu-abu, tiram kuning, dan tiram coklat/ abalon. Salah satu komoditas jamur tiram yang paling banyak dibudidayakan adalah jenis jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Nama jamur tiram putih diberikan karena bentuk tudung jamur ini agak membulat, lonjong, dan melengkung menyerupai cangkang tiram dengan bagian tengah agak cekung dan berwarna putih hingga krem. Tubuh buah memiliki batang atau tangkai jamur yang berada dipinggir (bahasa Latin:

3


(11)

pleurotus) dan bentuknya seperti tiram (ostreatus), sehingga jamur tiram mempunyai nama binomial Pleurotus ostreatus4.

Parjimo dan Andoko (2007) menyebutkan jika permukaan tudung jamur tiram licin, agak berminyak jika lembab, dan tepiannya bergelombang. Diameternya berukuran tiga hingga 15 centimeter. Tubuh buahnya membentuk rumpun yang memiliki banyak percabangan dan menyatu dalam satu media tanam. Jika sudah tua, daging buahnya akan menjadi liat dan keras. Jamur tiram memiliki inti plasma dan spora yang berbentuk sel-sel lepas atau bersambungan membentuk hifa dan miselium (sekumpulan hifa yang tumbuh bersama-sama menjadi satu). Pada titik-titik pertemuan percabangan miselium akan terbentuk bintik kecil yang disebut pin head atau calon tubuh buah jamur yang akan berkembang menjadi tubuh buah jamur.

Jenis jamur tiram putih yang paling banyak dibudidayakan di Desa Kertawangi adalah jamur tiram putih varietas Florida. Penampang fisik jamur tiram putih varietas Florida dapat dilihat pada Gambar 1. Adapun ciri-ciri umum dari jamur tiram putih varietas Florida menurut Satriyanto(2009)5 adalah :

1) Bentuk jamur tiram putih seperti tudung/payung. Beberapa dari jenis ini dalam pertumbuhannya bergerombol atau berkelompok, namun ada pula yang merupakan tangkai tunggal.

2) Kisi-kisi bawah tudung relatif lebar.

3) Warna jamur putih bersih, terkadang seperti ada warna kecoklatan (seperti tiram coklat atau tiram kelabu), hal tersebut disebabkan karena cuaca. Terkadang jika siang hari suhu agak panas dengan kelembaban rendah, lalu pada sore harinya disiram dan mengenai tubuh buah, ini yang menyebabkan jamur menjadi berwarna sedikit kecoklatan.

4) Kadar air optimal pada jamur tiram jenis Florida cenderung tinggi. Ciri umum jamur yang memiliki kadar air baik adalah warna jamur tetap putih bersih. Jika memiliki kadar air berlebihan, jamur tiram cenderung berwarna kekuningan dan lebih cepat membusuk.

4

Stamets and Chilton. 1983. The Mushroom Cultivator. www.wikipedia.com. [20 Mei 2009].

5


(12)

5) Karakteristik panen jamur tiram jenis ini cenderung stabil (panen bertahap dan jamur tidak langsung habis dalam sekali panen). Dalam 100 hari pertama, panen masih cenderung stabil dan baik.

6) Jamur tiram jenis Florida sangat cocok untuk jenis sayuran, untuk usaha jenis kripik jamur, dan juga jamur goreng. Strukturnya masih cukup kuat walaupun telah disimpan dalam lemari es.

Gambar 1. Jamur Tiram Putih Varietas Florida

Sumber : Dok. pribadi

2.1.1. Lingkungan dan Syarat Tumbuh

Secara alami jamur tiram banyak ditemukan tumbuh di batang-batang kayu lunak yang telah lapuk seperti pohon karet, damar atau sengon yang tergeletak di lokasi yang sangat lembab dan terlindung dari cahaya matahari. Jamur tiram dapat tumbuh di ketinggian minimal sekitar 500 m diatas permukaan laut di lokasi yang memiliki kadar air minimal 60 persen (Parjimo dan Andoko 2007).

Tingkat keasaman media sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur tiram. Derajat keasaman atau pH media tanam yang optimal untuk pertumbuhan jamur tiram putih adalah enam hingga tujuh. Apabila pH terlalu rendah atau terlalu tinggi maka pertumbuhan jamur akan terhambat, bahkan mungkin akan tumbuh jamur lain yang akan mengganggu pertumbuhan jamur tiram itu sendiri. Keasaman pH media diatur dengan menggunakan kapur/ Calsium carbonat (Dinas


(13)

Pertanian Jawa Timur 2007). Syarat tumbuh jamur tiram sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Oleh karena itu, faktor lingkungan harus benar-benar dikelola secara baik, seperti temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, dan cahaya.

2.1.2. Kandungan Nutrisi dan Manfaat Jamur Tiram

Jamur merupakan sumber mineral yang baik, kandungan mineral utama yang tertinggi adalah kalium (K), kemudian fosfor (P), natrium (Na), kalsium (Ca), dan magnesium (Mg). Jamur juga merupakan sumber mineral minor yang baik karena mengandung seng, besi, mangan, molibdenum, kadmium, dan tembaga. Oleh karena itu jamur tiram baik dan aman untuk dikonsumsi setiap hari. Jamur tiram mengandung sembilan asam amino esensial yang tidak bisa disintesis dalam tubuh, yaitu lisin, metionin, triptofan, threonin, valin, leusin, isoleusin, histidin dan fenilalanin. Setidaknya 72 persen dari total asam lemak jamur tiram berupa asam lemak tidak jenuh (Isnawan 2003)6. Tabel 5 menunjukkan besarnya kandungan gizi pada 100 gram jamur tiram.

Tabel 5. Kandungan Gizi Setiap 100 Gram Jamur Tiram

Kandungan Kadar

Protein 5,94%

Serat 1,56%

Lemak 0,17%

Karbohidrat 50,59%

Kalori 45,65 kj

Zat Besi 1,9 mg

Kalsium 8,9 mg

Vitamin B1 0,75 mg

Vitamin B2 0,75 mg

Vitamin C 12,4 mg

Fosfor 17 mg

Sumber: Chazali dan Pratiwi (2010)

6

Isnawan, H. 2003. Teknologi Bioproses Pembibitan dan Produksi Jamur Tiram untuk Peningkatan Nilai Tambah Pertanian. www.iptek.net.id. [20 Mei 2009].


(14)

Jamur tiram memiliki kandungan gizi dan nutrisi lebih tinggi dibandingkan dengan jenis jamur kayu lainnya. Berikut perbandingan kandungan nutrisi pada jamur tiram dengan jamur lain dan bahan makanan lain dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Perbandingan Kandungan Gizi Jamur dengan Bahan Makanan Lainnya

Bahan Makanan Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%)

Jamur tiram 27 1,6 58

Jamur merang 1,8 0,3 4

Jamur kuping 8,4 0,5 82,8

Daging sapi 21 5,5 0,5

Bayam - 2,2 1,7

Kentang 2 - 20,9

Kubis 1,5 0,1 4,2

Seledri - 1,3 0,2

Buncis - 2,4 0,2

Sumber: Martawijaya dan Nurjayadi (2010)

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa kandungan lemak pada jamur konsumsi lebih rendah daripada lemak daging sehingga jamur lebih sehat untuk dikonsumsi. Kandungan protein pada jamur tiram ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi dan bahan makanan lain yang juga berasal dari tanaman. Dilihat dari segi harga, harga jamur konsumsi jauh lebih murah bila dibandingkan dengan daging. Hal tersebut menunjukkan bahwa jamur dapat dijadikan sebagai alternatif pangan yang mampu memenuhi kebutuhan gizi dan protein untuk berbagai kalangan masyarakat.

Jamur tiram rendah kolesterol dan kandungan lemaknya merupakan lemak tidak jenuh sehingga dapat mencegah penyakit darah tinggi dan aman bagi mereka yang rentan terhadap serangan jantung (Parjimo dan Andoko 2007). Dari hasil penelitian kedokteran secara klinis, diketahui bahwa kandungan senyawa kimia khas jamur tiram berkhasiat mengobati berbagai penyakit manusia seperti tekanan darah tinggi, diabetes, kelebihan kolesterol, anemia, meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan polio, dan influenza, serta kekurangan gizi7.

7

Dinas Pertanian Jawa Timur. 2007. Budidaya Jamur Tiram. www.diperta-jatim.go.id. [9 Mei 2009].


(15)

2.2. Tahapan Budidaya Jamur Tiram Putih

Beberapa tahapan dalam budidaya jamur tiram putih menurut Ganjar8, yaitu:

1) Persiapan Bahan

Bahan yang harus dipersiapkan diantaranya serbuk gergaji, dedak atau bekatul, dan kapur. Bisa juga diberi tambahan gips, tepung jagung, dan glukosa. Berikut perbandingan bahan baku pembuatan bag log jamur tiram putih.

Tabel 7. Komposisi Media untuk Pembuatan 80 Buah Bag Log Ukuran Sedang

Bahan Media Takaran

Serbuk kayu 100 kg

Tepung jagung 10 kg

Dedak atau bekatul 10 kg

Kompos 0,5 kg

Kapur (CaCO3) 0,5 kg

Air 50-60%

Sumber: Chazali dan Pratiwi (2010)

2) Pengayakan

Serbuk kayu yang diperoleh dari penggergajian mempunyai tingkat keseragaman yang kurang baik, hal ini dapat menyebabkan tingkat pertumbuhan miselia kurang merata dan kurang baik. Untuk itu, serbuk gergaji perlu diayak.

3) Pencampuran

Bahan-bahan yang telah ditimbang sesuai dengan kebutuhan dicampur dengan serbuk gergaji selanjutnya disiram dengan air sekitar 50-60 persen atau bila kita kepal serbuk tersebut menggumpal tapi tidak keluar air. Hal ini menandakan kadar air sudah cukup.

4) Pengomposan

Pengomposan adalah proses pelapukan bahan baku media yang akan digunakan agar nutrisi yang terkandung dalam media dapat diserap dengan mudah oleh jamur. Pengomposan dilakukan dengan cara menimbun

8


(16)

campuran serbuk gergaji kemudian menutupinya dengan plastik selama semalam.

5) Sterilisasi

Sterilisasi dilakukan dengan mempergunakan alat sterilisasi seperti drum atau steamer yang bertujuan untuk menonaktifkan mikroba, bakteri, kapang, maupun khamir yang dapat mengganggu pertumbuhan jamur yang ditanam. Sterilisasi dilakukan pada suhu 90-1000C selama 12 jam.

6) Pembungkusan (pembuatan bag log)

Pembungkusan media menggunakan plastik polypropilen (PP) dengan ukuran yang dibutuhkan. Cara membungkus yaitu dengan memasukkan media ke dalam plastik kemudian dipukul/ditumbuk sampai padat dengan botol atau tangan. Cara yang modern adalah dengan menggunakan filler

(alat pemadat).

7) Inokulasi (pemberian bibit)

Inokulasi adalah kegiatan memasukan bibit jamur ke dalam media jamur yang telah disterilisasi. Bag log ditiriskan selama satu malam setelah sterilisasi, kemudian diberi bibit di atasnya dengan menggunakan sendok spatula sekitar tiga sendok kemudian diikat dengan karet dan ditutup dengan kapas. Bibit yang baik yaitu:

i) Varitas unggul

ii) Umur bibit optimal 30-45 hari iii) Miselium bibit tumbuh merata iv) Tidak terkontaminasi

8) Inkubasi (masa pertumbuhan miselium)

Inkubasi dilakukan dengan cara menyimpan di ruang inkubasi dengan kondisi tertentu. Inkubasi dilakukan hingga seluruh media berwarna putih merata, biasanya media akan tampak putih merata antara 40-60 hari.

9) Panen

Panen dilakukan setelah pertumbuhan jamur mencapai tingkat yang optimal, yaitu sekitar lima hingga tujuh hari setelah tumbuh calon jamur (pin head). Pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi hari untuk mempertahankan kesegarannya dan mempermudah pemasaran.


(17)

2.3. Bisnis Jamur Tiram Putih

Usaha pembudidayaan jamur tiram putih merupakan usaha yang memiliki potensi untuk berkembang karena permintaan pasar yang terus meningkat. Berapa pun jamur tiram yang diproduksi oleh petani akan habis terserap oleh pasar. Kenaikan permintaan jamur tiram sekitar 20-25 persen per tahun. Di Indonesia, produksi jamur tiram putih pengembangannya mulai dirintis sejak tahun 1997. Sentra budidaya jamur tiram putih di Jawa Barat berada di Kabupaten Bandung (Cisarua, Lembang, Ciwidey, Pangalengan), Bogor, Sukabumi, Garut, Cianjur dan Tasikmalaya. Di luar Jawa Barat, terdapat di Sleman, Yogyakarta, dan Solo9.

Jamur tiram putih ditinjau dari aspek biologinya relatif lebih mudah dibudidayakan daripada jenis jamur lainnya. Pembudidayaan jamur tiram putih tidak memerlukan lahan yang luas. Masa produksi jamur tiram putih pun relatif lebih cepat sehingga periode dan waktu panen lebih singkat dan kontinyu. Budidaya jamur tiram putih dapat dikelola sebagai usaha sampingan ataupun usaha ekonomis skala kecil, menengah, dan besar (industri).

Sebagian besar pembudidayaan jamur tiram putih dilakukan sebagai usaha rumahan/sampingan. Usaha ini diorientasikan sebagai usaha kecil, namun menurut banyak pakar ekonomi, usaha tersebut dipandang sebagai tulang punggung dalam salah satu pemulihan ekonomi Indonesia. Afuuza10 menyebutkan bahwa pengembangan usaha budidaya jamur tiram dibagi dalam tiga tahap skala usaha, yaitu:

1) Tahap Industri Kecil Awal

Tahap industri kecil awal ini merupakan jembatan menuju berdirinya industri kecil yang kokoh. Pada tahap industri kecil awal, jumlah bag log

yang digunakan minimal 5.000 buah hingga 25.000 buah. Beberapa hal yang perlu diketahui saat memulai usaha ini:

i) Menerapkan standar produksi yang tepat untuk mengoptimalkan hasil budidaya jamur

ii) Penyempurnaan sistem produksi, keuangan dan distribusi

9

Dadang W., Selamet R. op.cit.

10


(18)

iii) Penambahan tenaga kerja iv) Pencarian investor

2) Tahap Industri Kecil Lanjut

Tahap ini merupakan pengembangan dari tahap industri kecil awal. Setelah kebutuhan dana mencukupi, dan seluruh kekurangan telah dapat diatasi, maka dimulailah industri kecil lanjut yang ditargetkan untuk memiliki perijinan dan pembentukan badan usaha. Industri ini diharapkan mampu menyerap banyak tenaga kerja, mulai dari pekerja kasar di bagian produksi hingga profesional di bidang pemasaran, research and development, dan administrasi. Tahap industri kecil lanjut ini merupakan jembatan menuju berdirinya industri menengah nasional yang produksinya diperkirakan mencapai sekitar 100.000 bag log produksi per musim. Tahap industri kecil lanjut itu sendiri diharapkan mampu memproduksi hingga sembilan ton jamur per bulan.

3) Tahap Industri Menengah Nasional (industri skala besar)

Secara umum, tahap industri menengah adalah perluasan dari industri kecil, mulai dari sistem produksi, kapasitas produksi hingga ekspansi distribusinya. Tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan ekspor. Tahap ini diharapkan mampu menyerap sedikitnya 50 orang tenaga kerja. Pada tahap industri menengah nasional ini jumlah bag log jamur tiram yang digunakan lebih dari 100.000 buah.

2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Pengkajian tehadap penelitian terdahulu penting dilakukan untuk mendalami pemahaman terhadap metode analisis yang akan digunakan dan komoditi yang akan diteliti. Penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah penelitian yang terkait dengan usaha jamur tiram. Berikut merupakan hasil dari pengkajian beberapa penelitian terdahulu tentang komoditi jamur tiram putih.

Nugraha (2006), melakukan penelitian tentang Analisis Efisiensi Saluran Pemasaran Jamur Tiram Segar di Bogor, Propinsi Jawa Barat. Saluran pemasaran jamur tiram putih di Bogor melibatkan enam lembaga pemasaran, yaitu produsen,


(19)

pengumpul, pedagang besar, pedagang menengah, pedagang pengecer dan

supplier. Terdapat delapan saluran pemasaran jamur tiram putih di Bogor. Saluran pemasaran terpendek adalah antara produsen dan konsumen merupakan saluran dengan tingkat efisiensi tertinggi dengan farmer’s share mencapai 100 persen dan nilai marjin pemasarannya sebesar 63,73 persen dari harga beli konsumen. Saluran terpanjang terdiri dari produsen – pengumpul - pedagang besar - pedagang menengah - pedagang pengecer – konsumen, merupakan saluran pemasaran dengan tingkat efisiensi terendah dengan nilai farmer’s share sebesar 52,38 persen dan nilai marjin pemasarannya sebesar 65,87 persen dari harga beli konsumen.

Ruillah (2006), melakukan penelitian tentang Analisis Usahatani Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung. Ruillah membagi petani sampel ke dalam tiga skala usaha, yaitu Skala I adalah petani yang memiliki luas kumbung kurang dari 76,5 m2. Skala II adalah petani dengan luas kumbung antara 76,5-135,5 m2. Skala III adalah petani dengan luas kumbung lebih dari 135,5 m2. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pendapatan atas biaya tunai petani skala I paling besar dibanding skala II dan skala III, maka usahatani yang paling menguntungkan adalah usahatani skala I. Namun, usahatani skala III ternyata memiliki nilai R/C rasio paling besar yaitu sebesar 3,75 maka usahatani jamur tiram putih skala III adalah yang paling efisien. Faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi jamur tiram putih adalah tenaga kerja, bibit, serbuk kayu, kapur, bekatul dan gips. Usahatani jamur tiram putih di Desa Kertawangi berada pada kondisi increasing return to scale atau berada pada tahap kenaikan hasil yang meningkat.

Sari (2008), melakukan penelitian tentang Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Usahatani Jamur Tiram Putih (Studi Kasus Kelompok Tani Kaliwung Kalimuncar Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor). Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jamur tiram putih pada skala usaha rata-rata 2.000 log pada kelompok tani Kaliwung Kalimuncar. Diketahui bahwa faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi jamur tiram putih adalah serbuk kayu, bekatul, kapur, plastik dan cincin paralon. Nilai R/C rasio atas biaya tunai sebesar 1,70 dan nilai R/C


(20)

rasio atas biaya total sebesar 1,06. Saluran pemasaran di lokasi penelitian melibatkan petani-bandar/tengkulak-pasar-konsumen.

Noviana (2011), melakukan penelitian tentang Analisis Tataniaga Jamur Tiram Putih (Kasus Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). Pola pemasaran jamur tiram putih terdiri dari dua buah saluran tataniaga. Saluran tataniaga I terdiri dari Petani – Pedagang Pengumpul Desa – Pedagang Besar/Grosir – Pedagang Pengecer – Konsumen Akhir. Saluran tataniaga II hanya terdiri dari Petani – Konsumen Akhir. Volume penjualan jamur tiram putih sebanyak 430 kg per harinya. Pasar tujuan akhir pemasaran adalah Pasar Induk Tangerang. Sistem pembayaran yang dilakukan oleh kedua saluran tataniaga ini di masing-masing pelaku tataniaga dilakukan dengan sistem tunai. Penentuan harga beli di tingkat petani oleh pedagang pengumpul desa ditentukan oleh pedagang besar. Penentuan harga antara pedagang besar dengan pedagang pengumpul desa sesuai dengan mekanisme pasar yang terjadi atau berdasarkan pada harga yang berlaku di pasar. Penentuan harga antara pedagang besar dengan pedagang pengecer mengikuti mekanisme harga pasar yang berlaku saat itu. Untuk penentuan harga di saluran II, yaitu antara petani langsung dengan konsumen akhir, dilakukan dengan cara tawar-menawar hingga tercapai kesepakatan harga antara kedua belah pihak.

Menurut Noviana, struktur pasar yang terjadi antara petani jamur tiram putih dan pedagang pengumpul desa cenderung mengarah pada pasar monopsoni karena jumlah petani lebih banyak daripada jumlah pedagang pengumpul desa dan harga ditentukan oleh pedagang pengumpul desa. Struktur pasar yang terjadi antara pedagang pengumpul desa dengan pedagang besar cenderung bersifat pasar monopsoni. Namun menurut penulis, struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul desa dan pedagang besar dari sisi pembeli adalah struktur pasar oligopsoni murni, karena pedagang pengumpul desa dan pedagang besar masing-masing berjumlah lebih dari satu lembaga, walaupun tidak banyak. Struktur pasar yang terjadi antara pedagang besar dengan pedagang pengecer cenderung mengarah pada pasar persaingan murni. Struktur pasar yang terjadi antara pedagang pengecer dengan konsumen akhir cenderung pada pasar persaingan murni. Rasio keuntungan tertinggi diraih oleh pedagang pengecer.


(21)

Saluran tataniaga yang lebih menguntungkan petani adalah saluran tataniaga II, yaitu petani langsung memasarkan produknya ke konsumen akhir.

Risiko produksi yang teridentifikasi pada usaha jamur tiram putih adalah akibat serangan hama sebesar 20,90 persen, akibat perubahan cuaca sebesar 17,90 persen, akibat teknologi sterilisasi sebesar 9,30 persen, akibat kurangnya keterampilan tenaga kerja sebesar 4,60 persen dan akibat teknologi inkubasi yang kurang tepat sebesar 7,10 persen. Serangan hama adalah faktor kegagalan terbesar pada usaha jamur tiram putih. Penelitian tentang risiko produksi tersebut dilakukan oleh Sumpena (2011) melalui penelitian berjudul Analisis Risiko Produksi Jamur Tiram Putih di CV Mushroom Production House Kota Bogor, Jawa Barat.

Dari hasil peninjauan terhadap penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa secara umum (melalui perhitungan kuantitatif), pengusahaan jamur tiram di daerah Bogor, Cianjur dan Bandung sama-sama memberikan keuntungan terhadap petani pengusahanya. Peninjauan penelitian sebelumnya juga memberikan masukan dan informasi mengenai metode penelitian yang penulis gunakan. Pada dua penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang saluran tataniaga jamur tiram putih, yaitu penelitian Nugraha (2006) dan Noviana (2011) dapat terlihat bahwa saluran tataniaga komoditas jamur tiram putih rata-rata melibatkan lebih dari dua lembaga tataniaga, artinya saluran tataniaga jamur tiram putih cukup panjang hingga akhirnya sampai ke tangan konsumen akhir.


(22)

Tabel 8. Hasil Penelitian Terdahulu

No. Nama Tahun Judul Alat Analisis Hasil

1. Nugraha 2006

Analisis Efisiensi Saluran Pemasaran Jamur Tiram Segar di Bogor, Propinsi Jawa Barat Analisis lembaga pemasaran, saluran pemasaran, struktur dan perilaku pasar, marjin pemasaran, farmer’s share, R/C rasio. Saluran pemasaran antara petani dan konsumen memiliki nilai efisiensi tertinggi

2. Ruillah 2006

Analisis Usahatani Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Analisis pendapatan, analisis fungsi produksi (Cobb-Douglas), R/C rasio. Petani jamur tiram dengan skala usaha besar (> 135,5 m2) adalah yang paling efisien bila dilihat dari Nilai R/C rasio

3. Sari 2008

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Usahatani Jamur Tiram Putih (Studi Kasus Kelompok Tani Kaliwung Kalimuncar Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor) Analisis fungsi produksi (Cobb-Douglas) dan R/C rasio. Faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi jamur tiram putih adalah serbuk kayu, bekatul, kapur, plastik dan cincin paralon

4. Noviana 2011

Analisis Tataniaga Jamur Tiram Putih (Kasus Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat) Analisis saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar, marjin tataniaga, farmer’s share, serta R/C rasio

Saluran pemasaran antara petani dan konsumen memiliki nilai efisiensi tertinggi

5. Sumpena 2011

Analisis Risiko Produksi Jamur Tiram Putih di CV

Mushroom Production House

Bogor, Jawa Barat

Analisis metode nilai standar ( Z-score) dan Value at Risk (VaR).

Risiko produksi tertinggi pada usahatani jamur tiram putih disebabkan oleh serangan hama.


(23)

III.

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis merupakan rangkaian teori-teori yang digunakan dalam penelitian untuk menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang digunakan adalah teori mengenai sistem tataniaga dan pendekatan-pendekatan analisis tataniaga seperti pendekatan komoditi, pendekatan lembaga dan saluran tataniaga, pendekatan fungsi tataniaga, pendekatan sistem dan struktur pasar, perilaku pasar, efisiensi tataniaga, marjin tataniaga, rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga, dan farmer’s share.

3.1.1. Konsep Tataniaga Pertanian

Istilah tataniaga saat ini lebih dikenal dengan istilah pemasaran atau

marketing. Definisi dari tataniaga pertanian adalah proses aliran pemasaran suatu komoditi pertanian dari tangan produsen ke pihak konsumen yang disertai dengan perpindahan hak milik dan penciptaan guna waktu, guna tempat, dan guna bentuk yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dengan melakukan satu atau lebih fungsi-fungsi tataniaga, oleh karena itu tataniaga merupakan suatu kegiatan yang produktif (Hanafiah dan Saefuddin 1983; Limbong dan Sitorus 1987; Sudiyono 2002).

Hanafiah dan Saefuddin (1983) menyebutkan bahwa untuk mencapai tujuan dari tataniaga, yaitu menyampaikan suatu produk dari produsen hingga ke tangan konsumen akhir, perlu dilaksanakan kegiatan-kegiatan tataniaga yang dibangun berdasarkan arus barang yang meliputi proses pengumpulan (konsentrasi), proses pengembangan (equalisasi) dan proses penyebaran (dispersi). Proses konsentrasi merupakan tahap awal dari pergerakan arus tataniaga suatu barang. Barang-barang yang dihasilkan dalam jumlah kecil dikumpulkan menjadi jumlah yang lebih besar agar dapat disalurkan ke pasar-pasar eceran secara lebih efisien. Kemudian dilanjutkan dengan proses equalisasi, yaitu berupa tindakan penyesuaian permintaan dan penawaran berdasarkan tempat, waktu, jumlah, dan kualitas. Tahap terakhir adalah proses dispersi dimana


(24)

barang-barang yang telah terkumpul disebarkan ke arah konsumen atau pihak yang menggunakannya.

Tataniaga hasil pertanian memiliki perbedaan dengan tataniaga produk non pertanian. Perbedaan yang paling mendasar terletak pada ciri dan sifat khusus yang dimiliki oleh produk pertanian. Soekartawi (1989) menyebutkan ciri produk pertanian yang membedakan dengan produk non pertanian, yaitu:

1) Produk pertanian adalah musiman. Artinya, produk pertanian tidak mungkin tersedia setiap saat bila tanpa diikuti dengan manajemen stok yang baik. 2) Produk pertanian bersifat segar dan mudah rusak. Artinya, produk pertanian

diperoleh dalam keadaan segar sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama. Jika diinginkan penyimpanan dalam waktu yang relatif lama, maka diperlukan perlakuan tambahan.

3) Produk pertanian bersifat bulky. Artinya, volumenya besar tetapi nilainya relatif kecil, akibatnya dalam proses pengelolaannya diperlukan tempat yang luas.

4) Produk pertanian lebih mudah terserang hama dan penyakit. 5) Produk pertanian tidak selalu mudah didistribusikan ke tempat lain.

6) Produk pertanian bersifat lokal atau kondisional. Artinya, tidak semua produk pertanian dapat dihasilkan dari satu lokasi, melainkan dari berbagai tempat.

7) Produk pertanian mempunyai kegunaan yang beragam dari satu bahan baku yang sama.

8) Produk pertanian kadang memerlukan keterampilan khusus yang tenaga ahlinya sulit disediakan.

9) Produk pertanian dapat digunakan sebagai bahan baku produk lain, disamping juga dapat dikonsumsi langsung.

10) Produk pertanian tertentu dapat berfungsi sebagai “produk sosial”, seperti beras di Indonesia.

Untuk menganalisis sistem tataniaga suatu komoditas pertanian dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan sudut pandang yang dikenal dengan pendekatan Structure-Conduct-Performance (S-C-P). Terdapat lima pendekatan pada pendekatan S-C-P yang sering dilakukan, yaitu pendekatan barang/komoditi


(25)

(commodity approach), pendekatan fungsi (functional approach), pendekatan lembaga (institusional approach), pendekatan sistem (system approach), dan pendekatan permintaan-penawaran/pendekatan teori ilmu ekonomi (economics theoritical approach) (Limbong dan Sitorus 1987; Sudiyono 2002; Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009).

3.1.2. Pendekatan Komoditi Tataniaga

Sudiyono (2002) mengemukakan bahwa pendekatan komoditi (commodity approach) dilakukan dengan cara menetapkan komoditi apa yang akan diteliti dan kemudian mengikuti aliran komoditi tersebut dari produsen sampai ke tangan konsumen akhir serta menekankan dengan penggambaran mengenai apa yang dilakukan terhadap komoditi pertanian dan bagaimana suatu komoditi pertanian dipasarkan secara efisien. Dengan pendekatan ini, secara deskriptif mampu menggambarkan apa yang terjadi pada proses pemasaran suatu komoditi pertanian yang mengalir dari produsen sampai ke tangan konsumen akhir. Masalah-masalah pemasaran komoditi pertanian seperti kerusakan karena lama proses pemasaran, kesalahan penanganan, kontrol kualitas yang rendah, penanganan pascapanen berlebihan yang semestinya tidak penting dilakukan, dapat diteliti secara seksama dengan mengikuti saluran-saluran pemasaran komoditi pertanian ini.

3.1.3. Pendekatan Lembaga Tataniaga

Aliran barang dalam suatu sistem tataniaga dapat terjadi karena peranan perantara (middlemen) yang disebut lembaga tataniaga. Dalam tataniaga komoditi pertanian terdapat pelaku-pelaku ekonomi yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dengan cara melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga.

Lembaga tataniaga adalah organisasi atau kelompok bisnis yang turut serta atau terkait dalam pelaksanaan kegiatan penyampaian barang dari produsen sampai ke titik konsumen atau melakukan fungsi tataniaga (Hanafiah dan Saefuddin 1983; Limbong dan Sitorus 1987; Sudiyono 2002). Lembaga tataniaga berperan dalam melakukan proses pengambilan keputusan dalam proses tataniaga suatu komoditi. Pendekatan ini mempertimbangkan sifat dan karakter dari


(26)

pedagang perantara, hubungan agen dan susunan/perlengkapan organisasi (Asmarantaka 2009).

Lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pemasaran digolongkan menjadi lima kelompok, yaitu:

1) Merchant middlemen adalah perantara atau pihak-pihak yang mempunyai hak (menguasai dan memiliki) atas suatu produk yang mereka tangani. Mereka menjual dan membeli produk tersebut untuk memperoleh keuntungan. Yang termasuk kedalam kelompok ini adalah pedagang eceran (retailers) dan pedagang grosir (wholesalers).

2) Agent middlemen adalah perwakilan dari suatu lembaga atau institusi. Mereka hanya sebagai perwakilan dan tidak mengambil alih apapun dan tidak memiliki hak atas produk yang mereka tangani. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah komisioner dan broker.

3) Speculative middlemen atau spekulator adalah pihak-pihak atau perantara yang mengambil keuntungan dari suatu produk akibat perubahan harga. 4) Processors and manufactures adalah lembaga yang bertugas untuk

mengubah produk yang dihasilkan menjadi barang setengah jadi dan barang jadi.

5) Facilitative organization adalah lembaga yang berfungsi sebagai penyedia sarana bagi lembaga lain yang membantu memperlancar aktivitas tataniaga (Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009).

3.1.4. Pendekatan Fungsi Tataniaga

Menurut Hanafiah dan Saefuddin (1983), fungsi tataniaga adalah serangkaian kegiatan yang tertuju untuk memindahkan barang atau jasa dari sektor produksi ke sektor konsumsi. Fungsi tataniaga bekerja melalui lembaga tataniaga atau dengan kata lain, fungsi tataniaga ini harus ditampung dan dipecahkan oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses tataniaga.

Pada prinsipnya terdapat tiga tipe fungsi tataniaga, yaitu fungsi pertukaran (exchange function), fungsi fisik (physical function), dan fungsi penyediaan fasilitas (facilitating function).


(27)

1) Fungsi pertukaran (exchange function) dalam tataniaga produk pertanian meliputi kegiatan yang menyangkut pengalihan hal pemilikan dalam sistem pemasaran. Fungsi pertukaran ini terdiri dari fungsi penjualan dan pembelian. Dalam melaksanakan fungsi penjualan, maka produsen atau lembaga pemasaran yang berada pada rantai pemasaran sebelumnya harus memperhatikan kualitas, kuantitas, bentuk, dan waktu, serta harga yang diinginkan konsumen atau lembaga pemasaran yang berada pada rantai pemasaran berikutnya. Sedangkan, fungsi pembelian diperlukan untuk memiliki komoditi-komoditi pertanian yang akan dikonsumsi ataupun digunakan dalam proses produksi berikutnya.

2) Fungsi fisik (physical function) meliputi kegiatan-kegiatan yang secara langsung diperlakukan terhadap komoditi pertanian, sehingga komoditi-komoditi pertanian tersebut mengalami tambahan guna tempat dan guna waktu. Fungsi fisik meliputi pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan. Fungsi pengangkutan meliputi perencanaan, pemilihan, dan pergerakan alat-alat transportasi dalam pemasaran produk pertanian. Fungsi penyimpanan diperlukan karena produksi komoditi pertanian bersifat musiman, sedangkan pola konsumsi bersifat relatif tetap dari waktu ke waktu. Penyimpanan ini bertujuan untuk mengurangi fluktuasi harga yang berlebihan dan menghindari serangan hama dan penyakit selama proses pemasaran berlangsung.

3) Fungsi penyediaan fasilitas (facilitating function) adalah fungsi untuk memperlancar fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi penyediaan fasilitas merupakan usaha-usaha perbaikan sistem pemasaran untuk meningkatkan efisiensi operasional dan efisiensi penetapan harga. Fungsi penyediaan fasilitas ini meliputi standardisasi, pengurangan risiko, informasi harga, dan penyediaan dana. Standardisasi yaitu menetapkan grade/tingkatan kriteria kualitas suatu komoditi. Penetapan kualitas komoditi pertanian berdasarkan tingkatan tertentu berdasarkan salah satu atau beberapa sifat produk pertanian (misalnya ukuran, bentuk, warna, rasa, dan masakan) disebut grading. Selama pergerakan komoditi dari produsen ke konsumen akhir, komoditi mungkin menghadapi kerusakan, kehilangan, dan risiko lain. Untuk mengurangi risiko


(28)

ini, lembaga tataniaga berhubungan dengan lembaga asuransi yang menanggungnya. Risiko ini pada prinsipnya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu risiko fisik, seperti penyusutan berat dan volume komoditi pertanian, kehilangan dan kebakaran, dan risiko ekonomi, seperti fluktuasi harga dan kebijakan moneter. Fungsi lembaga penyediaan dana adalah untuk memperlancar fungsi pertukaran, terutama untuk proses pembelian. Lembaga penyedia dana bisa berupa bank atau lembaga perkreditan. Informasi pasar sangat penting mempertemukan potensial penawaran dan permintaan. Informasi pasar ini tidak hanya mencantumkan harga komoditi per satuan, tetapi juga menginformasikan persediaan dan kualitas komoditi di tingkat pasar pada tempat dan waktu tertentu.

3.1.5. Pendekatan Sistem dan Struktur Pasar

Limbong dan Sitorus (1987) mengemukakan bahwa sistem adalah suatu kumpulan komponen yang bersama-sama dalam suatu kegiatan yang terorganisir. Pendekatan ini menekankan kepada keseluruhan sistem, efisiensi, dan proses yang kontinyu membentuk suatu sistem. Struktur pasar adalah tipe atau jenis pasar yang didefinisikan sebagai hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategi mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar (Asmarantaka 2009). Secara umum, seperti yang dikemukakan oleh Limbong dan Sitorus (1987), berdasarkan strukturnya pasar dapat digolongkan menjadi dua yaitu pasar bersaing sempurna dan pasar tidak bersaing sempurna.

Dalam Sudiyono (2002), disebutkan bahwa ada empat karakteristik pasar yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan struktur pasar, yaitu:

1) Jumlah dan besar penjual dan pembeli 2) Keadaan produk yang diperjualbelikan 3) Kemudahan masuk dan keluar pasar

4) Pengetahuan konsumen terhadap harga dan struktur biaya produksi

Pada umumnya karakteristik jumlah penjual dan keadaan komoditi yang diperjualbelikan merupakan karakteristik utama dalam menentukan struktur pasar. Hammond dan Dahl (1977) dalam Asmarantaka (2009), mengemukakan


(29)

lima jenis struktur pasar pangan dan serat dengan berbagai karakteristiknya yang tercantum pada Tabel 9.

Tabel 9. Struktur Pasar dalam Sistem Pangan dan Serat

No.

Karakteristik Struktur Pasar

Jumlah

Perusahaan Sifat Produk Sisi Penjual Sisi Pembeli 1. Banyak Standardisasi Persaingan

Sempurna

Persaingan Sempurna 2. Banyak Diferensiasi Monopolistic

Competition

Monopsonistic Competition

3. Sedikit Standardisasi Oligopoli Murni Oligopsoni Murni 4. Sedikit Diferensiasi Oligopoli

Diferensiasi

Oligopsoni Diferensiasi

5. Satu Unik Monopoli Monopsoni

Sumber: Hammond dan Dahl (1977) dalam Asmarantaka (2009).

3.1.6. Pendekatan Teori Ekonomi

Pendekatan tataniaga melalui teori ekonomi ditekankan kepada masalah-masalah permintaan dan penawaran, harga, keseimbangan pasar, kompetisi/persaingan, dan lain sebagainya antara petani dan konsumen pada komoditi yang diteliti (Limbong dan Sitorus 1987).

3.1.7. Efisiensi Tataniaga

Pemasaran/tataniaga sebagai kegiatan produktif mampu meningkatkan guna tempat, guna bentuk, dan guna waktu. Dalam menciptakan guna tempat, guna bentuk, dan guna waktu diperlukan biaya tataniaga. Biaya tataniaga diperlukan untuk melakukan fungsi-fungsi tataniaga oleh lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses tataniaga dari prodesen hingga sampai ke konsumen akhir. Pengukuran kinerja tataniaga ini memerlukan ukuran efisiensi tataniaga (Sudiyono 2002). Menurut Limbong dan Sitorus (1987), efisiensi sistem tataniaga merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu sistem tataniaga. Efisiensi tataniaga dapat tercapai jika sistem tersebut dapat memberikan kepuasan pihak-pihak yang terlibat, yaitu produsen, lembaga-lembaga perantara, dan


(30)

konsumen akhir. Sistem tataniaga yang efisien akan tercipta bila seluruh lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan memperoleh kepuasan dengan aktivitas tataniaga tersebut.

Sudiyono (2002) menyebutkan bahwa konsep efisiensi didekati dengan rasio output-input. Suatu proses tataniaga dikatakan efisien apabila:

1) Output tetap konstan dicapai dengan input yang lebih sedikit. 2) Output meningkat sedangkan input yang digunakan tetap konstan.

3) Output dan input sama-sama mengalami kenaikan, tetapi laju kenaikan

output lebih cepat daripada laju input.

4) Output dan input sama-sama mengalami penurunan, tetapi laju penurunan

output lebih lambat daripada laju penurunan input.

Output pemasaran ini berupa kepuasan konsumen akibat penambahan utilitas terhadap output-output pertanian yang dikonsumsi konsumen tersebut. Tambahan utilitas terhadap output-output pertanian ditimbulkan karena adanya fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi penyediaan sarana pemasaran. Pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran ini membutuhkan biaya pemasaran. Indikator yang biasanya digunakan untuk menentukan efisiensi pemasaran adalah: marjin pemasaran, harga ditingkat konsumen, tersedianya fasilitas fisik pemasaran, dan intensitas persaingan pasar. Soekartawi (1989) mengemukakan bahwa efisiensi pemasaran akan terjadi jika:

1) Biaya pemasaran bisa ditekan sehingga ada keuntungan. 2) Pemasaran dapat lebih ditingkatkan.

3) Persentase pembedaan harga yang dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi.

4) Tersedianya fasilitas fisik pemasaran.

Menurut Kohl dan Uls (2002), efisiensi tataniaga pada produk pangan dan serat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu efisiensi operasional atau teknis dan efisiensi harga. Efisiensi operasional berhubungan dengan penanganan aktivitas-aktivitas yang dapat meningkatkan rasio dari output-input pemasaran. Efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar pemasaran yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan, pengolahan, distribusi, dan aktivitas fisik dan fasilitas. Alat analisis yang sering


(31)

digunakan dalam menganalisis tingkat efisiensi operasional adalah analisis Marjin Tataniaga, analisis Farmer’s share, dan analisis rasio keuntungan atas biaya. Efisiensi harga menunjukkan pada kemampuan harga dan tanda-tanda harga untuk penjual serta memberikan tanda kepada konsumen sebagai panduan dari penggunaan sumber daya produksi dari sisi produksi dan tataniaga. Efisiensi harga dapat tercapai apabila masing-masing pihak yang terlibat merasa puas atau responsif terhadap harga yang berlaku dan terjadi keterpaduan atau integrasi antara pasar acuan dengan pasar di tingkat petani.

3.1.7.1. Rasio Keuntungan Atas Biaya Tataniaga

Efisiensi operasional menurut Asmarantaka (2009) lebih tepat

menggunakan rasio antara keuntungan (п) atas biaya (C) karena pembanding opportunity cost dari biaya adalah keuntungan sehingga indikatornya adalah п/C dan harus bernilai positif (> 0). Jika penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya merata pada setiap lembaga tataniaga, maka secara teknis saluran tataniaga tersebut semakin efisien. Rasio keuntungan terhadap biaya dapat dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:

пi : Keuntungan lembaga tataniaga ke-i

Ci : Biaya tataniaga pada lembaga tataniaga ke-i

3.1.7.2. Marjin Tataniaga

Marjin tataniaga dapat ditinjau melalui dua pendekatan yaitu pendekatan statis atau sudut pandang harga dan pendekatan dinamis atau sudut pandang biaya. Dari pendekatan statis, marjin tataniaga merupakan selisih antara harga yang dibayar konsumen akhir dengan harga yang diterima petani (produsen). Sedangkan dari pendekatan dinamis, margin tataniaga merupakan biaya dari balas jasa yang dibutuhkan sebagai akibat permintaan dan penawaran dari jasa-jasa tataniaga. Komponen marjin tataniaga terdiri dari:

Rasio Keuntungan Biaya = пi Ci


(32)

1) Biaya-biaya yang diperlukan lembaga-lembaga tataniaga untuk melakukan fungsi-fungsi tataniaga, yang disebut sebagai biaya tataniaga atau biaya fungsional (functional cost).

2) Keuntungan/profit lembaga tataniaga.

Harga yang dibayar konsumen akhir merupakan harga di tingkat pedagang pengecer. Bila digambarkan dalam suatu kurva, maka keseimbangan harga ditingkat pengecer merupakan perpotongan antara kurva penawaran turunan (derived supply curve), dengan kurva permintaan primer (primary demand curve). Sedangkan keseimbangan harga di tingkat petani berada di perpotongan antara kurva penawaran primer (primary supply curve) dengan kurva permintaan turunan (derived demand curve). Dengan demikian marjin tataniaga dapat disusun oleh kurva penawaran permintaan yang digambarkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Konsep Marjin Tataniaga Sumber : Sudiyono, 2002

Keterangan:

Sd = derived supply (kurva penawaran turunan = penawaran produk di tingkat pedagang)

Sp = primary supply (kurva penawaran primer = penawaran produk ditingkat petani)

Dd = derived demand (kurva permintaan turunan = permintaan pedagang atau pabrik)

Marjin Tataniaga (Pr – Pf)


(33)

Dp = primary demand (kurva permintaan primer = permintaan konsumen akhir) Pr = harga ditingkat pedagang pengecer

Pf = harga ditingkat petani

MM = marketing margin (marjin tataniaga = Pr – Pf)

Q* = kuantitas (jumlah ) produk yang ditransaksikan, yaitu sama ditingkat petani dan ditingkat pengecer.

Gambar 2 menggambarkan kurva permintaan primer (Dp) yang berpotongan dengan kurva penawaran turunan (Sd) membentuk harga di tingkat pedagang pengecer (Pr). Sedangkan kurva permintaan turunan (Dd) berpotongan dengan kurva penawaran primer (Sp) membentuk harga di tingkat petani (Pf). Menurut pengertian statis, yaitu dari sudut pandang harga, perpotongan-perpotongan tersebut membentuk marjin tataniaga atau sama dengan selisih harga di tingkat pedagang pengecer dengan harga di tingkat petani atau MT = Pr – Pf dengan asumsi bahwa jumlah produk yang ditransaksikan di tingkat petani sama dengan jumlah produk yang ditransaksikan di tingkat pedagang pengecer, yaitu sebesar Q* (Sudiyono 2002). Menurut pendekatan dinamis, yaitu dari sudut pandang biaya, marjin tataniaga merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa pemasaran sebagai akibat adanya aktivitas produktif atau konsep nilai tambah (value added), maka marjin total atau MT = biaya-biaya tataniaga + keuntungan lembaga-lembaga tataniaga (MT = C + Π) (Tomek dan Robinson, dalam

Asmarantaka 2009).

Besar kecilnya marjin tataniaga ditentukan oleh besar kecilnya jasa atau pengeluaran yang diberikan ditambah dengan keuntungan yang diambil oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat maka akan semakin besar pula perbedaan harga di tingkat pengecer dengan harga di tingkat petani. Perbedaan nilai marjin tataniaga dapat terjadi akibat adanya perbedaan fungsi yang dilakukan oleh masing-masing lembaga dan juga dapat terjadi akibat perbedaan tingkat efisiensi dalam pelaksanaan fungsi yang sama (Limbong dan Sitorus 1987).


(34)

3.1.7.3. Farmer’s Share

Salah satu indikator yang berguna dalam melihat efisiensi operasional dalam kegiatan tataniaga adalah dengan menghitung bagian yang diterima oleh petani (farmer’s share). Farmer’s share merupakan perbandingan persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar di tingkat konsumen akhir. Farmer’s share mempunyai nilai yang relatif rendah jika harga di tingkat konsumen akhir relatif lebih tinggi dibanding harga yang diterima oleh petani. Sebaliknya, farmer’s share mempunyai nilai yang relatif lebih tinggi jika harga di tingkat konsumen akhir tidak terpaut jauh dibanding harga yang diterima oleh petani. Secara matematis, farmer’s share dihitung sebagai berikut (Asmarantaka 2009):

Keterangan:

Fsi : Persentase yang Diterima Petani Pf : Harga di Tingkat Petani

Pr : Harga di Tingkat Konsumen

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, merupakan salah satu sentra penghasil komoditi jamur tiram putih di Propinsi Jawa Barat. Tataniaga jamur tiram putih di Kecamatan Cisarua, khususnya di Desa Kertawangi, melibatkan petani produsen jamur tiram putih dan lembaga-lembaga tataniaga dalam pendistribusian jamur tiram putih segar hingga mencapai tangan konsumen akhir. Salah satu permasalahan dalam tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi adalah adanya rendahnya harga di tingkat petani bila dibandingkan dengan harga di tingkat konsumen akhir dengan nilai marjin tataniaga sebesar Rp 5.000. Petani kecil tidak memiliki informasi pasar yang memadai dan aksesnya terhadap pasar pun terbatas. Sistem penjualan secara individual menjadikan petani tidak memiliki kekuatan tawar terhadap lembaga tataniaga. Hal tersebut

Fsi = Pf X 100% Pr


(35)

menjadikan petani kecil hanya mampu menjadi penerima harga (price taker) bagi lembaga tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi.

Sifat produk jamur tiram putih segar yang mudah rusak dan tidak tahan lama, sedangkan konsumen menginginkan produk diterima dalam keadaan segar, maka petani harus dengan cepat memasarkan produknya. Satu-satunya cara pemasaran tercepat dan juga mudah adalah dengan menjual hasil produksi ke pedagang pengumpul, bandar atau lembaga tataniaga lainnya. Walaupun harga yang diberikan rendah, namun petani lebih memilihnya karena petani sangat bergantung pada lembaga tataniaga dalam memasarkan hasil produksi jamur tiram putihnya. Dengan demikian, peran lembaga tataniaga sangat dibutuhkan oleh petani. Hal ini menimbulkan pertanyaan, seperti apa kondisi sesungguhnya rantai tataniaga jamur tiram putih yang terjadi di Desa Kertawangi.

Tiap lembaga tataniaga memiliki peranan masing-masing. Diperlukan analisis dan penelusuran seluruh lembaga tataniaga yang terlibat untuk melihat seberapa besar pengaruh keberadaan masing-masing lembaga tataniaga tersebut dalam menunjang proses tataniaga jamur tiram putih. Efisiensi tataniaga dapat dilihat melalui analisis struktur pasar, perilaku pasar, analisis saluran tataniaga, analisis marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan atas biaya tataniaga. Dari hasil analisis marjin tataniaga yang terdiri dari biaya tataniaga dan keuntungan tataniaga, dapat diketahui berapa besar biaya tataniaga yang dikeluarkan dan berapa keuntungan yang diambil oleh masing-masing lembaga tataniaga jamur tiram putih yang terlibat. Untuk mengetahui berapa bagian perolehan petani dari hasil tataniaga, digunakan analisis farmer’s share dengan cara membandingkan persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 3.


(36)

Gambar 3. Bagan Alur Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian Budidaya Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi

1. Keterbatasan informasi dan akses pasar menjadi kendala bagi petani jamur tiram putih di Desa Kertawangi dalam memasarkan produknya, sehingga petani sangat bergantung pada lembaga tataniaga.

2. Rendahnya harga di tingkat petani bila dibandingkan dengan harga di tingkat konsumen akhir dengan nilai marjin tataniaga sebesar Rp 5.000. Diduga tataniaga jamur tiram putih belum efisien.

Analisis Kualitatif :

1. Saluran dan Lembaga Tataniaga 2. Fungsi Tataniaga

3. Struktur dan Perilaku Pasar

Analisis Kuantitatif : 1. Marjin Tataniaga 2. Farmer’s Share

3. Rasio Keuntungan / Biaya


(37)

IV.

METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Pemilihan lokasi tersebut sebagai lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Kertawangi merupakan salah satu desa sentra budidaya jamur tiram putih di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Pengumpulan data di lokasi penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2012.

4.2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara dengan petani responden dan lembaga-lembaga tataniaga responden yang terlibat dalam proses tataniaga jamur tiram putih serta beberapa narasumber terkait. Data sekunder diperoleh dari berbagai literatur, majalah, internet, penelitian terdahulu, jurnal, serta instansi terkait seperti Perpustakaan LSI IPB, Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Hortikultura, Kantor Desa Kertawangi, dan sumber lainnya yang menunjang penelitian ini.

4.3. Metode Penentuan Responden

Pada penelitian ini digunakan dua kelompok responden, yaitu petani (produsen) dan pedagang (lembaga tataniaga). Penentuan responden petani dilakukan secara sengaja (purposive) dengan memanfaatkan informasi yang didapat dari beberapa narasumber yang merupakan pionir usaha pembudidayaan jamur tiram putih di Desa Kertawangi. Penentuan lembaga tataniaga responden dilakukan dengan menggunakan teknik Snowball Sampling, yaitu dengan cara mengikuti alur pemasaran dari produsen hingga mencapai tangan konsumen akhir berdasarkan informasi yang diperoleh dari petani responden dan kemudian berlanjut menuju lembaga tataniaga responden yang dirujuk oleh petani


(38)

responden. Langkah awal penentuan responden terhadap petani dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh dari Kantor Desa Kertawangi.

Responden yang terpilih adalah delapan orang petani jamur tiram putih yang penulis anggap cukup untuk mewakili gambaran petani jamur tiram putih di Desa Kertawangi dan sepuluh lembaga tataniaga jamur tiram putih yang terlibat dalam proses pendistribusian jamur tiram putih dari petani hingga mencapai konsumen akhir. Petani yang terpilih menjadi responden kemudian dibagi menurut skala usahanya berdasarkan jumlah baglog (media tanam) jamur tiram putih yang dimiliki dalam usahanya. Lembaga tataniaga yang menjadi responden meliputi pedagang pengumpul, bandar, pedagang grosir, dan pedagang pengecer. Data mengenai petani dan lembaga tataniaga responden dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4.

4.4 Metode Pengolahan Data dan Analisis Data

4.4.1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif bertujuan untuk mendefinisikan secara kualitatif gambaran umum mengenai lokasi penelitian, objek penelitian, serta hal lain seperti interpretasi hasil perhitungan penelitian dari analisis kuantitatif. Hal-hal yang dianalisis berhubungan tentang marjin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan, dan biaya untuk menganalisis efisiensi tataniaga.

4.4.2. Analisis Sistem Tataniaga

Pengamatan sistem tataniaga jamur tiram putih dimulai dari petani/ produsen dengan menghitung persentase pasokan sampai ke tangan konsumen akhir. Sistem tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi dianalisis dengan cara mengamati lembaga-lembaga tataniaga yang berperan sebagai pihak perantara dalam proses penyampaian produk dari produsen ke konsumen. Jalur tataniaga tersebut kemudian menggambarkan peta saluran tataniaga.


(39)

4.4.3. Analisis Struktur dan Perilaku Pasar

Struktur pasar jamur tiram putih dianalisis berdasarkan saluran tataniaga yang didukung peranan fungsi-fungsinya, jumlah lembaga tataniaga yang terlibat (penjual dan pembeli), sifat produk, kebebasan keluar masuk pasar, dan informasi harga pasar yang terjadi. Perilaku pasar jamur tiram putih ini dianalisis dengan mengamati praktek penjualan dan pembelian, kerjasama antar lembaga tataniaga, serta sistem penentuan dan pembayaran harga. Struktur pasar dilihat dengan mengetahui jumlah petani dan penjual yang terlibat, kondisi dan keadaan produk, mudah tidaknya keluar masuk pasar, serta perubahan informasi harga pasar. Oleh karena itu, akan diketahui struktur pasar yang dihadapi oleh pelaku tataniaga jamur tiram putih.

Analisis perilaku pasar jamur tiram putih dapat dicirikan dengan tingkah laku lembaga tataniaga dalam struktur pasar tertentu yang meliputi kegiatan penjualan, pembelian, sistem penentuan harga, cara pembayaran, serta bentuk kerjasama yang dilakukan.

4.4.4 Analisis Marjin Tataniaga

Analisis marjin tataniaga bertujuan untuk mengetahui tingkatan efisiensi tataniaga jamur tiram putih. Marjin tataniaga dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada setiap tingkat lembaga tataniaga, atau perbedaan harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen. Besarnya marjin tataniaga pada dasarnya merupakan penjumlahan dari biaya-biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh oleh lembaga tataniaga. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

MT = Pr− Pf = ��

� �=1

Keterangan:

MT : Marjin Total (Rp/kg)

Pr : Harga pembelian oleh konsumen akhir (Rp/kg) Pf : Harga penjualan di tingkat petani (Rp/kg) Mi : Marjin tataniaga di tingkat ke-i (Rp/kg)


(40)

Marjin tataniaga untuk tiap lembaga tataniaga (Mi) dapat dihitung dengan dua cara yaitu pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada suatu lembaga tataniaga atau penjumlahan biaya dan keuntungan tataniaga pada suatu lembaga tataniaga. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

Mi = Psi –Pbi = Ci + Πi, atau

Πi = Psi – Pbi - Ci Keterangan:

Mi : Marjin tataniaga di tingkat ke-i (Rp/kg) Psi : Harga jual pasar di tingkat ke-i (Rp/kg) Pbi : Harga beli pasar di tingkat ke-i (Rp/kg)

Ci : Biaya tataniaga yang dikeluarkan lembaga tataniaga tingkat ke-i (Rp/kg)

Πi : Keuntungan yang diperoleh lembaga tataniaga tingkat ke-i (Rp/kg)

4.4.5. Analisis Rasio Keuntungan Atas Biaya Tataniaga

Rasio keuntungan atas biaya (Π/C) adalah persentase keuntungan tataniaga terhadap biaya tataniaga yang secara teknis (operasional) untuk mengetahui tingkat efisiensinya. Rasio keuntungan diperoleh dari pembagian keuntungan tataniaga (Π) dengan biaya tataniaga (C). Keuntungan tataniaga diperoleh dari selisih harga jual dengan harga beli pada masing-masing lembaga tataniaga dikurangi dengan biaya tataniaga. Hasil rasio keuntungan dan biaya menunjukkan seberapa besar setiap satuan biaya yang dikeluarkan selama tataniaga dapat memberikan besaran keuntungan tertentu selama proses penyaluran produk. Penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:

Πi : Keuntungan lembaga tataniaga ke-i

Ci : Biaya tataniaga pada lembaga tataniaga ke-i Rasio Keuntungan Biaya = Πi


(41)

4.4.6. Analisis Farmer’s Share

Pendapatan yang diterima petani (farmer’s share) merupakan perbandingan persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar di tingkat konsumen akhir. Dalam Asmarantaka (2009) disebutkan bahwa perhitungan farmer’s share adalah sebagai berikut:

Keterangan:

Fsi : Farmer’s share (persentase yang diterima petani) Pf : Harga di tingkat petani

Pr : Harga di tingkat konsumen

Tabel 10. Pengaplikasian Metode Penelitian

No. Tujuan Penelitian Jenis Data Sumber Data Analisis Data 1. Mengidentifikasi dan

menganalisis sistem tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi,

Kecamatan Cisarua,

Kabupaten Bandung Barat.

Data primer Pengamatan langsung dan wawancara dengan

responden dan narasumber terkait

Analisis sistem tataniaga dan analisis struktur dan perilaku pasar

2. Menganalisis bagian

pendapatan yang diperoleh petani dari keseluruhan harga yang dibayarkan oleh konsumen (farmer’s share).

Data primer Wawancara dan kuisioner

Analisis farmer’s share

3. Menganalisis efisiensi saluran tataniaga jamur tiram putih melalui besarnya marjin tataniaga dan nilai rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga di setiap lembaga tataniaga yang terkait dalam proses tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi.

Data primer Wawancara dan kuisioner

Analisis marjin tataniaga dan analisis rasio keuntungan dan biaya

Fsi = Pf X 100% Pr


(42)

V.

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1. Geografi Lokasi Penelitian

Desa Kertawangi terletak di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Desa ini memiliki luas wilayah sebesar 1.800 Ha. Desa Kertawangi terdiri 14 Rukun Warga (RW), 55 Rukun Tetangga (RT) dan empat Kedusunan/kampung, yaitu Kampung Cibadak, Kampung Cisarua, Kampung Cibolang, dan Kampung Cipeusing. Batas administratif wilayah Desa Kertawangi adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta Sebelah Selatan : Desa Jambudipa dan Desa Padaasih

Sebelah Timur : Kecamatan Parongpong Sebelah Barat : Desa Tugumukti

5.2. Keadaan Alam

Desa Kertawangi berada di dataran tinggi pada ketinggian 1.300 meter diatas permukaan laut (mdpl). Suhu di daerah ini berkisar antara 200-270C pada siang hari dan antara 150-180C pada malam hari dengan kelembaban rata-rata mencapai 80 persen. Rata-rata curah hujan tahunan adalah 1.800 mm/tahun. Keadaan tanah berjenis tanah andosol coklat kehitaman, bertekstur lempung dengan pH sekitar 5,5 ,dan tingkat kemiringan tanahnya 25 derajat.

Dengan kondisi topografi desa yang berada di dataran tinggi dan beriklim sejuk, masyarakat Desa Kertawangi banyak mengusahakan tanaman pangan dan tanaman hortikultura berupa tanaman sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias berupa bunga potong. Tanaman buah-buahan yang paling banyak ditanam di Desa Kertawangi menurut luasan lahan yang digunakan berturut-turut adalah pisang, pepaya, dan jeruk. Tanaman sayuran yang paling banyak ditanam di Desa Kertawangi menurut luasan lahan yang digunakan berturut-turut adalah tomat, jamur tiram, bunga kol, dan brokoli. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 11.


(1)

89 Lampiran 3. Data Petani Responden

Nama Jenis

Kelamin Usia (Tahun) Pendidikan Terakhir Pekerjaan Utama Lama Bertani Jamur Tiram Putih (Tahun) Jumlah Kepemilikan Bag Log (buah) Jumlah Produksi per Hari (Kilogram) Tujuan Penjualan

Bpk. Beni L 32 SMA Suplayer

bunga potong

10 15.000 50 P. Pengumpul

Bpk. Eden L 39 SMA Petani jamur

tiram, pembuat bibit dan log jamur tiram

16 5.000 50 Bandar

Ibu Atikah P 38 SMP Petani jamur

tiram

10 10.000 30 P. Pengumpul

Bpk. Tisna L 33 SMA Tour guide dan

peternak lele

5 20.000 40 P. Pengumpul

Ibu Sri P 59 SMA Petani jamur

tiram

5 160.000 350 P. Grosir

Bpk. Nandang L 51 S1 PNS 15 360.000 500 P. Grosir

Bpk. Agus L 28 D3 Petani jamur

tiram

11 4.000 25 P. Pengumpul


(2)

Lampiran 4. Data Lembaga Tataniaga Responden

Nama Jenis

Kelamin

Pendidikan

Terakhir Pekerjaan Utama

Jenis Lembaga Tataniaga

Lama Pengalaman

Berdagang (Tahun)

Jumlah Jamur Tiram yang Ditampung per

Hari (Kg)

Tempat Berdagang

Bpk. Ahmad Rifa‟i L STM Pedagang jamur Bandar 12 1.500 Desa Kertawangi

Bpk. M. Soleh L SMK Pedagang jamur P. Pengumpul 2 600 Desa Kertawangi

Bpk. Beni L SMA Pengusaha bunga

potong

P. Pengumpul 10 500 Desa Kertawangi

Ibu Brastyan P S1 Pedagang jamur P. Grosir 16 500 Pasar Caringin

Rudi L SMA Pedagang jamur P. Grosir 6 1.000 Pasar Caringin

Rizal L SMA Pedagang jamur P. Grosir 4 200 Pasar Caringin

Bpk. Udung L SMA Pedagang sayuran P. Pengecer 10 150 Pasar Ciroyom

Bpk. Adi L SMA Pedagang jamur P. Pengecer 5 150 Pasar Andir

Ibu Asih P SMA Pedagang sayur P. Pengecer 8 5 Kopo


(3)

91 Lampiran 5. Peta Desa Kertawangi


(4)

(5)

ii

RINGKASAN

MAIDA YULIANDARI. Analisis Sistem Tataniaga Jamur Tiram Putih

(Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Petani di Desa Kertawangi, Kecamatan

Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. (Di bawah bimbingan LUKMAN MOHAMMAD BAGA).

Salah satu komoditas hortikultura yang memiliki potensi usaha yang baik adalah komoditas jamur konsumsi. Produk jamur memiliki nilai ekonomis cukup tinggi, kandungan gizi yang tinggi, bercitarasa lezat dan disamping itu berkhasiat pula sebagai obat. Jenis jamur konsumsi yang banyak dibudidayakan adalah jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) atau dikenal pula dengan nama Shimeji White. Desa Kertawangi yang terletak di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat adalah salah satu desa sentra penghasil jamur tiram putih di Propinsi Jawa Barat dengan total produksi mencapai sekitar tiga ton jamur tiram putih per hari. Jamur tiram putih merupakan produk hortikultura yang dijual dalam bentuk segar, bersifat mudah rusak (perishable) dan tidak tahan lama, sehingga diperlukan penanganan pascapanen yang tepat dan cepat, termasuk proses tataniaganya agar produk tidak rusak hingga sampai ke tangan konsumen. Oleh karena itu, diperlukan peran lembaga tataniaga yang berfungsi memasarkan jamur tiram putih dari produsen hingga ke tangan konsumen akhir.

Kurangnya informasi dan akses pasar menjadi kendala petani dalam memasarkan produknya. Petani pun tidak memiliki posisi tawar yang kuat terhada lembaga tataniaga, sehingga petani hanya menjadi price taker. Terdapat perbedaan harga jual antara harga yang diterima petani dengan harga jamur tiram putih di tingkat konsumen akhir. Harga di tingkat petani sekitar Rp 7.000 per kilogram, sedangkan harga jamur tiram putih di tingkat konsumen akhir mencapai Rp 12.000 per kilogram. Dengan adanya marjin tataniaga yang mencapai Rp 5.000 tanpa ada pengolahan produk, mengindikasikan bahwa marjin tataniaga tersebut terbentuk dari rantai tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi yang cukup panjang dan saluran tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi kurang efisien.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2012 di Desa Kertawangi yang dijadikan sebagai studi kasus. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mengidentifikasi dan menganalisis sistem tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, 2) Menganalisis bagian pendapatan yang diperoleh petani jamur tiram putih (farmer’s share), dan 3) Menganalisis efisiensi saluran tataniaga jamur tiram putih melalui besarnya marjin tataniaga dan nilai rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga di setiap lembaga tataniaga yang terkait dalam proses tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan para petani dan lembaga tataniaga responden, sedangkan data sekunder diperoleh melalui literatur ataupun studi pustaka yang mendukung penelitian. Data sekunder bersumber dari


(6)

data laporan desa, majalah, internet, Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Hortikultura, buku teks tataniaga, perpustakaan IPB, dan data-data dari beberapa instansi terkait lainnya.

Penelitian ini melibatkan delapan petani responden yang dipilih secara sengaja (purposive) menurut arahan narasumber dan sepuluh lembaga tataniaga responden yang dipilih menggunakan teknik snowball sampling dari petani responden. Proses tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi dimulai dari petani sebagai produsen hingga konsumen akhir, melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Petani responden dibagi ke dalam tiga kelompok menurut skala usahanya. Petani skala kecil dengan kepemilikan bag log kurang dari 20.000 buah. Petani skala usaha sedang/menengah memiliki jumlah bag log antara 20.000 hingga 100.000 buah. Petani skala besar memiliki bag log lebih dari 100.000. Lembaga tataniaga yang terlibat adalah pedagang pengumpul, bandar, pedagang grosir, dan pedagang pengecer. Terdapat empat pola saluran tataniaga jamur tiram putih yang terbentuk dengan total volume penjualan 1.145 kilogram per hari. Pola saluran I: Petani-Pedagang pengumpul-Pedagang grosir-Pedagang pengecer-Konsumen akhir. Pola saluran II: Petani–Bandar-Pedagang grosir-Pedagang pengecer-Konsumen akhir. Pola saluran III: Petani-grosir-Pedagang pengumpul–Bandar-Pedagang grosir- Pedagang pengecer-Konsumen akhir. Pola saluran IV: Petani-Pedagang grosir-Pedagang pengecer-Konsumen akhir.

Saluran yang paling banyak digunakan oleh petani responden adalah saluran I dengan jumlah petani responden sebanyak tiga orang dan total volume penjualan sebanyak 105 kg per hari. Saluran III merupakan saluran yang paling sedikit digunakan oleh petani responden dengan jumlah petani responden sebanyak satu orang dan total volume penjualannya pun paling sedikit yaitu hanya 40 kg per hari. Saluran IV merupakan saluran dengan volume penjualan tertinggi, yaitu mencapai 850 kilogram per hari, namun hanya dua petani responden yang menggunakan saluran ini. Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Struktur pasar yang dihadapi cenderung mengarah pada pasar persaingan sempurna. Berdasarkan perilaku pasar yang dihadapi dalam praktek penjualan dan pembelian, telah terjalin kerjasama yang cukup baik antar lembaga tataniaga. Pembentukan harga ditentukan oleh supply dan demand jamur tiram putih di Pasar Induk Kramat Jati. Hasil analisis tataniaga menunjukkan bahwa masing-masing lembaga tataniaga mengeluarkan biaya tataniaga dan memperoleh keuntungan tataniaga. Berdasarkan hasil analisis marjin pemasaran, farmer’s share, rasio keuntungan atas biaya dan volume jamur tiram yang terjual, diketahui bahwa saluran