Universitas Sumatera Utara
karena pada kenyataannya dua agama ini adalah yang paling sering mengalami pergesekan dan konflik. Penggunaan etnis Tionghoa sebagai unsur penokohan
juga dikarenakan masyarakat etnis Tionghoa masih dianggap ‘orang luar’ dan sering menerima perlakuan diskriminasi dari lingkungannya. Ia menganggap
penokohan dalam film CinTa sebagai refleksi dari bentuk pluralisme yang ada di Indonesia.
Informan IV mengatakan bahwa nilai pluralisme yang terdapat dalam film CinTa masih terlalu sedikit. Ia menganggap filmmaker hanya memberi
gambaran pluralisme tanpa menunjukkan sikap yang seharusnya diambil oleh masyarakat terkait dengan pluralisme itu sendiri. Adapun bentuk pluralisme yang
menurutnya paling dominan dalam film tersebut adalah testimoni pelaku hubungan beda agama.
Sementara itu, Informan V menilai bentuk pluralisme yang ditampilkan dalam film tersebut sangat ‘manis’ karena dipadukan dengan kisah cinta.
Dalam film ini pluralismenya ditampilkan secara berbeda karena ada unsur cintanya. Pluralismenya bisa kita lihat saat orang itu
berdo’a bersama, membuat ketupat, menghias pohon natal. Menurutku pluralismenya sengaja dibuat ‘manis’ supaya yang
nonton juga merasa bahwa beda itu nggak payah dan enak kalo dijalanin sama-sama selama kita saling menghormati satu sama
lain.”
d. Pengalaman Seputar Pluralisme
Kelima informan menyatakan tidak menganggap asing pluralisme dan bentuk-bentuk perbedaan dalam masyarakat. Hal tersebut dikarenakan mereka
lahir dan dibesarkan di Indonesia yang notabene terdiri atas masyarakat yang plural. Masing-masing informan memiliki pengalaman berbeda seputar
pluralisme. Informan I menceritakan pengalamannya saat sahabat baiknya
memutuskan untuk menikah dan pindah agama. Ia mengaku sempat marah dan menjauhi sahabatnya tersebut. Namun pada akhirnya ia sadar bahwa keputusan
tersebut adalah hak sepenuhnya dari sahabatnya dan ia harus menghormati keputusan itu. Ia tidak mungkin memaksakan kehendaknya, karena sahabatnya-
lah yang nanti akan menjalani pernikahan tersebut. Menurutnya yang terpenting ia
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
sebagai sahabat sudah menjalankan kewajibannya untuk mengingatkan dan memberi masukan.
Informan II mengaku tidak terlalu sering mengalami peristiwa yang berkaitan dengan pluralisme, walaupun ia beretnis Tionghoa. Ia bersyukur tidak
mendapat perlakuan diskriminatif dari lingkungannya. Walau sempat mengalami pahitnya menjadi etnis Tionghoa saat demonstrasi besar-besaran tahun 1998, ia
mengaku tidak takut dan trauma. Menurutnya saat itu memang masa-masa sulit Indonesia, namun sekarang ia sudah resmi menjadi warga negara Indonesia dan
mendapatkan hak yang sama. Informan III mengaku bahwa masa kecil merupakan masa-masa yang
cukup berat baginya. Saat itu ia tinggal di lingkungan yang mayoritas beragama Islam, sedangkan yang beragama Kristen hanya dua keluarga. Ia sering mendapat
perlakuan diskriminatif dari teman bahkan gurunya di sekolah. Hal tersebut menjadikannya pribadi yang pendiam. Namun saat duduk di bangku kuliah, ia
mendapat pemahaman baru bahwa agar tidak direndahkan orang lain, maka harus terlebih dahulu menghormati orang lain. Bahkan sekarang Informan III yang
tergabung dalam Forum Kristiani Pemimpin Muda Indonesia FKPMI, sering menyelenggarakan kegiatan-kegiatan seperti dialog lintas agama dan kemah
damai yang diikuti peserta dari berbagai suku, etnis dan agama. Sama halnya dengan Informan III, Informan IV juga dibesarkan dalam
lingkungan yang mayoritas beragama Islam. Sejak kecil ia memang sudah terbiasa dengan perbedaan, karena keluarga besarnya menganut beberapa agama yang
berbeda. Bahkan ia memiliki beberapa sahabat dekat yang beragama Islam. Namun, ia mengaku bahwa pernah sesekali diperlakukan secara berbeda karena
beragama Kristen. Misalnya saat ia ingin berbagi makanan yang ia punya, banyak teman yang menolak pemberiannya tersebut. Ia juga mengatakan bahwa di
kelasnya masih jelas terlihat pergaulan yang ‘dikotak-kotakkan’ berdasarkan agama. Seperti Informan III, ia juga tergabung dalam Forum Kristiani Pemimpin
Muda Indonesia FKPMI. Ia berkomitmen untuk terus mengajak generasi muda lainnya agar mau membuka diri, mengenal dan bertoleransi dalam setiap
perbedaan.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Lain halnya Informan V yang sempat mengalami ‘culture shock’ saat datang ke kota Medan untuk melanjutkan kuliah. Ia lahir dan dibesarkan di
lingkungan yang sangat homogen, dimana semua teman, guru, bahkan tetangganya berdarah Minang dan beragama Islam. Setibanya di kota Medan yang
sangat heterogen, ia mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan semua perbedaan yang ada. Ditambah lagi dia harus menghadapi beberapa stereotipe
negatif dari teman-temannya terhadap suku Minang. Ia mengaku mengalami kesulitan di masa awal perkuliahan, namun sekarang ia sudah terbiasa dan
memiliki banyak teman yang terdiri dari bermacam-macam suku, agama dan etnis.
4.2 Pembahasan 4.2.1 Posisi Penonton