Universitas Sumatera Utara
masalah, tapi juga memberi solusi terhadap masalah tersebut. Seperti yang disampaikan Informan IV sebagai berikut.
“Jalan ceritanya sih sebenarnya udah bagus. Tapi kalo bisa endingnya lebih kenak gitu. Jadi jatuhnya film itu nggak ngomong
doang. Kenapa mereka nggak disatuin aja ? Kan bagus kalo kayak gitu, karena yang nonton diajarin kalo perbedaan itu bukan
penghalang. Karena sebetulnya banyak orang Indonesia yang nggak dewasa dalam menyikapi perbedaan. Harusnya film ini yang
ngasih lihat sekalian ngasih solusi.”
Berbeda dengan Informan II, III dan IV, Informan I dan V merasa cukup puas dengan keseluruhan isi film tersebut. Informan I menyebut film CinTa
sebagai film yang cukup berat, namun ia sangat menyukai ide filmmaker yang mengangkat fenomena perbedaan. Dia juga memuji keberanian filmmaker untuk
mempertanyakan kebenaran sistem nilai yang selama ini diyakini oleh mayoritas masyarakat beragama di Indonesia. Selain itu, karena ketidaksetujuannya terhadap
pernikahan beda agama membuat ia menerima dengan baik ending dari film tersebut.
”Film ini benar-benar membuat kita mikir berat. Sebenarnya saya suka sama idenya untuk mengangkat fenomena perbedaan. Film ini
berbicara tentang sistem nilai. Saya juga salut sama Sammaria yang berani nyoba merombak sistem berpikir orang yang sudah
jadi pakem dari setiap agama. Tapi sayangnya dia belum cukup berani untuk secara ekstrim terang-terangan melanggar pakem
tersebut. Hal itu bisa dilihat dari ending filmnya. Saya sendiri karena tidak setuju dengan pernikahan beda agama yah merasa itu
mau nggak mau jadi ending terbaiklah. Walaupun sebagai konsekuensi ujung-ujungnya film ini jadi kayak film mainstream
lainnya, karena nggak bisa ngasi akhir cerita yang beda dan sensasional.”
Sedangkan Informan V merasa puas dengan keseluruhan isi film tersebut karena tidak ada keberpihakan dari filmmaker-nya. Ia beranggapan film tersebut
adil dan menyenangkan semua pihak. ”Sebenarnya sedih liat ujung ceritanya. Tapi aku suka keseluruhan
jalan ceritanya. Istilahnya komplit gitu, ada romantisnya, sedihnya sama amarahnya. Syukurnya film ini nggak berpihak ke satu
agama aja. Jadinya kan lebih adil untuk dua-duanya.”
f. Dialog dalam Film CinTa
Salah satu hal yang penting untuk membangun sebuah cerita yang hidup adalah dialog. Dialog dalam film seringkali menjadi indikator kecerdasan
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
filmmaker dalam menggarap dan menyampaikan nilai atau pesan kepada penonton. Dialog berfungsi untuk memberikan informasi, mengungkapkan tokoh
dan membangun konflik. Dialog-dialog ringan namun penuh makna selalu menjadi favorit penikmat film. Oleh kelima informan, dialog-dialog dalam film
CinTa yang meraih penghargaan skenario asli terbaik pada Festival Film Indonesia FFI 2009 ini juga dianggap sarat makna.
Informan I melihat bahwa film ini sangat total dalam menyajikan dialog- dialog cerdas. Ia berpendapat bahwa dialog tersebut tidak hanya datang dari para
pemeran, namun juga dari simbol-simbol yang dimunculkan dalam beberapa scene. Selain itu menurutnya terdapat dialog-dialog yang menawarkan berbagai
sudut pandang baru terhadap suatu hal yang selama ini diterima masyarakat atas dasar konsensus.
”Aku ngeliatnya film ini dialogis kali yah. Nggak hanya dialog langsung dari tokohnya, tapi simbol-simbol dalam film ini juga ikut
berbicara. Semut, kaos, coretan di dinding, desain arsitekstur dan lainnya. Dialog tokohnya harus diakui sangat cerdas, tapi tidak
menggurui. Dialog yang paling membekas itu saat Annisa tanya ke Cina, apa cina masih mau sama dia kalo tuhannya aja bisa dia
khianati. Dialog itu benar benar membuka pikiran kita. Saya suka karena dialog-dialognya itu juga bikin kita jadi berusaha mengkaji
ulang apa yang selama ini kita anggap sebagai suatu yang benar. Karena selama ini di mindset mayoritas orang beragama kan kalo
case-nya kayak gitu lebih baik pindah keyakinan. Di Kristen atau di Islam kan banyak diyakini kalo kita bisa buat orang masuk
agama kita, kita bakal dapat pahala. Dan dialog itu tadi yang meruntuhkan pandangan yang selama ini kita udah terima. Kita
dibuat berpikir ‘oh iya juga yah. Memang banyak dialog yang terbilang nyelekit dan agak vulgar, tapi kalo benar-benar dipahami
kalimatnya jadi kayak kalimat yang murni lahir dari proses berpikir manusia yang coba cari kebenaran.”
Informan III berasumsi bahwa dialog-dialog dalam film CinTa ini adalah murni pandangan dan pikiran filmmaker, dalam hal ini Sammaria Simanjuntak
yang berperan sebagai sutradara sekaligus salah satu penulis skenario. Ia memuji kelihaian Sammaria dalam memainkan kata. Namun ia juga mengkritisi beberapa
dialog yang menurutnya terkesan terlalu menggugat tuhan. ”Dialog-dialognya kalo aku bilang sangat membumi yah. Mudah
kita memahami apa maksudnya. Pandai dia buat kalimat-kalimat yang nggak terpikirkan sama kita sebelumnya. Tapi kalo aku lihat
dialog-dialognya itu yah memang berdasarkan gimana cara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
pandang si Sammaria tentang perbedaan. Mungkin gitu dia ngelihat dan menyikapi perbedaan. Tapi kalo menurutku
perbedaan nggak perlu dikonfrontasikan kayak gitu. Tuhan nyiptain kita beda-beda pasti ada alasannya. Kita manusia ini
yang disuruh berpikir gimana caranya menjembatani perbedaan. Bukan malah nyalahin tuhan. Nggak ditakdirkan bersama bukan
berarti tuhan sutradara basi. Menurutku unity is not uniform. Kesatuan kan nggak harus selalu sama. Jadi kita hanya perlu
menerimanya aja. Karena memang itulah kenyataannya. Kita beda. Nggak usahkan satu indonesia, manusia satu sama manusia lain
pun pasti punya perbedaan.”
Informan IV memaknai dialog-dialog antar tokoh dalam film tersebut sebagai proses mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan
sendiri. Menurutnya dialog-dialog tersebut gambaran kebingungan masyarakat kebanyakan tentang bagaimana menempatkan posisi tuhan dalam kondisi
kehidupan yang beragam dan penuh perbedaan. ”Menurutku dialognya itu gambaran kalo mereka sendiri belum
paham dan mengerti tentang gimana harusnya menyikapi perbedaan. Makanya setiap dialog itu jadi kayak perdebatan
antara Cina dan Annisa. Dalam debatnya itu mereka coba mencari jalan tengah. Tapi yang paling terlihat dari dialog itu, mereka
sebenarnya masih bingung dan dilema antara cinta atau tuhan.”
Sedangkan Informan II dan V menganggap dialog dalam film CinTa sangat filosofis. Mereka sependapat bahwa terdapat penggunaan kalimat-kalimat
yang cukup berani. Namun mereka berasumsi penggunaan kalimat tersebut bertujuan untuk membuat film semakin menarik.
g. Adegan dalam Film CinTa