Penokohan dalam Film CinTa

Universitas Sumatera Utara kurang lebih gitulah. Maksudnya adegannya sederhana tapi maknanya juga dapet.” Berbeda dengan keempat informan lainnya, Informan IV memiliki anggapan bahwa banyak adegan dalam film ini yang tidak mencerminkan secara utuh nilai-nilai keagamaan bahkan terkesan sekuler. Ia malah berasumsi bahwa filmmaker sendiri kurang informasi tentang agama dan suku yang ingin ditampilkan dalam film tersebut. ”Yang aku tangkap dari beberapa adegan justru terkesan menampilkan sekulerisme. Mereka ngomongin tuhan sampe yang segitu hebatnya, tapi kenyataannya ibadah orang itu sendiri jauh dari kata bagus. Aku kurang taulah ya kalo gimana muslim coba ditampilin di situ, tapi yang kulihat banyak ikon ikon kekristenan dalam film itu kayak hias pohon natal sama soal nyanyi-nyanyi, itu sebenarnya nggak sesuai kitab suci. Terus adegan pas Cina narok alkitab di mangkok pengemis. Itu sebenarnya mau nunjukkin apa coba ? Nggak jelas. Yang ditunjukkin di situ ritual ibadahnya serba gantung menurutku. Terus adegan tentang suku sikit kali, malah hampir ga ada. Yang ada palingan dialog tentang nama sama ada gambar wayang-wayang doang. Kurasa filmmaker-nya juga kurang informasi atau gimana gitu.”

h. Penokohan dalam Film CinTa

Setiap orang memiliki tanggapan berbeda terhadap orang lain yang dilihatnya. Penilaian terbentuk bisa karena faktor internal maupun eksternal. Penilaian tersebut ditujukan baik kepada orang yang nyata maupun tokoh fiksi. Menanggapi penokohan Cina dan Annisa dalam film tersebut, setiap informan menilai secara berbeda. Informan I melihat Annisa sebagai tokoh yang mainstream, yakni gambaran umum wanita jawa yang biasanya beragamakan Islam serta bersifat lemah lembut. Annisa juga digambarkan seperti kebayakan muslim di Indonesia yang pada umumnya moderat dengan tingkat aplikasi agama yang biasa-biasa saja. Namun dibalik itu, Annisa memiliki toleransi yang tinggi serta tampil sangat konsisten dengan apa yang menjadi prinsipnya sejak awal. Annisa tetap bersikukuh untuk tidak pindah agama bahkan menolak tawaran Cina yang bersedia menjadi muslim demi dirinya. Argumen-argumen Annisa tentang logika ketuhanan juga sangat ‘berisi’ dan memberikan pemikiran-pemikiran baru untuk Cina. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Sedangkan Cina digambarkan oleh Informan I sebagai sosok yang sangat representatif bagi kalangan minoritas di Indonesia. Lahir dari keluarga etnis Tionghoa yang notabene adalah minoritas di Indonesia. Ditambah lagi Cina tumbuh dan dibesarkan di lingkungan yang memiliki nuansa Batak yang sangat dominan, sehingga membuatnya menjadi minoritas di kalangan etnis Tionghoa sendiri. Kondisi minoritas lainnya juga dilihat oleh Informan I pada sosok Cina yang digambarkan sebagai penganut agama Kristen yang taat. Informan I menyebutnya sebagai ‘minoritas kubik’. Cina digambarkan memiliki karakter yang cerdas, meledak-ledak, ambisius dan ‘beriman’. Namun itu semua pada akhirnya hancur karena diobrak-abrik kenyataan yang diterimanya. Mulai dari gagal mendapat beasiswa hingga terjadi kasus bom di gereja, membuat Cina kehilangan pijakan dan menampik keberadaan tuhan yang menurutnya sebagai konsep yang hanya menimbulkan pertikaian, perang dan kehancuran diantara umat manusia. Informan III menganggap bahwa penokohan dalam film ini sangat komplit. Ia mengibaratkannya dengan pepatah ‘sambil menyelam minum air’. Hal tersebut dikarenakan melalui dua tokoh di film ini, tidak hanya mengangakat esensi perbedaan agama, namun dalam waktu yang sama juga mengangkat wacana perbedaan culture. Ia juga melihat bahwa karakter yang dimiliki kedua tokoh tersebut berangkat dari apa yang ada di dalam benak masyarakat banyak. Cina merupakan warga kelas dua di negara ini berdasarkkan hak-hak yang dimilikinya, sedangkan Annisa mewakili pribumi yang digambarkan sebagai sosok yang polos dan lemah lembut. Tidak jauh berbeda dengan Informan I dan III, Informan V beranggapan bahwa penokohan dalam film ini berdasarkan kenyataan yang ada di masyarakat. Cina mewakili kalangan minoritas yang cerdas dan taat, sedangkan Annisa mewakili kalangan mayoritas yang santun dan bersahaja. Lain halnya dengan Informan II. Ia berasumsi bahwa tidak ada alasan khusus dari filmmaker dalam menciptakan tokoh dengan karakter seperti yang dimiliki Cina dan Annisa. Menurutnya penokohan yang dimiliki Cina dan Annisa tidak bisa mewakili keseluruhan masyarakat etnis Tionghoa, masyarakat suku Jawa, umat Kristen ataupun umat Islam di Indonesia. Ia menganggap tokoh Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara beserta karakter tersebut diciptakan hanya untuk memberi warna berbeda dalam film. Sementara itu, Informan IV memiliki pandangan yang agak berlawanan dengan keempat informan sebelumnya. Ia beranggapan bahwa baik Annisa dan Cina merupakan sosok yang memiliki pemahaman agama yang masih dangkal. Menurutnya kedua tokoh tersebut cenderung sekuler, karena begitu sering mendebat eksistensi tuhan namun tidak berusaha untuk mencari tahu kebenaran. ”Aku justru ngeliat mereka itu cenderung sekuler yah. Apa yang diomongin sama yang diperbuat itu agak bertentangan. Kalo mereka begitu sering mempertanyakan tuhan, kenapa nggak cari tahu ? Annisa misalnya lihat dan baca Al Qur’an atau tanya sama ulama kek. Cina pun gitu baca alkitab atau tanya sama yang paham dan lebih tahu. Jadi jangan jadi debat kusir juga.”

i. Pesan dalam Film CinTa