Universitas Sumatera Utara
menyelesaikan konflik mereka. Film ini juga coba ngasi lihat sama kita semua sisi lain dari nikah beda agama atau suku.”
Sementara Informan III, IV dan V memberikan pernyataan bahwa filmmaker ingin melihat respon masyarakat terhadap persoalan-persoalan terkait
isu SARA melalui film tersebut. Menurut mereka filmmaker sengaja menyajikan konflik melalui kisah cinta agar penonton lebih mudah mencerna permasalahan
dan memberi tanggapan. Seperti yang disampaikan Informan III berikut. “Memang nyatanya Indonesia ini berbeda-beda mulai dari suku,
agama, etnis dan lainnya. Mungkin ini yang membuat filmmaker penasaran kira-kira gimana respon orang-orang kalo perbedaan
ini malah jadi penghalang di percintaan. Mereka pengen lihat gimana respon cowok kalo pacarnya beda agama sama dia, atau
seorang ibu yang anaknya pengen nikah sama orang yang beda agama, atau gimana respon pemuka agama. Kenapa cinta yang
dipilih ? Yah secara kalo tentang cinta-cintaan orang biasanya cepat nangkap.”
Dalam wawancaranya dengan Nelly Andon Boru Torus dari Project Tapanuli, Sammaria Simanjuntak sang sutradara menyatakan bahwa alasan
membuat film CinTa adalah sebagai bentuk curahan hatinya terhadap tuhan http:www.dailymotion.com.
e. Isi Film CinTa
Ternyata dalam menanggapi isi film tersebut, setiap informan memiliki tanggapan yang berbeda-beda. Informan II merasa kurang puas dengan akhir
cerita dalam film tersebut. Ia tidak suka film dengan sad ending. Menurutnya setelah menonton film, harusnya seseorang menjadi bahagia. Karena baginya film
itu adalah sebuah hiburan, maka sudah seharusnya penonton merasa terhibur dan senang.
“Pas setelah nonton aku jadi sedih sendiri nengok endingnya. Kasian kali kalo misalnya mereka nggak jadi. Udah banyak hal
yang mereka jalani sama-sama, harusnya paling nggak orang itu bahagialah. Walau nggak sama-sama, tapi dikasih liat kalo mereka
tetap bahagia sama pilihan yang udah diambilnya. Kalo kayak gini yang nonton jadi sedih juga. Aku memang nggak suka sama film-
film yang sedih-sedih. Maunya habis siap nonton itu happy. Namanya juga hiburan.”
Hal serupa juga dinyatakan oleh Informan III dan IV. Mereka menginginkan akhir cerita yang tajam dan menarik. Tidak sekedar menampilkan
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
masalah, tapi juga memberi solusi terhadap masalah tersebut. Seperti yang disampaikan Informan IV sebagai berikut.
“Jalan ceritanya sih sebenarnya udah bagus. Tapi kalo bisa endingnya lebih kenak gitu. Jadi jatuhnya film itu nggak ngomong
doang. Kenapa mereka nggak disatuin aja ? Kan bagus kalo kayak gitu, karena yang nonton diajarin kalo perbedaan itu bukan
penghalang. Karena sebetulnya banyak orang Indonesia yang nggak dewasa dalam menyikapi perbedaan. Harusnya film ini yang
ngasih lihat sekalian ngasih solusi.”
Berbeda dengan Informan II, III dan IV, Informan I dan V merasa cukup puas dengan keseluruhan isi film tersebut. Informan I menyebut film CinTa
sebagai film yang cukup berat, namun ia sangat menyukai ide filmmaker yang mengangkat fenomena perbedaan. Dia juga memuji keberanian filmmaker untuk
mempertanyakan kebenaran sistem nilai yang selama ini diyakini oleh mayoritas masyarakat beragama di Indonesia. Selain itu, karena ketidaksetujuannya terhadap
pernikahan beda agama membuat ia menerima dengan baik ending dari film tersebut.
”Film ini benar-benar membuat kita mikir berat. Sebenarnya saya suka sama idenya untuk mengangkat fenomena perbedaan. Film ini
berbicara tentang sistem nilai. Saya juga salut sama Sammaria yang berani nyoba merombak sistem berpikir orang yang sudah
jadi pakem dari setiap agama. Tapi sayangnya dia belum cukup berani untuk secara ekstrim terang-terangan melanggar pakem
tersebut. Hal itu bisa dilihat dari ending filmnya. Saya sendiri karena tidak setuju dengan pernikahan beda agama yah merasa itu
mau nggak mau jadi ending terbaiklah. Walaupun sebagai konsekuensi ujung-ujungnya film ini jadi kayak film mainstream
lainnya, karena nggak bisa ngasi akhir cerita yang beda dan sensasional.”
Sedangkan Informan V merasa puas dengan keseluruhan isi film tersebut karena tidak ada keberpihakan dari filmmaker-nya. Ia beranggapan film tersebut
adil dan menyenangkan semua pihak. ”Sebenarnya sedih liat ujung ceritanya. Tapi aku suka keseluruhan
jalan ceritanya. Istilahnya komplit gitu, ada romantisnya, sedihnya sama amarahnya. Syukurnya film ini nggak berpihak ke satu
agama aja. Jadinya kan lebih adil untuk dua-duanya.”
f. Dialog dalam Film CinTa