Universitas Sumatera Utara
Informan I memandang konsep pluralisme di Indonesia merupakan alat politik yang efektif. Tidak jarang para petinggi negara menggunakan pluralisme
untuk mencitrakan diri agar dapat diterima di semua kalangan. Menurutnya penggunaan pluralisme sebagai alat politik, terinspirasi dari langkah-langkah yang
presiden ke-4 RI K.H. Abdurrahman Wahid pada masa pemerintahannya. Presiden yang akrab disapa Gusdur ini memberi pengakuan terhadap agama Kong
Hu Cu. Selain memberikan pengakuan, Gus Dur juga membebaskan masyarakat Kong Hu Cu yang notabene adalah keturunan Cina untuk menjalankan ibadah
agamanya secara terbuka dan merayakan hari keagamaan mereka. Selain itu, Informan I berpendapat bahwa hal yang paling kontroversial
dalam upaya penyebaran pluralisme oleh pemerintahan Gusdur adalah membuka hubungan politik dengan Israel yang menimbulkan kemarahan kelompok muslim
di Indonesia. Seperti yang diketahui, umat Islam Indonesia sangat antipati terhadap negara penjajah Palestina tersebut atas dasar solidaritas sesama muslim.
Setelah pemerintahan Gusdur berakhir, Informan I mengatakan pluralisme hanya muncul sesekali saat terjadi konflik antar agama atau suku.
Keempat informan lainnya memberi tanggapan serupa mengenai implementasi konsep pluralisme di Indonesia. Mereka menyatakan bahwa
implementasi pluralisme di indonesia masih berada pada level yang sangat rendah dan sebatas wacana. Hal itu terbukti dengan masih banyaknya konflik yang terjadi
serta minimnya dialog antar suku, etnis dan umat beragama. Informan III menambahkan bahwa rendahnya implementasi pluralisme di Indonesia juga
terbukti dengan adanya istilah ‘anak emas’ dalam masyarakat. ”Pluralisme yang kulihat di Indonesia itu cuma wacana aja.
Implementasinya kurang. Buktinya masih ada istilah anak emas di masyarakat, misalnya yang boleh jadi presiden itu cuma orang
Islam dan Jawa aja.”
c. Pluralisme dalam Film CinTa
Dari hasil wawancara peneliti dengan kelima informan, dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan mereka pluralisme merupakan tema yang diusung dalam
film CinTa. Penggambaran pluralisme dalam film tersebut dapat dilihat dari dialog, adegan serta penokohan yang ditampilkan. Kelima informan memberikan
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
tanggapan yang berbeda saat ditanya bagaimana film CinTa menggambarkan pluralisme.
Informan I mengatakan bahwa film CinTa mencoba menggambarkan pluralisme dalam 2 bentuk sekaligus. Tidak hanya menggambarkan fenomena
keragaman di Indonesia, namun juga menggiring masyarakat pada satu pilihan atas permasalahan pluralisme yang sering dihadapi.
“Bentuk pluralisme yang coba ditampilkan dalam film CinTa menurutku pada satu sisi ingin mencoba mengangkat diskriminasi
yang terjadi pada kelompok, agama dan ras minoritas. Dimana hal ini menjadi fenomena dimana-mana. Perjuangan terhadap
persamaan hak serta terhadap berbagai perbedaan yang ada. Namun pada sisi lain, bentuk pluralisme dalam film CinTa
berupaya menggiring untuk terjadinya pembauran antar perbedaan dalam ranah keyakinan.”
Lain halnya dengan Informan II yang berpendapat bahwa bentuk pluralisme dalam film CinTa diwujudkan dalam isu cinta beda agama.
Menurutnya isu tersebut merupakan salah satu isu pluralisme yang paling hangat dan dekat dengan kehidupan masyarakat. Ia juga beranggapan bahwa trend
percintaan maupun pernikahan beda agama kini dianggap sebagai bukti bahwa masyarakat semakin bijak menyikapi perbedaan, dan film ini berupaya untuk
menyebarkan gagasan tersebut. “Pluralisme dalam film ini digambarkan terang-terangan melalui
isu cinta beda agama. Permasalahan yang dihadapi Annisa dan Cina kan jelas tentang kisah cinta yang nggak bisa bersatu karena
perbedaan keyakinan. Belum lagi sisipan beberapa testimoni orang-orang yang juga menjalani hubungan beda agama. Ini
semua kan jadi bukti kalo masyarakat udah mulai berpikir gimana paling nggak mengurangi gesekan perbedaan. Yah melalui
pernikahan beda agama. Berarti masyarakat juga udah semakin bijak dong sama perbedaan yang ada. Jadi menurutku film ini
pengen menyoroti hal itu sekaligus nyebarin sama masyarakat lain yang mungkin masih belum bisa terima kenyataan.”
Informan III justru melihat pluralisme dalam film CinTa digambarkan melalui unsur penokohannya. Golongan mayoritas dan minoritas ditampilkan
dalam proporsi yang seimbang. Annisa, seorang gadis Jawa Muslim mewakili golongan mayoritas, sedangkan Cina yang ber-etnis Tionghoa dan beragama
Kristen mewakili golongan minoritas. Ia berasumsi bahwa penokohan tersebut diciptakan berdasarkan realita yang ada di masyarakat. Islam dan Kristen dipilih
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
karena pada kenyataannya dua agama ini adalah yang paling sering mengalami pergesekan dan konflik. Penggunaan etnis Tionghoa sebagai unsur penokohan
juga dikarenakan masyarakat etnis Tionghoa masih dianggap ‘orang luar’ dan sering menerima perlakuan diskriminasi dari lingkungannya. Ia menganggap
penokohan dalam film CinTa sebagai refleksi dari bentuk pluralisme yang ada di Indonesia.
Informan IV mengatakan bahwa nilai pluralisme yang terdapat dalam film CinTa masih terlalu sedikit. Ia menganggap filmmaker hanya memberi
gambaran pluralisme tanpa menunjukkan sikap yang seharusnya diambil oleh masyarakat terkait dengan pluralisme itu sendiri. Adapun bentuk pluralisme yang
menurutnya paling dominan dalam film tersebut adalah testimoni pelaku hubungan beda agama.
Sementara itu, Informan V menilai bentuk pluralisme yang ditampilkan dalam film tersebut sangat ‘manis’ karena dipadukan dengan kisah cinta.
Dalam film ini pluralismenya ditampilkan secara berbeda karena ada unsur cintanya. Pluralismenya bisa kita lihat saat orang itu
berdo’a bersama, membuat ketupat, menghias pohon natal. Menurutku pluralismenya sengaja dibuat ‘manis’ supaya yang
nonton juga merasa bahwa beda itu nggak payah dan enak kalo dijalanin sama-sama selama kita saling menghormati satu sama
lain.”
d. Pengalaman Seputar Pluralisme